HASRAT TERPENDAM SANG IPAR (3)
HANUM'S POV
“Nduk ini lauk buat makan di kost ya. Kamu taruh kulkas,” ucap ibu sambil memasukkan beberapa toples abon, kering tempe dan kering kentang ke dalam tas.”
“Iya, Bu,” jawabku.
“Bu jangan terlalu dimanja Hanum tuh. Dia harus belajar mandiri di kost. Lagian udah dapat kost eksklusif, fasilitasnya juga lengkap. Kamu harus belajar masak sendiri,” tutur Mbak Ajeng sambil mengiris buah untuk membuat jus.
“Nggak apa-apa, cuma sedikit kok,” jawab ibu.
“Kamu harus belajar hemat, Num. Mulai sekarang Mbak nggak akan ngasih uang saku. Kamu harus bisa mengelola gaji kamu,” tukas Mbak Ajeng sibuk menuang jusnya.
Aku memilih diam, sambil merapikan bekal dari ibu.
“Kamu itu kalau diajak bicara nggak bisa jawab ya? Punya telinga sama mulut to?” tukas Mbak Ajeng sentimen.
“Iya. Mulai sekarang aku nggak bakal ngrepotin Mbak Ajeng lagi. Nggak usah khawatir, Mbak,” jawabku dengan nada jengkel.
"Ya emang harusnya gitu. Mbak nggak bisa selamanya nyukupin kebutuhan kamu,” tutur Mbak Ajeng sambil memasukkan irisan buah ke dalam blender.
"Mbak kenapa sih kok kayak nggak ikhlas banget biayain aku sekolah?” Aku melemparkan tatapan kesal ke arah Mbak Ajeng.
"Bukan masalah nggak ikhlas. Aku cuma ngajarin kamu buat Mandiri.” Suara blender mulai mengaburkan suara Mbak Ajeng. "Kamu enak sekarang ada yang bantu, Mbak dulu usahain semuanya sendiri.”
Aku ingin menjawab, tetapi memilih menahan diri sebab ada ibu di sana. Aku hanya bisa menggenggam tanganku erat-erat. Bersusah payah menahan emosi.
“Udah. Ndang, berangkat sana.” Buru-buru ibu menarik tanganku ke depan rumah.
Mentang-mentang sudah membiayaiku, terkadang perkataan Mbak Ajeng bikin jengkel. Dia merasa cukup terbebani karena harus membiayaiku sekolah. Bukankah saudara sudah sewajarnya saling membantu ya? Mbak Ajeng terlihat tidak ikhlas dan selalu mengungkit.
“Sayang, Mas berangkat dulu ya.” Suara Mas Devan membuatku menoleh.
Dia langsung memeluk Mbak Ajeng dan mereka berciuman dengan cukup mesra. Sesekali Mbak Ajeng menggoda Mas Devan dan mereka cekikan bersama. Aku mendesah jengah saat melihatnya.
“Kamu itu kalau pakai baju yang bener to, Nduk.” Ibu mengancingkan sweaterku yang kubiarkan dua kancing atasnya terbuka. “Kabari kalau sudah sampai Semarang.”
“Ya, Bu.”
“Yuk, Dek.” Tanpa meminta izin, Mas Devan langsung meraih tasku dan diletakkan ke bagasi mobil.
“Aku berangkat dulu, Bu, Mbak Ajeng.” Aku bergantian pamitan dengan Mbak Ajeng dan Ibu.”
“Hati-hati, Nduk,” kata ibu sambil memelukku erat.
Aku segera naik mobil dan Mas Devan melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Hening beberapa saat menyelimuti kami. Hingga aku memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
“Makasih, ya Mas udah mau nganterin aku,” ucapku.
“Nggak nganterin. Kebetulan Mas juga mau ke semarang, kamu bareng aja,” ucap Mas Devan.
“Bener juga.” Aku terkekeh.
“Oh ya, kamu kerja di Velove hotel ya?” tanya Mas Devan.
“Iya, Mas. Kenapa?”
“Besok acara seminar Mas juga di sana.”
“Oh iya?” Aku memastikan sambil mengingat event darimana besok. “Ah, besok ada event dari PIP ya?”
“Iya.” Mas Devan kembali tersenyum. Ah, ingin rasanya aku membungkam bibir Mas Devan agar tidak tersenyum. Pesonanya benar-benar membuatku meleleh.
“Wah, besok ketemu aku lagi dong,” celetukku.
“Tentu dong.” Mas Devan terlihat sangat ramah. Selama perjalanan dia tidak membiarkanku bosan. "Kamu udah punya pacar?”
"Nggak punya, Mas. JombIo,” jawabku. "Kebanyakan cowok suka cewek kalem kayak Mbak Ajeng.”
"Masa’? Bukannya banyak yang suka cewek pemberani kayak kamu ya? Lebih menantang.” Mas Devan sesekali melirikku dan kembali memerhatikan jalanan di depan.
“Kalau mas Devan lebih suka cewek yang gimana?””
"Hm.”
"Ah, ya pasti suka cewek kayak Mbak Ajenglah. Gimana sih, aku ini,” potongku sambil tertawa. Lalu Mas Devan ikut terkekeh.
"Kamu cantik, Num. Jangan khawatir, pasti nanti punya pacar juga,” tutur Mas Devan yang membuat pipiku merona.
Kami membahas banyak hal. Bahkan orang yang lewat di depan kami pun tidak lolos dari topik pembicaraan. Setidaknya mengobrol dengan Mas Devan berhasil sedikit meluruhkan sakit hatiku dari penolakan Topan.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Aku menaiki lift ke kafe rooftop untuk mencari Mas Devan. Waitres yang berjaga tadi bilang beberapa rombongan naik ke rooftop setelah acara selesai.
Aku memanjangkan leher untuk mencari Mas Devan. Cukup lama karena banyak orang yang sedang menikmati minuman alkohol di sana. Hingga tidak lama kemudian aku melihat Mas Devan tergelak di meja bar sambil memeluk botol vodka yang sudah kosong.
“Mas Devan!” panggilku seraya menghampirinya.
Suara musik yang memekakan telinga membuat panggilanku menguar begitu saja. Aku mencoba memanggilnya sekali lagi. Kali ini sambil menggoyangkan tubuhnya.
“Mas Devan! Mas!” panggilku.
“Ah habis! Mau lagi tambah!” racau Mas Devan kepada bartender.
“Nggak! Cukup mas!” ucapku seraya mengambil sloki dari tangannya. Kunci kamar yang terlihat mengintip di saku kemejanya lantas aku ambil.
Dengan bersusah payah, aku mengalungkan lengannya di pundakku. Kemudian membawanya ke dalam kamar sambil tergopoh-gopoh. Aku cukup kesulitan membawa tubuh Mas Devan yang tegap dan besar itu.
“Mau kemana?” Dia masih meracau. “Aku mau minum lagi.”
“Mbak Ajeng kalau lihat Mas kayak gini bisa ngamuk dia,” ucapku sambil berjalan tertatih membawanya melewati lorong kamar hotel.
“Ajeng.” Mas Devan terkekeh. “Dia istri yang baik….”
Aku mengernyit mendengar ucapan Mas Devan. Bahkan dalam keadaan mabuk pun, Mbak Ajeng masih terlihat baik dalam ingatan Mas Devan.
“Tapi membosankan,” tambahnya yang tidak menarik perhatianku. Aku terlalu sibuk menopang tubuh mas Devan.
Aku berhenti sejenak, dan melihat ke kanan kiri nomor kamar yang sesuai dengan kartu.
“Ah ini dia,” ucapku seraya berjalan tertatih menuju ke pintu.
Buru-buru aku berjalan ke ranjang lalu melemparkan tubuh Mas Devan ke sana. “Hah!”
Aku mengembuskan napas kasar saat berhasil meletakkan tubuh Mas Devan. Lantas menyeka keringat di kening.
“Astaga, berat juga kamu, Mas,” ucapku.
“Ah.” Seperti kehilangan kesadaran, Mas Devan melepaskan satu per satu kancing kemejanya. Mungkin itu disebabkan rasa panas dari alkohol.
“Eh, Mas ngapain? Jangan dilepas bajunya,” larangku yang berakhir sia-sia.
Kini dada Mas Devan terekspos. Pahatan otot di perutnya terlihat jelas. Datar dan mempesona. Hingga aku meneguk ludah untuk kesekian kalinya. Aku berniat pergi, tetapi Mas Devan menarikku hingga aku terjatuh di ranjang dan menindihnya.
“Ajeng,” panggilnya. “Ayo coba gaya yang baru,” ajaknya.
“Aku bukan Ajeng, Mas. Aku Hanum,” elakku.
Mas Devan tidak peduli dengan ucapanku. Hingga kemudian dia membuka celananya dan aku terkejut dengan sesuatu yang menonjol dari dalam sana.
“Ayo, kita coba doggy style,” ucapnya yang berhasil membuat adrenalinku memuncak.
Dulu aku ingin mencoba gaya itu, tetapi mantan pacarku selalu menolak. Kami hanya memakai gaya misionaris yang menurutku membosankan.
“Ayo, Sayang,” ajak Mas Devan yang tiba-tiba meraup wajahku dan mengecup bibirku dengan mesra. Dia juga memainkan lidahnya di dalam mulutku.
Aku tidak kuasa untuk menolaknya. Rasa hangat dan basah langsung menyelimuti bibirku secara keseluruhan. Aku terbuai dengan kuluman Mas Devan.
Dengan sukarela aku membalas kecupannya. Kumainkan lidahku di mulut Mas Devan dan ciuman kami berubah menjadi brutal. Semakin lama semakin cepat dengan ritme yang brutal. Nafsuku ikut meninggi ketika tangan Mas Devan menggerayangiku.
Tangannya meraba dan menyelinap masuk ke dalam kausku. Menggerayangi punggung dan melepaskan kaitan braku dalam sekali coba.
Aku melepaskan kecupan kami hingga membentuk benang saliva. Kemudian mencoba mengatur napas yang terengah. Aku dan Mas Devan saling bertatapan cukup lama.
“Aku bukan Mbak Ajeng, Mas. Tapi Hanum,” kataku.
“Hanum?” Mas Devan menyebut namaku lalu terkekeh kemudian. Dia meraba wajahku. “Hanum sekarang sudah besar, makin cantik. Teteknya juga besar, bikin nafsu.”
Pujian nakal Mas Devan membuatku tersanjung. Entah mengapa aku sudah tidak bisa berpikir waras.
“Oh ya? Mas suka?” tanyaku sambil menggigit bibir.
“Suka,” jawabnya. “Pengen ngisep.”
Spontan tanganku melepaskan kaos. Kemudian duduk di atas Mas Devan dengan ekspresi nakal. Bra warna merah favorit, aku tanggalkan dan buang sembarangan. Payudaraku seketika memantul ketika bra penopangnya terlepas.
“Nggak apa-apa, Num. Cuma sekali aja,” bisikan setan itu menguasai telingaku.
“Wow, gede banget,” pujinya sambil meremas payudaraku.
Tubuhku menggeliat ketika jari Mas Devan memainkan puting. Memutarnya dengan semena-mena. Sesekali memijat dan memutar secara bergantian.
“Oh, Dek Hanum. Kamu seksi banget, bikin ngaceng,” ucapnya terus memijat kedua payudaraku.
“Ayo, Mas,” ucapku dengan nada erotis.
“Apa?” tanyanya.
“Kita coba doggy style,” ucapku spontan tanpa terlintas sedikitpun status Mas Devan yang masih menjadi suami Mbak Ajeng.
“Sekali aja, Hanum. Cuma sekali aja kok, nggak apa-apa,” kataku dalam hati.
TO BE CONTINUED….
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro