Episode #33: Gue Nggak Peka?
If you're going to live in my head, pay some rent at least.
. . .
Wingga
Hari senin, pukul 3 sore, tepat 95 jam aku belum tidur. Tubuhku panas tinggi sejak kemarin, belum kunjung turun sampai sekarang. Sepertinya aku harus tidur hari ini. Malam ini semoga saja aku punya kekuatan lebih untuk tidur.
Sambil menunggu eksperimen di laboratorium, hari ini aku stalking ulang IG Alana Kenisha, berusaha mencari tahu apa yang pernah terjadi padanya sampai dia berkata begitu padaku di rooftop tempo hari. Aku tidak menemukan clue apapun dari postingan IG-nya. Karena aku tidak menemukan clue apapun di sana, kupikir mungkin di Facebook atau social media lain miliknya, bisa jadi ada petunjuk, ternyata juga tidak kutemukan clue apapun.
"Apa sebenarnya yang pernah terjadi sama dia?" gumamku sendiri, masih men-scroll akun Instagram-nya lagi.
Aku membuka satu foto yang hanya menampakkan bagian atas kepala Alana, mulai dari mata ke atas dengan rambutnya yang dia kuncir gelung tepat di atas kepala. Yang lucu adalah caption-nya.
If you're going to live in my head, pay some rent at least.
Dia bukan sedang membicarakan kutu rambut kan? Saking keponya, aku membuka komen orang-orang dan membacanya. Dia suka sama seseorang? Ah, orang itu terus menerus ada dipikirannya, makanya Alana bikin caption suruh dia bayar uang sewa? Anjir, bisa aja permainan katanya. Aku terkikik sendiri membacanya. Tapi siapa orang yang dia suka? Roger katanya bukan, siapa lagi cowok-cowok anak club fotografi itu ya?
Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu laboratorium. Pasti Alana, yang bakalan gangguin lagi.
"Wingga!" sahut suara yang ternyata milik Edo. Dia melambaikan tangan menyapaku dan masuk ke laboratorium Kimia. Arden membuntut di belakangnya.
"Lagi ngapain lo? Sibuk amat sih lo tiga hari nggak masuk kelas,"
Aku tertawa mendengar ucapan Edo. "Lagi nggak mood ke kelas gue, besok lah kalo nggak lusa gue ikut kelas,"
"Gue juga nggak mood kelas,"
"Mau ikutan gue nongkrong disini?"
"Anjir nongkrong? Dilihat darimana eksperimen di laboratorium sama dengan nongkrong, Ngga? Gue berasa lagi kelas kimia berabad-abad disini,"
Aku tertawa lagi. Sementara Arden menengok apa yang sedang kubuka di layar handphone-ku. "Lo stalking lagi akun Instagram Alana Kenisha?"
Aku segera mematikan layar handphone-ku. "Barusan buka kok ini tadi,"
"Nggak tahu kenapa, gue tuh yakin kalo lo itu Muse-nya Alana Kenisha,"
"Den, plis nggak usah bahas-bahas Muse lagi deh," ujarku melirik Arden yang memasang wajah berpikir keras.
"Gue penasaran. Si Alana ditanya juga nggak jawab mulu,"
Dahiku mengerut menatap Arden. "Kapan lo nanya ke Alana?"
"Kapan Do?" tanya Arden menatap Edo.
"Lupa gue males mikir. Beberapa hari yang lalu lah,"
"Ngapain lo nanya ke Alana? Lo nggak bilang gue yang nanya kan btw?"
"Nggak cuma bilang lo yang nanya, gue juga bilang detail kata-katanya yang gue omongin harus gue eja dari skenario yang ditulis sama Wingga,"
Kalau jawaban Arden sudah panjang begitu, tandanya dia sedang tidak serius. Aku meliriknya sinis lalu meninju lengannya perlahan, sambil berjalan menuju wastafel, mengambil beberapa tabung Erlenmeyer yang tadi sudah kucuci bersih, kini aku memasukkannya ke lemari dibawah wastafel.
Aku menatap tanganku yang mendadak terlihat tremor. Hanya sekilas, tapi aku bisa menyadarinya. Apakah ini efek aku belum tidur beberapa hari? Sepertinya iya.
"Tapi Ngga, kalo bener sesuai hipotesis gue, kalo lo Muse-nya si Alana Kenisha, lo bakalan gimana?" sahut Arden, masih tidak menyerah membahas Muse.
"Harus gimana emang gue? Ya nggak masalah sih. Ada orang yang terinspirasi dari gue, kan justru bagus," ujarku masih memperhatikan tanganku yang masih tremor. Kalau terus tremor begini mana bisa melanjutkan eksperimen kimia.
"Kalo bener lo Muse-nya Alana kan berarti dia suka sama lo Ngga. Gimana sih anak gold medal kok nggak peka,"
What? Alana suka sama gue? Aku menatap Arden yang bersungut-sungut terlalu bersemangat menyampaikan pendapatnya.
"Nggak mungkin Den, si Alana kan punya pacar, anak fotografi itu. Gimana sih lo, kudet banget," ujar Edo.
"Bukan pacarnya itu, dia nggak punya pacar kok katanya," sahutku menimpali gosip buatan Edo.
Edo menatapku kaget. "Sumpah? Yang fotografer itu bukan pacarnya?"
"Bukan. Udahlah, jangan terlalu banyak nggosip lo berdua, menyebarkan informasi ambigu mulu ah,"
"Berarti kemungkinan kalo lo Muse-nya Alana semakin besar Ngga," hipotesis konyol Arden semakin menguat.
Belum aku mengatakan tidak mungkin, Edo sudah lebih dahulu membuka mulut mengomel pada Arden. "Udahan dong Den! Lo bahas Muse mulu dari jaman baheula nggak kelar-kelar,"
"Itu menarik banget kan emang, Muse itu bisa jadi first love-nya seorang seniman, yang tidak akan pernah terlupakan selama hidupnya,"
"Udah Den jangan ngaco," ujarku sambil mencipratkan air ke arah Arden yang langsung tertawa keras. "Ini senin, bukannya lo berdua ada les di luar?"
"Oiya!" Edo segera menyambar ranselnya yang tadi dia letakkan di samping meja eksperimenku, lalu berjalan ke pintu laboratorium Kimia.
Arden pun bangkit dari kursi tempatnya duduk. Tidak menyusul Edo yang menunggunya di pintu, Arden justru berjalan mendekatiku. "Lo sendiri nggak punya Muse ya Ngga? Lo bukannya lagi deket sama Alana? Dia bukan Muse lo? Lo nggak ada rasa sama Alana?"
"Do! Selametin gue Do!" sahutku sambil tertawa, melangkah cepat menghindari Arden.
Edo tertawa terbahak-bahak, lalu menarik Arden keluar dari laboratorium Kimia. "Besok ketemu di kelas ya Ngga!" sahutnya berpamitan.
Muse? Alana suka sama gue, dan gue nggak peka? Hah. That's impossible kan? Ngapain Alana suka sama gue?
Anyway, tumben kok si Alana nggak nyamperin gue ke laboratorium hari ini. Kemarin dia bilang sampai ketemu hari ini. Tapi dia-nya nggak muncul-muncul.
Mendadak aku mengernyitkan dahi bingung dengan diriku sendiri. Bukankah itu bagus, jadi Alana tidak lagi mengorek tentang masalah lo Ngga. Kok malah nyariin dia? Sepertinya hanya semata karena baru kali ini ada orang yang sebegitu ikut campurnya dalam kehidupanku. Ataukah pertanyaan Arden itu mungkin jawabannya adalah ada? Kalau ada apa? Ah, cuma nyaman aja kayanya sama dia.
Tanpa kusadari, sepanjang sore itu aku menatap pintu laboratorium, entah kenapa, aku menunggu dia datang, tapi ternyata dia benar-benar tidak datang. Apakah dia sudah menyerah?
. . .
To be continued..
Halo gengs! Apa kabar? Hihi Alhamdulillah midterm aku udah selesai semalam. Mau sedikit curhat, beberapa hari ini aku tidur cuma dua jam tiga jam setiap hari gara-gara belajar sama ngejar deadline tulisan ini. Tidur habis subuh (jam 5an) sampai jam 8an dan langsung nge-lab lagi. Udah hampir ngalah-ngalahin Wingga aja ya? haha. Seringnya adalah udah melek gitu tapi buntu mau nulis apa. Sedih banget kalo udah kaya gitu >.< Itu yang terjadi semalem hahahah padahal deadline dari Bentang Pustaka udah di depan mata.
Aku mau berusaha upload semua episode ending-nya hari ini, slowly, but sure. Aku jedain upload-nya karena beda POV, jadi mendingan dipisahin aja part-nya kan?
Tungguin yaaa~ Next episode-nya: Alana!
Oiyaaaa, buat yang mau ikutan tebak-tebakan, masih bisa banget! Siapa tahu mau nambahin jawabannya sendiri abis baca episode ini atau episode selanjutnya. hihihi nanti malam aku umumin yaa yang menang~
Oiya, nanti di episode terakhir, cuap-cuap aku bakalan agak panjang ya~ hihihi
IG: fifi.alfiana Wattpad: fifi_alfiana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro