17 || Tante SCBD
Aku sudah selesai mandi dan makan malam. Sambil menunggu Ibu Peri yang mirip tante-tante SCBD itu muncul lagi, aku mengerjakan tugas-tugas Matematika Peminatan yang harus dikumpulkan besok pagi kalau tidak mau dipermalukan seantero kelas oleh Pak Danang.
Aku kadang terheran juga, kenapa di dunia ini harus ada guru-guru yang cara mengajarnya temperamental alih-alih ramah bintang lima. Maksudku, sekarang kan kita sudah bukan di zaman kolonialisme, kita sudah bukan di era penjajahan. Kenapa mesti memakai pola diktator yang sama?
Pak Danang adalah salah satu guru yang mudah marah di SMA Harapan Nusantara. Yah, mungkin karena lelah juga kali ya mengajar puluhan anak yang dungu setiap harinya. Selain itu, geng anak-anak bangku belakang juga banyak pongah. Susah diatur, kecuali oleh guru yang galaknya seperti ingin makan orang.
Namun sangat disayangkan saja, kenapa aku yang baik dan tidak banyak tingkah ini harus mendapat amukan Pak Danang juga?
Tidak adil.
Ketika aku sedang menulis jawaban dari soal pertidaksamaan trigonometri nomor lima sembari banyak menguap alih-alih serius, tiba-tiba bunyi lonceng mungil itu mulai terdengar lagi, dari arah yang jauh.
Darahku berdesir, peri itu akan datang. Ia akan mengambil permintaanku untuk dikabulkan.
Namun ketika aku menengok ke arah kanan-kiri dan tidak mendapati Ibu Peri Lokal itu di mana-mana, tubuhku merinding. Bulu kudukku berdiri.
Ibu Peri itu tidak ada.
Tapi suaranya masih terdengar. Suara loncengnya masih ada.
Maka sekarang tubuhku semakin membatu dan pulpen lepas secara refleks dari genggaman. Mungkin harus menunggu sebentar lagi. Iya, aku tidak salah mendengar bunyi lonceng.
Itu lonceng Ibu Peri, kok. Bukan bunyi lonceng dari film Pengabdi Setan yang terkenal itu.
Itu suara Ibu Peri. Tenang saja.
Aku berusaha meyakinkan diri agar tidak takut berkali-kali. Ini bukan waktu yang tepat untuk takut. Ibu Peri akan menepati janjinya. Tidak ada yang perlu ditakutkan.
"Menunggu, ya?"
Ia muncul tepat di depan wajahku. Tubuh mungilnya menembus tembok kamar dan secara tiba-tiba mencuat dari dinding yang menempel dengan meja belajar.
Kamu tahu apa respon tubuhku?
Tubuhku terdorong ke belakang. Detak jantungku berhenti selama beberapa detik. Napasku tercekat. Mataku membelalak.
Kemudian, aku terjatuh dari kursi belajar.
Lalu semuanya gelap.
Sekali lagi, gelap. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro