Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29 :: MEMULAI KEMBALI.

EKHEM. WKWK.

Jangan sedih jangan sedih karena nnti aku sedih juga wkwk.

Pastikan kamu bacot sepuas-puasnya sebelum kembali berbacot lagi setelah menunggu beberapa bulan💏

Bismillah dulu agar hati di kuatkan💏

🚐🚐🚐

"Jadi lo beneran nolak Kak Surya? Gila, lo sama aja menolak kesempatan emas, woi!"

Mily tidak memperdulikan perkataan Juwita, ia terus mengaduk-ngaduk mie instannya. Entah sudah berapa kali Juwita mengatakan itu, terus ingin terus memastikan, hingga Mily tidak bisa menghitungnya. Padahal, ia yang menolak dan ia sendiri juga yang akan menyesal, tetapi kenapa gadis itu yang greget sendiri?

"Otak lo di mana, sih, Mil?" ucap Juwita lagi membuat Mily menghela napas.

"Keputusan gue udah bulat, Ta." Mily akhirnya mengeluarkan suara setelah diam lama mendengar omelan Juwita.

"Keputusan lo itu adalah keputusan yang paling bodoh dan paling bikin naik darah!" kata Juwita sambil menggebrak meja. Mily tentu kaget, sampai-sampai mie instannya yang baru masuk ke dalam mulutnya langsung ditelan, belum sempat dikunyah dahulu. Karena itu Mily tersedak dan kelimpungan mengambil air minum.

Katakan Juwita jahat karena tidak peduli dengan Mily. Tetapi ia benar-benar merasa kesal setengah mampus. Gadis itu kira Mily tidak akan berbuat seperti itu walau sempat bingung dengan perasaannya sendiri. Juwita tidak percaya jika Mily mempunyai keberanian menolak Surya. Ia juga tidak percaya jika Mily terlalu bodoh karena menyia-nyiakan imbalan dari perjuangannya.

"Lo santai dong! Keselek, nih, gue! Kalau tadi nyawa gue melayang gimana?!" ucap Mily ikut kesal.

"ALHAMDULILLAH!" balas Juwita tidak santai lalu bangkit dari duduknya, ingin pulang saja dari rumah Mily. Karena jika tidak dosanya akan berlimpah akibat bibirnya yang tidak tahan untuk mengeluarkan kata-kata sadis.

Melihat Juwita pergi, Mily hanya berdecak. Ia kembali duduk di depan meja makan dan mulai lagi menyendok mienya. Dengan mata menatap lurus, Mily mengunyah sambil berpikir. Apakah keputusannya memang salah? Apakah ia akan menyesal di kemudian hari? Apakah ia akan sanggup melihat Surya bersama gadis lain? Jika Mily pikirkan semuanya, ia mendadak merasa tidak nyaman pada hatinya. Sejujurnya ia tidak akan pernah bisa berhadapan dengan kenyataan itu. Mily tidak tahu harus bagaimana. Tidak ingin Surya bersama siapa-siapa, tetapi ia sendiri tidak bisa menyerahkan hatinya begitu saja dan menerima lelaki itu bersama status yang baru.

Mengingat soal Surya lagi—walau Mily sebenarnya setiap hari memikirkan lelaki itu. Ia tidak pernah absen meski tidak pernah juga melihat keberadaan Surya. Lelaki itu seperti lenyap ditelan bumi hingga Mily kadang diam-diam mencari Surya di sekolah. Sudah lewat lima hari kejadian di halaman belakang sekolah berlalu, awalnya ia masih sering melihat Surya—bahkan pernah berpapasan, tetapi dua hari belakangan ini lelaki itu sudah tidak terlihat lagi. Dan hal itu membuat Mily terus berusaha menyembunyikan rasa khawatirnya.

Mily tidak berhenti menyendok mienya, memakan paksa tanpa merasa napsu lagi. Memikirkan Surya selalu melumpuhkan segalanya, dan membuat rasa bersalah yang lambat laun di ikuti rasa sedih juga. Apakah ia benar-benar begitu bodoh karena melepaskan Surya?

Tring!

Mendengar ponselnya berbunyi, lamunan Mily seketika melebur. Ia dengan cepat bangkit dan berlari kecil untuk masuk ke dalam kamarnya. Melihat ponselnya yang menyala dan melihat satu pesan yang masuk membuat gadis itu menahan napas. Jantungnya tiba-tiba degdegan. Merasa aneh sejenak lalu mengambil napas dalam-dalam. Perasaannya begitu menggebu-gebu, walau belum mengetahui tapi Mily yakin itu dari seseorang yang ia tunggu sejak kemarin. Gadis itu kegirangan sendiri lalu mulai meraih ponselnya, sambil berdeham kecil untuk menetralkan perasaan. Memencet tombol kecil itu dahulu hingga layar ponsel kembali menyala.

Sofyan bibir dower.
•Mil. Gue mau minta maaf karena udah nyembinyiin ini dari lo. Gue udah dari kemarin mau ngasi tau tapi Surya melarang.

Sofyan bibir dower.
•Surya kemarin kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit. Gue nggak mau salahin lo dengan keadaan Surya sekarang, tapi ini emang salah lo. Jadi lo mending ke rumah sakit. Lo harus tanggung jawab.

***


Mily tidak pernah merasa jika jantungnya harus terasa seperti berhenti berdecak selama beberapa detik lalu setelahnya berdebar kuat tidak terkendalikan. Kabar dari Sofyan membuatnya langsung kelimpungan dan buru-buru ke rumah sakit. Dengan kaki berlari gusar mencari ruangan Surya sambil terus menutup hidungnya. Meski begitu, pipi gadis itu tidak bisa di tahan untuk tidak merona menahan mual. Mily bahkan menahan napas, terus begitu hingga ia menemukan dan tanpa mengetuk ia langsung membuka pintu ruangan.

Seketika saja ia mendapati Sofyan yang ada di dalam, tidak ada siapapun lagi. Karena mengerti keadaan Mily, lelaki itu berdiri dan menyodorkan masker penutup wajah. Mily terdiam sesaat lalu mengambil dan memakai. Di suasana genting seperti ini Mily sempat-sempatnya mengumpat pada diri sendiri yang baru sadar jika seharusnya dari kemarin ia memakai ini saja biar bisa tahan berada di rumah sakit.

"Lo jangan geer karena gue tau apa yang lo butuhkan. Ini semua karena Surya yang pernah cerita," kata Sofyan cuek.

Mily mengangguk sambil memperbaiki letak maskernya dan tanpa membuang waktu ia menoleh ke arah Surya yang sedang tertidur dengan tangan ditempeli beberapa selang. Serta jidatnya yang diperban. Melihat itu, mata Mily tidak bisa ditahan lagi hingga sudah berkaca-kaca, seketika merasa sangat bersalah. Baru ingin mendekat tetapi Sofyan bersuara.

"Elah. Santai aja kali. Surya cuma banyak pikiran terus kecelakaan karena nggak fokus. Lagian lukanya ringan juga walau sempat operasi kecil ditangannya. Jadi ekspresi lo nggak usah seperti Surya lagi sakit parah yang bikin nyawanya di ujung tanduk." Sofyan menggeleng-gelengkan kepalanya, "yaudah, gue keluar dulu, nggak mau liat bucin yang lagi ngebucin. Kesel gue bawaannya."

Mily mengerjap-ngerjapkan matanya melihat Sofyan yang sudah melangkah keluar, sebelum lelaki itu membuka pintu ia duluan berbicara pada diri sendiri. "Kapan, ya, gue bisa ngebucin juga? Jodoh lo kemana, sih? Lama bener datangnya?"

Mendengar ocehan tidak jelas Sofyan, Mily menghela napas. Kepribadian Surya dan Sofyan sangat bertolak belakang. Yang satu hangat, dan yang satu kelewat hangat hingga mulutnya selalu menyemburkan api dengan bentuk ucapannya yang bikin emosi. Melupakan itu karena tidak penting, Mily kembali menoleh ke arah Surya dan berjalan mendekat. Memperhatikan lelaki itu yang pipinya berubah menjadi lebih tirus dan terdapat beberapa lebam. Surya banyak pikiran dan kecelakaan hanya karena dirinya? Gadis itu berdecak kesal. Kelakuan Surya sangat berlebihan.

Meski merasa kesal tetapi hati Mily tetap saja berdesir perih. Keadaan Surya sangat tidak meyakinkan. Pipinya memar dengan lingkaran hitam di bawah mata yang semakin kentara, lengkap dengan perban yang melingkari jidatnya. Tidak lupa dengan dengan bibirnya yang pucat dan juga tangan yang ikut diperban seperti mumi. Dengan rasa bersalah yang semakin membesar, Mily menjulurkan tangan menyentuh bagian wajah Surya yang baik-baik saja tetapi terasa hangat. Mengelusnya ringan dengan mata sudah mengeluarkan benda ajaibnya. Dadanya terasa sesak kembali, dan bahkan ia merasa jika rasa sesak kemarin belum ada apa-apanya daripada melihat keadaan Surya yang lemah seperti ini.

"Kak Surya?" panggilnya. Tetapi Surya belum juga sadar.

"Maafin aku...."

"Aku salah...."

"Kak Surya kenapa harus begini? Seharusnya Kak Surya lupain aku aja, tapi Kenapa harus ada di rumah sakit gara-gara aku?" Mily menunduk menyembunyikan tangisnya. Ia tidak melepaskan tangannya dari wajah Surya, ingin terus menyentuh lelaki itu dengan rasa menyesalnya yang begitu dalam serta menyakitkan. Jika ia bisa memutar waktu, maka Mily akan memutarnya dan tidak akan membiarkan Surya seperti ini.

Dengan keadaan Surya sekarang, Mily tidak berani membayangkan betapa besarnya perasaan lelaki itu untuknya. Ia merasa benar-benar menyia-nyiakan itu semua. Membuangnya tanpa berpikir panjang hingga Surya yang terkena imbasnya. Ia terlalu egois, hanya memikirkan dan melindungi perasaannya sendiri tanpa menoleh dan melihat ada sebuah hati yang harus disakiti karena keputusannya. Seharusnya dari awal... Mily menyadari itu.

"Kak Surya mau maafin aku, kan?" kata Mily lagi dengan suara yang tersedak karena tangisnya. Ia tidak bisa menahan agar tubuhnya tidak bergetar. Ia terus saja mengeluarkan rasa sesaknya sambil menunduk kuat. Tidak ada lagi yang bisa disesali, semua sudah terjadi dan Mily harus siap merasa menyesal.

"Mily...."

Mendengar panggilan lirih itu, Mily langsung mengangkat kepala. Melihat Surya yang sudah terbangun dari tidurnya. Karena melihat tangannya yang masih terjulur, Mily dengan cepat menariknya kembali tetapi Surya lebih sigap menahan menggunakan tangan satunya. Mily seketika terdiam, membiarkan saja lelaki itu mengambil tangannya dan membawanya pada genggaman Surya lagi.

"Kok nangis? Aku, kan, belum mau mati?" kata Surya jahil hingga Mily harus melototkan mata protes.

"Ngomong gitu aku jahit, ya, mulutnya!" Mily memamerkan wajah garang.

Surya terkekeh. Sebenarnya ia tadi sudah bangun saat mendengar suara pintu yang dibuka tidak santai. Tetapi ia terus diam karena mendapati suara Sofyan berbicara seperti mengarah pada keberadaan Mily. Dan benar saja, bibir Sofyan selalu menjadi ember bocor saat tahu ada masalah seperti ini. Meski begitu Surya tetap bersyukur karena Mily datang walau ia tidak ingin gadis itu tahu. Surya tidak ingin melihat Mily akan menampung beban baru atas dirinya yang terlalu lemah dengan keputusan kemarin. Ia baru pertama kali menyatakan cinta, dan harus dijawab dengan jawaban yang tidak sesuai harapan. Jika saja rasa itu tidak membesar, Surya juga tidak akan terlalu memikirkan. Dan semua juga berhubungan dengan kebodohan kemarin, hingga ia merasa lebih berat lagi sampai-sampai melupakan apapun dan tidak fokus karena terus berusaha mencari jalan keluar. Lalu kemudian semua berakhir dengan keberadaannya di rumah sakit.

"Nggak usah nangis." Surya melepaskan genggamannya sejenak lalu menghapus air mata Mily di sela-sela maskernya yang basah. "Aku nggak apa-apa. Luka ini sama sekali nggak kerasa. Tapi kalau liat kamu begini, kamu malah seperti biarin aku merasa sakit dan terluka kembali."

Mily semakin menekuk wajahnya, bibirnya cemberut ingin menangis lagi. "Maafin aku...." ujarnya sambil mengambil ancang-ancang untuk histeris karena merasa bersalah. Tetapi sebelum itu terjadi, Surya langsung menarik Mily agar tidur pada dada bidangnya..

"Cup, cup, cup." Surya tersenyum. "Jangan nangis. Aku beneran nggak apa-apa."

"Nggak apa-apa gimana kalau banyak luka kek gini!" Kesal Mily walau menikmati pelukan setengah Surya dengan satu tangannya. "Kak Surya kenapa, sih? Kalau marah sama aku jangan malah ngajak pohon berantem! Pohon nggak salah tapi kenapa ditabrak?!"

Surya tergelak. "Aku nggak ngajak berantem tapi aku hindarin anak kecil yang lewat terus banting stir jadi nabrak pohon akhirnya." Ia menepuk-nepuk kepala Mily. "Jangan marah, nanti aku minta maaf, kok, sama pohonnya."

Mily tidak berbicara, ia hanya diam-diam mengelap hidungnya di baju Surya.

"Kamu khawatir, ya, sama aku?"

"Kok nanya gitu?! Ya, jelaslah!"

"Iya, iya. Jangan ngegas dong." Surya harus menahan sakit pipinya karena tertawa lagi.

Mily tidak berbicara lagi, ia terdiam sambil memandangi baju Surya yang ternyata sudah sangat basah karena ia terus mengelap hidungnya.

"Nggak apa-apa. Kamu puas ngelap ingus dibaju aku, kok. Kan, yang nyuci pihak rumah sakit juga." kata Surya terus-terusan menjahili.

"Ngeselin!" Mily cemberut. Lalu akhirnya mengangkat kepala agar bebas dari dada bidang Surya.

Surya menatap Mily lekat-lekat. "Jadi, kamu nggak bakal jauh-jauh dari aku lagi, kan?"

Menerima pertanyaan Surya, Mily menunduk sedikit. Mau menjawab tapi Surya berbicara lagi.

"Kalau kamu emang belum bisa menerima aku, tapi setidaknya kamu jangan pergi menjauh. Sekarang, aku nggak terlalu memikirkan jawaban iya dari kamu, tapi aku cuma mau kamu terus ada di samping aku. Itu udah lebih dari cukup."

Mily kembali menunduk, lalu mendongak lagi ingin menjawab tapi Surya menghentikan.

"Aku emang salah karena biarin hati kamu terluka. Tapi ijinin aku berjuang untuk kamu. Ijinin aku hapus luka itu. Walau nggak sepenuhnya, dan nggak tau akan berhasil atau tidak. Tapi setidaknya aku nggak akan nyesel karena terus diam dan sudah pernah berusaha untuk berjuang."

Mily mengangguk-angguk. Tidak berani menatap Surya yang tersenyum lebar sambil mengeratkan genggamannya. Melihat jika Mily menyetujui membuat dada Surya berubah menjadi ringan. Tidak terasa berat lagi.

"Jadi kamu setuju?" tanya Surya memastikan.

Mily mengangguk malu-malu.

"Makasih, ya." Bibir Surya semakin melebar. Karena sangat merasa senang ia kembali menarik Mily ke dalam pelukan ringannya.

Mily sama sekali tidak bisa menahan senyumnya. Ia merasa berdebar lagi seperti sediakala. Dengan Surya yang menepuk-nepuk kepalanya, serta suara jantung lelaki itu yang berdecak kuat, Mily semakin menggesek-gesekkan kepalanya merasa nyaman.

Semoga saja, keputusannya adalah hal yang tepat.

🚐🚐🚐

Hanya cukup beberapa hari Surya sudah bisa dipulangkan. Sebetulnya belum boleh karena lukanya belum mengering sepenuhnya, tetapi lelaki itu bersikeras pulang karena tidak begitu menyukai suasana rumah sakit apalagi tahu jika Mily lemah dengan rumah sakit juga. Gadis itu harus memakai masker setiap menjenguknya, dan Surya tidak suka lihat Mily harus tersiksa sampai sulit bernapas.

"Bandel banget, sih?! Belum sembuh juga udah minta pulang." Mily mengomel lagi.

"Aku nggak apa-apa, serius." Surya selalu saja tersenyum.

"Yaudah," jawab Mily pasrah. Sudah lelah dengan Surya yang ternyata keras kepala juga.

"Kok kamu cemberut mulu bibirnya? Kek lagi mancing aku?" tanya Surya tidak bisa menahan tawa karena ekspresi Mily langsung berubah.

"Mancing apaan?! Emang Kak Surya itu ikan sampai aku pancing?!"

"Kalau salah tingkah nggak usah ngegas mulu. Mending peluk sini, sembunyi sama aku biar orang lain nggak bisa liat wajah kamu yang lagi merah," kata Surya sambil menjulurkan tangan meminta dipeluk.

"Ih, Kak Surya udah gila, ya?" Mily tertawa karena Surya terus mencoba menangkapnya tetapi ia masih kesusahan dengan tangannya.

"Sini." Surya terus memanggil.

Sofyan dan Juwita yang duduk di dekat mereka dengan kompak mendelik. Merasa kesal dengan dua sejoli itu.

"Lo berdua kalau mau ngebucin liat-liat waktu dong. Gue lagi ulang tahun, udah mau niup lilin juga," sembur Sofyan.

"Tau, nih. Kalau berantem lagi nanti gue mampusin." Juwita ikut-ikutan.

Surya dan Mily terdiam, walau masih ketawa-ketawa. "Yaudah, mending kalian dekatan aja biar nggak ngiri mulu liat kita." Surya yang berbicara.

"Hah? Gue sama dia disuruh dekatan?" Juwita melirik Sofyan yang asik memandangi kuenya. "Ogah gue! Mau jadi apa hidup gue kalau sama dia? Udah mau lulus SMA tapi kelakuan kek anak kecil yang baru pertama kali rayain ulang tahun." Juwita menyindir hingga Sofyan merasa.

"Lo pikir gue mau sama lo?!" Sofyan tidak terima.

"Santai dong ngomongnya. Lo sampai muncrat, nih!" Juwita berlagak mendelik jijik padahal sebenarnya hanya akal-akalannya.

"Wah bagus kalau lo kena. Sini gue tambahin." Sofyan malah semakin menjadi hingga Juwita bergeser menghindar.

"Kalian berdua ini, ya, ampun." Citra tiba-tiba datang sambil membawa nampang berisi makanan lagi. Meja makan sudah hampir terisi penuh tetapi beliau belum juga selesai mempersiapkan hidangan untuk acara kecil-kecilan ulang tahun Sofyan yang kemarin sudah berlalu serta acara makan-makan untuk kepulangan Surya ke rumah lagi. "Kalau ketemu tetap aja berantem. Tante jadiin peliharaan kucing dan tikus di rumah Tante, nih, lama-lama."

"Sofyan aja Tante. Mukanya udah mirip kucing garong dan suaranya mirip tikus kejepit," ledek Juwita.

"Heh! Mata lo katarak bener. Gue ganteng gini dan bersuara emas juga malah dikata gitu. Lo, tuh, yang mirip kucing kecebur di got, dan mirip suara tikus kejepit!"

Citra tertawa. "Yaudah, kalau nggak mau. Tante nikahin aja gimana? Cakep, kan?"

"Cakep dari mananya, Tante?!" Sofyan dan Juwita kompak berseru.

"Nah, udah kompak. Tinggal tentuin waktu nikahannya aja, yuhui," kata Citra lagi semakin tergelak dan sukses membuat Sofyan dan Juwita seperti ingin meledak.

***


"Jadi gimana hubungan kamu sama Surya? Udah membaik?" tanya Citra sambil menggosok piring.

"Udah membalik, Tante," jawab Mily sambil tersenyum canggung. Merasa suasana mendadak tidak nyaman. Ia semakin bermain-main air sambil menunggu piring selanjutnya dari Citra. Setelah acara makan-makan dan ulang tahun Sofyan, Mily justru terjebak di dapur bersama Citra. Sedangkan Juwita membersihkan meja makan tadi.

"Kalau Tante boleh tau, kamu kenapa nolak Surya?" Mily refleks menggigit bibirnya. Sudah ia duga ada alasan di balik Citra yang mengajaknya cuci piring bersama.

"Kak Surya cerita, ya, Tante?" tanya Mily susah payah.

"Iya. Yaya nggak pernah sembunyikan apapun dari Tante."

Mily menggaruk kepalanya bingung harus bagaimana. "Maaf Tante," cicit Mily.

Citra tersenyum. "Nggak apa-apa, sayang. Kalau kamu emang belum siap mending ngomong baik-baik sama Yaya. Tante kemarin takut banget, dia nggak pernah seperti ini."

Gadis itu mengangguk lemah, merasa bersalah lagi.

"Yaudah. Kamu jangan berantem lagi, ya, sama Yaya. Kalau itu terjadi telinga Tante bakal berdenging karena dengar curhatan Yaya yang panjang lebar nggak berujung itu." Citra mengelap tangannya dengan tawa berderai.

Mily terkekeh pelan. "Iya, Tante."

"Oh, iya. Tante cuma mau ngasih tau, Yaya itu sayang banget sama kamu. Selama besarin Yaya sampai sekarang Tante belum pernah liat dia suka sama cewek terus ditembak gini. Kamu yang pertama dan Tante berharap yang terakhir.  Jadi kamu pikirin lagi, ya, baik-baik keputusan kamu. Jangan sampai kamu menyesal suatu saat nanti. Bukan Tante takut-nakutin kamu, tapi Tante tau banget rasa menyesal itu gimana. Jadi Tante harap kamu memilih keputusan yang tepat dengan pemikiran yang luas. Oke?"

"Iya, Tante," jawab Mily sopan.

Citra mengangguk. "Kalau begitu mending kamu keluar duluan, ngumpul sama yang lain."

Gadis itu mengangguk saja, lalu berbalik jalan keluar. Otaknya tidak bisa diam, terus berpikir sambil berjalan mendekati Sofyan dan Juwita yang lagi sibuk memakan cemilan di ruang tengah. Kedua sejoli itu tentu tidak bisa damai, selalu aja adu mulut. Dan sekarang Sofyan dan Juwita sudah berebut toples cemilan.

"Eh, Kak Surya mana?" tanya Mily.

"Di taman belakang, Mil," jawab Sofyan sempat-sempatnya, lalu kemudian melanjutkan acara rebutannya bersama Juwita yang tidak mau mengalah.

Mily tidak peduli, ia berjalan lagi meninggalkan dan melangkah ke taman belakang rumah Surya. Dan ketika sampai ia melihat lelaki itu sedang memberikan makanan untuk ikan-ikan hias yang berada di kolam kecil. Mily tersenyum karena melihat Surya tersenyum di sana. Lalu kemudian semakin mendekat.

"Kak...," panggil Mily.

Surya seketika menoleh dan tersenyum lagi. "Udah selesai nyuci piringnya?"

"Iya," jawab Mily.

"Yaudah, sini."

Mily menghampiri Surya dan membantu lelaki itu agar duduk di atas bangku. Tangan Surya belum bisa bergerak banyak tetapi sangat berani melakukan apapun.

"Kak Surya ini bandel banget, ya? Udah tau tangan masih sakit, tetap aja banyak gerak mulu." Mily mengomel lagi.

"Maaf," jawab Surya tersenyum sambil menarik Mily duduk di sampingnya.

"itu ikan Kak Surya, ya?" tanya Mily memandangi ikan-ikan itu.

"Bukan. Punya Almarhum Ayah aku," jawab Surya tersenyum karena raut wajah Mily merasa bersalah untuk sekian kalinya. "Nggak apa-apa. Seharusnya aku cerita dari lama."

Mily mengangguk prihatin. Pantas saja Citra dan Surya sangat dekat. "Kak Surya yang sabar, ya."

"Iya. Aku sabar, kok, dan aku juga bakal sabar memperjuangkan kamu. Tenang aja, aku nggak akan mundur."

"Ish." Mily mendesis sebal. Surya selalu aja mencuri kesempatan untuk menggodanya.

"Kenapa?" tanya Surya tertawa pelan.

"Ngeselin. Mulut Kak Surya terbuat dari apa, sih? Suka benget bikin kesel."

"Masa, sih, bikin kesel? Bikin seneng kali?" Surya terkekeh geli.

"Terserah," jawab Mily pasrah. Sebenarnya ia hanya tidak ingin kelihatan ambyar lagi, makanya ia berpura-pura saja.

"Yaudah. Nggak suka marah-marah. Sini, peluk aku aja. Dingin, nih," ujar Surya berlagak kedinginan.

Mily mengernyit. "Kok dingin? kan, nggak hujan? Terus ini masih tengah hari? Terus matahari lagi bersinar terang juga?"

Surya tersenyum geli. Gadis ini sangat lihai membuatnya tidak berhenti melengkungkan senyuman. Surya menghela napas, lalu menatap Mily yang sedang menatapnya. "Kamu nggak ngerti, ya, omongan aku?"

Mily menggeleng polos.

"Itu kode, sayang. aku minta di peluk tapi kamu nggak peka banget," jawab Surya berpura-pura kesal.

Mily terhenyak sesaat saat mendengar panggilan yang sensitif itu. Entah kenapa dadanya berdebar lebih kuat lagi. Serta merasa meleleh juga. Ia menatap Surya yang memalingkan wajah. Terus berlagak kesal. Melihat itu Mily menggaruk kepalanya kuat-kuat, merasa salah tingkah tetapi bingung juga harus bagaimana. Sampai akhirnya ia menggeser badan lebih dekat ke Surya.

"Yaudah. Aku peka, nih," kata Mily susah payah dan merentangkan tangan untuk memeluk Surya dari samping. Jantungnya seperti ingin meledak, merasa malu sendiri.

Surya tentu tentu tersenyum lebar. Ia hanya menyentuh tangan Mily dan memandangi gadis itu yang menyembunyikan wajah meronanya.

"Udah, kan? Nggak marah lagi?" Mily memastikan.

"Jelaslah. Udah senang sekarang, nggak marah lagi," jawab Surya.

Mily tersenyum, "cepat sembuh, ya, Kak."

"Kalau kamu mau aku cepet sembuh, berarti kamu harus di samping aku terus. Mau, kan?"

Mily mengangguk menurut. Ia mengeratkan pelukannya sambil memejamkan mata menikmati. Perasaan bahagia mulai berdatangan, tidak lagi takut-takut untuk muncul. Mily tentu merasa lega. Mungkin hatinya perlahan menerima, dan juga merasa sadar jika sebetulnya ia tidak perlu merasa takut seperti kemarin.

"Kak," panggil Mily.

"Iya?"

"Permintaan Kak Surya di warung dulu masih berlaku nggak?"

Surya seketika duduk tegak. Ia memandangi Mily lekat-lekat, mencari tahu apakah gadis itu hanya ingin bercanda atau memang serius menanyakan. "Kamu nggak usah memaksakan. Kalau kamu emang belum bisa nggak usah begini. Jangan terlalu merasa bersalah sama aku sampai kamu mau membahas itu lagi. Aku nggak apa-apa."

Mily cemberut. "Ish! Aku udah berani-berani nanya malah dikira gitu!" Ia menggeleng, "enggak, aku serius. Aku bukan merasa bersalah jadi mau membahas ini, tapi sadar kalau aku sebenarnya nggak perlu berpikir begitu. Dan sadar juga kalau keputusan aku kemarin bukanlah jalan keluar."

"Terus bagaimana?" Jantung Surya menjadi liar.

"Seharusnya kemarin, aku nggak boleh terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Nggak boleh memikirkan hal-hal yang tidak-tidak. Dari ini semua, aku sadar lagi kalau cinta dan luka emang akan selalu menyatu. Dan seharusnya aku menerima itu, bukan malah menghindari karena seberapa jauh pun aku pergi dia tetap ada mengejar. Itu udah jadi resiko kalau berani jatuh cinta. Tetapi meski begitu, tetap ada pelangi setelah hujan. Luka tidak akan berakhir jadi luka lagi." Mily membalas tatapan dalam Surya. "Jadi aku memutuskan untuk membuka lembaran baru, melupakan hal yang lama dan mencari hal yang baru. Meski luka dari masa lalu tetap ada, tapi aku bisa mendaur ulang hingga itu menjadi lebih baik lagi walau bentuknya tetap sama saja. Aku mau menerima  Kak Surya, dan sepantasnya sudah terjadi, bukan malah berputar-putar dengan perasaan yang rusak. Aku mau menerima Kak Surya karena keadaan sudah bikin aku sadar. Jadi, permintaan Kak Surya dulu masih berlaku, kan?"

Surya terdiam menyimak, masih tidak percaya omongan panjang lebar Mily. Ketika melihat wajah gadis itu yang ditekuk memohon, Surya dengan senyum lebar, ia mengangguk kuat. "Kamu serius?"

"Aku serius. Aku terima semua yang akan terjadi kedepannya. Apapun itu. Kalau hal yang tidak diinginkan kembali menyapa, berarti kita harus siap-siap melawan. Bukan malah pergi menghindar."

"Mily...." Surya ingin terus memastikan.

"Kak Surya.... Aku beneran serius. Aku mau jadi milik Kak Surya, dan mau jadiin Kak Surya milik aku. Tanpa paksaan, tanpa merasa bersalah."

Surya tanpa sadar menahan napas. pengakuan Mily sangat membuatnya kesenangan. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. "Jadi kamu beneran mau?"

"Iya, ih! Banyak tanya mulu nggak tau apa aku nahan malu," jawab Mily kesal lagi. Ia sudah terlalu berani berucap seperti ini tetapi Surya tidak berhenti memastikan. "Nanya lagi aku tarik, ya, ucapan aku!" ancamnya.

Surya menggeleng-gelengkan kepalanya takut. Ini benar-benar di luar dugaannya. Ia hanya ingin memastikan agar tidak salah paham dan membuat rasa berharapnya tubuh. Surya tersenyum lalu ikut memeluk dengan satu tangannya. Dengan jantung yang menggila di dalam sana, lelaki itu berbicara.

"Kalau begitu, mulai sekarang, besok, lusa, dan sampai kedepannya, kamu resmi jadi milik aku, jadi milik Surya seorang."

*****

Hehehehe.

Jangan sedih jangan sedih.

Ini bukan akhir, tapi ini adalah awal dari aku berjuang lebih keras lagi💏

Awalnya dlu aku pernah minta di eliminasi aja sama yang di Atas biar punya waktu banyak krn sempat down sendiri. Tp akhirnya semangat lagi tapi tiba-tiba pusing lg krn punyaku masih panjang sementara sisa part dikit lagi. Jadi aku ter eliminasi sekarang sebagai jalan keluar dr yg di Atas agar aku punya waktu byk untuk mikir. Aku percaya ini adalah yang terbaik. Dan aku bakal dapat yang lebih lagi drpd lolos jd top5.

Terima kasih untuk kalian yg udah setia baca punyaku💏 aku akan datang beberapa bulan lagi dengan alur yg sdh di pikir mateng2💏

Tetap setia nungguin MJ dkk💏

Jadjlah penikmat rindu yang baik ya💏

Sambil menunggu MJ balik kalian bakal di temani cerita baru. Follow wpku krn selesai nabung sisa part aku bakalan post cerita baru💏
AsmahAfaaf

Follow ya biar g kesepian nunggu in mj💏

Oke kalau begitu, see u lagi dibulan Juli💏

MJ, SURYA, DAN SOFYAN PAMIT SEBENTAR💏💏

Paypay. Simpan baik-baik mereka semua di hati kalian yaw💏

Love u💏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro