4 || Ketidakadilan Dunia
Kelas 11 di jurusan IPA rasanya seperti berada di antara hidup dan mati. Inginnya sih, ada di dalam kondisi hidup selamanya, tapi entah kenapa dorongan kematian itu selalu muncul. Seperti misalnya, aku sudah sering belajar Biologi, bahkan sampai mengulang kembali materinya sejak awal! Tapi masih saja mendapat nilai di angka empat puluhan. Sudah mati-matian menjaga rasa penasaran di setiap mata pelajaran itu muncul, tapi tetap saja nilainya tidak berkembang biak.
Di dunia ini aku percaya ada dua tipe manusia: satu, ada orang yang beruntung karena tidak mesti belajar keras, tapi otaknya sudah encer. Dua, ada orang yang memahami satu bab mata pelajaran saja butuh diulang berkali-kali baru ia paham dan muntah.
Aku sendiri masuk yang mana? Tentu saja masuk ke dalam kategori kedua, yakni bukan orang yang beruntung-beruntung amat.
Jadi kamu ngerti, 'kan? Kadang dunia tidak selamanya adil. Bukan berarti orang yang jelek dari lahir, bisa mendapatkan otak cemerlang, dan orang yang cantik pasti ia bodoh. Belum tentu. Kadang-kadang Semesta bisa memberikan mereka paket lengkap sekaligus, tapi ada juga yang tidak dikasih paket apa-apa sepertiku.
Kini aku sudah berada dalam kelas, guru di depan sedang mengupas setiap soal-soal ujian yang diberikan pekan sebelumnya untuk bahan evaluasi siswa-siswi. Tapi aku kurang terlalu memerhatikan karena hari ini pikiranku sudah pecah berkeping-keping. Aku tidak habis pikir, kok bisa sih, Aldo main di belakang? Kok bisa, ia tidak cerita-cerita apapun kepadaku tentang Nadin dan OSIS selama ini? Kok bisa, Nadin punya ruang padahal kelakuannya begitu?
Di lembaran terakhir buku tulis Biologi, adalah tempatku biasa mengisi berbagai macam coretan acak karena isi kepala yang sudah terlalu berisik. Umumnya berisi gambaran doodle, tapi kadang-kadang bisa juga berisi makian subjektif. Subjektif karena mungkin buat beberapa orang, sekarang aku sedang tidak rasional dan emosional. Jadi seolah apapun yang Nadin lakukan tampaknya akan selalu salah di mataku.
Padahal memang benar, Nadin selalu salah, dan semestinya bukan di mataku seorang.
Lihat saja sekarang (yah, kami sekelas), ketika guru sedang menjelaskan di depan, ia malah asyik cekikikan dengan cowok yang duduk di sampingnya (baca: Rayhan) dan di belakangnya (baca: Danu). Nadin sama sekali tidak memedulikan keberadaan guru di depan dan ia sudah sering begitu. Sayangnya sedikitpun Nadin tidak pernah mendapatkan teguran sebab nilainya selama ini aman-aman saja. Padahal, bukankah menjadi kewajiban siswa-siswi juga untuk memedulikan pemaparan guru, meski nilai mereka sudah baik?
Dunia ini benar-benar tidak adil.
"Tuh, lihat! Lagi kelas malah sempet-sempetnya caper," bisik Fira, teman semejaku di samping kanan.
Aku meringis saja mendengarnya, "Udah sering."
"Iya, 'kan! Terus gue heran deh, masa ya, setelah gue perhatiin lagi ... tu anak nggak pernah deket sama temen cewek, Vi!" kata Fira lagi, berbisik dengan menggebu-gebu. "Gue pernah coba deketin, masa responnya diem doang. Gila kali ya, mau temenan cuma sama lawan jenis. Cuih, tengil!"
Aku mengernyitkan dahi lalu menoleh ke arahnya. "Lo ... ngeeh tabiat dia juga?" tanyaku dengan suara pelan.
"Hah? Ya iyalah! Belagu begitu masa nggak ada yang ngeeh?"
Rasanya seperti diguyur air es ketika terik matahari sedang membakar kulit. Dan rasanya juga terharu. Aku tidak pernah divalidasi perasaannya seperti ini, mungkin karena aku tidak memiliki teman dekat dan pacarku ternyata malah mendukungnya diam-diam di belakang. Sungguh, mendengar ungkapan seseorang yang satu frekuensi ternyata mampu membuatku senang bukan main! Kupikir selama ini hanya aku saja yang merasa demikian, kupikir selama ini aku sendirian. Astaga, aku terlalu banyak berprasangka.
"Gue kira lo suka sama dia selama ini, makanya gue nggak pernah ngomong..." ucapku jujur.
Fira yang memiliki poni untuk menutupi jidat lapangannya itu mengembuskan napas lewat mulut dan membuat poninya sedikit terbang ke atas. "Makanya lo jangan berprasangka dulu!" serunya sembari menyipitkan mata, mungkin kesal juga karena aku mengiranya menjadi bagian dari komplotan Nadin. "Suka sama dia? Ngaco lo," katanya lagi.
Aku mengulum senyum merasa puas. Entahlah, perasaan ini sulit untuk didefinisikan. Yang jelas rasanya sama seperti mengetahui ada seseorang yang mengidolakan idola kita juga, mengerti 'kan? Nah itu!
Lalu tidak berselang lama setelah kami saling diam, penghapus papan tulis melayang di langit dan menabrak ke dinding kelas terbelakang. Semua orang tersentak, tak terkecuali aku. Tubuhku berhasil merespons ancaman itu dengan menunduk, takut-takut penghapusnya salah mendarat dan mengenai wajahku.
Kemudian ketika bunyi nyaring antara pantulan penghapus itu dengan tembok dan lantai lenyap, aku memberanikan diri untuk memandang ke depan.
Mampus!
Guru Biologi di depan menatap kami dengan tatapan nyalang. Beliau pasti menyadari aku dan Fira habis mengobrol. Ah, sial, sial, sial!
"KALIAN BERDUA KELUAR!"
Dunia benar-benar tidak adil. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro