
CHAPTER 16. HIS PUNISHMENT
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Jangan pernah meremehkan seorang wanita. Ketika ia memutuskan bertindak, lelaki terkuat pun tak akan berdaya dibuatnya.
-Lavina
Pagi masih sedikit gelap saat aku tiba di Nubia, lantas mengarahkan kaki menuju kantor pemilikku.
Memasuki ruangannya, aku segera melaksanakan tugasku dengan penuh keseriusan. Aku harus bisa menunjukkan pada si Alvern Aneh bahwa aku bukanlah anak kecil yang tak memiliki tanggung jawab.
Saat tengah mengelap meja, mataku tertuju pada sebuah laci yang sedikit terbuka. Sepertinya pemilikku sedang tergesa-gesa hingga lupa merapatkan laci mejanya.
Tanganku meraih gagang dan menariknya perlahan. Sebuah buku kecil bersampul hitam dengan relief motif ukiran klasik tampak di dasar laci. Sedikit ragu, aku mengambilnya. Batinku berdebat antara membuka dan membaca isinya atau meletakkannya kembali ke dalam laci.
Rasa ingin tahuku menang. Kutaruh kain lap di sudut meja dan mendudukkan diri pada kursi si Alvern Aneh. Tanganku bergerak membuka lembaran.
Buku puisi? Keningku berkerut saat mulai membacanya.
Dia satu, tiada dua
Dia istimewa, tanpa cela
Dia tercinta, di dalam hati bertahta
Dia sempurna, dengan segala yang ada di dirinya
Aku termangu sejenak. Untuk siapa kata-kata ini? Clarabelle? Tanganku bergetar hendak membuka lembarannya lagi.
"Apa yang kau lakukan di mejaku?"
Aku sontak mendongak dan menoleh cepat. Jantungku seketika berdebar kencang.
Torrent melangkah menghampiri tanpa melepaskan pandangan dariku. Tatapannya datar, tetapi tajam menusuk.
Sejenak aku bingung harus melakukan apa. Lidahku kelu.
Ia berhenti di depanku, menatap tanganku yang gemetar memegang buku hariannya yang masih terbuka.
"Aku tidak suka bila orang menyentuh barangku tanpa izin," desisnya dengan nada dingin. "Meskipun, jika itu dilakukan oleh kanayaku sendiri."
Aku berusaha membuka mulutku. "Siente ... aku tidak bermaksud, tadi ... lacimu ... aku ...."
Kenapa bicaraku jadi gagap? Apa yang kutakutkan? Bukankah aku seharusnya marah? Pemilikku memiliki perasaan terhadap wanita lain.
Aku perlahan bangkit dari duduk, menatapnya tanpa takut. "Sebagai kanayamu, apakah aku punya hak bertanya, untuk siapa puisi itu?"
Dia melirik sekilas ke lembaran di hadapanku, lalu mengamatiku intens. "Sebagai pemilikmu, apakah aku berhak mengetahui, siapa yang ada di dalam hatimu?"
Aku tertegun. "Itu ...."
Apa yang harus kukatakan? Dialah yang kini mulai mengisi hati dan pikiranku? Pemilikku pasti akan besar kepala saat mendengarnya.
"Kau tak mau menjawab? Kurasa aku tahu siapa orangnya," ujarnya datar.
"Siapa?" tanyaku heran.
Ia melangkah malas, mendekati kursi yang tengah kutempati. Aku pun spontan menjauh dari kursinya, mundur ke arah berlawanan secara perlahan dengan jantung berdebar tak karuan.
Torrent menutup lembaran buku puisi yang terbuka. Matanya tertuju padaku. "Ellio."
Aku tersentak. Bagaimana dia tahu tentang perasaanku pada Ellio dulu? Tidak mungkin Alva mengatakannya, bukan?
"Itu ... dulu ... jauh sebelum aku mengenalmu," balasku terbata.
Dia menelengkan kepala, seperti menantikan jawabanku selanjutnya. "Apakah sekarang berbeda setelah bertemu denganku?"
Aku mengangguk tanpa sadar, kemudian dengan cepat menggeleng. "Tentu saja berbeda, kau membuatku terus berpikir tentangmu, membuatku tak punya kesempatan memikirkannya!"
Kugigit bibirku kuat-kuat sambil meringis. Jawaban apa itu, Lavina? Kau bodoh sekali!
Torrent melangkah pelan kembali mendekatiku, membuatku terjebak di dinding ruangan dekat jendela. Kepalaku menengadah saat aku sudah tak bisa bergerak mundur lagi, sementara ia berdiri begitu dekat, hingga embusan napasnya menyentuh kulit wajahku.
Mataku mengerjap panik, tubuhku laksana menciut karena tatapannya, ditambah lagi dengan detakan jantung yang menggila.
Kurasa aku akan mati di sini. Inilah akhir hidupku. Selamat tinggal, Alva, Ayah, Ibu, Bre'a Raven, Ayna, Ellio ....
"Coba saja bila kau masih berani memikirkan lelaki lain selain aku, aku akan menghantui setiap tidurmu, bahkan membuatmu mengingatku di setiap tarikan napas, hingga kau melupakan siapa pun, kecuali aku, pemilikmu," desisnya dengan nada tegas.
Badanku gemetar, tetapi hatiku penuh kekesalan. Namaku bukan Lavina bila ia mengira bisa mengancamku begitu saja!
"Aku tidak takut! Kau tak bisa mengatur hidupku dan menghakimiku sementara kau sendiri masih memiliki perasaan terhadap Clarabelle!" ucapku sengit.
Mata kami saling beradu. Tanganku mengepal, siap meninju jika pemilikku akan berbuat kasar padaku.
"Kau pikir begitu? Kau harus dihukum atas kelancanganmu ...," desisnya.
Wajahnya makin mendekat. Entah kenapa, lututku malah goyah. Otakku menyuruhku menahan atau mendorong tubuhnya. Namun, tidak. Aku malah makin mengkeret, bagai binatang buruan yang tak berdaya. Dasar tubuh pengkhianat!
Aroma maskulin segar menguar dari tubuhnya, menyapa indra penciumanku. Dada pun terasa sesak, membuatku sulit bernapas. Jantung memacu bertalu-talu. Pipiku memanas, seiring peluh dingin kurasakan saat angin semilir dari ventilasi membelai keningku.
Suasana begitu hening, hingga bisa kudengar jelas suara detakan jantungku.
Wajahnya menunduk, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun. Hidung kami kini hampir bersentuhan. Tanganku yang mengepal, kini lemas gemetar. Apa yang terjadi padaku?!
Dalam sekejap mata, kurasakan sentuhan benda lunak yang hangat di bibirku. Aku tertegun, tak sempat berpikir. Kurasakan sensasi aneh di perutku ketika ia mulai mengulum lembut, mencecap, bahkan menggigit pelan.
Tanpa sadar, mulutku mengeluarkan erangan. Tanganku kini tak lagi terkulai lemas, malah mencengkeram erat jaket pemilikku kala merasakan tubuhku laksana lemah lunglai tak bertulang.
Mataku terpejam cukup lama, bahkan aku tak menyadari ketika ia menyudahi. Napasku terengah-engah. Dalam hati aku sedikit memprotes tindakannya yang mengakhiri sentuhan itu.
Aku membuka mata. Ia menatapku dengan senyum kemenangan di bibirnya.
"Kurasa itu cukup sebagai pembuktian perasaanku dan untuk membuatmu selalu mengingatku," ujarnya dengan gaya pongah.
Aku memicingkan mata. Tanpa berpikir panjang, kutarik kerah jaketnya, membuatnya menunduk ke arahku, lalu membalasnya dengan gerakan sama seperti yang ia lakukan pada bibirku, bahkan lebih liar dan intens.
Aku baru melepaskannya kala dia mengaduh setelah mendapat gigitan kasar dariku. Kulihat ada sedikit darah di bibir bawahnya yang terluka.
Torrent tercengang menatapku. Ia seperti tak dapat berkata-kata. Mulutnya terbuka hendak mengucapkan sesuatu, tetapi hanya ekspresi syok yang terlihat di wajah tampannya yang menyebalkan.
"Kurasa itu cukup sebagai jawaban dan untuk membuatmu tak dapat melupakanku," balasku sebelum bergegas berlalu, meninggalkannya yang terpaku tanpa suara.
Jangan pernah meremehkan seorang wanita. Ketika ia memutuskan bertindak, lelaki terkuat pun tak akan berdaya dibuatnya.
***
Beberapa kali aku memukul sisi kepalaku sendiri, menyadari kebodohanku pagi tadi. Aku menangkupkan kedua tangan ke wajah yang memanas, menenggelamkan diri ke dalam selimut. Kenapa aku bisa melakukan hal segila dan seliar itu padanya? Apa yang ia pikirkan kini tentang aku?
Alva dan Rava pun bertanya curiga melihat sikapku saat di kelas, yang terus saja tersenyum sendiri seperti gadis kehilangan pikiran. Lavina, kau memang bodoh!
Aku mendesah, menurunkan tanganku dari wajah. Masih bisa kuingat jelas hangat, kenyal, dan lembut bibirnya. Itu adalah ciuman pertama kali dalam hidupku.
Aku selalu berencana akan melakukannya dengan Ellio dulu. Namun, Dewi Aleta sepertinya menginginkanku memberikan ciuman berharga itu hanya pada Torrent, si pemilik.
Terdengar ketukan di pintu. Aku menoleh.
"Masuk!" teriakku.
Pintu terbuka seiring dengan munculnya wajah Ibu.
"Pemilikmu datang berkunjung. Ayo, lekas ganti baju dan temui dia di bawah!" ujarnya.
Aku melongo seketika. Torrent? Datang menemuiku? Untuk apa? Apakah ia marah soal gigitanku?
"Iya, Ibu. Aku akan segera turun menemuinya," sahutku gugup.
Ibu pun menghilang bersamaan dengan pintu yang ditutup.
Di sela kepanikan, otakku mencoba berpikir jernih. Apa yang harus kulakukan jika ia mengatakan pada Ibu apa yang aku lakukan pada bibirnya? Aku akan mati. Selamat tinggal Aleronn, selamat tinggal semua ....
Aku mengamati kamar seakan untuk terakhir kalinya sebelum beranjak dari ranjang. Tanpa mengganti baju, aku pun turun untuk menemuinya.
Ibu melotot dari tempat duduknya ketika melihatku turun dengan pakaian tidur. Siapa suruh Torrent datang berkunjung saat jam tidur.
"Lavina! Apa-apaan kau ini? Bukankah Ibu sudah bilang ... ah, maafkan dia, Torrent. Mungkin karena sangat mengantuk. Jadi, ia tak sempat ganti baju," ujar Ibu.
Torrent mengangguk dan terlihat berusaha memasang senyum ramah pada Ibu. "Tidak apa-apa, Elvirna. Aku yang salah, berkunjung di waktu yang tak tepat."
Mataku memicing, menatapnya sebal. "Tidak ada masalah dengan gaun malamku. Ada apa kau kemari? Seharusnya kau mengabari dulu jika hendak ke sini menemuiku."
"Lavina! Kau sungguh tak sopan pada pemilikmu!" sergah Ibu.
"Siente .... Aku hanya ingin mengabarkan soal penentuan hari pertunangan kita," ujar Torrent datar.
Wajah Ibu spontan ceria. "Oh, benarkah? Apakah dalam waktu dekat? Ah, kenapa kau yang harus repot-repot kemari? Kau bisa menyuruh Lavina yang datang ke kastel."
Aku mengerutkan hidung seraya menatap Ibu dengan pandangan tak percaya.
"Kalian bicara saja dulu. Ibu akan ke dalam, menyuruh para elda menyiapkan kue dan minuman," ujar Ibu dengan sikap kaku setelah melihat reaksiku padanya.
Ia pun bergegas bangkit dari sofa dan berlalu, meninggalkanku berdua dengan Torrent.
Mata lelaki itu tampak mengamatiku intens. "Gaun malam, huh? Terlihat seperti baju tidur anak kecil bagiku, tidak menarik."
"Aku memakainya bukan untuk kau lihat!" ujarku seraya mendengkus sebal.
Kakiku melangkah ke arah sofa dan mendudukkan diri di hadapannya. Mataku bertemu dengan tatapannya.
"Kukira kau datang untuk memberitahu ibuku soal ... kejadian pagi tadi," gumamku.
Keningnya berkerut. Namun, tak lama sikapnya berubah menjadi salah tingkah. "Oh ... itu ... yang ingin ... kubahas denganmu."
"Aku tak mau membahasnya!" tukasku cepat. "Lupakan saja!"
"Bagaimana aku bisa melupakan bahwa kanayaku yang kukira masih kecil dan polos, ternyata dengan liarnya menyentuh dan melukai bibirku?" sindirnya. "Mungkin akulah yang seharusnya bertanya padamu. Apakah kau liar di ranjang? Aku harus berjaga-jaga jika kau akan melukai tubuhku nantinya."
Wajahku memanas seketika. Kedua tanganku spontan menutupi muka. "Berhenti membicarakan itu! Aku malu. Aku tak tahu apa yang merasukiku tadi pagi."
Torrent mendengkus. "Kau membuatku tak bisa tidur karena itu."
Aku menurunkan kedua tangan dari wajahku. "Karena itu, kau ke sini?"
Ia mengangguk. "Sekaligus memberitahumu soal acara pertunangan kita. Orang tuaku menginginkan kita bertunangan di pertengahan musim azmera. Apakah aku boleh menganggap bahwa kau sudah tak punya perasaan apa-apa pada Ellio?"
Aku merasa ingin menenggelamkan diri ke dalam sofa. "Menurutmu?"
"Sepertinya sudah," jawabnya singkat.
Aku mencibir. "Kau sendiri? Apakah benar sudah tak memiliki perasaan apa-apa terhadap Clarabelle?"
"Menurutmu, yang kulakukan pagi tadi belum cukup membuktikannya?" tanyanya balik.
"Kurang lama," celetukku bersamaan dengan wajahku yang memanas. Dalam hati aku mengutuk mulutku yang tak tahu malu.
Tak disangka, ia tergelak. Aku terkesima seketika. Wajahnya sungguh berbeda saat dia tertawa lepas, seperti tak ada beban.
"Kau benar-benar ... seseorang yang tak mampu kugambarkan," ujarnya pelan.
"Kau pun seorang lelaki yang sulit kubaca," sahutku.
"Apakah masih ada ganjalan di hatimu tentang aku? Kita harus mengeluarkan semua sebelum acara pertunangan dimulai, menghindari masalah di kemudian hari," ucapnya tegas.
"Kau bilang akan menunggu sampai aku bisa membuktikan diri bahwa aku pantas menjadi istrimu. Apakah kau kelak akan membatalkan pertunangan?" tanyaku lirih. Aku tak ingin Ibu mendengar soal ini. Bisa-bisa ia akan meminta pernikahan kami dipercepat.
Torrent terdiam sejenak. "Menjadi istriku, berarti kau harus siap menjadi czarina dari seorang Czar Alvern Hitam sekaligus Wakil Czar Aleronn kelak. Untuk itulah, aku memintamu mempersiapkan diri."
Aku tertegun. "Jadi, bukan karena kau malu memiliki kanaya sepertiku?"
Ia tampak berpikir sejenak. "Itu alasan lain."
Aku mendelik seketika. Ia pun kembali tertawa.
"Satu-satunya kini yang aku khawatirkan adalah bagaimana sikapmu saat di ranjang. Bila menyentuh bibirku saja kau bisa begitu agresif, entah bagaimana nasibku nanti ketika bersamamu di malam pertama," ejeknya.
"Hei! Seharusnya itu perkataanku!" sergahku kesal dan malu.
"Aku hanya mengungkapkan fakta," ujarnya sambil mencibir.
"Aku tak akan seberani itu! Pagi tadi, aku hanya mencontoh dari apa yang kau lakukan padaku!" sahutku dengan wajah memanas.
"Mencontoh dan melakukannya jauh lebih liar dariku? Menggigit bibirku sampai terluka dan berdarah?" ledeknya.
"Aah! Jangan diteruskan!" Tanganku kembali menutupi wajah. Itu sungguh memalukan!
"Jangan pernah melakukan hal itu pada lelaki lain. Jangan berpakaian terbuka, hanya mataku yang boleh menatap apa yang ada di tubuhmu," ucapnya tiba-tiba dengan nada tegas dan serius.
Aku menurunkan kedua tangan dari wajah. Mataku mengerjap. Tak salahkah pendengaranku? Ia mulai menunjukkan sikap sebagai sang pemilik?
"Soal gaun malam ...."
"Iya, aku akan membeli yang baru dan lebih seksi untukmu," sahutku malu-malu.
"Tidak perlu. Aku lebih suka melihatmu dengan baju tidur anak kecil seperti yang kau pakai saat ini. Kau terlihat ... lucu dan menggemaskan," ujarnya seraya berdeham.
Aku spontan menutup bagian dadaku dengan kedua tangan menyilang. "Kau berniat mesum, ya?"
Ia memicingkan mata. "Kau pikir aku menyuruhmu tetap memakai pakaian anak kecil itu karena mesum? Dadamu bahkan tidak terlihat, bagaimana mungkin kau akan tampak seksi saat mengenakan gaun malam?"
Aku sontak melemparkan bantalan sofa ke arahnya, yang dengan sigap dia tangkap dengan senyum terkulum di bibirnya.
Bibirku mengerucut. Dasar lelaki menyebalkan! Ibu ke mana sebenarnya? Kenapa ia dan para elda tak muncul-muncul menyajikan makanan dan minuman? Pasti sengaja membiarkanku berduaan dengan pemilikku. Ibu macam apa itu? Huh!
"Di mana Raven dan ayahmu?" tanyanya setelah beberapa saat.
"Oh, ia dan Sre'a Lilian sedang berada di rumahnya. Ayah sedang ada pertemuan dengan salah satu anggota dewan," jawabku.
Torrent mengangguk. "Kapan kau akan mengunjungi kastel?"
Aku seketika merasa gugup. "Mmm ... kapan kau menginginkanku datang ke sana?"
"Besok? Kita bisa bicarakan lebih lanjut soal acara pertunangan kita, siapa yang ingin kita undang, menentukan pakaian, makanan, dan sebagainya," ujarnya. "Waktunya tidak lama lagi."
Aku mengangguk setuju. "Baiklah, besok kalau begitu."
Ia menatapku kembali intens. "Kau tampak sudah mengantuk. Aku sebaiknya pulang. Sekadar peringatan, kejadian pagi tadi tetap harus ada konsekuensi."
"Apa?" Mulutku menganga seketika.
"Tak usah cemas, aku tak akan membuatku gila kali ini," ucapnya sebelum bangkit dari duduknya. "Sampaikan salamku untuk ibumu yang kukira sengaja tak keluar menemani kita sedari tadi. Juga untuk ayahmu nanti. Tak perlu mengantarku sampai keluar pintu. Aku tak ingin para neci melihatmu dalam pakaian tidur. Salvhe ashta. Olle azla."
"Olle azla," jawabku lirih.
Kutatap punggung pemilikku hingga ia menghilang di balik pintu sebelum aku berbalik kembali menuju kamarku dengan pikiran berusaha mencerna ucapannya tadi soal konsekuensi.
***
Catatan
azmera : musim panen
Bahasa Aleronn :
olle azla : selamat malam (selamat tidur)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro