Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode #4: Apakah dia Wingga?

Alana

"Alana!" Roger memanggilku sambil berlari ke arahku hanya beberapa saat setelah aku berpamitan pergi.

Aku berhenti dari langkahku mengikuti Wingga, dan berbalik menatap Roger dengan penuh tanda tanya. "Kenapa?" tanyaku kesal karena dia mengganggu momen-momen berhargaku berburu foto Wingga.

Roger mengulurkan tas Sony Alpha-ku yang mungkin tadi terjatuh dan aku tidak menyadarinya. "Jangan terlalu fokus, nanti lukanya nambah-nambah lho," ujarnya sambil mengerling ke lututku yang masih dibalut kain kasa akibat tragedi bokong motor Honda tadi pagi. Entah dia tahu darimana aku mendapatkan luka itu akibat terlalu fokus menatap seseorang.

Aku nyengir lebar menatapnya. "Thank youu partner!" aku menepuk bahu Roger keras-keras sampai dia mengaduh, lalu mengedarkan pandanganku mencari lokasi Wingga. Saat aku sudah menangkap sosoknya, aku kembali menatap Roger sambil nyengir lebih lebar. "Pergi duluan ya! Bhay!"

Roger membalas lambaian tanganku sambil tersenyum lebih lebar dariku sampai terlihat gigi-gigi putihnya.

Apakah luka yang dimaksud Roger hanya abrasi di lutut ini? (Wow, sekarang aku menggunakan kosa-kata abrasi! *Plak!). Sepertinya lebih dari itu. Roger berkali-kali mengingatkanku untuk tidak terlalu totalitas dalam mencintai seseorang. Yah, dia melihat aku terlalu menyukai Wingga, terlalu bersemangat tentang segala tentangnya, terlalu berbinar-binar, dan terlalu-terlalu lainnya yang aku tidak pernah memperdulikannya.

Tapi Roger memang sahabat yang sangat baik yang mengingatkanku agar tidak terlalu terluka ketika nanti tiba-tiba Wingga punya pacar, yang tentu saja bukan aku. Dan aku selalu menjadi sahabat yang tidak baik dengan hanya menanggapi nasehatnya dengan senyuman.

Akibat tertahan oleh skuad cowok-cowok klub fotografi, aku tidak mendapatkan banyak foto sepanjang perjalanan menuju perpustakaan. Alhasil, kini aku akan mengikutinya masuk ke perpustakaan, meskipun yang aku lakukan nanti justru membaca komik atau membuat sketsa-sketsa nggak jelas.

"Ngapain hari pertama sekolah udah ke perpus?" tanya Denier, sepupu cowok yang tinggal serumah denganku saat berpapasan denganku di pintu perpustakaan.

"Lo juga ngapain?" balasku tak kalah sinis dari ucapannya.

"Suka-suka gue dong," ujarnya sambil berlalu pergi dengan muka tanpa ekspresi.

Tidak perlu kaget, Denier, sepupu cowok yang seumuran denganku itu memang cenderung tidak akur denganku. Yah, menurutku dia agak weird, selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Hanya antara dia, COC, Dota 2, dan segala macam game yang aku tidak tahu namanya.

Dan mungkin dia juga menganggap aku ini weird juga, salah satunya yang masih aku ingat sampai sekarang adalah scene saat aku excited sekali memotret sekawanan kunang-kunang di halaman depan rumah dari berbagai sudut sampai tersungkur di rumput. Itu adalah hari pertama aku menginjakkan kaki di rumah sini, setelah sejak lahir aku tinggal di Jakarta bersama Mama. Denier tertawa singkat. Sangat singkat mungkin sampai yang terdengar hanya suaranya yang tertahan, "Huk, huk".

Itu terdengar semacam tawa sinis dengan ucapan: "Ngapain melakukan hal yang nggak jelas seperti itu? Over excited hanya karena sekawanan kunang-kunang?"

Hey, berapa puluh tahun sekali sih ada kunang-kunang lewat di Jakarta? Tentu saja aku excited saking nggak pernahnya ada pemandangan seperti itu di ibu kota. Mau berharap apa, ada sekawanan kunang-kunang tiba-tiba lewat di depanmu saat kamu di atas motor abang Gojek di Jakarta? Kalau sampai aku pernah menemukannya, bisa sujud syukur mungkin aku.

Oh, sorry kalau agak lebay. Tapi intinya memang aku tidak pernah sekalipun berkomunikasi dengan baik dan benar kalau berurusan dengan Denier. Jadi, whatever dia mau ke perpus, mau loncat dari pagar sekolah ke pagar rumah (rumah kami tepat di samping sekolah), mau jatuh jungkir balik, aku mungkin hanya akan melakukan hal yang sama. Tertawa sangat singkat dengan bunyi: "Huk, huk."

Aku segera duduk di meja nomor delapan seperti biasa. Sementara Wingga sudah lebih dulu duduk di meja nomor sembilan dengan laptop menyala. Di mejanya terbuka beberapa buku tebal-tebal berbahasa inggris yang mungkin aku akan menyerah duluan kalau disuruh membacanya. Aku sudah pernah bilang kan, kalau semakin dia berpikir, semakin dia tampak lebih ganteng berkali-kali lipat. Apalagi kalau aku berhasil menangkap siluet sunset dari balkon yang ada di sampingnya. Aku akan menunggu di meja nomor delapan sampai momen itu datang.

Sebelum membuka komik, setidaknya aku ingin terlihat benar-benar belajar di perpustakaan meskipun di hari pertama masuk sekolah. Jadi, aku mengambil buku ekonomi dari rak social science dan membawanya ke mejaku. Hanya mampu membaca penjelasan tentang reksadana sekitar lima belas menit, aku sudah tergoda untuk membuka akun Instagram. Ah, social media memang menjadi godaan utama. Hasrat kepo manusia terhadap manusia lain memang butuh tersalurkan sih.

Postingan pertama yang muncul adalah wefie dari teman-teman cowok skuad klub fotografi yang tadi meet up di taman depan kelas IPA. Caption mereka: ready for achromats hunting! Aku baru ingat kalau weekend ini memang ada hunting klub dengan tema hitam-putih. Semua foto yang kita ambil seolah-olah kita adalah orang dengan achromatopsia.

Sebenarnya, tanpa ada hunting foto hitam-putih pun aku suka foto dengan tone itu. Aku membuka kameraku untuk melihat hasil jepretanku hari ini. Tertangkap oleh kameraku, Wingga sedang mengobrol dengan Wimo, teman satu klub Olim-nya. Entah kenapa ekspresi Wingga tampak tidak seceria biasanya. Sepanjang yang kuketahui, Wimo adalah sahabat sekaligus partner terbaiknya. Aneh juga dia tidak duduk bersama Wimo di meja nomor sembilan itu hari ini.

Dering telepon dari handphone-ku membuyarkan lamunanku tentang Wingga.

"Al! Dimana?"

"Perpus,"

"Temenin facial yuk. Weekend ini Mas Rasha kesini! Barusan banget bilangnya,"

"Aku nungguin momen sunset ini. Tidak bisa diganggu gugat!"

"Yaudah setelah sunset abis. How?"

"Jemput di sekolah ya,"

"Trus kamu pakai seragam gitu ke skincare-nya? Yang bener aja. Aku jemput di rumah, kamu ganti baju dulu!"

Lagi-lagi nasib menjadi sahabat orang yang punya pacar LDR. Begini kerjaannya, menjadi remah-remah yang hanya akan dibutuhkan ketika sang pacar tidak sedang main kesini. Giliran si Rasha ada disini aja, Jihan mana ada mau diajak pergi. Boro-boro facial, nemenin ke kantin di jam istirahat sekolah aja enggak.

Aku sahabat yang sangat mengenaskan? Tidak, belum. Kali ini bahkan lebih dari kata mengenaskan. Aku ketiduran! Crap! Aku melewatkan momen sunset dan baru bangun setelah langit benar-benar gelap. Sepertinya aku tidak diridhoi untuk mendapatkan foto yang bagus dengan objek seganteng Wingga hari ini.

Aku mengintip handphone-ku, 5 missed calls dari Jihan. Aku mengangkat teleponnya yang ke enam.

"Dimana? Udah di rumahmu nih,"

"Hah? Oke aku pulang, bentar,"

Aku sudah merapikan meja dan bersiap pulang saat tiba-tiba listrik perpustakaan padam. Atau lebih tepatnya listrik satu sekolah padam, karena mendadak semuanya gelap gulita. Reflek, aku berteriak kaget, tanganku mencengkeram ujung meja, dan mataku awas memandang berkeliling. Tapi tetap saja yang tampak bercahaya hanya bulan yang terlihat samar-samar di dekat balkon.

Kegelapan itu kemudian tidak membuatku ketakutan, saat aku mendapati bulan sabit dan bintang-bintang tampak sangat cantik dari jendela dekat balkon. Aku mengurungkan niatku untuk menyalakan senter yang ada di handphone-ku. Aku pun berjalan perlahan ke arah balkon. Aku hampir mengangkat tanganku mengambil kamera yang tergantung di leherku untuk menangkap momen ini saat tiba-tiba ada tangan yang tanpa sengaja menyentuh jemariku. Aku berteriak tertahan, kini benar-benar ketakutan. Tapi pemilik tangan itu tidak peduli kalau aku ketakutan sepertinya, karena tangan itu kemudian menggenggam tanganku erat-erat. Terlampau erat seolah dia sedang kesakitan.

"Kamu siapa?" tanyaku, berbalik menatap siluet seseorang yang sedang berdiri di depanku.

Aku membulatkan mataku untuk melihat lebih jelas. Ini meja nomor sembilan. Apakah dia Wingga?

. . .

To be continued.

Episode #4 ini seharusnya Wingga, tapi karena Alana terlalu cerewet, jadi bagiannya panjang sampai dibagi ke dua part seperti ini. Hehe jangan marahi saya, marah ke Alana aja yah. Haha

Gimana? Sampai sini penasaran nggak kelanjutannya?

Untuk episode #5 hari Jumat nanti, lebih penasaran mana?

1. Episode Alana: Apakah itu Wingga?

2. Episode Wingga: Tangan siapa itu?

3. Atau justru penasaran dengan asyiknya pertemanan Roger-Alana?

Vote salah satu, atau tambahin opsi lain juga boleh. See you at friday!

고맙습니다~


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro