
Chapter 3 Part 1
Wajah Honomi memerah karena telah menenggak lebih dari lima gelas soju yang dipesannya. Matanya teler dan bicaranya mulai melantur. Tubuhnya bersandar ke pundak Atsuki yang sama sekali tidak mabuk padahal sake katanya lebih berat. Malah Chelsea yang baru dipaksa minum satu gelas soju, perutnya mulai bergejolak aneh dan kepalanya pusing. Ia menyanggah kepalanya dengan satu tangan di atas meja. Tiba-tiba ia merasa ngantuk.
"Asuka-san, sejak awal aku tahu aku tak pernah salah meminta berteman," ia bersendawa, berusaha membuka mata, "aku bisa mengajak foto Ryu-kun dengan mudah sekarang!" di akhiri dengan tawa, Chelsea hanya tersenyum tipis.
"Tapi kau tahu, aku tidak akan berteman denganmu lagi jika rahasia ini tersebar," sahut Chelsea pelan. Pandangannya mulai kabur dan ia merasa sebelah pelipisnya membentur meja. Terdengar suara Atsuki khawatir.
"Asuka-san, ayo pulang. Sudah larut. Akan kupanggilkan taksi."
Tapi Chelsea bangkit dengan susah payah dan mengibaskan tangannya. "Atsuki-kun, tidak perlu. Aku akan menelepon Ryu untuk menjemput."
"Benar tidak masalah?" tanya Atsuki memastikan. Tapi Chelsea kembali meletakkan kepalanya di atas meja dan memgangguk sambil tersenyum. Di sebelah Atsuki, Honomi sudah terpejam erat, napasnya lembut dan ia sudah mabuk terlalu banyak. Dengan gerak kikuk, Atsuki menarik lengan Honomi yang lemas dan membopongnya di punggung.
"Telepon aku jika kau butuh bantuan, Asuka-san." Atsuki nampak tak yakin melihat Chelsea yang mengangguk dengan lemas. Tapi punggungnya semakin berat dan akhirnya ia memastikan pada pelayan untuk segera meneleponnya jika Chelsea tak ada yang menjemput juga.
Hotpot hari ini cukup memuaskan. Setelah Chelsea menceritakan rekam jejak bagaimana dulu Ryu dan dirinya bisa kenal, Honomi seperti orang sesak napas. Sepanjang menceritakan itu juga, Honomi bilang kalau ia menjadi penggemar Ryu Otosaka bukan karena wajahnya yang tampan saja. Tapi karena beberapa interview di artikel majalah Ryu sering menyebut kalau selama orang berjuang, ia akan mendapatkan hal yang ia impikan, Honomi pun percaya hal itu.
Bagi Chelsea, ia tidak tahu cara menyentuh perasaan orang, tapi berkat Ryu ia jadi mengerti beberapa perasaan yang tak ia ketahui sebelumnya. Perasaan cinta, rindu, sakit hati dan kehilangan. Tapi itu semua larut bersama kewaspadaannya terhadap Kato.
Chelsea menggeram dan membuka matanya susah payah. Melirik ponsel lalu menekan tombol telepon. Layar menunjuk panggilan Ryu, tapi hanya nada sambung yang terdengar. Kepalanya sakit dan ia mulai kehilangan kesadaran. Sebelum sempat melihat Ryu mengangkat teleponnya, ia merasa seseorang merenggut tubuhnya dalam sekali tangkupan.
Chelsea kaget, tapi di satu sisi, seluruh badannya terasa kaku dan lemas. Ia ingin melawan seseorang yang kini menggendongnya itu, tapi kekuatan dari semua ototnya terasa hilang begitu saja. Di buramnya pandangan mata itu, Chelsea seperti melihat sorot mata dingin penuh dengki terlintas dalam benaknya. Dada seseorang yang mendekapnya hangat kian membuat kepalanya berat. Tapi satu nama terbersit cepat sebelum ia benar-benar hilang kesadaran.
Kato.
***
Ponsel Ryu bergetar, tapi ia tak bisa menjangkau benda itu dari saku celananya. Tangan mungil Rin melintang di sepanjang pundak Ryu. Tubuh gadis itu ada di tangkupannya, matanya terpejam sambil sesekali bergumam. Kenapa harus sekarang? Ryu masuk ke lift yang berdenting di depannya dan menekan kamar hotel yang di pesan Senoo.
Rin mabuk. Dua gelas vodka ditenggaknya kala bercerita masa kecil bersama Ryu cukup membuatnya lengah. Sementara tak ada cerita lain yang bisa dikeluarkan, ia pun hanya membicarakan gadis kecil yang ia sukai. Chelsea dalam nama samaran. Melihat itu, Ryu tahu kalau Rin agak canggung, jadi ia menenggak terus vodkanya entah kenapa.
Senoo yang melihat Rin sudah diluar kendali akhirnya hanya meminjamkan kamar untuk istirahat gadis itu. Hal ini mudah bagi Ryu, tapi Rin yang mendesah pelan sambil terus menelusup kepalanya ke leher Ryu seakan mencari perlindungan membuatnya kesusahan. Kejadian ini mengingatkan ia pada Haruka. Gadis tenang namun memiliki segudang dendam yang tertahan.
Lorong hotel sunyi senyap, suaranya langkahnya teredam karpet tebal. Ia membuka pintu kamar hotel dengan susah payah, lalu dengan satu sentakan paksa, akhirnya masuk ke dalam kamar. Pintu berdebam ditutup, ia pun mendekati kasur hotel berseprai putih sejuk itu. Namun ketika Ryu ingin menuruni gadis itu, genggaman Rin jadi mengencang.
"Rin-san," gumam Ryu pelan tak bermaksud membangunkannya. Kelopak mata Rin sayup-sayup membuka. Posisi Ryu yang agak menunduk karena baru setengah menurunkannya ke atas kasur tak memisahkan jarak. Seluruh tenaganya berpusat pada Rin, tapi gadis itu malah tersenyum dan menyandarkan kepalanya.
"Ne, Ryu-kun, kau tahu waktu aku mendengar kau tidak menolak untuk mempererat hubungan kita, aku cukup senang," suaranya berupa bisikan, pelan-pelan mata Rin membuka seutuhnya, "ternyata kau mudah masuk ke lingkungan kami juga, ya."
Ryu ingin mengerutkan dahi tapi ia menahannya. Tanpa mengatakan apa-apa ia pun menurunkan Rin dari tangkupannya ke atas kasur. Cengkraman gadis itu menguat di pundaknya, yang membuat Ryu tanpa sadar terkunci di posisi tertahannya. Wajah Rin hanya dua senti di depan hidungnya. Dan ia merasa desing keheningan kamar membuat darahnya mendesir dingin.
"Ryu-kun, kita akan sukses besar. Kalahkan para senior itu, dan kau akan populer di depan wajah para tetuah itu. Bagaimana?"
Ryu tak menjawab. Gadis ini sudah jelas mabuk. Yang perlu ia lakukan sekarang tinggal pergi dan pulang. Tapi waktu ia hendak melepas cengkraman Rin, kedua kaki gadis itu tiba-tiba menjepit pahanya dan menariknya naik ke tempat tidur sambil tertawa. Ryu tersentak dengan gulingan itu, Rin menyampirkan rambutnya dan sekarang tubuh gadis itu ada di atasnya. Ryu bisa merasakan napas panas Rin dan bau vodka di sekitar tubuhnya.
"Mau kemana?" tanyanya. Satu jemari menyentuh pipi Ryu.
"Rin-san, apa yang kau lakukan?" Ryu merasa dadanya sesak karena dada gadis itu menindihnya.
Kelihatannya Rin sudah biasa melakukan ini, bahkan ia terlihat seperti menguasainya.
"Apa maksudmu? Kau belum sadar juga?"
Ryu mengerut heran. "Sadar apa? Aku harus pulang sekarang."
Wajah Rin mendekat tanpa aba-aba ia mengecup pipi Ryu lembut. "Pesona mu cukup kuat, dan kau mengikatku di dalamnya. Bagaimana, Ryu?" Gadis itu menggigit bibir bawahnya seraya tersenyum.
Astaga. Ryu menelan ludah dan dalam satu kekuatan penuh, ia menggulingkan Rin hingga kini dia yang ada di atas tubuhnya. Rok Rin sudah malang melintang di atas pahanya, tapi sensasi itu hanya dirasakan Rin seorang. Otak Ryu cukup meneriakkan nama Chelsea. Dan ia harus mengakhiri permainan ini sekarang.
"Maaf, Rin. Aku harus pulang, Asuka menungguku."
Dalam satu tepis, Ryu bangkit dari kasur dan berderap melepaskan diri. Tapi Rin langsung tersentak duduk di kasur hendak mencegahnya.
"Asuka? Siapa..? Kekasih--" Nada suaranya terselip kaget sekaligus tak menyangka.
Kepala Ryu menoleh pelan, ia menghela napas. "Kalau yang kau maksud chemistry tadi siang adalah chemistry di atas ranjang, maaf sekali. Aku hanya melakukannya pada Asuka. Kita cukup sebatas rekan kerja."
Sorot mata mabuk yang tadi diperlihatkan Rin seketika lenyap. Seakan kata Asuka yang terucap di bibir Ryu menggetarkan seluruh nadinya hingga bangun tersadar. Ryu melambai sekali, lalu keluar ruangan sambil bergumam, "selamat malam."
Dan jejak terakhir yang Ryu ingat adalah sorot mata Rin. Sorot mata tajam tak terima.
***
Uhuk, apakah usaha Rin akan sia-sia? Apakah Ryu akan terpincut? Apakah Chelsea bakal cemburu?
Tunggu update selanjutnya minggu depan! Ja matane😆
P.s buat yang mau tau info seputar Tokyo Kiss atau cerita lainnya, bisa follow instagram aku di : @nicemcqueen yaa. Arigatou🐰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro