Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1 : AWAL DARI KISAH

Halo calon sayang-sayangku. Sebelum membaca, istighfar dulu sejenak.

***

"Terlalu mudah untukku langsung jatuh kepadamu tanpa kau memburu."

🚐🚐🚐🚐🚐

"Ku tak mau cintaku dikocok-kocok. Ku tak ingin sayangku
dikocok-kocok. Seperti arisan, nunggu giliran, Aduh-aduh-aduh, mana tahan."

Gadis berambut panjang yang masih berantakan terus menggoyangkan badannya dengan heboh. Alunan lagu dangdut yang berasal dari radio pemberian kakeknya tiga tahun silam menjadi temannya di pagi hari sebelum berangkat sekolah.

Menyeka keringatnya sendiri, sudah cukup olahraga pagi hari ini. Setelah lagu terakhir yang diputar berakhir, gadis itu segera menuntaskan kancingan bawah seragamnya lalu berjalan mendekati cermin lemarinya. Tersenyum lebar pada pantulan wajahnya yang terlihat lebih putih karena pengaruh sabun mandi.

"Emily Gwineth Putri, lo emang gadis yang cantik dan imut."

Setelah berucap, bibirnya di majukan mengambil pose andalannya jika berfoto di ponsel Mamanya, meski kamera tidak ada, tetapi cermin bisa menggantikan untuk menangkap wajahnya yang menurutnya imut.

Hanya menurutnya.

Cuman dirinya.

Oke. Sip.

BRAK!!!

"Woi, Biduan! Buruan! Udah telat, nih!"

Mily jelas kaget dengan jendelanya yang dibuka dengan sangat tidak santai. Baru ingin memaki sang pelaku, tetapi tetangga tidak tahu sopan santun itu sudah lenyap di sebrang sana.

Menghela nafasnya sembari melirik jam dinding. Sedetik kemudian Mily yang tanpa menyisir rambutnya sudah berlari cepat mengambil tas sekolahnya dan keluar kamar.

☁☁

"Eh, Mil, PR nggak ada, kan?"

Mily sedang sibuk menendang-nendang batu krikil yang menghalangi jalannya menuju sekolah kontan berbalik pada Juwita. "Em...kayaknya, sih, nggak ada, Ta. Tapi nggak tau juga, tapi semoga nggak ada."

Juwita Bahari, teman dari jaman bayi, teman masa balita, teman kanak-kanak, teman mulai abege, teman beranjak remaja, dan bertahun-tahun menjadi tetangga Mily bahkan selalu sekelas selama SD baru saja mendengus sembari mengerlingkan matanya kesal karena jawaban Mily yang terkesan memberi harapan antara ada dan tiada.

"Eh, Ta, lo nggak mandi, ya?"

"Mandilah! Tapi cuman sepuluh timba doang." Juwita merapikan seragamnya sedikit.

"Sepuluh timba doang?! Kok bisa?"

Juwita mengangguk tidak santai. "Ya, bisalah. Ini semua gara-gara lo!

"Ih, kok gue?!"

"Iya, gara-gara lo yang rakus bener! Sampai-sampai air nggak nyampe ke rumah gue!"

"Bukan gue ya! Tapi emang sekarang lagi musim kemarau!"

"Cih, gue liat tadi samping rumah lo banyak air!"

"Ya, itu karena emak gue rajin nampung air! salah siapa situ malas? salah siapa juga rumah lo di pojokan?"

"Kalau gue bisa angkat rumah udah lama gue angkat rumah gue ke depan rumah lo! biar jatah air rumah nggak ke tarik sama lo!"

Mily mengangkat bahunya acuh. "Yaudah sana lo angkat. Panggil Hulk, panggil Spiderman, panggil Hiroman, panggil Batman, dan panggil saudara-saudaranya yang lain!"

Juwita menatap sengit Mily yang mulai berjalan santai lagi. Dalam hati ia terus mengumpat untuk gadis berambut panjang yang sudah mendahuluinya karena tadi ia diam di tempat sambil beradu mulut bersama Mily. Nasib punya rumah yang berada jauh dari pompa air besar, sebab itu di musim kemarau seperti sekarang keran air rumah Juwita sering tidak mengalir. Hidup di kompleks yang sangat sederhana dan hanya mengandalkan aliran air yang di bayar perbulan membuat mereka harus bersabar diri ketika berada pada masa ini.

Ekspresi Juwita tidak berubah, masih di hiasi kekesalan. Mengambil langkah besar menyusul Mily yang sudah berbelok pada jalan raya untuk mencari angkot. "Tungguin gue, Kambing!"

"Cepet, Monyet! Angkotnya udah mau datang!"

Juwita mempercepat langkahnya hingga terlihat berlari kecil. Berantem, saling menyalahkan, dan memaki satu sama lain sudah biasa terjadi pada mereka berdua. Hal seperti itu tidak pernah bertahan lama apalagi lewat dari tiga hari, karena Mily dan Juwita percaya ketika bermusuhan melebihi itu, maka mereka akan masuk neraka. Sebuah perkataan yang sangat terkenal pada masa kanak-kanak dan sekarang itu masih terus berlaku pada Mily dan Juwita.

Benar saja, baru sedetik yang lalu Juwita datang, angkot sudah berhenti di depan mereka dan langsung di sambut oleh Kang Kevin—lelaki yang memiliki nama keren tetapi wajah bertolak belakang. Kang Kevin bertugas untuk berdiri pada pintu, berteriak ketika mencari penumpang, dan mengambil ongkos.

"Wah, Neng, makin cantik aja."

Mily menatap malas Kang Kevin yang tidak pernah bosan mengatakan itu di setiap pertemuan mereka ketika berangkat ke sekolah. Jika saja wajah lelaki itu sedikit menyenangkan untuk di pandang, mungkin Mily dan Juwita sudah tersipu setiap hari.

Mily naik deluan lalu di susul Juwita yang juga tidak merespon ucapan kang Kevin. Sedikit tidak sopan, tetapi jika di suruh jujur, hal itu membuat mereka berdua risih.

"Jangan dorong gue, Ta! Banyak penumpang, nih!" Mily berseru tertahan ketika Juwita terus mendorongnya agar bergerak cepat. Angkot hari ini lumayan padat oleh anak sekolah dan ibu-ibu yang ketahuan ingin ke pasar.

"Kang Ipin bau ketek! Gue hampir mau pingsan lama-lama di dekat dia." Juwita berbisik pelan ketika sudah duduk di samping Mily. Untung mereka kebagian duduk di paling belakang hingga bau itu tidak sampai tercium lagi. Menyeka keringat sesaat sambil melirik sekilas Kang Kevin yang biasa di panggil Ipin oleh manusia yang merasa nama Kevin terlalu bagus untuk lelaki itu.

Mily melepaskan tasnya lalu menaruhnya di atas paha agar lebih leluasa bergerak. "Kayaknya dia kehabisan batu tawasnya, deh. Biasanya juga nggak bau gitu, cuman bau matahari kemarin doang."

"Kenapa dia ngga beli deodoran saset aja? murah, cuman dua ribu lima ratus?" Tanya Juwita.

"Kalau lo nanya ke gue, terus gue nanya ke siapa? Nanya kepada rumput yang bergoyang?! Gitu?!"

Juwita mendelik. "Santai dong, sensi amat lo. Gue kan, cuman mengutarakan pertanyaan."

"Pertanyaan lo itu bikin gue naik darah." Mily mengehela nafasnya kasar. "Dari pada lo nanya doang, kenapa bukan lo yang beliin dia deodoran yang tahan luntur sampai 24 jam?!"

"Kurang kerjaan banget gue pake beliin dia deodoran, mending gue tidur dari pada habisin waktu untuk lakuin itu."

"Sekarang pun lo kurang kerjaan bacot-bacot ngga jelas, mending lo diam daripada gue semakin ikut kurang kerjaan karena ladeni lo."

Juwita lagi-lagi memandangi Mily sengit. "Dasar sensian melebihi pantat bayi!"

"Berhenti bacot atau gue bacok?"

Juwita terkesiap, langsung nutup bibirnya rapat-rapat. Melirik Mily sekilas yang tengah mengunyah permen karetnya.

Juwita benar-benar tidak pernah lagi bersuara sampai angkot mereka sudah setengah jalan menuju sekolah. Butuh hampir setengah jam menempuh perjalanan yang lumayan jauh dari rumah mereka. Sekolah lain yang dekat jelas banyak yang di lewati, tetapi Mily dan Juwita tetap memilih sekolah yang lebih bagus menurutnya sebagai tempat menimba ilmu.

Keheningan di antara Mily dan Juwita harus sirna karena angkot tiba-tiba berhenti padahal tempat duduk penumpang yang memanjang sudah hampir penuh, tersisa sedikit lagi ruang yang masih bisa di duduki satu penumpang. Mily dan Juwita kompak berdecak malas, waktu mereka tinggal sedikit. Juwita melirik Mily yang tengah memandangi jam tangannya lalu menunjukkan padanya, dari benda itu sudah terpampang jelas jika upacara akan segera di mulai tetapi kang Adi—selaku sopir masih saja membuang-buang waktu untuk mengambil penumpang lagi.

"Kalau kita telat lagi, berarti kita udah genap telat sebanyak sepuluh kali!" Mily berucap pelan. Wajahnya di tekuk.

"Nama kita pasti yang paling banyak." Juwita menambahi. "Nggak banget kita terkenal gara-gara sering terlambat upacara."

"Gue, sih, nggak masalah kita terkenal gara-gara itu, kan, mayan kakak PKS yang kebanyakan cogan hafal nama dan muka kita." Mily menaik-turunkan alisnya. "Tapi, disetiap kesenangan pasti ada kesedihan," melirik Juwita sekilas, "hari ini tugas lo yang bersihin toilet, kan? Terus gue yang berjaga-jaga biar nggak ada yang masuk dulu."

Juwita melengos. Hukuman terlambat hari ini memang bagiannya. Minggu kemarin saat mereka lagi-lagi terlambat Mily yang dapat bagian. Untuk hal ini sudah di atur dan di sepakati bersama ketika pertama kali terlambat karena waktu upacara yang tiba-tiba di ubah pada awal semester kemarin.

"Permisi...."

Juwita tidak menjawab ucapan Mily, ia berbalik melihat penumpang yang baru naik sedikit kesusahan melangkah untuk segera duduk di bagian tepat di depan mereka. Juwita tidak mengerti mengapa hawa panas di angkot pagi ini yang sudah padat secara cepat langsung berubah menjadi sejuk karena kehadiran lelaki itu yang sudah berhasil duduk setelah melewati ibu-ibu menyempitkan jalan dengan kaki besarnya, serta anak gadis SMP yang sudah mulai berbisik-bisik.

Dengan mata tidak lepas pada lelaki di depannya, Juwita mencoba mencolek Mily yang sedang memainkan ponsel Nokianya sambil terus mengunyah permen karet yang baru saja tadi di buka lagi.

"Apaan, sih?! Colek-colek gue?! Lo pikir gue sabun colek apa?!"

Juwita berhenti mencolek lengan Mily, mengganti cara dengan menyikut pelan gadis itu sambil mendekatkan diri. "Cogan, bego! Di depan elu!"

"Hah? Mana cogan?!" Refleks Mily berseru sedikit kencang.

Juwita dengan mati-matian menahan tangannya yang sangat gatal untuk tidak menampol bibir Mily yang sama sekali tidak bisa santai ketika mendengar kata Cogan.

Lelaki itu bergerak canggung ketika memasukan ponselnya ke saku seragam setelah selesai meminta bengkel langganannya untuk menjemput mobilnya yang lagi mogok di pinggir jalan. Diam-diam matanya melirik seluruh penumpang, hanya tiga lelaki di sini; sopir, kondektur, dan dirinya. Ia tidak mau merasa jika ucapan gadis berambut panjang kusut didepannya sedang membicarakan dirinya yang tadi di sebut Cogan. Tetapi apa boleh buat, jika di suruh jujur memang cuman dirinya yang ganteng disini.

Menyadari tingkahnya yang memalukan diri sendiri dan mau tidak mau Juwita kena ampasnya juga, Mily tersenyum kaku. Juwita menghela nafas, memilih tidak mengomentari melakukan Mily.

"Kamu satu sekolah sama kita, ya?" Juwita berucap tiba-tiba ketika melihat logo sekolahnya yang berada di samping lengan atas seragam lelaki itu yang dengan cepat mendongak menatap Juwita lalu menyamakan dengan punyanya.

Lelaki itu mengangguk pelan sembari tersenyum kecil yang seolah-olah hal itu adalah rasengan milik Naruto yang mampu mematikan siapapun tetapi seketika berubah pada Mily yang malah terserang tepat pada hatinya lalu menjalar ke jantungnya yang langsung berdegup lebih cepat daripada biasanya.

What the hell?!

Senyuman lelaki itu langsung membuatnya merasa diagnosa memiliki penyakit jantung seketika.

Juwita yang juga melihat tidak tinggal diam, tangannya sudah meremas-remas tangan Mily dengan kuat.

"Apaan, sih, lo remas-remas gue?! Lo pikir tangan gue itu squishy?!"

Lelaki itu tertawa pelan, lalu tanpa di duga membuka suara. "Kalian anak kelas sebelas, ya?"

Mily seketika mengangguk malu-malu.

Juwita mendelik jijik menyaksikan ekspresi Mily yang tersipu malu-malu, padahal biasanya gadis itu malu-maluin hampir setiap hari.

"Oh, gitu." Lelaki itu mengangguk pelan lagi lalu tanpa sangat di sangka ia melanjutkan ucapannya. "Gue Surya Nugraha, kelas duabelas." Seperti pada umumnya saat memperkenalkan diri, mengulurkan tangan pada kedua gadis di hadapannya yang sedang melongo. Hanya beberapa detik seperti itu lalu kemudian Mily dan Juwita mulai berebut siapa yang deluan memperkenalkan diri dan menjabat tangan lelaki itu yang ternyata memiliki nama manis.

"Ta! Gue dua bulan lebih tua daripada lo ya! Lo harus ngalah sama yang Kakak!"

"Yang ada tuh, lo yang ngalah sama Adek!"

"Kakak itu panutan, jadi dia harus pertama!" Mily terus mencoba menahan tangan Juwita. Surya yang menyaksikan terkekeh dengan tangan yang masih terjulur. Karena tenaga Mily menjadi lebih kuat karena hal ini, Juwita akhirnya kalah.

"Aku Mily, kelas sebelas Bahasa." Tangan Mily dua-duanya menangkup tengan Surya yang sedikit kekar. Tidak ada malu lagi untuk kesempatan berharga ini, selagi ada waktu ia harus menggunakannya dengan baik.

Belum cukup beberapa detik, Juwita langsung menyingkirkan tangan Mily lalu gilirannya. "Aku Juwita, sekelas sama Mily." Tangannya juga menangkup penuh tangan Surya. Bodo amat dengan malu, itu urusan belakang.

Surya cukup terkejut atas perlakuan kedua gadis itu. Tersenyum lagi dan mengangguk mengerti hingga Juwita melepaskan genggamannya.

Setelah kejadian perkenalan yang membuat tangan Surya seperti masih merasakan bekas genggaman Mily dan Juwita yang sedikit erat, Surya mengalihkan pandangannya pada jam tangan yang sudah lewat lima menit waktu upacara. Mengumpat pelan, untuk pertama kalinya ia terlambat.

Sedangkan Mily dan Juwita sudah tidak memikirkan keterlambatan mereka lagi, perasaan berbunga-bunga menggantikan. Mily menyikut lengan Juwita dan mendekatkan diri.

"Juwita." Mily berbisik, Juwita langsung mendekatkan dirinya juga. "Kak Surya ganteng, jadi aku sudah mencintainya." Sedikit meniru dialog iklan film yang pernah ia dengar.

"Mily." Juwita balik berbisik. "Kak Surya memang ganteng, tapi kamu jelek, jadi dia nggak mungkin mencintaimu juga."

                        ********

HALOOO!!!
KENALAN DULU BIAR SAYANG.
AKU AsmahAfaaf WKWK. BIASA DI PANGGIL AS TAPI JELAS BUKAN KARTU AS.

selamat datang di ceritaku ini. Semoga suka. Kalau kamu vote dan komen, aku bakalan sayang.

Okelah. Sudah tengah malam. Sengaja post tengah malam karena biar yang jomblo ada temannya di maljum ini.

Baca doa sebelum tidur, kalau enggak, ya nanti ada putih-putih. HAHAHA

Salam manis dari jodohnya d(i)a.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro