Chapter 6 Part 5
4 hari setelah tak menerima kabar apapun.
Dari pojok kelas, Chelsea melirik Honomi yang langsung beranjak setelah bel tanda kelas terakhir usai. Hatinya mencelus waktu ia sadar hidupnya makin terperosok pada jurang gelap yang ia sendiri tak tahu dasarnya apa. Satu per satu orang beranjak, kelas sepi, dan udara yang tadi hangat tiba-tiba dingin. Chelsea merapikan bukunya pelan-pelan, tanpa berniat beranjak dari kelas sama sekali. Ponselnya tak bergeming telepon sejak empat hari pertemuannya dengan Ryu. Hanya ada satu pesan pendek dengan kabar kalau ia bakal tidak pulang ke rumah untuk urusan syuting pemotretan.
Sekarang ia menyesal mempercayainya begitu saja. Bagaimana kalau Ryu sebenarnya pergi menyerahkan diri seperti apa yang ia katakan terakhir kali di rooftop gedung Clai're itu? Untuk membayangkannya saja rasanya tidak mungkin. Masa iya Ryu tega meninggalkannya sendiri dan membereskan masalah itu tanpa memberi aba-aba? Tanpa sadar, Chelsea meremas ponselnya, hanya ada bayangan senyum Ryu yang bisa renggut. Dan itu menyakitkan untuk sekarang.
"Mau sampai kapan duduk di sana?"
Dari ambang pintu, Kato bersandar sambil mengamati punggung Chelsea. Yang di panggil menoleh cepat, tersadar, lalu menghela napas. Ia meraih ranselnya dan bangkit menghampiri Kato.
"Apa kau akan menunjukkan tempat yang kau janjikan kemarin?"
Selama 4 hari ini juga, Chelsea tanpa sadar banyak berubah terhadap pemuda satu ini. Setelah pengakuan terbesarnya di rumah waktu itu, membuka sebagian sisi Chelsea untuk berhenti mengelak terus. Ia membutuhkan teman untuk menyelamatkan Ryu. Dan ia cukup untuk merasakan Kato yang selalu tulus. Walaupun perubahan itu terasa seperti sihir, tapi inilah Kato yang sebenarnya. Wujud yang selama ini ia sembunyikan, baik terhadap orang lain atau dirinya sendiri.
"Tidak ada tugas?"
Chelsea menyampirkan tasnya keluar kelas, mendahului Kato.
"Tidak. Ayo pergi," titahnya. Dari belakang, Kato menghentikan Chelsea.
"Apa harus selalu terburu-buru begitu? Matsumoto," panggil Kato seraya menghampiri Chelsea yang terdiam di tempatnya.
"Ini sudah 4 hari sejak aku tak mendapat kabar apapun dari Ryu, kalau ada kata lain dari buru-buru, mungkin itulah aku sekarang. Aku tak ingin kehilangan dia."
Meski Ryu bilang di telepon kalau ia hanya akan menyelesaikan pemotretan dan beberapa syuting komersil lain, Chelsea tidak bisa percaya begitu saja. Ia sempat mendatangi Clai're, betul ia menemukan Ryu, tapi langkahnya terlalu kaku dan yang bisa ia lakukan hanya menahan rindu yang begitu menyesakkan dan memilihnya menunggu. Namun hari kemudian ia datang ke gedung itu, tak ada sesi pemotretan, dan Chelsea tidak tahu Ryu ada di mana.
"Oke. Sepertinya sekarang kita akan pergi ke rumah lama Gilbert?"
Kemarin Kato bilang, siapa tahu mereka bisa menemukan bukti lain untuk menjebak Gilbert. Sekarang Chelsea merasa misi Kato untuk menjatuhkan Gilbert juga merupakan misinya. Sejak kejadian di rumah Kato beberapa hari yang lalu dan cukup membuat batin Chelsea tertekan, ia tahu jawaban dari keyakinan yang ia miliki hanya satu; ia harus membuat Gilbert jera dan mendapatkan Ryu atas kebebasannya. Setidaknya, ditangkap polisi dan menyebarkan semua kejahatannya selama ini. Jika bukan Ryu, apakah Chelsea bisa merasakan emosi yang begitu membara bahkan diluar logika bisa percaya pada Kato akhirnya?
"Ya," jawab Chelsea sambil menarik napas. Bersamaan dengan itu, Kato merenggut tangan Chelsea pelan dan bergumam rendah, "kita perlu lari seperti biasa, oke?"
Lalu Kato menariknya dan membawa pergi luka-luka yang sejenak berubah menjadi luapan harapan untuk disembuhkan.
***
Kato lupa kapan terakhir ia ke desa terpencil di pinggir kota ini. Cukup satu jam menempuh bus rute satu-satunya yang punya tujuan ke desa Fukoshi, tempat di mana langit biru cerah masih membentang luas dengan halaman depan gunung Oshibi yang menyatu dengan awan putih sejuk. Berbagai ladang padi membentang luas dengan jajaran irigasi memisahkan tanah hingga membentuk kotak-kotak, cicit burung yang mendesir bersama daun yang bergoyang terkena angin, dan serpihan masa lalu yang sesekali melesak nyata.
Roda bus berembus pergi bersama debu tanah yang berterbangan di udara. Chelsea berdiri tepat di sebelahnya, memandang tempat baru itu bingung.
"Apa benar tempat ini hanya satu jam dari Tokyo?"
Kato meliriknya lalu mengajaknya melewati jalan setapak kecil di samping ladang. "Ya. Ayahku punya rumah di dekat sini."
"Ayahmu pemilik salah satu tanah ladang ini?" Chelsea menerka sambil memandang luas ke ladang di sebelahnya. Sesekali seseorang melintas dengan sepeda tua, membagi ruang di jalan setapak kecil itu.
"Dulu iya, tapi ia menjual tanah itu untuk biaya sekolahku di Tokyo," cerita Kato. Ia masih ingat hal pertama yang ia masih hormati sampai sekarang. Bahwa Gilbert masih bertanggung jawab untuk menghidupinya meski ayah kandungnya bahkan membuangnya. Satu hal yang ia rasakan ketika memiliki Gilbert di sampingnya hanyalah itu. Ia percaya semuanya baik-baik saja.
"Takamura Genji ternyata, ... hanya menginvestasikan segalanya, bukan?"
Rambut Chelsea yang terlepas dari ikatan rambutnya terkena angin, membuat pandangan itu rasanya tumpang tindih dengan asrinya pemandangan desa. Rasanya Kato ingin menyelipkan rambut itu dan memeluknya untuk menyimpan harum tubuh gadis itu.
"Dia sudah merencanakan adopsiku hanya untuk memperlancar rencananya. Dia memang hebat."
Jalan setapak itu mengarah ke belokan yang menjauhi ladang. Mereka agak masuk ke dalam hutan kecil yang di pinggirnya terdapat aliran sungai deras dengan air sebening es. Chelsea yang mengamati itu dari antara balik pohon tanpa sadar mendesah takjub.
"Apa itu air dari gunung?"
"Ya," jawab Kato, "aku dulu sering menangkap ikan bersama ayah," semakin ia memandangi tempat-tempat itu, semakin besar rasa bencinya meningkat. Ia benci kenapa selama ini ia bisa tulus sementara Gilbert hanya membantunya sadar kalau keberadaannya di dunia ini terlalu beruntung.
Ya, setidaknya ia amat beruntung.
"Itu rumahnya."
Chelsea melihat bangunan kecil di pinggir sungai yang depannya terdapat jalan setapak lurus. Rumah itu punya desain minimalis penuh kaca dan berpagar tinggi. Chelsea menatap rumah itu beberapa saat sebelum mengikuti Kato.
"Kato," panggil Chelsea sambil mendekat, "apakah kau yakin tidak ada pengawal--" Kato sudah membuka gerbang yang banyak tanaman liar merambat itu lalu menoleh, "tidak ada. Ayo, masuk," katanya menarik Chelsea.
Pekarangannya kecil dan pas. Sebuah garasi terbuka--yang hanya dibangun tanpa fungsi seharusnya --menempatkan sebuah sofa dan meja kopi yang mengarah ke aliran sungai alami di belakang garasi itu. Teras rumah berlantai kayu seperti dek, dan Kato sudah membuka pintu kacanya sebelum Chelsea mempelajari rumah cantik ini.
"Kau cukup kaya untuk masa kecilmu," gumam Chelsea ketika masuk. Kali ini pemandangan dalam rumah lebih menakjubkan. Langit-langitnya tinggi dan ada jembatan setapak yang membentang di antara ruang atas, seperti dari kamar satu ke kamar lain yang diberi jarak. Chelsea menunjuk jembatan foyer itu.
"Untuk apa jalan itu?"
Kato memandang jembatan foyer itu lalu seakan bisa melihat dirinya waktu kecil berteriak memanggil Gilbert karena ia berusaha pergi kerja.
"Kamarku, dan itu kamar ayahku," Kato menunjuk kamar di sayap kiri, lalu kamar di sayap kanan, "ayahku membuat kamar terpisah. Yang bodohnya aku tidak tahu kalau ia sebenarnya hanya memisahkan rahasia yang sebenarnya. Ayo, akan kutunjukkan kamarnya."
Chelsea mengikuti Kato yang sudah melepas jaketnya dan mengikat setengah rambutnya itu, menaiki tangga berlapis marmer berdebu dan kusam. Di luar samar-samar suara kecipak air dari aliran sungai terdengar, dan entah kenapa gema suara sepatu dan napas mereka seperti terekam dalam linimasa rumah ini. Bagaimanapun Chelsea merasa jauh dari Tokyo, ia merasa ketenangan ini seperti sebagian dirinya yang rindu akan rasa aman. Rindu akan mimpinya dan rindu akan pertemuan dengan Ryu.
"Aku tidak tahu apakah Gilbert masih menyisakan sesuatu, tapi aku sangat penasaran untuk mengeceknya. Menurutmu, kapan aku harus melaporkan Gilbert?" Sebelum Kato membuka pintu, ia menoleh ke arah Chelsea dan menunggunya menjawab.
"Eh? Aku kira kau sudah memikirkannya?"
"Bukankah sudah kubilang kalau aku ini pengecut? Sebelum kau aman, aku tidak akan melakukannya."
Ia mendorong pintu tua itu hingga menimbulkan suara derak mengerikan yang melengking ke penjuru rumah. Kamar Gilbert mempunyai kaca besar yang langsung mengarah ke kebum belakang dengan pemandangan lengkap gunung dan langit biru yang cerah. Sebuah kasur tanpa seprai dan lantai bersih tak ada perabotan lainnya membuat ruangan jadi terlihat melompong.
Kato mendesah panjang. "Ternyata ia benar-benar sudah merapikan semuanya. Sialan."
Sebuah buffet kosong yang penuh debu, lemari buku kosong, beberapa debu dengan jejak tak kasat mata, kaca yang agak kusam dan bau apak namun masih tercemar sejuknya suasana pedesaan. Ketika Chelsea tak sengaja menarik tali tirai, ternyata tirainya sudah tidak terpasang, hanya suara kerak berisik memenuhi ruangan. Kato ingat pertama kali ia mengunjungi kamar ini.
Dulu, Gilbert sangat suka lampu kuning kecokelatan yang tak menyakiti mata. Ia selalu menyalakan lampu meja jika sedang membaca atau menulis sesuatu. Di salah satu meja kerja yang sekarang kosong dan hanya tersisa debu dan lampu mejanya, Kato mengusap satu jari debu itu dan menatapinya seperti menyapa debu itu "okairi" (selamat datang kembali!).
"Apa yang sebenarnya kau cari, Kato? Apa yang kau yakini kalau Gilbert menyimpan sesuatu di sini?" tanya Chelsea seraya meratapi sebuah lukisan minyak abstrak di atas buffet pendek depan tempat tidur. Kato menoleh dan ikut menatapi lukisan itu.
"Aku ingin mencari surat adopsiku. Aku ingin melepaskan diri dari Gilbert sebelum aku ikut campur urusan kotornya itu. Aku ingin memulai hidup baru sebagai diriku sendiri. Bukan sebagai diri Gilbert yang menginginkan anaknya sopan, manis di depan kamera."
Chelsea menoleh agak menunduk, Kato masih meratapi lukisan itu sambil membayangkan kesan pertama waktu semua orang menyukainya karena anak kecil manis yang menggemaskan ada di pangkuan seorang Pria Ikemen nomor satu di Tokyo.
"Kau tidak melakukannya lagi bukan, sekarang?"
Kato terus menatapi lukisan itu hingga ia seperti menghapal gerus dan ceruk kuas tekanan warnanya.
"Tidak akan pernah lagi sejak ia melemparku dengan kasar dan memilih tidur bersama wanita lain. Well, ia hanya satu-satunya teman yang kupunya saat itu. Dan aku seperti anjing kecil yang kehilangan majikannya dan bingung ingin menerima perintah apa."
"Kenapa, Kato?" Chelsea menoleh simpatik, kedua alisnya menaik tinggi.
"Kenapa?" Tiba-tiba Kato ikut bertanya. Tapi bukan pada Chelsea melainkan lukisan itu. Ia menajamkan pandangan pada kanvas di depannya dan mengerutkan alis ketika menyadari sesuatu.
"Apa?" tanya Chelsea menatapnya bingung, lalu tertuju pada pandangan Kato.
"Apa kau merasa lukisan itu seperti baru saja dilukis lagi?"
Tiba-tiba ia mengulurkan tangan dan menurunkan bingkai lukisannya. "Apa maksudmu, Kato?"
Kato mulai menurunkan bingkainya ke lantai dan mempreteli bingkai itu hingga mendapatkan kanvas lukisannya. Pertama-tama ia mengusapkan jemarinya ke atas lukisan itu, lalu mulai menekan bagian kuas warnanya.
"Lihat, ini masih basah," kata Kato seraya mendekatkan coretan itu ke depan mata.
"Lalu, apa yang--"
"Itu artinya ada seseorang yang meninggalkan jejak di sini."
Kato mulai meraba-raba seluruh kanvas lalu membalik papan itu dengan gerak buru-buru. Ia melepaskan kanvas itu dari tulangan kayu yang menahannya.
"Memangnya siapa yang meninggalkan jejak? Bagaimana bisa?"
Sebelah tangan Kato menyingkap kertas kanvas itu lalu melepaskan tulangan kayunya sambil mengecek satu-satu sudutnya. Hingga ketika ia membuka lipatan sudut kanvas yang bekas menempel ke kayu itu, barulah di situ Kato menemukan sebuah nomor.
"Ini dia," gumam Kato.
Ada coretan kecil di ujung kanvas itu dan ia menghapalnya dalam sekali lihat. 4 digit angka yang selama ini ia cari. 4 digit angka yang selama ini mati-matian ia perjuangkan sampai harus masuk ke kamar keramat ayahnya sendiri.
"Apa itu, Kato?"
Kato menoleh dengan mata penuh picingan tajam. Mata yang membuat Chelsea hapal kalau sebuah rencana sedang memelesat dalam pikirannya.
"Kau ingat tempat yang selalu ayahku singgung di rekaman mp3 waktu itu?"
Chelsea nampak mengingat, "apa maksudmu ketika ayahmu bilang 'bawa dia' itu?"
"Ya. Itu adalah bukti terakhir. Bukti besar yang memperkuat alasanku untuk membunuhnya selama ini."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro