13 :: PEMBUKAAN.
Sebelum baca gue mau ngasih tantangan untuk nulis nama doi/orang yang lo suka disini!
Kalau gue, Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan.
Kalau sama, santet gue otw ke rumah lo ya HAHAHA.
Kenapa gue suruh gitu? Biar setidaknya lo pernh nyatain klo lo suka dia meski dia ga tau.
***
Berharap itu tidak salah. Tapi mohon kira-kira. Agar sakitnya dapat di perkira.
***
🚐🚐🚐
Mily tidak tahu banyak soal kegiatan apa saja yang di lakukan di hari pertama perayaan ulang tahun sekolah. Selama menjadi murid disini, ia tidak pernah ikut campur atau masuk lomba-lomba yang di adakan. Seharusnya ia juga tidak ke sekolah pagi ini, sama seperti Juwita yang memilih tidur di rumah daripada membuang-buang tenaga. Tetapi sekarang, Mily harus ke sekolah sendiri untuk memastikan tujuan mereka masih bisa di capai.
Kakinya berjalan sedikit cepat, melewati lautan murid yang sudah bubar ketika upacara pembukaan telah usai. Mily tahu, seharusnya ia dan Juwita sebagai murid ikut serta juga, tapi hal itu tidak ada untungnya. Mau Mily dan Juwita hadir atau tidak, sama saja tidak ada pengaruhnya.
Mily merogoh ponselnya ketika sudah sampai di tempat yang ia dan Violin sepakati semalam. Mengeceknya siapa tahu tiba-tiba ada panggilan dari Juwita. Kedatangan Mily di sekolah sekarang tidak di ketahui oleh gadis itu. Mily ingin mengurus sendiri dan memperbaiki keadaan.
Melirik jam tangannya sesaat, lalu menyandarkan tubuhnya di tembok. Mily menghela napas, sedikit merasa takut menghadapi Violin, apalagi kemarin gadis itu sudah mengangkat tangan ke arahnya.
Ketika sibuk memikirkan kejadian kemarin, ekor mata Mily sudah mendapati kedatangan Violin bersama satu temannya-kalau tidak salah nama dia adalah Sonya. Mereka berdua berjalan angkuh mendekati Mily.
Mily dengan cepat menegakkan tubuh. Menatap Violin yang sudah berada di hadapannya. Ketika gadis itu mengernyit tidak suka ke arahnya, Mily menunduk sedikit.
"Lo mau apa lagi?" sambar Violin langsung, "cepat ngomongnya, gue lagi sibuk."
"Aku mau minta maaf soal kemarin," ucap Mily tanpa menatap Violin.
"Hah? kenapa? gue nggak dengar?"
Mily menggigit bibirnya yang terasa gatal untuk tidak mengumpat pada gadis itu. Mengambil napas dahulu lalu mengangkat pandangannya. "Aku mau minta maaf soal kemarin. Aku salah." Mily mengulang dengan intonasi di naikkan.
Violin mengangguk. Bibirnya samar-samar tersenyum puas. "Lain kali lo nggak usah sok berani sama gue."
Mily mengangguk kuat-kuat. "Iya, Kak."
"Jadi, lo tetap mau ikut event itu?"
"Iya, Kak."
"Oke. Kalau gitu sampai ketemu nanti malam. Gue harap, sih, pilihan lo itu bukan bencana untuk kalian berdua." Violin tersenyum dulu. Berlagak menepuk pundak Mily. "Gue cuman mau ngasih satu pesan buat lo. Jangan sampai nangis kalau lo kalah, ya?"
Mily tanpa sadar mengatupkan rahangnya mulai emosi. Tetapi di tahan agar tidak sampai merusak semuanya. "Jadi, kalau misalnya kita berdua menang, bakal tetap masuk di fans klub Kak Surya, kan?"
"Iya. Kesepakatan kita emang begitu, kan?" Violi memperbaiki posisi tas selempangnya, sudah bersiap pergi. "Tapi, kayaknya, untuk kata lo berdua bisa menang, cuman bakal ada di angan-angan lo aja, deh."
Mily berganti mengepalkan tangannya. Membiarkan kedua gadis itu melemparkan tawa merendahkan lalu berlalu di hadapan Mily. Membuang napasnya kasar, emosinya selalu tersulut ketika berhadapan dengan Violin. Tetapi, Mily sekarang bisa bernapas lega karena sudah memastikan langkah mereka berdua tidak akan sia-sia.
Tetapi, Mily belum mempersiapkan apa-apa untuk event nanti malam.
Mily memasang wajah menyedihkan sambil berjalan keluar dari tempat bertemu dengan Violin tadi. Kepalanya pusing lagi, sudah habis akal.
Mereka berdua akan memakai apa? Sementara Mily dan Juwita tidak memiliki apapun yang sekiranya pantas untuk di pakai saat tampil di atas panggung nanti.
Kayaknya, sebentar lagi Mily akan bertambah gila jika tidak menemukan jalan keluar sebelum malam tiba.
Mily cemberut, berjalan tidak santai. Dan seperti biasa meremas-remas rambutnya seperti orang gila jika sedang pusing.
"Mily!"
Panggilan yang terdengar setengah berteriak langsung membuat Mily harus tersentak kaget lagi. Dengan cepat ia berbalik. Matanya membulat ketika melihat Surya berlari kecil mendekatinya. Rambut lelaki itu berkibar-kibar akibat terpaan angin. Tubuhnya yang memakai baju casual biasa terlihat tipis hingga dapat menodai mata Mily lagi dengan ukiran-ukiran indah yang sembunyi di baliknya. Bibir lelaki itu tidak merekah seperti biasa, malah ber-ekspresi berbeda. Sambil memegang selembar kertas, Surya sudah berdiri di depan Mily, menatap gadis itu tidak mengerti.
Mily membeku, masih terpana dengan keadaan Surya sekarang yang jauh lebih berbeda. Mungkin selain memakai baju yang mendukung meningkatkan pesonanya, leher lelaki itu juga mengalungi tali tanda pengenal panitia yang bertanggung jawab atas acara hari ini. Mily menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba sadar. Tidak ingin jatuh lebih dalam pada perasaannya lagi.
"Lo sama Juwita beneran ikut event nanti malam? kok nggak pernah cerita sama gue?" tanya Surya.
"Emang kenapa? emang kenapa aku harus cerita sama Kak Surya?"
Surya mendadak diam. Keningnya berkerut samar. "Ya, lo harus cerita. Biar gue tau harus bagaimana."
"Harus bagaimana gimana? Biar bisa gagalin aku sama Juwita untuk nggak ikut itu? emang aku sama Juwita nggak pantas ikut, ya?"
Mendengar perkataan Mily lagi sukses membuat Surya terhenyak sesaat. Memandangi Mily yang tidak biasa. Gadis itu tidak seperti kemarin ketika ia berbicara dengannya. "Lo kenapa?"
"Aku mau ikut event itu!"
"Lo yakin?"
"Emang kenapa? aku sama Juwita nggak bisa ikut karena kita berdua jelek?"
Surya membasahi bibirnya. Perkataan Mily cukup tidak mengenakkan. "Lo kenapa? gue cuman nanya. kenapa lo tiba-tiba beranggapan seperti itu?"
Mily menghela napasnya. Merasa lelah. Suasana hatinya sedang tidak bagus pagi ini, tetapi sudah dihadapkan dengan Surya yang malah menyinggung hal yang membuatnya pusing. "Aku nggak apa-apa."
"Kalau lo butuh bantuan bilang ke gue aja."
"Nggak usah, Kak. Aku sama Juwita bisa urus masalah kita sendiri," ucap Mily mantap. Menatap Surya sesaat, lalu mengambil langkah besar meninggalkan lelaki itu.
Surya berdecak pelan. Berbalik memandangi kepergian gadis itu yang berjalan gusar lalu kembali membaca daftar nama peserta malam nanti. Surya menghela napas. Sebenarnya ia ingin menawarkan bantuan, tetapi malah mendapatkan kata seperti tadi.
Emang salah gue khawatir sama dia?
🚐🚐🚐
"Jadi nasib kita gimana, nih, Mil?"
Mily menoleh ke arah Juwita yang baru bangun beberapa menit tadi. Gadis itu berjalan sedikit goyah. Wajahnya basah karena habis Mencuci muka. Gadis itu tidak pernah berubah jika tidak ke sekolah, akan bangun sampai siang. Hingga tepat pukul setengah satu siang, Mily sudah berada di kamar Juwita. Menghela napasnya berat bersamaan dengan duduknya Juwita di sampingnya.
"Gue nggak tau," ucapnya pelan lalu menidurkan tubuhnya di kasur Juwita.
"Terus kita kabur aja? nggak jadi ikut?" tanya Juwita lagi.
Mily seketika kembali bangun. "Nggak bisa! Kita harus ikut!"
"Yaudah, terus gimana?" Juwita ikut pusing.
"Gue nggak tau," katanya lagi lalu menidurkan badan untuk kedua kalinya. "Biarin otak mungil gue ini berfikir sebentar."
Juwita mengangguk saja kemudian bangkit untuk menyisir rambutnya. Ia sebenarnya ingin membantu berfikir tetapi otaknya lebih tidak mampu, jadi ia diam saja menunggu Mily.
"Yaudah. Gue bantunya pake doa aja kalau gitu," sahut Juwita.
Mily meraih guling lalu di peluknya erat, mencoba mencari jalan keluar sebelum siang berganti menjadi sore. Tetapi bukannya memikirkan hal yang ia perlu sekarang, Mily malah mengingat kejadian bersama Surya di sekolah pagi tadi. Betapa bodohnya ia mencampakkan Surya dengan kata-katanya yang kurang sopan dan menolak bantuan lelaki itu.
Refleks, Mily melempar guling saking kesalnya pada diri sendiri hingga tidak di sangka mengenai kepala Juwita yang lagi mengikat rambut.
"Lo ngajak berantem, ya, sama gue, Kambing?!"
Mily malah tertawa, "nggak sengaja, Monyet. Santai dong. Mikir pake otak gue emang butuh atraksi."
Juwita sabar. Tidak berbicara lagi dan melanjutkan kegiatannya.
"JUWITA! MILY! ADA YANG NYARIIN, TUH!"
Mendengar panggilan Aliya-mama Juwita membuat Mily dan Juwita mau tidak mau mengusap kuping. Mama Juwita jika berbicara tidak pernah santai, selalu menggunakan intonasi yang tinggi walau orang itu ada di dekatnya. Sudah terjadi sehari-hari, hingga jika ingin memanggil Juwita ketika sedang di rumah Mily hanya cukup berteriak saja. Menghemat waktu.
"IYA, MA!" balas Juwita tidak kalah kuat. Bukan ia tidak sopan, tetapi Mamanya tidak akan mendengar jika tidak ikut teriak.
Dari sini, Mily sedikit bersyukur karena Mamanya baik-baik saja.
"Heh, yang nyariin kita siapa, tuh?" Juwita berdiri sambil memandangi Mily.
Mily mengangkat bahu, tidak tahu. Tidak ada yang pernah memanggil mereka sebelumnya. Bagaimana tidak kalau tidak memiliki teman lagi.
"Ayo. Kita liat." Ajak Juwita. Mily bangkit dan mengikuti gadis itu yang sudah keluar duluan.
"Siapa, Ma?" tanya Juwita. Melempar pandang ke arah Mamanya yang sedang menonton acara teriak-teriak alay yang tayang di siang hari.
"Nggak tau. Mama belum bukain pintu."
"Astagfirullah." Juwita menyebut.
Mily tidak ikut campur, memilih berjalan membuka pintu dan seketika mendapati manusia yang berjenis kelamin laki-laki tetapi bersifat dan berpenampilan layaknya perempuan.
"Kang Mamang?!"
"Sttt!" Kang Mamang seketika mencondongkan tubuhnya dengan jarinya tertempel di bibir. Ia bergerutu. "Udah berapa kali gue bilang jangan manggil itu! Panggil Mbak Dona, dong."
Mily mendelik. Belum terbiasa dengan panggilan itu karena lelaki di hadapannya ini baru saja mengikuti jejak hidup Lucinta Luna beberapa bulan lalu.
Kang Mamang yang mengaku menjadi Mbak Dona adalah tetangga Mily dan Juwita juga. Berselisih sepuluh rumah kalau Mily tidak salah hitung. Dia awalnya lelaki perkasa, tetapi tiba-tiba berubah menjadi wanita tulen sejak membuka salon di rumahnya.
"Yaudah, iya, Mbak Donat."
Dona alias Mamang cemberut. Lalu tidak lama tersenyum lebar ketika Juwita muncul juga di hadapannya. "Wah, Kembang-kembang Desaku kayaknya berubah dikit, ya?"
"Ada apa, Mbak?" Juwita menguap.
Dona terkekeh, kemudian tersenyum lebar. "Jadi kedatangan gue disini karena sedang di utus dari khayangan."
"Jadi Mbak Dona ngikutin jejak Mimi Peri juga?!" Spontan Mily berseru heboh.
Dona menghela napasnya. "Yakali, Say!"
Juwita manggut-manggut. "Terus ada apa, Mbak? kok berkeliaran di siang bolong seperti ini? Selendangnya lagi di curi?"
"Ckckck. Ngomong sama kalian berdua itu nguras otak banget, ya?" Dona mulai frustasi. "Udah, kurangi bacot dan langsung ikut gue kerumah."
"Ngapain?" Juwita terus bertanya.
"Ayo, aja. Susah amat, sih, tinggal nurut aja." Kesal Dona.
"Kita ngapain dulu? Aku sama Juwita lagi sibuk, nih." Mily menyela.
"Sok sibuk," cibir Dona, kemudian tanpa di sangka langsung menarik kedua tangan Mily dan Juwita untuk mengikutinya.
"Eh, Mbak! Mau Kemana?!" Kesal Mily.
"Mau berubah kembang-kembang desa menjadi Cinderella atas permintaan Pangeran...." Dona tersenyum misterius. Terus menarik kedua gadis itu meski meronta meminta di lepaskan.
****
Mungkin ada yang penasaran dengan wajah Mj sebenernya. Mily yang atas, Juwita bawah. Ini versi zoom dan sebelum kenal Surya.
Versi sekarang.
Dan untuk versi yg selanjutnya nyusul ya💏💏 btw kok muka jelek Mily malah kelewat jelek ya HAHAHA. mereka emg jelek, maklum.
Dan soal grup langsung cht admin aja, Nuraini; +62 823-6151-3560
Aku menerima banyak. Asal grup wa nya cukup menampung💏 biar bs masuk semua wkwk.
Kalau mau cara lain masukin nomor disini aja lagi. Tpi selow respon ya krn aku ambil satu2. Terserah kamu mau yg mana syng💏
Oke see u di grup. Sudah gue bikin tadi dan Juwita asli sdh gabung💏
Bye AsmahAfaaf💏💏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro