Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 || Keruntuhan Pertama

Tiba di area sekolah ternyata tidak membuat semuanya semakin mudah. Beberapa orang bertanya kenapa wajahku hari ini tampak lebih pucat, beberapa lainnya bingung kenapa aku murung sekali. Di sekolah, aku memang terkenal cewek yang riang-senang-gembira dan galak, jadi kalau dua ekspresi itu tidak terpasang di wajahku, mungkin wajar saja kalau mereka jadi bertanya-tanya.

Rayhan tiba-tiba datang menghampiri, "Lo kenapa, Vi?" tanyanya menyambut pagi. Kami berdua berjalan beriringan menuju kelas.

"Ya menurut lo?" balasku bertanya sambil menoleh sebentar untuk menatap sinis.

Aku tidak menyukai Rayhan, atau lebih tepatnya, aku tidak menyukai semua orang yang dekat dengan Nadin. Rayhan termasuk dalam himpunannya. Jadi kadang aku harus menjaga jarak dan waswas, karena orang-orang seperti ini biasanya bermuka dua.

"Semalam ada acara apa?" tanyaku pada akhirnya, gagal menahan diri untuk tidak mengorek informasi.

"Ohhh, itu."

"Iya, itu."

Rayhan menggaruk tengkuk leher sambil meringis. "Rapat biasa aja, sih. Yaa, meeting antar anggota OSIS gitu. Biasalah."

Biasalah.

Aku tidak bisa menormalisasi meeting yang kelewat sering tanpa alur yang jelas. Apalagi, rapat di luar sekolah? Serius rapat atau cuma main-main nongkrong?

"Lo tau kan, kalau gue sama Aldo?" tembakku dengan intonasi mulai terdengar galak.

Rayhan menganggukkan kepalanya ragu. "Tau...." Nadanya mengambang.

Maka aku mengernyitkan dahi sambil memiringkan kepala. "Menurut lo, gue salah kalau mempertanyakan, kenapa OSIS belakangan ini sering banget rapat di luar sekolah? Atau kenapa, Aldo dan Nadin lebih sering lagi ngobrol bahas OSIS berduaan di luar rapat? Menurut lo, gue salah?" tanyaku seperti gerbong kereta yang panjang.

Rayhan memberhentikan langkahnya, dan aku pun ikut berhenti. Ia kelihatan sedang berpikir. Tapi raut wajahnya menunjukkan ekspresi ketidaksetujuan, ia menautkan kedua alisnya.

"Lo terlalu posesif, Vi," ungkap Rayhan. "Lo terlalu menggenggam."

Aku menganga tidak paham. "Gue punya pacar, jadi salah ya, kalau dia gue genggam?"

Rayhan diam.

"Lo nggak tau rasanya, sih. Dia yang bikin aturan kalau mau ke mana-mana harus ngomong satu sama lain, dan dia yang bikin aturan jangan main sama lawan jenis. Tapi semalam bisa-bisanya dia nggak ngomong sama sekali ke gue, bisa-bisanya dia main berdalih rapat juga gitu sama lawan jenis. Dia hipokrit dengan peraturannya sendiri. Dan lo nggak akan tau rasanya gimana, Han," jelasku panjang lebar.

Rayhan masih terdiam, tubuhnya menyingkir untuk bersandar pada dinding lorong supaya tidak mengganggu arus jalan orang-orang.

Aku menelan ludah, berusaha tidak tercekat dan kelihatan kuat. "Gue ngomong gini biar lo tau, siapa yang sebenernya jadi korban. Jangan asal nyelonong nyalahin guenya yang terlalu posesif sama Aldo. Gue begini juga ada alasannya. Gue cuma minta feedback dari apa yang dia lakuin ke gue, kok."

Cowok itu kini menatapku dengan sorot prihatin. Aku tahu di kondisi seperti ini, ia tidak bisa berbuat banyak.

"Tapi kayaknya percuma sih, ngomong sama antek-antek Nadin." Aku membuang napas dengan kasar. "Gue ke kelas duluan, ya," pamitku.

"Kita bakal staycation ke Bandung," kata Rayhan ketika aku baru saja membalikkan badan menuju kelas. "Ini beneran staycation, bukan urusan OSIS. Kebetulan aja anggota OSIS yang sekarang kedekatan emosionalnya dapet, kita semua ngerasa satu frekuensi, makanya jadi sering ngumpul bareng," tuturnya dengan nada berat hati.

Sementara itu, ujung jemariku bergetar, dan mataku mulai nanar. Aku tidak berminat untuk kembali memutar badan dan mendengarkan Rayhan sesuai etika. Aku tidak peduli. Aku merasa memunggunginya sambil mendengarkan adalah keputusan yang paling baik.

"Gue minta maaf karena ngatain lo posesif." Aku bisa merasakan tubuh Rayhan kini sudah kembali berdiri tegap, dan matanya lurus menghadap punggungku. "Saran gue sebagai temen sekelas lo yang nggak deket-deket amat tapi tetep berempati, mendingan lo putusin Aldo. Belakangan ini dia emang keliatan deket sama Nadin."

Aku menunduk, merasa tidak nyaman dengan pembahasan ini. Apalagi ketika beberapa orang mulai menatap kami karena tidak segaja mendengar masukan konyol Rayhan itu.

"Lo ... lo nyuruh gue bubar jalan, maksudnya apa? Biar mereka makin nempel gitu?" tanyaku dengan pelan. Aku mulai kehabisan suara.

"Biar lo sadar, lo pantes dapet yang lebih baik daripada Aldo." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro