Call me, Daddy (4)
Ah!” Sontak aku melenguh ketika Pak Dewangga meremas payudaraku dan mencium bibirku dalam sekali waktu.
“Ha? Kamu sengaja menggoda Om ya?” tanyanya sambil menjilati leher dan belakang telingaku secara bergantian.
“Oh, Om!” Aku terus melenguh ketika lidah Pak Dewangga tidak berhenti menjilat inci demi inci leher dan sekarang turun ke bawah hingga dada.
“Jawab, El. Kamu sengaja menggoda Om ya?” Pak Dewangga menatapku dari bawah sebelum memainkan lidahnya di puncak putingku.
“Iya, Om,” jawabku sambil terus melenguh.
“Nakal kamu ya.” Pak Dewangga menyusu dengan kuat, seperti bayi yang kehausan.
Aku membiarkannya sambil terus bergelinjang penuh kenikmatan. Sesekali aku melihat ke bawah, mengamati Pak Dewangga yang tidak berhenti menghisap dan memijat payudaraku.
“Om Dewa, oh!” Jantungku seolah meloncat dari tempatnya ketika Pak Dewangga berhenti menyusu tetapi tetap memilin putingku dengan semena-mena.
Dia menatapku sambil terengah-engah. “Wanita secantik kamu, nggak pantes buat disakiti, El.”
Aku hanya bisa terdiam sambil mengelus wajah Pak Dewangga yang entah mengapa berkali lipat lebih tampan saat berada di atasku seperti ini.
“Kalau sama Om Dewa, bakal nyakitin aku juga nggak?” tanyaku seraya mengelus pipi Pak Dewangga yang ditumbuhi rambut tipis.
“Nggak akan. Aku cuma akan menyakitimu dalam hal lain,” jawabnya dengan tatapan tajam.
“Contohnya?” tanyaku dengan suara selembut mungkin.
“Kayak gini.” Tangan Pak Dewangga kembali memilin putingku.
Rasa merinding seketika menguasai tubuhku. Aku tidak bisa menahan gairah yang meronta di dalam tubuh.
“Ahhh,” desah ku panjang.
“Kenapa, El. Sakit? Ha?”
“Nggak, Om. Aku mau lagi, ini enak.”
Pak Dewangga mengecup bibirku dengan mesra, kali ini cukup lama.
Lalu membuka pahaku perlahan. Jemarinya bermain di bibir vaginaku. Membelai lembut seolah mencari klitoris yang tersembunyi di bagian paling atas.
“Ahhhhh!” Tubuhku menggeliat saat jemari Pak Dewangga dengan lembut bermain di vagina. Keluar masuk dengan ritme yang pas.
“Becek banget,” bisik Pak Dewangga.
“Om suka?” tanyaku.
“Suka banget, bikin nggak sabar.” Lantas Pak Dewangga tidak berhenti mengocok vaginaku. Keluar masuk dengan ritme yang semakin cepat.
“Om, oh!” Aku mendesah keras.
Suara becek di bawah sana semakin membuat tubuhku bergairah. Punggungku melengkung ke atas ketika dengan tiba-tiba Pak Dewangga menghisap putingku.
Hisapannya kuat beriringan dengan gerakan tangannya yang keluar masuk di dalam vagina dengan sangat ahli. Aku tahu Pak Dewangga sangat mahir dalam hal memuaskan wanita.
“Om terus! Ah!” Aku sudah hilang akal merasakan tubuhku melayang dan kedua pahaku bergetar karena sentuhan Pak Dewangga.
“Om, Oh! Aku mau pipis!“ teriakku.
“Keluarkan, El.”
Kakiku mengejan beberapa saat kemudian. Rasanya tubuhku melayang ringan setelah mengeluarkan cairan kenikmatan.
“Manisnya,” ucap Pak Dewangga seraya mengecup keningku. Setelah itu dia menjilati jarinya yang dipenuhi oleh cairanku.
“Om udah?” tanyaku karena melihat milik Pak Dewangga terlihat menonjol dari balik celana.
“Emang boleh?” Pak Dewangga berbalik meminta izin.
Aku hanya mengangguk malu sambil menyembunyikan wajahku. Sementara Pak Dewangga tersenyum miring dan melepaskan celananya.
Aku mengintip sedikit dan takjub melihat penis Pak Dewangga yang besar, berotot dan panjang.
“Kenapa? Punya Niko nggak sebesar ini?” tanyanya spontan.
“Nggak,” jawabku jujur.
Pak Dewangga tertawa. “Mau diapain kontol, Om. Ha?” tanyanya seraya memainkan kepala penisnya di bibir vaginaku.
“Ah, mau dimasukin,” jawabku tanpa basa-basi.
“Pengen dimasukin? Iya?” Pak Dewangga langsung mengangkat kedua kakiku di pundaknya. Dia masih menggesekkan penisnya di bibir vagina dan perlahan melesakkan ke dalam.
“Oh, Om!” erangku.
“Ini pelan-pelan, El.”
“Ah!” Aku berteriak ketika penis berotot Pak Dewangga melesak ke dalam.
“Oh Elea, sempit banget,” ucap Pak Dewangga sambil memejamkan kedua matanya.
Aku ikut memejamkan mataku dan menikmati gerakan pinggul Pak Dewangga. Keluar masuk perlahan hingga penisnya memenuhi liangku.
Tangan Pak Dewangga pun tidak tinggal diam. Terus memilin putingku dan sesekali menjilatinya.
“Oh, Om! Terus, Om! Ah!”
“Sakit, El?” tanya Pak Dewangga sambil terus menggoyangkan pinggulnya.
“Ta-tapi enak. Ah!”
“Enak! Memekmu suka dimasukin kontolnya, Om ya?” Pak Dewangga terus menghujam vaginaku hingga terasa perih.
“Su…kaaaa. Ahhhh!“ Aku kembali mendesah panjang.
Tubuhku menggeliat tidak karuan dengan sentuhan yang diberikan Pak Dewangga. Jarinya yang memilin, penis yang terus menghentak, dan lidah yang sesekali menjilat tubuhku membuat bulu kuduk meremang serentak.
“Oh! Om mau keluar El!”
“Ahhh! Lebih cepet Om! oh!”
Pak Dewangga semakin mempercepat gerakannya sambil memijat payudaraku.
“Oh Om Dewa!”
“Yes, El! Sebut nama Om!”
“Om! Oh!”
“Yes, Elea!”
“Ah! Om! Terus!”
“Oh Elea!”
Desahan serta erangan kami bersatu dalam heningnya malam. Seolah kamu tidak peduli dengan penghuni lain di dalam villa. Pak Dewangga terus menggenjot ku di atas sofa itu.
“Om a-aku mau keluar lagi,” ucapku terbata.
“Keluarkan, Elea. Nanti Om jilatin cairan kamu,” ucap Pak Dewangga dengan nada erotis.
“Argh!!!” Aku meremas lengan berotot Pak Dewangga untuk menyambut pelepasanku.
Kemudian Pak Dewangga mengeluarkan penis dan mengocoknya.
“Ah!” desahnya sambil menengadahkan kepala dan cairan putih bening memenuhi genggamannya.
Dengan segera Pak Dewangga berlari ke dalam kamar mandi. Sementara aku mengatur napas dan menarik bajuku ke atas yang sudah mengumpul di perut.
Aku tidak menyangka akan bercinta dengan Pak Dewangga, ayah dari Niko, mantan kekasihku. Tetapi, permainan tadi sangatlah membuat candu. Dulu Niko tidak bisa memuaskanku. Aku selalu orgasme palsu untuk menyenangkan hatinya.
“Mau tidur di sini?” Pak Dewangga menawarkan. Sekarang dia hanya mengenakan celana pendek dan membiarkan tubuh gagahnya terekspos.
Sungguh aku tidak melihat perut buncit khas orang tua di tubuh Pak Dewangga. Perutnya sangat keras karena pahatan otot. Dia benar-benar menjaga kesehatan dan terlihat tetap bugar di usia nyaris setengah abad itu.
“Tapi besok harus berangkat pagi, Om,” jawabku.
“Justru itu, tidur sini. Besok subuh baru balik ke kamarmu ya,” pintanya sambil mencium pundakku. “Mau?”
Aku mengangguk pasrah.
Lalu tanpa permisi, Pak Dewangga membopongku untuk dibawa ke atas ranjang. Meletakkan ku dengan sangat hati-hati.
“Sakit ya tadi?” tanyanya sambil menyelimutiku.
Aku merangsek ke dalam pelukannya. Ku hidup aroma parfum musk yang beberapa hari ini menjadi favoritku.
“Sedikit.”
“Ya udah besok enggak lagi,” goda Pak Dewangga.
“Ish apaan sih, Om ini.” Aku mendengus sambil mencubit dadanya.
“Elea… Elea… kenapa nggak dari dulu sih kamu menyadari keberadaan, Om.” Ucapan Pak Dewangga sontak membuatku terdiam.
Aku mendongak dan menatapnya dalam-dalam. “Maksud Om?“
TO BE CONTINUED….
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro