Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

To Rise or Against

Jakarta, 34 tahun yang akan datang ...

Gedung bertingkat kian menjamur. Bangunan futuristik bertebaran. Kemajuan teknologi semakin pesat. Meski bukan lagi sebagai ibukota negara, namun Jakarta telah berubah. Yang lebih fantastis, Monas pun berubah! Sekelompok orang mematahkannya dan membuatnya seolah menandakan berakhirnya kekuasaan kota megah itu.

"Aku tidak suka! Aku ingin kembali ke masa lalu!" teriak Budi.

"Kamu yakin? Kamu pikir, kalau kamu bisa kembali ke masa lalu, kamu bisa mengubah sejarah?" tantang Jimmy.

"Tentu saja," jawab Budi mantap. "Kenapa tidak?"

"Enak sekali kalau seperti itu. Kamu tidak suka, kamu balik ke masa lalu, membelokkan cerita, lantas masa depan berubah." Ekspresi wajah Jimmy berubah sinis. "Memang siapa kamu? Tuhan? Yang bisa memutarbalikkan segalanya? Hah?"

"Pokoknya aku tidak suka. Jakarta harus kembali damai. Bukan hanya Jakarta, tapi Indonesia harus kembali damai. Tidak ada kubu A, B, C. Saling serang antar geng. Apa-apaan ini? Kemajuan teknologi hanya untuk perang saudara? Kamu tidak lihat sekarang negara kita seperti apa?" Emosi Budi mulai meningkat. Geram jelas terlihat.

"Terus kalau kamu bisa mengubah sejarah, kamu yakin bisa kembali?" Tatapan Jimmy tajam menantang Budi.

"Itu urusan nanti. Yang penting, aku bisa kembali ke masa lalu. Mengubah hasil pemilu. Tidak ada lagi peperangan." Mantap Budi berpendapat.

"Baiklah, kalau itu maumu. Lakukan saja apa yang kamu inginkan." Pasrah terdengar dalam nada suaranya. Sepertinya, kemauan sahabatnya terlalu kuat dan nekad.

"Oke, kita coba mesin waktu ini besok. Biar kusetting waktunya kembali ke tahun 2024. Sebelum masa tenang berlangsung." Budi menepuk-nepuk mesin waktu buatannya yang sudah dirancangnya selama tiga tahun ini bersama sahabatnya, Jimmy. "Aku harus membangkitkan semangat para pemuda masa lalu yang sudah teracuni oleh sekelompok provokator."

Jimmy hanya menghela napas panjang melihat api yang membara dalam tatapan sahabat kecilnya itu. Sahabat yang dikenal seumur hidupnya. Teman seperjuangannya baik dalam suka maupun duka.

**

"Baiklah, aku siap. Sudah kuprogram mesin waktunya sesuai yang kuinginkan. Bantu aku mengoperasikannya," pinta Budi. Dia sudah duduk di dalam tabung berbahan logam dengan lampu-lampu bersinar terang.

"Kamu yakin?" tanya Jimmy memastikan kembali.

"Yakin. Aku harus membangunkan para pemuda yang dulu tertidur," ucap Budi.

"Lalu bagaimana caramu kembali ke sini?"

"Aku akan buat mesin yang sama seperti ini untuk kembali. Atau kalian buatlah mesin ini agar bisa menarikku kembali," paparnya mantap.

Jimmy menghela napas. "Baiklah, kalau tekadmu sudah bulat. Berdoalah agar semuanya berjalan sesuai rencanamu. Kutunggu kedatanganmu nanti," ujar Jimmy.

Asisten mereka membantu menyiapkan semuanya. Dia berdiri siaga seraya menunggu isyarat Jimmy untuk menekan tombol-tombolnya.

Budi mengangguk tanda perjalanan siap dimulai. Jimmy mengacungkan jempolnya, kode pada sang asisten agar memencet tombol dan menekan tuasnya. Klik dan lampu menyala. Budi pun menghilang.

"Selamat jalan, kawan. Kutunggu kehadiranmu lagi di sini," gumam Jimmy. "Semoga berhasil."

Sang asisten menatap Jimmy. Mendoakan rekannya selamat dan misinya berhasil.

**

Jakarta, kini ...

"Kyaaaaa!"

Budi terkejut. Bukan hanya pada lengkingannya tapi juga pada sosoknya. Seorang perempuan cantik dengan pot bunga di tangannya.

"Siapa kamu?! Dari mana asalmu tiba-tiba muncul di sini!?" teriaknya heran.

Alih-alih menjawab, Budi malah terbengong-bengong. "Wuaaa cantiknya ...," batinnya. Dipandangi perempuan di hadapannya itu tanpa berkedip.

Byur! Air segayung berpindah posisi dari wadahnya ke muka Budi.

"Haduh!" Budi mengibas rambut dan mukanya yang basah. "Kenapa disiram?"

"Habisnya ditanya bukan jawab malah melongo. Datang tak diundang, tiba-tiba muncul kayak hantu, ya, wajar kena siram," gerutunya jengkel. Lalu diletakkan pot bunga di sisinya. Diletakkan kembali gayungnya ke ember. "Siapa kamu? Datang dari mana?" tanyanya galak.

"Ini di mana? Tahun berapa?" tanya Budi penasaran seraya menoleh kiri kanan.

Perempuan di hadapan Budi yang kini melongo. "Kenapa? Pura-pura tanya tahun padahal mau merampok? Nggak ada yang bisa dirampok di sini. Sana pergi sebelum kusiram lagi," usirnya. Siap mengambil gayung lagi.

"Tunggu! Aku Budi. Aku dari masa depan," terangnya cepat sebelum ada tindakan lebih lanjut. "Aku hanya ingin tahu, tahun berapa sekarang?"

Perempuan itu tergelak. "Harus, ya, aku percaya sama orang asing?"

"Aku serius. Biar aku jelaskan," ucapnya. Dengan cepat Budi menjelaskan misinya kembali ke masa lalu. Menceritakan sedikit kondisi masa depan. Dan berharap perempuan itu mau membantu menyelesaikan misinya.

Hening sesaat. Ada raut tidak percaya pada tatapan perempuan itu. Namun kalimat berikutnya melegakan Budi.

"Aku Wati. Semoga ceritamu bukan fiktif belaka seperti sinetron tak berkesudahan di tipi-tipi itu."

"Wati? Boleh tahu, sekarang tahun berapa?"

"2024," jawab Wati singkat.

"Berhasil," gumam Budi dengan wajah penuh senyum.

Wati memandangi wajah Budi. Menatapnya dengan heran dan penuh tanya.

"Aku ganteng, ya?" tanya Budi tiba-tiba.

Wati terbahak. "Tidak. Hanya penasaran dengan masa depan."

Budi langsung ambil kesempatan baik itu dengan bercerita panjang lebar. Tentang niatnya mengubah sejarah. Tentang kekacauan di masa depan. Wati yang sedang berkebun, seketika duduk di rumput menyimak cerita Budi. Budi pun ikut duduk di rerumputan. Langkah pertamanya berhasil. Tinggal mencari pengikut.

**

Budi beruntung. Ternyata Wati ikut organisasi kepemudaan di tempat tinggalnya. Tidak hanya itu, di kampus, Wati juga termasuk salah satu aktivis kampus teraktif. Usahanya untuk menggerakkan para pemuda seolah mendapat angin surga.

Langkahnya dipermudah. Dalam waktu singkat, sudah banyak mahasiswa dan pemuda kampung yang mendukung misi Budi. Menolak paham komunis kembali merebak. Dan membuat Indonesia selalu damai.

Tuntutan lain juga dikibarkan. Kesepakatan dibuat bersama. Mereka yang sudah menyatu, menyamakan persepsi dan menentukan kapan turun ke jalan.

Demo ke pemerintahan terjadi besar-besaran. Tidak hanya di satu tempat. Tapi juga seluruh wilayah. Di Jakarta, para pemuda berorasi di depan gedung gubernur. Mereka menyatakan keberatannya. Meminta penurunan harga-harga. Dan transparansi pemerintahan.

Budi ikut turun. Memperjuangkan misinya. Mengharapkan kedamaian itu terwujud di masa depan.

Tiba-tiba batu melayang. Para polisi bersiaga. Para demonstran terpecah. Saling lempar terjadi. Baku hantam tak terhindari.

"Provokator!" teriak suara dari berbagai arah.

"Penyusup!"

Suasana semakin kacau hingga para polisi melemparkan gas air mata. Lemparan batu terus menghujam. Barisan para demonstran semakin tak beraturan.

"Penyusup! Provokator! Itu orangnya!" tunjuk seseorang mengarah pada Budi.

Sontak Budi terkejut. Pandangan matanya liar mencari-cari pertolongan. Berharap ada yang mengenalinya dan mengatakan bukan dia pelakunya.

Terlambat! Seseorang dari arah belakang, menusuknya dengan sebilah golok. Budi tersungkur. Darah segar mengalir dari punggungnya. Dan Budi mengembuskan napas terakhirnya.

**
Limbo ...

"Jangan biarkan dia keluar, Cerberus!" perintah Hades.

Serta merta Cerberus pun melolong. Tanda dia mengerti dengan apa yang majikannya minta.

Langkah Budi terhenti di hadapan monster anjing berkepala tiga seukuran pohon kelapa setinggi dua meter. Budi melongo. "Makhluk apa itu?" batinnya.

"Ghaaaaargh ...!" raungnya mengerikan. Rantai yang membelenggunya bergemerincing.

"Pastikan jangan sampai manusia itu lolos, Cerberus!" Lagi-lagi suara Hades terdengar menggema.

"Cerberus, hah?" Budi menatap monster di hadapannya itu dengan saksama. "Si penjaga pintu Underworld," gumam Budi. Senyumnya terukir sinis.

Lagi-lagi Cerberus menggeram. Suaranya menggetarkan permukaan tanah. Angin dari arah mulutnya berembus kencang. Menerbangkan batu-batu kecil di sekitarnya.

"Astaga!" Budi refleks menutupi muka dengan kedua lengannya. Menghindari kerikil yang berterbangan ke arahnya. "Kalau seperti ini, belum-belum aku sudah mati konyol duluan. Bagaimana menghadapi monster raksasa ini dengan tangan kosong?"

Budi terdiam. Mengamati kondisi sekitar. Terlalu sulit melewati monster jelek itu tanpa tersentuh sedikit pun. Kalau tidak tergigit dari ketiga mulut bergigi tajam itu, sudah pasti mati terinjak keempat kakinya. Memang posisinya terbelenggu rantai besar di lehernya. Dengan panjang rantai yang terbatas kiri dan kanan. Tapi celah antara dinding batu di kiri kanannya juga sulit untuk melaluinya.

Budi terus mengamati. Semua kemungkinan yang bisa diambilnya. "Seandainya aku punya senjata untuk melawannya," gumamnya.

Bayangannya mengelana kembali ke dunia asalnya. Teringat belati berbentuk keris dan pisau berbentuk bulan sabit kesayangannya. Senjata tajam mungil miliknya dengan dua pisau dalam satu genggam.

"Lupakan saja ... tidak mungkin kubawa benda itu ke dunia ini." Budi masih memikirkan banyak cara untuk melarikan diri.

Sementara monster di hadapannya semakin menggila. Berulang kali dia menggeram. Meniupkan embusan kuat ke arahnya. Tiap kali kakinya menghentak, tanahnya berguncang, dan batu-batu bergetar.

"Gyaaaaargh!" raung monster berkepala tiga itu. Kakinya dihentakkan dan ketiga mulutnya terbuka lebar ke atas. Menggetarkan stalaktit di langit-langit.

"Aha! Itu dia caranya ...," ucap Budi antusias. Matanya berbinar ceria. "Tinggal bagaimana membuatnya jatuh."

Budi melirik ke sekeliling sekali lagi. Berlari cepat ke arah batu terbesar yang sanggup diangkatnya. Dengan sekuat tenaga, dilemparnya ke salah satu kepala monster itu.

"Arggh!" Anjing itu melolong. Menggetarkan kembali bebatuan di sekitarnya.

Secepat mungkin Budi memunguti bebatuan kecil sebanyak-banyaknya. Lalu dengan gerakan segesit yang dia mampu, Budi berlari dari satu sisi ke sisi lain seraya melempari batu-batu kecil di tangannya ke arah mata sang monster. Beberapa meleset karena monster itu terus bergerak. Beberapa tepat mengenai sasaran. Dan itu membuat sang monster kesakitan.

Saat monster itu kesakitan karena matanya kelilipan batu, maka mukanya menghadap ke atas. Dan rauangannya menggetarkan stalaktit di atasnya. Melihat itu, Budi semakin semangat melempari batu-batu itu ke arah mata yang lainnya.

Habis batu-batu di tangannya, Budi berlari lagi mengumpuli bebatuan di sekitarnya. Penuh tangannya oleh batu, Budi kembali bermanuver. Berlari dari satu sisi ke sisi lain. Menghindar dari pijakan kaki sang monster. Melempari kembali mata sang monster dengan batu. Begitu seterusnya.

Hingga akhirnya, kesempatan itu tiba. Raung kesakitan si monster, menggoyahkan posisi stalaktit di atasnya. Secepat mungkin, Budi melompat dan melemparkan batu sekuatnya ke arah stalaktit itu.

"Aaargh ...!" Justru raungan si monster yang ingin menjatuhkan Budi yang akhirnya malah menjatuhkan stalaktitnya. Si monster tertimpa batu tepat di salah satu kepalanya. Dan itu membuatnya jatuh tersungkur.

Dengan cepat Budi memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari melalui sang monster. Segesit angin dia berlari melewatinya sebelum anjing berkepala tiga itu berdiri kembali. Budi yakin, bongkahan batu yang menimpanya itu tidak cukup besar untuk membuatnya pingsan. Karena kedua kepalanya masih tetap mencabik-cabik udara.

Belum sempat Budi melewati kaki belakang, sang monster sudah mulai berdiri kembali. "Celaka, aku harus lebih cepat," gumam Budi terengah-engah.

Tepat monster itu berdiri tegak dan menyadari buruannya menghilang dari hadapannya, Budi sudah berhasil lewat dari monster anjing itu. Dan ketika dengan cepatnya anjing itu berbalik, Budi sudah sampai di pintu gerbang.

"Ghaaaaargh!"

Budi bersyukur, berkat embusan angin dari geraman sang anjing berkepala tiga itu, pintu gerbang yang besar dan berat itu menjadi lebih ringan didorong oleh Budi. Pintunya terbuka dan cahaya putih memancar dari balik pintunya. Tanpa pikir panjang, Budi langsung melarikan diri dari sana.

**

"Siapa namamu?"

"Budi," jawabnya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

Budi menoleh ke sekelilingnya. Ruang tanpa batas berwarna putih. Lebih tepat disebut dimensi tanpa batas bercahaya putih. Tak ada atap, tak ada dinding, dan tak ada lantai.

Budi lalu mengamati sosok di hadapannya. Tinggi besar. Berjubah panjang dan tertutup. Serba putih. Jubah, sayap, halo di atas kepalanya, juga tongkat panjangnya. Putih.

"Di mana ini?" batin Budi heran.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya sekali lagi dengan nada lebih tinggi.

"Aku ingin kembali ke duniaku," jawab Budi sigap.

"Kamu pikir kamu siapa, bisa seenaknya pindah sana sini?"

Wajahnya tak terlihat. Hanya suaranya yang menggema. Sehingga Budi tidak mengetahui ekspresinya.

"Aku hanya ingin mengembalikan kedamaian di tanah airku."

"Lalu seenaknya menyalahi takdir Tuhan? Kamu pikir, kamu bisa kembali ke masa lalu dan mengubah semuanya semaumu begitu saja?"

"Aku hanya ingin kedamaian. Dan apa salahnya membangkitkan semangat para pemuda masa lalu untuk membuat kedamaian di negerinya sendiri."

"Wahai manusia, alangkah sombongnya dirimu. Mengatur waktu seenaknya. Berpindah masa sesukanya. Kamu pikir, kamu Tuhan, ya? Melarikan diri dari dunia bawah. Seenaknya saja kamu berpindah dunia. Ikut denganku!"

Belum sempat Budi menjawab, tubuhnya sudah tertarik mengikuti sosok putih itu.

"Eh, apa-apaan ini?" teriak Budi keheranan. Meski berusaha melawan, tubuhnya tetap tertarik dan mengikuti sosok bersayap itu.

Lalu pandangannya melihat sosok manusia yang berbaring di ranjang di ruangan serba putih. Budi tidak mengenali sosok itu karena tubuhnya tertutup selimut seluruhnya.

"Itu jasadmu yang sudah mendingin di bumi."

"Apa!?" teriak Budi. Suaranya lalu menghilang.

"Tidak ada jalan kembali untuk manusia yang melintasi gerbang waktu."

**

7 tahun berlalu ...

"Sepertinya sejarah tidak berubah," ucap Jimmy.

Asistennya mengangguk. Raut wajahnya sedih.

"Dan Budi belum juga kembali." Jimmy menatap rekannya.

"Kita tidak tahu apa yang terjadi di sana. Entah sampai atau tidak Budi di sana."

"Betul. Tapi semangat Budi luar biasa. Dia hanya ingin membangkitkan apa yang sudah redup, menyala kembali."

"Iya, semangat para pemuda masa lalu."

"Dian," panggil Jimmy.

Sang asisten balas menatap Jimmy. "Ya?"

"Persiapkan mesin waktu itu. Atur waktu yang sama dengan saat Budi pergi. Aku akan menyusulnya."

"Apa?!"

###

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro