[15]
✧ ✧ ✧
Ini adalah pertama kali bagi Aca mengunjungi rumah temannya. Tugas sekolah dengan tema debat, mengharuskan ia dan pasangan debat untuk latihan agar lancar saat tes minggu depan. Dan tentu, yang pertama kali maju menjadi pasangannya adalah Kahfi. Masih sulit bagi Aca memahami alasannya di baliknya.
Mereka berdua sedang menyusun ide debat di ruang keluarga, di mana TV dan sofa besar berada, lalu di belakang adalah meja makan juga dapur yang terbuka.
"Rumahnya sepi," ucap Aca sambil melihat sekeliling.
"Biasalah, belum pada pulang." Semoga aja banjir, jadi pulangnya pada malem, lanjut Kahfi membatin.
"Eh! Ada yang banjir?"
"Ha? Ga lah, Ca. Mana ada hujan, kapan juga banjirnya?" tanya Kahfi sedikit berkeringat dingin takut isi hatinya tidak sengaja terucap.
"Ah! Iya, bener juga." Kalimat yang dibagi Kahfi sangat masuk akal. Entah apa yang membuat Aca tidak fokus hari ini, ada banyak kejanggalan yang ia hadapi.
Baru saja setengah topik dibahas, pintu rumah terbuka kencang.
"PANAAAAAAS!" teriak sang adik yang berlari cepat ke bawah AC. Aca begitu terkejut melihat keributan itu, sebab menjadi yang pertama kali mengalaminya.
Ah, elah! Udah pada pulang, gerutu Kahfi dalam hati. Dari raut wajah yang kesal itu Aca membalas dengan penuh tanya.
"Eh? Siapa?" tanya sang adik kepada sosok yang tidak ia kenal.
"Temen abang." Semoga lanjut jadi pacar, ada sedikit senyum yang mengembang ketika Kahfi membagi setengah kalimat lanjutan dalam hati. Yang justru membuat Aca semakin kebingungan.
"Bunda mana?" tanya Kahfi sambil mencari sosok yang seharusnya menemani sang adik.
"Oh, iya! Bunda minta tolong turunin pasir kucing."
"IH! BUKANNYA BILANG DARI TADI! KENA MARAH LAGI NANTI!" teriak Kahfi sambil berlalu.
Aca terus memperhatikan penuh fokus pada sosok kecil asing yang sedang bersamanya, benar-benar berhasil membuat sang adik sedikit risih dengan tatapan tersebut. "Temen abang?" akhirnya sang adik membuka pertanyaan.
"Abang? Kahfi?" Balasan sang adik adalah sebuah anggukan.
"Iya, teman sekelas."
"DITUNGGU DARI TADI! KE MANA AJA SIH, FI?" teriak seorang wanita yang berlalu dengan langkah keras sambil membawa keranjang besar. Ada sesuatu di dalam keranjang berwarna biru itu yang menatap lurus kepada Aca.
"Eh! Ada siapa?" Saat mata Aca juga wanita paruh baya saling menangkap muncullah kecanggungan.
"Hah! Temen abang! Hah! Lagi ... ngerjain tugas! Di sini aja ya, bun. Berat!" jelas Kahfi yang sedang menyeret satu karung besar ke dalam rumah.
Aca yang mendapat tatapan penuh harap dari wanita paruh baya itu, akhirnya membuka mulutnya. "Aca ... hm, ah! Tante." Canggung, terlalu canggung. Pertama kalinya Aca menghadapi orang-orang seperti ini, sehingga sulit menyesuaikan diri.
"Halo, Aca. Ini bundanya Kahfi," ucap sang bunda memperkenalkan diri, sambil tersenyum manis.
"Abang lanjut kerja kelompok ya, bun," balas Kahfi seakan sedang meminta izin.
"Ih, abang! Temennya ga dikasih minum?" Sang bunda kemudian memukul punggung anak lelakinya dengan gemas saat menatap meja yang hanya penuh buku catatan.
"Cemilan juga ga ada! Aca mau makan apa?" Omelannya terus berlanjut dan berakhir dengan tatapan penuh tekanan kepada Aca.
"Eh? Eh? Hm ..."
"Puding, mau? Tante abis beli puding cokelat tadi. Itu loh Fi yang di kafe kemarin, kan enak tuh kue-kuenya."
"MAUUUU!" teriak sang adik yang seharusnya tidak ikut dalam percakapan.
Ada sedikit rasa lega saat sang bunda berjalan menuju dapur dan sibuk menggali di antara tumpukan belanjaan.
Kahfi yang baru saja menyimpan barang belanjaan di tempat seharusnya kemudian berjalan ke keranjang yang ditinggalkan sang bunda begitu saja. Sambil membuka keranjang tersebut dari gembok kombinasi, kembali lagi pikiran Kahfi berlarian ke mana-mana.
Sip, bunda kayanya suka sama Aca. Bisa lanjut jadi mantu, nih bun. Hehehe.
Aca yang sudah kelewat bingung akhirnya mendekati Kahfi yang sedang sibuk melepaskan makhluk yang berada di balik keranjang kemudian berbisik pelan. "Mantu, itu apa ya Fi?" Seketika keringat dingin mengalir di wajah Kahfi. Tidak salah lagi, kalimat dalam hati tidak sengaja terucap. Perlahan dia mengintip ke sang bunda dan adik. Namun, tidak ada yang peduli, seakan tidak ada yang mendengar.
Anehnya, posisi Aca yang lebih jauh dibanding bunda dan sang adik, malah dapat menangkapnya.
"HSSSSS!" Itu adalah suara dari balik keranjang yang menujukkan protes dari kucing yang dari tadi terkurung di sana. Sayangnya, bukan karena ia tidak sabar untuk keluar, tetapi itu ditujukan kepada satu orang, yaitu Aca.
Setelah berpikir keras, Kahfi akhirnya mencoba sesuatu yang terasa bodoh.
"Ca?" Kamu bisa denger aku?
"Ya? Denger apa?" Kedua mata Kahfi membulat.
"Astaga!" Ca, kamu bisa denger pikiran aku?
"Denger pikiran ...? Astaga!" Aca yang akhirnya memahami apa yang selama ini membuatnya bingung. Kalimat yang terucap Kahfi di mulut dengan hatinya terdengar bersamaan, itu mengapa rasanya begitu ganjil. Namun, tidak hanya itu yang membuatnya bersemangat.
"Telepati? Kita bisa telepati? Seperti seorang pasangan?"
"Tunggu, Ca! Tunggu!" Kahfi yang panik mendengarnya dengan sedikit rona merah di wajah kemudian menarik Aca menjauh dari keluarganya.
"P-pasa ... Apa maksudnya, Ca?" Kahfi terlalu gugup menangkap kata yang dengan enteng keluar dari mulut Aca.
"Ya, itu tanda kita pasangan, kan? Bisa saling telepati?"
"Ha? Tidak ada yang semacam itu, Ca? Dan aku ga bisa baca pikiran kamu," jelas Kahfi yang kini sudah lebih banyak diselimuti bingung dibanding malu.
"Tapi begitu kata orang tuaku."
"Kita lagi ngomongin manusia yang sama 'kan? Kamu bukan dari dunia asing 'kan?" Sejujurnya itu hanyalah kalimat asal yang dibagi Kahfi tanpa pikir panjang. Mempercayai dunia asing rasanya seperti terlalu penuh imajinasi, tetapi aplikasi aneh itu memang sedikit mempengaruhi Kahfi saat ini.
"Orang tuaku sih katanya ... punya sebutan lain."
Itu berhasil membuat Kahfi bungkam, dia memang tidak percaya bualan dalam aplikasi yang tidak bisa dia hapus dari handphone-nya itu. Namun, sebagian kecil pojok hati percaya kalau semua itu nyata. Kini di hadapkan dengan kalimat yang terasa janggal itu rasanya mudah mempercayai bahwa Aca adalah seorang alien. Sebab, itu menjelaskan mengapa Aca sulit sekali peka dengan perasaan yang terang-terangan Kahfi bagi.
Monster memang tidak datang untuk memberi ketegangan, tetapi justru kini muncul sosok alien dalam hidupnya.
"Menyimpan rekaman memori."
"Kamu lihat itu ga, Fi?" tunjuk Aca pada hologram asing yang muncul di depan mata.
Sayangnya, Kahfi sibuk dengan pemberitahuan berisik dari aplikasi asingnya, yang kini muncul satu cerita baru dengan nama yang sangat dia kenal.
Aca sang pendatang dari galaksi seberang, Februari 15
✧ ✧ ✧
Tema cerita: MC dan keluarga adalah alien.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro