Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 || Bunyi Lonceng

Malam semakin pekat. Minuman yang kusiapkan di ruang tamu juga sepertinya sudah dingin dimakan waktu. Ini di luar prediksi. Memangnya Fira biasa selesai kursus jam berapa?

Selama ini aku menunggunya dengan antusias, cemas, dan panik secara bersamaan di ruang tamu sambil berguling-guling di lantai. Tidak pernah menyangka Fira belum sampai juga bahkan setelah aku terbangun dari tidurku yang tak sengaja; bahkan setelah ayahku pulang dari pekerjaannya dan ia bertanya-tanya ada apa gerangan dengan semua kebersihan dan minuman ini di ruang tamu. Namun satu hal pertanyaan pasti yang ada di benakku adalah: Fira ke mana?

Aku beranjak untuk mengambil ponsel di meja, berniat untuk menghubunginya langsung saja daripada banyak berprasangka.

Ketika menekan aplikasi WhatsApp, seperti kebanyakan manusia di muka Bumi, tanganku refleks melihat update story orang-orang sejenak seolah tidak mau merasa tertinggal. Tapi kurasa senantiasa mengecek kehidupan orang lain bukanlah sebuah gagasan yang baik, karena yang terjadi sekarang, adalah emosiku meledak-ledak bukan main.

Aku menonton story Rayhan, yang juga anak OSIS, berfoto bersama-sama anak OSIS lainnya di sebuah kafe. Sepertinya gambar itu diambil oleh pelayan kafe, mereka dipotret secara menyeluruh dari jarak yang cukup jauh, sehingga kamu bahkan bisa melihat lengkap siapa-siapa duduk dengan siapa saja. Yang aku tidak mengerti, aku tidak tahu malam ini ada pertemuan atau rapat OSIS di luar sekolah. Maksudku, hei, aku tidak mendapatkan informasi ini dari Aldo? Ya ampun, halo? Aldo ke mana?

Aku mengusap layar dengan dua jari bertujuan membesarkan gambar tersebut, lalu yah, aku menemukan cowokku itu duduk di samping Nadin (benar, tepat di SAMPING Nadin) dengan senyum lima jari pada wajah keduanya. Bahkan Nadin agak mencondongkan tubuhnya ke arah Aldo supaya terlihat lebih akrab. WOW, ini malah SANGAT AKRAB SEKALI!

Gigiku bergemeletuk karena rahangku beradu. Aku meremas ponsel dengan perasaan kacau yang tidak akan pernah bisa didefinisikan.

Bukankah Aldo baru saja sore tadi meminta maaf kepadaku di depan orang-orang? Tapi kenapa ia bertingkah seperti ini? Dan, lihat saja bagaimana ia di luar! Jika posisinya SEDEKAT itu, pantas saja jika beberapa orang di sekolah tidak mengetahui bahwa aku berpacaran dengan Aldo.

Ini gambar yang luar biasa buruk. Sangat buruk.

Aku menekan tombol lainnya untuk menangkap layar dari foto tersebut, barangkali bisa menjadi bukti ketika aku mempermasalahkan soal ini nanti. Lantas ketika aku keluar dari status Rayhan yang terlewat, tiba-tiba status WhatsApp itu sudah tidak lagi ada di barisan story lainnya.

Wah, mereka pasti berniat menyembunyikannya dariku karena ada Aldo bersama Nadin di sana. Wah, wah, wah.

"DASAR SETANNN!" teriakku tertahan pada bantal sofa agar tidak menggegerkan masyarakat.

Setelah puas berteriak dan memaki-maki berulangkali, aku memukul bantal itu dengan berbagai macam serangan tinju dan beranggapan bahwa muka Aldo ada di sana, sedang kuhancurkan sampai babak belur. Aldo benar-benar cowok tidak tahu diri! Kurang ajar! Tidak punya otak! Gagal berempati! Tengil! Pokoknya semua!

Dan Nadin? Astaga! Bukankah baru saja siang tadi cewek itu diberitahu bahwa akulah pacar Aldo? Lalu kenapa ia masih dekat-dekat? DEKAT-DEKAT?

Kurasa Nadin juga kehilangan akal sehat.

Iya, mereka sama-sama kehilangan akal sehat.

Dan, jadilah tanganku agak bergetar sekarang. Tidak terlalu parah memang, tapi siapa juga yang tidak syok ketika mengetahui pacarmu justru AKRAB dengan seseorang yang paling kamu benci di dunia.

Aku menggenggam tangan berusaha mengontrol diri. Kemudian dalam sekilas, teringat lagi soal Fira yang tidak pernah sampai, padahal sudah kuberikan lokasi rumahnya sejak sore.

"Oh iya, nelpon Fira," gumamku sembari menggulirkan layar ponsel.

Nada panggilan itu menggema di kupingku, lalu tidak lama kemudian panggilannya tersambung dan aku mendengar suaranya seperti baru bangun tidur.

"Halo, ada apa, Vi?" tanya Fira di seberang sana.

"Lho, lho? Fir, lo nggak jadi main ke rumah gue?"

Yang di sana terdiam selama beberapa saat, lalu bisa kubayangkan ia membelalakkan mata terkejut ketika mengingat janjinya dan melihat jam dinding sekarang. "YA AMPUN VIANA, MAAF GUE LUPAAA."

Aku meringis dan mengasihani diri sendiri karena masih saja menungguinya sampai pukul sepuluh malam. "Ya udah, nggak apa-apa. Selamat istirahat. Maaf ya gue ganggu," kataku pada akhirnya, sambil berusaha menerima.

"Aduh, beneran maaf maaf bangetttt, Vi. Tadi gue kelar bimbel langsung balik, nggak inget sama sekali. Maaf ya, Vi. Kapan-kapan gue main." Aku bisa mendengar nada cemas dan tidak enak yang dilontarkan Fira.

"Iya, nggak apa-apa. Kapan-kapan aja," putusku berusaha bicara dengan tidak datar-datar amat, meski ujungnya masih agak datar juga.

Bayangkan saja, aku sudah cemas sejak sore tadi dan menyiapkan segala hal agar rumah ini paling tidak layak untuk disinggahi oleh seorang teman pada kali pertama. Namun yang berjanji ingin datang justru tidak pernah datang.

Aku memutuskan panggilan tepat setelah merespons 'tidak apa-apa' lagi kepada Fira yang masih meminta maaf.

Dan seusai panggilan itu terputus, semuanya sepi. Benar-benar sepi.

Aku langsung merasa ... tidak memiliki siapapun lagi.

Rasa kesepian itu mendadak menyergap dan menggerogoti bentengku yang selama ini beranggapan bahwa aku kuat dan kuat dan akan senantiasa kuat. Benteng itu perlahan-lahan terkikis seperti air hujan yang terus menggerus batu. Rasanya menyakitkan.

Aku tahu semua perasaan kita muncul akibat hormon di kepala, tapi sakit hati itu ternyata benar adanya. Dadaku terasa sesak dan dipenuhi karbondioksida. Aku seperti kesulitan bernapas selama beberapa saat dan kehilangan kontrol atas jemariku sendiri karena ia semakin bergetar hebat. Mataku bahkan ikut memanas.

Tidak ada yang lebih menyakitkan dari menyadari bahwa kamu tidak memiliki satu hal yang tersisa. Tidak seorang pacar, tidak juga seorang teman, dan tidak juga soal privilese. Kecantikan, kepintaran, dan kekayaan itu tidak ada bersamaku sejak lahir. Semua paket itu tidak ada padaku.

Aku tidak punya apa-apa. Apakah karena itu aku tidak memiliki siapapun di dunia ini? Apakah karena itu Nadin lebih mudah mendapatkan apapun di kehidupan ini?

Aku tidak mengerti. Aku sangat tidak mengerti.

Bagaimana bisa orang secaper Nadin, dengan perilaku toksiknya yang senang membanding-bandingkan orang lain, dan sikap merendah untuk meroket itu bisa ditemani semua orang? Apakah tidak ada yang merasa risih ketika bersamanya? Atau merasa jijik karena sifat tengilnya? Apakah anak-anak OSIS itu tidak tahu juga bahwa Aldo sudah bersamaku?

Astaga, aku benar-benar tidak habis pikir. Mereka menghancurkan semua mood-ku yang tersisa. Hidup ini benar-benar ... seperti tinggal di dalam lubang gelap.

Maka aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku, merutuki diri kenapa mesti melalui hal-hal seperti ini.

Biasanya aku melalui perasaan yang tidak mengenakkan ini dengan meditasi atau menulis buku harian pada akhir pekan, tapi siapa juga yang mampu begitu ketika batu besar dari gunung menabrak sampai hancur tidak terkecuali? Kurasa tidak ada yang mampu.

Ketika aku berusaha mengontrol diri sepenuhnya, pendengaranku menangkap bunyi lonceng kecil yang bergerak.

Menyadari itu, bulu kudukku langsung merinding.

Lonceng? Siapa yang punya lonceng di rumah?

Lantas mengingat aku juga pernah menonton film Pengabdi Setan yang memiliki khas dengan bunyi lonceng, ini membuatku semakin takut. Aduh, bisa-bisanya ia datang di kondisi begini! Kacau.

Suara lonceng itu semakin dekat, semakin kencang.

Bunyinya yang perlahan samar lama-kelamaan semakin pekat dan terdengar.

Sampai ketika loncengnya seperti masuk ke dalam gendang telingaku karena saking kencangnya, aku refleks mengangkat kepala dan menoleh ke kanan dengan tersentak.

Lalu itu ... ternyata bukan setan.

Ia Ibu Peri. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro