Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Call me, Daddy! (1)

Aku duduk termangu, menatap layar komputer yang kosong. Pikiranku terus berputar pada satu kejadian yang menghancurkan segalanya. Aku melihat Niko berciuman dengan sahabatku. Mereka bahkan tidak peduli aku melihat mereka di parkiran kost tadi pagi. Setelah tertangkap basah, bukannya meminta maaf, Niko justru memutuskan hubungan kami dengan enteng, seolah satu tahun yang kami habiskan bersama tidak ada artinya.  

“Elea, aku nggak mau pura-pura lagi. Aku lebih nyaman sama Rania,” ucapnya tanpa sedikitpun rasa bersalah.  

Kalimat itu menghantamku seperti gelombang besar, membuat dadaku sesak hingga kini. Bagaimana bisa dia menghianatiku dengan seseorang yang kuanggap keluarga?  

“Brengsek!” umpatku pelan, menghentak meja dengan keras.  

“Brengsek? Saya?” Suara berat dan formal membuatku tersentak. 

Segera aku mendongak dan menemukan Pak Dewangga, direktur utama, berdiri di depan kubikelku. Wajahnya yang tegas dan dingin menatapku tajam, alisnya sedikit terangkat.  

“S-selamat siang, Pak Dewangga,” jawabku gugup, mencoba mengatur napas.  

Aku langsung berdiri dengan kikuk. Berusaha merangkai kata untuk meluruskan kesalahpahaman. 

Pak Dewangga mendekat, melipat tangan di depan dada. “Saya baru tiba untuk rapat pembukaan hotel baru di Yogyakarta dan sudah mendapatkan sambutan yang di luar dugaan.” 

“M-maaf, Pak. Saya tidak bermaksud mengatai bapak seperti itu,” ucapku sambil menunduk. Jangan sampai karirku ikut remuk redam setelah kisah cintaku hancur.  

Suara sepatu Pak Dewangga terdengar mendekat. Aroma musk yang tajam seketika mengusik hidungku. 

“Kamu junior sekretaris, bukan? Kalau tidak salah, namamu Elea.”  

Aku mengangguk cepat sambil melirik ke arah Pak Dewangga. “Betul, Pak.”  

“Bagus. Rapat akan dimulai sepuluh menit lagi. Pastikan semua materi sudah siap. Dan... jaga sikapmu. Umpatan tidak profesional, apalagi di ruang kerja,” katanya datar, sebelum berlalu dengan langkah pasti.  

“Maafkan saya, Pak. Saya tidak akan mengulanginya lagi,” kataku sambil tetap menundukkan kepala dan melipat kedua tangan di depan paha. 

Pak Dewangga tidak membalas. Dia langsung melenggang pergi menuju ke dalam ruang meeting. Beberapa staf petinggi hotel Widjaja grup membuntutinya. 

“Elea! Kamu itu kok sembrono banget sih.” Suara Mbak Maya mengalihkan pandanganku dari Pak Dewangga. 

“Maaf, Mbak,” ucapku sekali lagi kepada Project manager berkacamata tebal itu. 

“Inget, kamu itu masih masa probation.” Mbak Maya kembali mengingatkan posisiku. “Cepet ke ruangan meeting sekarang!” 

“Ba-baik, Mbak.” 

Aku menelan ludah, menahan malu yang membakar wajahku. Namun, kemarahan terhadap Niko membuat semua terasa bercampur aduk.  

“Hah!” Aku mengembuskan napas kasar. Berusaha membuang semua hal tentang Niko yang meracau pikiran. Buru-buru aku mempersiapkan laporan yang akan dibahas hari ini ke ruangan meeting. 

Aku duduk di kursi dekat dengan Pak Dewangga. Berusaha untuk fokus pada materi rapat hari ini. Widjaja grup akan kembali membuka hotel di daerah Gunung kidul dengan konsep seperti Vila di Santorini dengan memanfaatkan panorama pantai yang indah. 

Aku cukup beruntung bisa diterima bekerja di hotel yang memiliki reputasi baik dan terkenal ini setelah lulus kuliah. 

“Baik, saya akan memulai rapat terkait rencana grand opening Hotel W di Gunung kidul yang akan dilaksanakan minggu depan.” Suara Mbak Maya dalam microphone langsung menggema. 

Aku menunduk sambil memainkan pena di tangan. Meskipun aku sudah berusaha, fokusku tidak ada di presentasi yang diberikan tim marketing, melainkan pada bayangan wajah Niko dan Rania. 

Tangan Niko yang dulu hanya untuk membelai ku, sekarang digunakan untuk membelai pipi Rania. Bibir yang dulu hanya untuk mengecup setiap inci tubuhku sekarang juga menyesap bibir Rania. Sungguh, aku tidak bisa menerima semua itu. 

Bahkan semua yang sudah kuberikan untuk Niko tidak ada artinya. Dia lebih memilih Rania dan membuangku seperti sampah. Benar-benar habis manis sepah dibuang. 

Aku merasa sangat bodoh dan tidak terima dengan perlakuan Niko. Dia harus merasakan apa yang kurasakan saat ini. 

“Elea!” 

“Elea!” Suara keras Pak Dewangga membuatku tersentak. Seluruh mata di ruangan menatapku.  

“Ya, Pak?”  

“Bisa kamu ulangi poin terakhir dari presentasi tadi?”  

Aku terdiam. Sama sekali tidak mendengar apa yang dibicarakan.  

Mataku mengedar ke arah peserta rapat yang menatapku dengan tajam. Seolah mereka sedang menghakimi ku. Lalu aku menelan saliva seraya menatap ke LCD yang menampilkan foto hotel W tanpa tulisan. Aku berusaha mencari petunjuk di foto tersebut. 

“E… untuk pembu…kaan.” Aku melirik ke arah Pak Dewangga yang duduk sambil bersedekap dan tetap mengawasi ku dengan iris cokelatnya yang tajam. 

Pak Dewangga mendesah panjang, lalu menatapku dengan dingin. “Jika kamu tidak ingin kehilangan pekerjaan ini, ikut saya ke Yogyakarta selama satu bulan. Anda akan membantu dalam proses pembukaan hotel baru di sana.” 

“Sa-satu bulan, Pak?” Aku mencoba memastikan. 

“Apa saya harus mengulanginya lagi?” Pak Dewangga meluruskan duduknya lalu sedikit mencondongkan tubuh ke arahku. 

Aku bisa melihat dengan jelas alis tebal serta mata elang yang kerap dibicarakan para senior di kantor. Pantas saja mereka tergila-gila dengan paras Pak Dewangga yang mempesona. 

“Elea!” Mbak Maya yang ternyata sudah kembali duduk di sebelah menyenggol lenganku. 

“Kamu bisa menolak kalau tidak mau melanjutkan masa probation di sini,” tambah Pak Dewangga yang kemudian melemparkan tatapannya kepada tim Marketing yang sedang presentasi. “Lanjutkan.” 

Kata-katanya seperti palu yang menghantam kepalaku. Dalam masa probation sebagai junior sekretaris, aku tidak memiliki pilihan. “Baik, Pak,” jawabku pelan.  

Pak Dewangga tidak membalas ucapanku hanya melirik tajam lalu tatapannya tertuju lurus pada layar LCD. 

*** 

“Hari ini bener-bener kacau!” erangku sambil mengoyak rambut. 

Kemudian aku menyesap teh hijau hangat di depanku, mencoba menenangkan diri. Di seberang meja, Gendhis menatapku penuh perhatian.  

“Jadi, Niko bener-bener selingkuh sama Rania?” tanyanya, memecah keheningan.  

Aku mengangguk pelan, air mata hampir tumpah lagi. “Dan dia putusin aku kayak nggak ada apa-apa. Satu tahun, Gendhis. Satu tahun aku buang percuma.”  

Gendhis menggeleng, mengepalkan tangan dan menggebrak meja. Sontak aku langsung terjingkat.  

“Cowok nggak tahu diri!” ucap Gendhis dengan kesal. 

“Aku nyaris kehilangan pekerjaan karena si Niko brengsek itu!” ucapku dengan nada menyedihkan. 

“Kamu terlalu baik buat dia, El.” Gendhis dengan iba mengelus tanganku, berusaha untuk menenangkan. “Terus, soal kerjaan, kenapa Pak Dewangga tiba-tiba nyuruh kamu ikut ke Jogja?”  

Aku mendesah berat. “Gara-gara aku nggak fokus di meeting tadi. Dia bilang aku harus ikut buat belajar profesionalisme.”  

Gendhis tertawa kecil, mencoba meringankan suasana. “Kamu tahu, El, sikap Niko itu sama menyebalkannya kayak ayahnya, eh, maksudku... kayak Pak Dewangga.”  

Aku hanya bisa mendesah panjang dan tidak bisa mengelak. Hari ini Pak Dewangga memang sama menyebalkannya seperti sang putra, Niko. 

“Dingin dan otoriter,” tambah Gendhis seraya menyesap mojitonya. “Cuma lebih cakep bos kamu aja. Gambaran pria-pria overcook.” 

Aku terdiam. Memang ada benarnya, tapi aku tidak ingin mengakuinya. 

Pertama kali bertemu Pak Dewangga ketika aku dan Niko makan di sebuah restoran pasta. Itu pun kami tidak sengaja bertemu. 

Aku ingat betul, saat itu Pak Dewangga mengenakan kemeja putih tanpa dasi dengan tambahan jas hitam melekuk tubuhnya yang gagah. Tiga kancing atas yang terbuka seolah memudarkan usia Pak Dewangga. Uban yang beberapa helai menghiasi rambut tidak membuatnya terlihat tua. Justru semakin memesona dengan brewok tipis yang menutupi sebagian wajah. Apalagi aroma musk yang sangat memanjakan hidung. 

Siapa sangka pria itu adalah ayah dari kekasihku. Ah, ralat! Maksudnya mantan kekasihku yang berusia 23 tahun. 

Gendhis mendekatkan diri, senyum jahil tersungging di bibirnya. “Dengerin aku. Daripada kamu nangis meratapi nasib, mending kamu balas dendam.” 

“Balas dendam?” Aku langsung melemparkan wajah ke arah Gendhis. “Balas dendam seperti apa?” 

“Pacarin Pak Dewangga aja. Itu bakal bikin Niko menyesal seumur hidup,” kata Gendhis dengan enteng. 

Aku melongo, tidak percaya dengan usulan gilanya. “Gendhis, kamu gila?”  

“Tapi seru kan? Dia direktur utama, ganteng, dan yang jelas, bakal bikin Niko minder. Anggap aja misi balas dendam yang manis.”  

“Tapi dia papanya Niko, Gendhis!” Aku masih tersentak dengan ide Gendhis yang tidak masuk akal.

“Justru itu. Niko akan merasakan sakit hati yang lebih dalam,” tandas Gendhis. 

“Nggak! Itu nggak mungkin aku lakuin.” Aku menggeleng kemudian menyesap minumanku hingga tandas. 

“Why not, El?” Gendhis kembali mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Dengerin, Pak Dewangga duda. He is free. Apa yang salah dengan memacari duda tampan kaya raya?” 

“Tapi ini salah, Gendhis.” Aku masih mengelak ide gila Gendhis. 

“Apa yang salah, Elea? Kamu nggak melakukan tindakan yang menyalahi aturan kok. Memacari duda tampan itu legal, El,” terang Gendhis. “Just trust me, and thank me later.” 

Aku masih menggeleng, meski hatiku sedikit tergelitik oleh idenya. Memacari Pak Dewangga? Tidak mungkin!  Namun, bagian kecil dari diriku tidak bisa mengabaikan sensasi penasaran yang muncul. Pun membayangkan wajah Niko yang tersakiti membuatku merasa ada kepuasan tersendiri. Cara Niko membuangku seperti sampah sangat menyakitkan. Haruskah aku mencoba cara balas dendam ini? 

TO BE CONTINUED…. 

Ada yang mau tebak bab selanjutnya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro