Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 22. ALTERN ELIGIUS

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Lakukanlah. Namun, jangan paksa aku untuk melepaskannya.

-Lavina

"Apa? Pernikahan kalian akan dipercepat?"

Kepalaku tertunduk begitu menangkap nada meninggi dari ayah.

"Alvino, bukankah itu lebih baik? Selama bisa membuat putri kita bahagia, kita setuju saja," ujar ibu lembut.

Ini pertama kalinya aku tak harus berdebat dengan wanita itu. Ekor mataku melirik ke arah ayah. Sang Elvir tampak memandang resah ke arahku. Aku buru-buru menghindari tatapannya.

"Ayah, Torrent melakukan itu agar dia bisa membantu Lavina melupakan ... kejadian di Bellva," sahut Bre'a Raven dengan nada lunak.

"Kenapa harus dengan mempercepat pernikahan?!" sergah ayah.

Aku tak menangkap suara apa pun, kecuali bunyi binatang malam dan helaan napas dari ibu dan Bre'a Raven.

"Bagaimana dengan anak-anak itu?" Ada nada geram di suara ayah.

"Aku dan Necca sudah mengamankan mereka. Dalam hal ini berhubungan dengan Lavina dan Alva, Ayah tidak bisa memimpin pengadilan Dewan Alvern. Begitu juga dengan Czar Ian. Karena Lavina belum resmi menjadi bagian keluarga dari Torrent, maka Czar Ardian yang akan mengambil alih," ucap Bre'a Raven.

Jantungku hampir melompat saat mendengar suara gebrakan meja.

"Alvino! Tenangkan dirimu. Ardian pasti tahu apa yang harus dia lakukan. Bagaimanapun, Lavina akan menjadi menantunya, bukan?" ucap ibu. "Atau ... perlukah pernikahan diadakan sebelum pengadilan?"

"Pengadilan harus berlangsung sebelum pernikahan agar Czar Ardian bisa memimpinnya. Jika tidak, Ayah terpaksa harus mengundang Altern Peyten. Aku khawatir ini malah akan berdampak buruk pada Lavina dan Torrent nanti," sahut Bre'a Raven.

"Ah, iya. Kau benar, Raven. Pikiran Ibu sepertinya sedang kacau," gumam ibu.

Kudengar helaan napas dari ayah. Kuberanikan diri kini mengangkat wajah, menatap tiga alvern di hadapanku.

"Czar Ardian tidak seburuk yang orang-orang kira. Ia selalu memperlakukanku dengan baik saat di Belize," sahutku pelan.

"Benarkah?" tanya ayah seraya menatapku intens.

Aku mengangguk. "Iya, Ayah. Ia selalu bersikap ramah dan lembut padaku. Kurasa Torrent benar saat mengatakan papanya telah berubah. Hubungan mereka juga membaik," imbuhku.

Ayah tercenung mendengar perkataanku. Bre'a Raven tampak bersandar ke kursinya. Ibu memperlihatkan wajah lega ke arahku.

"Itu bagus, bukan? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita percaya saja, Ardian bisa mengadili dengan adil," ujar ibu.

Ayah mendesah. Ia berpaling ke arah Bre'a Raven. "Raven, besok malam kau harus siap. Altern Eligius akan datang untuk mengujimu .... Kau tahu apa konsekuensinya, bukan? Kita semua harus bersiap untuk kemungkinan apa pun ...."

Tak ada yang berkata-kata lagi. Hanya ada suara helaan napas dari ayah, ibu, dan Bre'a Raven.

***

Sesuai yang kami harapkan, Czar Ardian bisa memimpin pengadilan dengan baik dan lancar. Berdasarkan umur Aaric dan anggota gengnya yang masih muda serta status sebagai pelajar Nubia, mereka mendapat keringanan hukuman dengan hanya melanjutkan tahanan di Lonia, bukan di Liexe Land. Meski aku dan Alva merasa belum puas, kami harus menerima keputusan yang diambil papa Torrent beserta para dewan.

Masalah yang lebih membuatku cemas adalah malam ini. Bre'a Raven akan menjalani ujian tatap mata dengan Altern Eligius. Jika ia gagal, risikonya adalah kebutaan bagi kakakku.

Lilian terlihat tidak tenang sejak sore hari. Ia bahkan tidak menghadiri pengadilan pagi tadi. Selain kecemasannya terhadap nasib suaminya, ia juga pasti memikirkan anak mereka di dalam kandungan yang kini menginjak bulan ketiga.

Aku melirik sekali lagi ke arah pintu. Torrent berjanji akan datang dan menginap malam ini. Namun, ia belum juga muncul.

Terdengar ketukan di pintu. Aku sontak bangkit dari sofa dan berlari untuk membukanya.

Napasku sedikit tersengal saat pintu kubuka lebar, wajah yang kurindukan tampak memasang senyum padaku.

"Aku tidak tahu jika kau serindu itu hingga harus terburu-buru membukakan pintu," godanya. Kurasa ia semakin mahir melakukan itu.

Aku mengulum senyum malu. "Aku hanya takut kau menunggu lama di luar. Angin malam sedang tidak bersahabat."

Torrent menyunggingkan senyum khasnya. Ia tampak semakin tampan dengan jubah hitam bertudung.

"Masuklah," ujarku sembari menahan debaran jantung.

Ia melangkah masuk, menungguku menutup pintu, lalu berjalan bersamaku menuju sofa.

"Torrent, kau sudah datang rupanya," sambut ibu. "Duduklah dulu." Wanita itu menoleh ke arahku. "Kau temani dulu levontha-mu."

Aku mengangguk sembari meraih lengan tunanganku dan mengajaknya duduk berdampingan. Kami pun menduduki sofa bersamaan.

"Apakah kau sungguh baik-baik saja dengan keputusan yang diambil papaku?" Torrent mulai membuka suara.

"Aku sudah katakan padamu, bukan? Aku menerima keputusan itu. Aku baik-baik saja. Begitu juga Alva," jawabku pelan.

Torrent mengangguk-anggukkan kepala perlahan. "Aku sebenarnya tak puas. Namun, aku menghormati keputusan dewan. Papaku hanya mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak dari para wakil alvern itu."

Aku menatapnya intens. "Lagi pula, Aaric masih saudaramu, bukan? Bagaimana dengan ayahmu? Kulihat ia begitu marah padamu saat itu."

"Itu kesalahan putranya sendiri. Ia tak punya hak untuk marah terhadap siapa pun," gumam Torrent.

Seorang elda datang menyuguhkan dua cangkir minuman dan sepiring kue di meja untuk kami sebelum kembali meninggalkan ruangan.

"Apakah Raven sudah bersiap-siap?" tanya Torrent dengan raut wajah serius.

Aku mengangguk. Lilian tengah membantunya mempersiapkan diri. Ayah akan membimbing ritual penyambutan nanti. Ibu kurasa tak akan hadir. Ia harus menemani Sre'a Lilian di kamar. Bre'a tak ingin kakak iparku melihat prosesnya. Jika ... kemungkinan buruk itu terjadi, istrinya pasti tak akan sanggup."

Torrent menatapku lama. "Kau pasti juga cemas."

"Sangat ...," desahku.

"Raven adalah alvern yang kuat dan tegar. Ia pasti akan baik-baik saja. Apa pun yang terjadi," ujarnya.

Aku menyandarkan kepalaku ke bahunya. Rasanya sangat nyaman. Torrent meraih jemariku dan menguncinya dengan jemarinya.

"Kau tahu apa yang akan terjadi jika Raven tidak berhasil? Maksudku ... selain dari kebutaan?" tanya Torrent.

Tubuhku sedikit menegang, kembali menegakkan tubuh seraya mengangguk pelan. "Aku harus menggantikan posisinya. Namun, karena aku akan segera memiliki suami, maka ... kau yang akan mengambil alih .... Kau pun harus ... menjalani proses ujian tatap mata. Jika tak berhasil ...."

"Jangan pikirkan lebih jauh lagi. Kau tak usah menanggung beban memikirkan masalah sebesar itu. Yang terjadi, biarlah terjadi," ucap Torrent tegas.

"Papa dan mamamu sudah tahu soal ini, bukan?" tanyaku bimbang.

Torrent mengangguk. "Ya. Mereka tahu."

Bisa kurasakan remasan kuat di jemariku. Aku bisa merasakan kegundahan pemilikku. Namun, ia justru berusaha menguatkanku.

"Dewi Aleta telah memilihku sebagai pemilikmu. Ia pasti telah mengetahui takdir kita. Tenanglah," hiburnya.

Tak lama kemudian ayah muncul bersama Bre'a Raven. Mereka berdua memakai jubah putih. Kakakku terlihat gagah, persis seperti ayah.

Aku dan Torrent segera berdiri menyambut mereka. Tangan kami tetap saling bertaut, seakan saling memberi kekuatan.

"Raven, i me o bashera," ucap Torrent.

Ayah dan Bre'a Raven sedikit tertegun mendengar ucapan doa dari pemilikku.

"Khiera vhale," sahut Bre'a Raven.

Ayah menatap intens ke arah Torrent. "Kau ikut."

Tubuhku seketika menegang. Namun, remasan tangan Torrent membuatku kembali tenang.

"Baik, Elvir," jawab Torrent tenang.

Perlahan kami pun mengikuti langkah ayah dan Bre'a Raven menuju ruang ritual penyambutan.

***

Tanganku tak berhenti gemetar meskipun Torrent mengenggamnya erat. Pikiranku berkecamuk. Cemas, takut, memikirkan apa yang akan terjadi pada dua lelaki yang kucinta.

Ayah menaburkan bunga dan sejumput serbuk dari wadah khusus ke dalam pedupaan setelah menutup mata Bre'a Raven dengan kain hitam. Aroma bunga serta wewangian asing sontak menyentuh indra penciuman.

Mataku melirik ke arah cermin oval antik seukuran alvern dewasa. Aku mengerutkan kening.

Apakah itu akan menjadi portal buat Altern Eligius?

Ayah mulai meniupkan asap dari pedupaan ke arah cermin. Kabut mulai menyelimuti benda itu. Perlahan kacanya berubah menjadi seperti riak air.

Napasku terasa terhenti saat sesosok bentuk seperti alvern mulai muncul melewati portal. Sosoknya semakin nyata setelah melewati riak air. Bau harum asing segera memenuhi ruangan.

Kurasa ini saatnya untuk menundukkan wajah seperti yang diajarkan ayah sebelumnya. Aku hanya bisa menatap bagian bawah tubuh sosok itu. Mataku menangkap sosoknya dalam balutan jubah abu-abu panjang hingga menyentuh lantai dengan tangan berkulit pucat.

"Timea le acclamare o, Altern Eligius." Kudengar suara ayah menyambut sosok itu.

"Acclamare o le khiera."

Sebuah suara bergetar terdengar bernada ramah, tapi membuat bulu kudukku meremang. Kurasakan genggaman tangan Torrent semakin kuat.

"Putraku Raven siap menjalani ujian tatap mata denganmu sebagai proses awal penggantiku sebagai elvir," ucap ayah.

"Baiklah, buka penutup matanya, Elvir."

Tubuhku lagi-lagi menegang. Kurasa Torrent bisa merasakan tanganku yang makin gemetar karena ia mulai merangkulkan lengan kirinya ke belakang tubuhku dan menggenggam tanganku dengan tangan kanannya.

"Tenanglah ...," bisiknya lembut.

Jika dalam kondisi biasa, aku pasti sudah akan mendesah karena sentuhan dari embusan napasnya di telinga.

Suara jeritan pilu mendadak membuat jantungku seperti hendak melompat. Tanpa sadar aku ikut berteriak memanggil nama Bre'a Raven. Aku cukup tahu arti dari jeritan itu. Kakakku telah gagal!

Torrent memelukku erat, menyembunyikan wajahku ke dadanya.

"Jangan lihat," bisiknya dengan suara bergetar.

"Bre'aaaaa!" isakku.

Kenapa tak kudengar suara Ayah? Kenapa ia hanya diam saja?

"Ayaaaah, apa yang terjadi?" tangisku.

"Ayahmu sedang membantu kakakmu. Percayalah, ia lebih terluka darimu," balas Torrent.

"Sayang sekali, Elvir Alvino. Putramu gagal ...." Suara bergetar itu terhenti sebentar. "Diakah calon suami putrimu?"

Kepalaku tanpa sadar menggeleng cepat seraya memeluk Torrent erat.

Tidak! Aku tidak rela bila ia akan berbuat sama pada pemilikku!

"Ya, Altern Eligius. Dia putra Czar Ardian," jawab ayah serak.

Apakah Ayah menangis? Torrent benar, Ayah pasti sangat sedih melihat kenyataan tentang Bre'a Raven.

"Bersediakah dia melakukan uji tatap mata saat ini juga?" ujar Eligius.

Suasana seketika hening sejenak. Hanya terdengar erangan lirih dari Bre'a Raven.

"Torrent ...," gumam ayah dengan suara bergetar.

"Aku bersedia, Elvir," jawab pemilikku tanpa ragu.

Tangisku makin mengeras.

"Gadis manis, tenanglah. Kau membuatku sedih, tapi ini adalah konsekuensi dari jabatan elvir yang dibebankan pada ayahmu," ujar Eligius.

Suaranya cukup ramah, tapi kenapa membuatku seperti mendengar suara sang pencabut nyawa?

"Tolong ... beri belas kasihmu pada pemilikku," isakku tanpa berbalik menatap Eligius.

"Tidakkah kau percaya pada pilihan Dewi Aleta?" tanya altern itu. Entah kenapa aku membayangkan ada senyum di wajahnya melalui nada suaranya.

"Lavina, tenanglah. Jika ini konsekuensiku sebagai pemilik putri seorang elvir, aku akan menghadapinya," ujar Torrent.

Aku mendekap pemilikku erat, lalu menjawab altern itu tanpa menoleh padanya, "Lakukanlah. Namun, jangan paksa aku untuk melepaskannya. Aku ingin bersamanya melewati uji tatap mata."

"Baiklah. Kau, putra Czar Ardian, buka matamu dan tatap aku."

Aku semakin mempererat pelukan, seakan hendak menguatkan pemilikku. Jika sesuatu terjadi padanya, aku akan memaki sang dewi yang telah memberinya takdir sebagai pemilikku!

Tidak ada suara teriakan kecuali seruan ayah yang penuh kelegaan.

Apa yang terjadi?

Tak sabar aku menengadah, memeriksa kedua mata Torrent. Ia tersenyum menatapku sembari mengelus-elus lembut punggungku.

"Kau ... kau berhasil ...?" gumamku terbata-bata.

"Gadis manis, selamat. Kalian akan segera menggantikan kedudukan orang tuamu sebagai elvir dan elvirna yang baru," ucap Eligius.

"Lavina, Torrent berhasil," ucap ayah sembari menghampiriku. Wajahnya terlihat bangga. Aku segera ganti memeluk ayah erat.

Rasa haru, senang, sedih, serta cemas bercampur di hatiku. Mataku menangkap gerakan Torrent menghampiri Bre'a Raven.

Ia memeluk kakakku erat seperti sebuah pelukan tulus. Demikian pula dengan bre'a. Kulihat matanya telah kembali tertutup oleh kain hitam. Kurasa ayahku yang melakukannya tadi.

Ayah melepaskan pelukan. "Peluk kakakmu," bisiknya.

Aku segera menghambur ke pelukan Bre'a Raven yang juga menyambutku dengan senyum lebar.

"Bre'aaaa, matamu ...," tangisku kembali pecah.

"Hei, kau lupa, kita punya Terra. Aku akan baik-baik saja," hiburnya.

"Kuharap matamu bisa pulih kembali, Raven. Kau alvern berbakat. Kau akan diberkati dengan kesembuhan kelak," ujar Eligius.

"Khiera vhale, Altern Eligius," ucap ayah sembari memberi salam penghormatan, diikuti oleh bre'a, aku, dan Torrent.

"Kau tahu aku menyayangimu dan keluargamu, Elvir Alvino. Namun, sayang aku tak memiliki posisi seperti Aro. Aku tak bisa membantumu lebih banyak. Kau tahu apa konsekuensi dari hal ini bukan? Aro akan mengetahui soal putrimu dan putra Ardian. Pesanku, percepat pernikahan mereka secara diam-diam, lalu sembunyikan cucumu kelak. Jaga baik-baik hingga tiba masa untuk dia mengemban tugas sesuai bakat yang ditakdirkan untuknya. Jangan khawatir, kelak akan ada yang membantunya," titah Eligius.

"Aku mengerti, Altern Eligius," jawab ayah takzim.

Aku tertegun mendengar ucapan altern itu. Mataku bertemu dengan Torrent. Ia hanya mengusap kepalaku lembut tanpa berkata apa pun.

"Aku akan kembali setelah putra Ardian resmi menjadi menantumu, Elvir. Salvhe ashta," ujar Eligius.

"Salvhe ashta, Altern Eligius," ucap ayah bersamaan denganku, bre'a, dan Torrent.

Kulihat kabut hitam menyelimuti tubuh sang Altern Pembawa Pesan sebelum ia melangkah melewati riak air di cermin hingga menghilang bersamaan dengan lenyapnya aroma asing di ruangan.

Suara ayah mendadak terdengar memecah keheningan. "Torrent, panggil Terra!"

***

CATATAN

Levontha : sebutan untuk calon suami

Elvir : ketua dewan alvern

Eligius : altern kepercayaan Aro yang bertugas sebagai pembawa pesan dan merupakan altern tertinggi.

Bahasa Aleronn :

I me o bashera : semoga kau diberkati

Timea le acclamare o, Altern Eligius : kehormatanku menyambutmu, Altern Eligius

Acclamare o le khiera : Sambutanmu kuterima

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro