18 || Keputusan Besar
"Hei, hei!" Tangan mungil itu menepuk pipiku berkali-kali. "Hei, bangun!" serunya lagi sambil terus menepuk pipi.
Kelopak mataku terbuka perlahan-lahan. Pandangan yang sebelumnya kabur seperti spektrum berputar, lama kelamaan menjadi semakin jelas dan jernih. Melihat langit-langit kamar di atas sana, maka aku langsung menyadari diri habis terjungkal sampai jatuh pingsan selama beberapa saat.
Kemudian Ibu Peri itu terbang kembali, dan kini ia berada di depan mataku lagi. "Kamu pingsan cukup lama tau! Aku juga punya target lain setelah ini," ujarnya bersungut-sungut.
Kalau keadaanku normal, aku akan menepuknya sampai gepeng seperti menghabisi nyamuk. Enak saja, bisa-bisanya peri itu tidak pengertian. Katanya panggilan dari Semesta, tapi entah kenapa pelayanan yang diberikan peri itu agak setengah hati dan membuatku jengkel.
Untungnya sekarang ini aku habis terbangun dari pingsan, jadi alih-alih menepuknya sampai gepeng, kini aku mesti mengambil posisi duduk dengan hati-hati supaya kepala bisa sambil menetralisir rasa sakitnya yang menjalar. Karena yah, terjungkal sampai kepala belakangmu terbentur lantai itu bukan suatu pengalaman yang baik.
"Salah sendiri ngagetin," ketusku seraya mengusap kepala belakang yang masih nyeri.
"Mana kutahu responmu bakal begitu!"
"Terserahlah."
Perlu dicatat, berdebat dengan Ibu Peri Lokal tidak akan ada habisnya. Jadi menyerah saja sebelum ia semakin menghabisi energimu, lagi. Ini informasi penting kalau-kalau kamu akan bertemu dengan Ibu Peri suatu saat nanti.
Aku duduk di lantai bersandar pada ranjangku yang menempel pada sisi tembok lain. Kamarku tidak besar, sama sekali tidak besar. Jadi ketika kamu masuk melalui pintu (bukan menembus tembok), di hadapan kamu akan langsung menemui meja belajar beberapa langkah dari pintu dan sebelah sisi kirimu akan ada ranjang ukuran satu orang dewasa-ranjangku yang tidak besar-besar amat.
Kemudian sisi menarik ada di tembok-tembok kamarku itu sendiri. Aku banyak menempel poster-poster tempat yang ingin dikunjungi, seperti misalnya ada gambar pantai Lombok dengan laut biru yang menyegarkan pikiran, lalu ada foto-foto jalan di daerah Malioboro yang terkenal vintage dan cantik. Aku menyukai bagaimana Yogyakarta masih memakai aksara Jawa di beberapa lokasinya.
Kemudian, ada poster Institut Teknologi Bandung (ITB), kampus impianku sejauh ini.
"Kamu mau ke sana semua?" celetuk Ibu Peri, melihatku yang memperhatikan gambar-gambar di dinding. "Belum ada tempat yang pernah kamu injak selain Jakarta?" tanyanya lagi.
Aku mengembuskan napas panjang. Lalu menarik sudut bibir, membentuk senyum paksa. "Belum."
Ibu Peri itu berhenti terbang dan duduk di meja belajarku. Kakinya menggantung dan bergerak-gerak. Ia ikut memperhatikan tiap-tiap poster yang tertempel. "Kenapa belum?" tanyanya.
"Ya ... karena uang Ayah habis untuk kebutuhan harian dan biaya kuliah Kak Sarah. Jujur aja, Kak Sarah masuk kampus swasta dan biaya semesternya agak memberatkan keluarga," tuturku menjelaskan.
Ia mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Lantas bergumam panjang. "Mau kukabulkan ini? Soal kamu yang mau pergi ke--"
Aku menggeleng tegas. "Tidak."
Ibu Peri mengernyitkan dahi. "Kenapa? Kalau begitu soal keberuntungan masuk ke ITB?"
Sekali lagi, aku menggeleng tegas. "Tidak."
"Kenapa?" tanyanya tidak mengerti. "Biasanya remaja sepertimu kurang lebih itu permintaannya."
Iya, kenapa aku menolaknya, ya?
Dalam hati, aku sempat meragukan keputusan ini. Tapi entah mengapa sebagian hati yang lain masih menolak tegas dan ia sangat yakin. Ada separuh hatiku yang ingin berjuang sendiri atas mimpi-mimpi itu, bukannya menyerahkannya begitu saja ke Ibu Peri. Aku mau ke sana karena memang layak, bukan melalui jalur cepat yang mungkin akan membuatku merasa payah seumur hidup nanti.
Selain itu, karena ... ada hal yang lebih penting. Ada hal yang jauh lebih penting daripada ini.
"Aku mau meminta hal yang lain," ucapku dengan dada berdebar-debar.
Ibu Peri mendengarkanku dengan saksama. "Iya, apa?"
Aku menunduk seraya mengepalkan tangan. Untuk kesekian kali menekankan diri bahwa aku berada di posisi yang benar. Aku tidak akan menyesal dengan harapanku nanti. Aku. Sudah. Di. Jalan. Yang. Benar. Aku tidak curang. Ini benar-benar keinginanku dari lubuk hati terdalam. Aku janji tidak akan menyesal.
Maka selanjutnya, aku menjawab pertanyaan itu dengan nada sedikit bergetar. Ada keraguan sedikit dalam diri, tapi aku berusaha tidak mengacuhkan eksistensinya sama sekali.
"Tolong hapus ingatanku." []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro