One Shoot
Pair : Sasuke x Sakura
Note : AU, OOC, One Shoot
Disclaimers ::Naruto belongs to Masashi Kishimoto.
.
.
Perempuan berambut merah muda itu berkali-kali mengusap matanya yang terasa seolah berpasir. Sesudah pandangannya jernih, ia menyentuh punggungnya yang sejak tadi terasa nyeri hingga berdenyut-denyut.
Ia menyadari, batang pohon yang disandarinya membuat punggungnya nyeri. Namun begitu ia menjauhkan punggungnya dari batang pohon, rasa nyeri itu masih bertahan.
Ia memandang sekeliling dan menyadari bahwa tempatnya berada saat ini sangat aneh. Tak ada embusan angin yang bertiup meski udara terasa sejuk. Di sekelilingnya terasa mirip hutan dengan pepohonan rimbun.
Apakah ini hutan? Seharusnya, meski hutan sekalipun, tetap saja tidak akan sehening ini. Tidak ada suara tonggeret atau hewan lainnya yang biasa ada di hutan. Selain itu, ia tak melihat adanya mahluk lain di dalam hutan, kalau tempat ini memang hutan sungguhan.
Seketika, perempuan itu terperanjat dan bangkit berdiri secara refleks serta mengabaikan rasa nyeri di punggungnya. Ia teringat bahwa sebelum terbangun di tempat ini, ia sedang berbaring di atas kasur empuk di dalam kamarnya. Entah bagaimana, ia malah berada di tempat asing yang bahkan tak dikenalinya.
Ia bahkan masih mengenakan pakaian tidurnya; kaus berlengan pendek dan celana sepanjang betis yang melindungi kakinya dari tanah di sekitar pohon tempatnya bersandar. Kalau tidak, ia akan merasa risih karena pahanya menyentuh tanah secara langsung.
Perempuan itu melirik sekilas tempatnya bersandar tadi. Tidak ada apapun yang bisa membantunya mengenali tempat itu. Di dalam saku celananya juga tidak ada benda apapun. Ia bahkan tidak memakai alas kaki sama sekali.
Pada akhirnya, ia memutuskan mengambil sehelai daun yang berada di dekatnya dan menancapkan sedikit ujungnya ke tanah. Ia pernah menonton film horor sebelumnya di mana sang karakter dibuat tersesat dan berputar-putar. Untuk membuktikan, ia akan menancapkan daun sebagai penanda.
Ia memutuskan berjalan menyusuri area di dekatnya. Ia hanya berjalan lurus terus tanpa arah, tak tahu ke mana ia harus pergi. Ia hanya berusaha menuju tempat yang lebih sedikit pepohonan dan mungkin saja lebih dekat menuju rumah penduduk terdekat dari hutan.
Meski hanya diterangi cahaya bulan, entah kenapa hutan ini juga tidak segelap dugaannya. Ia bisa melihat pepohonan di sekitarnya maupun tubuhnya sendiri. Selain itu, sejak tadi benar-benar hanya ada pepohonan yang sama jenisnya di sekitar.
Ia tahu, ada yang tidak beres dari tempat ini dan ia perlu segera pulang. Di luar dugaan, ia jauh lebih tenang meski biasanya ia takut sendirian di tempat gelap. Ia merasa tak perlu terlalu tergesa-gesa hingga berlari. Jadi, ia memutuskan tetap berjalan dengan santai menyusuri persimpangan dan mengambil jalan dengan sedikit pohon.
Di kejauhan, terdapat sungai. Sungai itu jernih hingga dasarnya yang dangkal terlihat jelas meski tanpa pencahayaan selain bulan yang terlihat sedikit lebih besar di tempat ini.
Katanya, air jernih di alam terasa begitu segar. Haruskah ia mencobanya? Sesudah berjalan lumayan jauh, meminum sesuatu yang menyegarkan untuk melepas sedikit dahaga terasa cukup menggoda.
Tapi, bagaimana kalau pada akhirnya ia tidak bisa kembali? Hal semacam ini juga biasanya ada di novel mistis, bukan?
Ia baru saja akan menjulurkan tangannya untuk menangkup air dengan telapak tangannya ketika sesuatu menabrak tubuhnya dengan keras. Seketika ia terjatuj dengan posisi menyamping dan merasa nyeri di betis kanannya. Siku bagian kanan yang ia jadikan sebagai penahan tubuhnya juga terasa berdenyut-denyut.
Ia tak sanggup berteriak karena terkejut. Begitu menoleh, ia mebdapati sesosok oria dengan jubah hitam yang menutupi rambutnya. Beberapa helai rambut hitamnya yang tidak tertutup tudung jubah terlihat. Mata lelaki itu menatapnya dengan nanar.
"Jangan sentuh air itu!"
Seharusnya ia merasa ketakutan karena sosok lelaki asing yang mendadak muncul dan menegurnya dengan keras. Alih-alih ketakutan, ia malah merasa terkejut hingga tergagap secara refleks.
"K-kau siapa? Kenapa menabrakku?"
"Jangan sentuh apapun di tempat ini," ujar lelaki itu tanpa menjawab pertanyaan perempuan itu.
"Sebenarnya kau ini kenapa, sih? Sudah menabrakku seenaknya, sekarang melarangku."
Lelaki itu berdecak pelan dan segera bangkit berdiri. Kemudian ia mengulurkan tangan pada perempuan itu.
Perempuan itu menatap tangan yang terulur di hadapannya dan memegangnya. Tangan lelaki itu terasa kasar dan mendapati bekas jahitan di pergelangan tangannya.
"Terima kasih," ucap perempuan itu seraya menatap pergelangan tangan lelaki berambut hitam itu.
Menyadari tatapan perempuan di hadapannya yang terlihat penasaran, lelaki itu segera menarik tangannya sendiri. Ia melirik sekilas perempuan yang kini sedang mengusap-usap betisnya yang terasa ngilu.
"Omong-omong, ini sebenarnya tempat apa, sih? Kenapa kau juga bisa di sini?"
"Ini tempat yang tidak seharusnya kau kunjungi. Pulanglah."
"Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa aku ada di tempat ini. Seingatku, aku sedang tidur di kamarku. Lalu begitu bangun aku sudah di sini."
Lelaki berambut hitam itu tak bergeming. Bibirnya bahkan tak bergerak, terlihat tak berniat menanggapi ucapan perempuan merah muda itu.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, ya. Hati-hati di perjalananmu," ujar perempuan itu sambil melambaikan tangan sesudah mengusap-usap betisnya yang masih terasa nyeri.
Perempuan itu segera melangkahkan kaki meninggalkan lelaki berjubah hitam itu tanpa menoleh. Punggungnya masih sedikit nyeri, dan sekarang malah betisnya terlihat sedikit memerah karena memar. Dalam hati, ia merasa sedikit jengkel karena bertemu orang aneh entah dari mana yang menabraknya dan tidak mau menjawab pertanyaannya.
Tempat ini benar-benar membingungkan. Bahkan ia tak bisa merasakan keberadaan mahluk apapun selain dirinya sendiri. Lelaki tadi bahkan muncul tiba-tiba tanpa suara, seolah mendadak muncul dari kehampaan.
"Tunggu."
Perempuan itu segera menoleh begitu mendengar suara lelaki itu memanggilnya. Kini, lelaki itu melangkah mendekatinya dengan langkah kakinya yang panjang.
"Aku akan mengantarmu. Kurasa aku tidak seharusnya membiarkanmu sendirian."
Perempuan merah muda itu diam sejenak dan menatap tubuh lelaki itu dari atas hingga bawah. Ia baru sadar kalau tubuh lelaki itu cukup tinggi. Tingginya sendiri bahkan hanya mencapat ujung dagu lelaki itu, meski tingginya termasuk lumayan untuk ukuran perempuan.
Lelaki itu mengenakan jubah hitam bertudung yang agak longgar. Ujung jarinya terlihat dari salah satu sisi, sedangkan tangan yang satunya tak terlihat, mungkin disembunyikan. Kulit lelaki itu putih dan setelah diperhatikan, lelaki itu sepertinya cukup tampan dengan hidung yang mancung dan bibir tipis.
Haruskah ia percaya pada lelaki asing itu? Namun entah kenapa wajahnya terasa tidak asing. Dan meski pemikiran semacam ini sedikit kurang pantas, wajah lelaki itu sedikit menawan.
Pada akhirnya, ia memutuskan percaya pada lelaki itu. Instingnya mengatakan kalau lelaki asing itu tidak memiliki niat jahat. Lagipula, kalaupun ia pada akhirnya terjebak di tempat ini sepertinya tidak terlalu buruk. Setidaknya, tempat ini tenang, cuacanya sejuk, dan sepertinya cukup aman.
"Terima kasih. Kalau boleh tahu, namamu siapa? Aku--"
"Jangan sembarangan menyebut namamu di sini," tukas lelaki itu dengan cepat.
"Kenapa lagi? Sejak tadi kau bersikap aneh sekali. Tadi kau mendadak menabrakku, lalu melarangku menyentuh air. Sekarang melarangku menyebut namaku. Sebenarnya kau mau apa, sih?"
"Ikuti aku kalau kau mau pulang dengan selamat. Tempat ini tidak aman untukmu."
Sakura, si perempuan merah muda itu, segera menyentuh tubuhnya sendiri. Seketika, bulu kuduknya meremang. Entah perasaannya saja atau memang begitu, rasanya cuaca menjadi sedikit lebih dingin ketimbang sebelumnya meski masih tak ada angin yang berembus.
Lelaki itu tak menyahut dan mulai melangkah meninggalkan tepian sungai dengan langkahnya yang panjang. Sakura sedikit berlari, berusaha mengejar lelaki itu agar ia tak tertinggal.
Mereka berdua berjalan bersisian tanpa berucap sepatah katapun menyusuri sepanjang tepian sungai. Ketika berada di persimpangan jalan di mana terdapat opsi jalanan yang sedikit menurun, jalanan yang mendaki, atau jalanan mendatar, lelaki itu memilih jalanan mendatar.
Pohon-pohon lebat membuat suasana terasa lebih mencekam. Sakura secara refleks mendekat pada lelaki itu, merasa seolah tengah diawasi meski saat ini hanya ada mereka berdua.
Di sisi kanan, terdapat sebuah pohon yang rasanya tak asing bagi Sakura. Begitu mendekat, ia menyadari keberadaan daun yang ditancapkan ke tanah sebelumnya. Namun ia mengabaikannya, mungkin saja ia memilih jalan yang salah.
Lelaki berambut hitam itu masih diam saja dan berjalan tanpa bersuara sama sekali. Pada akhirnya, Sakura merasa tak nyaman akan keheningan dan memutuskan kembali bertanya meski tahu kalau kemungkinan ia akan diabaikan.
"Kalau boleh tahu, sebenarnya kau tinggal di mana?"
Tanpa menoleh, lelaki itu menyahut, "Di dekat sini."
"Oh? Terus kau juga mau pulang ke rumah? Sungguh tidak apa-apa mengantarku, nih?"
Lelaki itu menjawab dengan anggukan singkat. Kalau tidak sambil menoleh, Sakura tidak akan menyadari lelaki itu menjawabnya.
Sakura terkesiap begitu menyadari leher lelaki itu. Terdapat bekas luka yang mengelilingi lehernya dan tampak seperti jahitan, sama seperti pergelangan tangan lelaki itu.
"Apa kau baik-baik saja? Lehermu--"
Sakura memutus ucapannya, tak berani bicara lebih jelas. Ia menyesal sesudahnya, sepertinya pertanyaannya tidak pantas. Seharusnya ia tidak banyak bertanya pada orang asing.
Ekspresi wajah lelaki itu terlihat berbeda ketimbang sebelumnya. Mata yang biasa menatap tajam itu terlihat seolah menerawang di kejauhan. Raut wajahnya seolah memperlihatkan gejolak emosi untuk sesaat, sebelum akhirnya kembali tak berekspresi.
"Eh, maaf. Aku tidak seharusnya bertanya begini. Tolong jangan jawab aku kalau kau tidak berkenan."
"Ini bekas luka lama," jawab lelaki itu sambil menyentuh lehernya secara refleks.
Seolah bisa membaca pola pikir Sakura, lelaki itu segera menimpali, "Jangan bertanya lebih banyak soal diriku. Aku tidak akan menjawabmu."
Sakura tidak mengira lelaki itu akan menjawabnya. Setiap kali mereka berinteraksi, Sakura tak dapat menampik perasaan bahwa lelaki itu tidak begitu asing.
Wajah itu ... Sakura yakin kalau ia pernah melihatnya di suatu tempat. Semakin diperhatikan, ia semakin menyadari bahwa wajah lelaki itu menawan, meski raut wajahnya minim ekspresi.
Sakura mengalihkan pandangan dan terus berjalan mengikuti lelaki itu. Lagi-lagi, ia melihat sungai yag sama di kejauhan tempat ia pertama kali bertemu dengan lelaki itu.
Terdengar suara seseorang mendengkus kesal dan Sakura segera menoleh. Lelaki itu menatapnya dengan nanar tanpa berucap apapun.
Sakura berusaha menepis perasaan tidak nyaman yang menyeruak seketika dan bertanya, "Di sini ada dua sungai?"
"Tidak."
Seketika, bulu kuduk Sakura kembali meremang. Kini ia merasa ngeri. Apakah ini sungguhan seperti di cerita mistis di mana ia dibuat berputar-putar?
Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya dan berucap, "Pegang tanganku. Harusnya kau aman."
Sakura tidak berpikir dua kali untuk mengulurkan tangannya dan memegang tangan lelaki itu meski ia harus berganti posisi ke sisi kanan. Ia sebetulnya heran kenapa lelaki itu tidak mengulurkan tangan kirinya saja, tetapi ia tidak berani bertanya.
Sakura menyadari telapak tangan lelaki itu agak kasar. Kulitnya lumayan lembut, tapi terasa dingin begitu ia menyentuh punggung tangannya. Ujung jarinya tanpa sengaja menyentuh sekilas luka di area pergelangan tangan lelaki itu yang terasa benar-benar seperti jahitan yang mengelilingi pergelangan tangannya.
"Namaku Sasuke," ucap lelaki berambut hitam itu seraya mulai berjalan menyusuri sungai.
Sakura merasa pernah mendengar nama itu di suatu tempat. Nama itu sepertinya bukan nama yang pasaran. Tapi ... di mana ia pernah mendengarnya?
"Kenapa kau tiba-tiba memberitahu namamu?"
"Karena kau mungkin merasa lebih aman kalau mengetahui nama orang yang menggandengmu," sahut Sasuke.
"Tapi, bukankah kau bilang berbahaya kalau menyebut nama sembarangan di tempat ini?"
"Kalau namaku tidak masalah."
Sakura tidak menyahut lagi. Mereka berdua kembali berjalan dalam keheningan tanpa bertukar kata.
Lama kelamaan, tangan Sasuke yang mengenggam telapak tangan Sakura terasa lebih hangat. Entah karena memang menghangat, atau ia yang mulai terbiasa dengan temperatur tubuh lekaki itu yang terasa lebih dingin dari manusia pada umumnya.
Mereka kembali menyusuri jalan datar yang pertama kali mereka lalui di persimpangan. Kali ini, Sasuke terlihat melangkah dengan mantap seolah ada sesuatu yang menjadi tujuannya.
Seolah mengetahui sesuatu, Sasuke menghampiri salah satu pohon sesudah mempercepat langkah. Pohon itu merupakan tempat Sakura terbangun sebelumnya, sekaligus tempat ia menancapkan daun.
"Sudah kuduga," gumam lelaki itu dengan suara pelan.
Sasuke segera mengambil ujung daun dan mencabutnya dengan sela antara ibu jari kaki kiri dan jari keduanya. Lelaki itu memejamkan mata sejenak, kemudian meludah beberapa kali ke lubang bekas daun yang tertancap sebelum kembali menutupnya.
Ketika menunduk, tudung yang menutupi wajah lelaki itu terangkat, memperlihatkan rambutnya yang hitam legam dan lurus. Di bagian belakang leher lelaki itu, tanda bekas potongan itu terlihat lebih jelas.
Napas Sakura tercekat begitu melihat wajah Sasuke dengan lebih jelas. Seolah, memori soal lelaki itu sebelumnya sirna dan kini telah kembali. Hingga hampir satu dekade lalu, Sasuke adalah orang yang berada dalam hidupmya.
Menyadari tudung kepalanya terlepas, Sasuke melepas tangan Sakura dan kembali memasangnya serta merapikan sedikit jubah hitamnya. Sakura merasa curiga, jangan-jangan Sasuke benar-benar hanya punya satu tangan, seperti kali terakhir dia melihat lelaki itu.
"Apa yang kau lakukan tadi?"
"Menghapus jejakmu. Seharusnya kau bisa pulang sebentar lagi," sahut Sasuke sambil mengenggam tangan Sakura lagi.
Rasa dingin itu kembali menyentuh telapak tangan Sakura. Namun kali ini, ia berusaha menikmati rasa dingin itu. Malahan, ia ingin menyentuhnya lebih lama.
"Sasuke, apa kau mengingatku?"
Hening. Sakura berdiri diam dan menatap Sasuke lekat-lekat. Ia menunggu jawaban lelaki itu.
Hanya suara gumaman tidak jelas sebagai jawaban. Sang empunya suara sengaja melakukannya, berniat memberikan jawaban ambigu. Ia tidak ingin menyangkal atau mengiyakan.
Sakura cukup mengenal lelaki itu dan gumaman ambigunya Biasanya, hanya ada dua kemungkinan. Lelaki itu bermaksud mengiyakan tapi terlalu malas menjawab, atau sengaja tidak memberikan jawaban 'iya' atau 'tidak'. Sakura yakin maknanya yang kedua, karena lelaki itu tak bersikap seolah mereka pernah mengenal sebelumnya entah kenapa.
Kini Sakura mulai mengerti kenapa Sasuke melarangnya menyentuh apapun. Kalau lelaki itu berada di tempat ini, maka memang tidak seharusnya ia berada di sini. Karena ... lelaki itu sudah pergi ke tempat yang seharusnya tak bisa ia jangkau sejak bertahun-tahun lalu.
Tubuh Sakura gemetar. Dadanya terasa sesak, seolah akan meledak dengan perasaan rindu dan berbagai perasaan lainnya. Rasanya, Sakura seolah kembali menjadi gadis berusia 17 tahun yang kehilangan sosok terkasih. Meski banyak orang mengatakan cinta di masa itu hanyalah cinta monyet, namun residu perasaan itu masih terbawa hingga ia dewasa.
"Sasuke, boleh kita berjalan lebih lambat? Aku masih ingin di sini sedikit lebih lama."
"Tidak."
Sakura tidak menyahut lagi dan mulai berjalan ketika Sasuke mulai melangkah. Namun ia menyadari kalau langkah lelaki itu sedikit lebih lambat ketimbang sebelumnya.
Pertemuan mereka berdua seharusnya tidak terjadi. Setelahnya, seharusnya tidak akan terjadi lagi. Harusnya Sakura mengatakan sesuatu yang dulu belum sempat dikatakannya. Pada akhirnya, ia hanya diam dan menikmati sensasi dingin dari telapak tangan agak kasar itu.
"Kalau dipikir-pikir, aku tidak mengerti kenapa kau begitu bersikeras memaksaku pulang. Aku juga tidak mengerti kenapa sebelumnya aku berpikir ingin pulang. Padahal, aku tidak tahu harus pulang ke mana dan untuk apa," ucap Sakura dengan suara pelan, namun cukup keras untuk bisa didengar Sasuke.
"Karena memang seharusnya begitu," sahut Sasuke sambil sedikit mengeratkan genggamannya.
"Maksudnya?"
"Kesadaranmu memberitahu apa yang seharusnya kau lakukan."
Sakura terdiam sejenak. Ia berjalan sambil sesekali menatap sang lawan bicara. Wajah itu tak berubah dibanding kali terakhir ia mengingatnya, tetapi wajahnya sendiri sedikit berubah.
"Kebanyakan orang yang berada di tempat ini karena melarikan diri dari sesuatu. Beberapa bisa kembali, tapi yang lain tidak. Orang-orang yang tidak bisa kembali itu akhirnya berusaha mencoba semua jalan untuk pulang."
"Terus mereka berhasil pulang?"
"Tidak."
"Kenapa? Apa tempat ini tidak cukup memyenangkan buat mereka? Maksudku, di sini tenang, walaupun agak gelap sih. Seharusnya kau paham maksudku, kan?"
"Ucapanmu berbahaya. Bisa jadi, bukan cuma aku yang mendengarmu," sahut Sasuke.
Sakura merasa khawatir seketika. Sejak tadi, memang tidak ada mahluk apapun yang ia temui. Namun memikirkan ada mahluk tak kasat mata yang mengawasinya membuatnya takut.
"Hey, jangan membuatku takut, dong."
Sasuke tak menjawab lagi. Ia mengeratkan genggamannya, lalu menyusuri jalanan yang sama dengan sebelumnya. Hanya saja, kali ini bukan tepian sungai yang mereka temui, melainkan pohon sakura mekar yang berjejeran. Kelopak bunga Sakura seolah menari di udara dan bersinar di bawah cahaya bulan.
"Wah, cantiknya," ucap Sakura seraya tersenyum.
Ia teringat, suatu waktu, dia, Sasuke dan salah satu teman mereka sungguhan pernah menikmati bunga sakura bersama di festival musim semi. Kala itu, keluarga mereka bertiga menggelar tikar bersama-sama di tempat yang berdekatan. Di festival musim semi lainnya, mereka bertiga akan pergi bersama-sama jika memungkinkan. Begitupun dengan festival lainnya.
"Jangan disentuh," ujar Sasuke tiba-tiba seraya bergerak mundur dan menjauh begitu menyadari sebuah kelopak bunga sakura berguguran dari ranting pohon. Sakura hampir saja menangkapnya secara refleks kalau saja Sasuke tidak keburu memperingatinya meski ia belum mengulurkan tangan.
"Kau masih ingat soal kebiasaanku menangkap bunga sakura yang gugur?"
Lelaki itu pasti mengenalinya. Kalau tidak, mana mungkin memberi peringatan mendadak? Dan sesuai dugaannya, lelaki itu hanya diam saja.
"Tapi serius, deh. Tempat ini benar-benar cantik, lho. Bulannya terang, bunga-bunga sakuranya bermekaran. Kalau saja ada tikar, aku ingin berbaring di bawah pohon sakura," ucap Sakura seraya tersenyum. Ia berniat mencairkan suasana sekaligus memuji pemandangan yang sungguhan cantik ini.
"Kau bisa melihat bunga sakura sepuasnya nanti. Cepat jalan."
"Ah, memangnya kau tidak mau menikmati pemandangan ini sedikit lebih lama? Mumpung ada aku di sini."
Sasuke tersadar kalau perempuan merah muda itu sejak tadi berusaha menikmati waktu sedikit lebih lama. Jadi ia memutuskan sedikit mengalah kali ini. Seharusnya, ini pertemuan yang terakhir.
"Habis melewati pohon sakura di ujung, kita harus berjalan cepat. Jangan sentuh apapun, termasuk kelopak bunga."
Sakura tersenyum dan menyahut dengan riang. "Iya, iya. Sejak kapan kau jadi bawel begini? Mirip ibu-ibu, nih. Kalau dia di sini, dia pasti bakal menertawaimu."
'Dia' yang tak bisa disebutkan namanya oleh Sakura adalah Naruto, teman mereka yang lainnya. Lelaki itu kerap bertengkar dengan Sasuke pada awalnya lalu akhirnya malah jadi berteman akrab.
Sakura menatap tangannya sendiri yang mengenggam telapak tangan Sasuke. Berjalan-jalan di bawah pohon sakura yang gugur sambil bergandengan tangan, bukankah suasana saat ini romantis sekali? Dulu, Sakura pernah menginginkan hal ini bersama Sasuke. Siapa sangka, akhirnya malah terwujud secara tak terduga.
"Lihat, bulan di sini jauh lebih terang, ya. Bunga sakuranya jadi kelihatan seolah bersinar. Rasanya, aku belum pernah melihat yang secantik ini."
Sakura kembali tersenyum. Rasanya ia tak bisa berhenti memuji pemandangan cantik di tempat ini. Apalagi, ia tengah bersama seseorang yang ia nikmati presensinya.
"Menurutmu, kenapa orang ramai-ramai duduk di bawah pohon sakura waktu musim semi?" tanya Sasuke sambil menatap perempuan di sampingnya lekat-lekat.
Ketika pandangan mereka bertemu, Sakura merasa sedikit gugup namun juga merasa senang. Ia membalas tatapan lelaki itu seolah tak ingin melepasnya.
"Karena ingin melihat bunga sakura? Atau mungkin karena ingin menghabiskan waktu libur?"
"Menurutku, biasanya orang-orang mau menikmati momen bersama orang lain. Pemandangan bunga sakura yang biasa dilihat beramai-ramai tidak kalah bagus ."
"Kau sungguh merasa begitu? Kupikir, aslinya kau tidak terlalu suka keramaian."
Sasuke menyadari kalau perempuan itu akan berada dalam bahaya kalau tak segera pulang. Karena itulah, sejak tadi dia terus memaksa untuk pulang. Ia bahkan menghindari segala pembicaraan personal soal dirinya, termasuk berkali-kali mengarahkan untuk pulang.
Sekarang, karena dirasa dibutuhkan, Sasuke memilih mengungkap sedikit soal pikirannya. Sesudah ini, tidak peduli bagaimana perempuan itu berusaha mempersuasi, dia benar-benar tidak akan luluh. Meskipun ia ingin, ia tidak boleh sampai luluh.
"Kalau aku benar-benar pulang, kita tidak mungkin bertemu lagi, kan?"
Sasuke mengendikkan bahu. Dia tak punya jawaban untuk pertanyaan perempuan yang sedang ia genggam tangannya. Namun, seandainya bisa memilih, ia tak ingin bertemu perempuan itu lagi di tempat ini.
Tempat yang bahkan tak berada di peta manapun ini tak seharusnya dikunjungi jiwa manapun. Hal terakhir yang diinginkannya adalah bertemu seseorang yang pernah dikenalnya di masa lalu.
"Kurasa tidak."
"Kalau begitu, aku boleh bilang sesuatu padamu?"
Sakura tak menunggu jawaban atas pertanyaannya. Segera saja, ia melangkah maju di depan Sasuke dan berdiri menghadap lelaki itu.
"Aku nemang sudah terlambat. Tapi sebenarnya aku suka padamu, Sasuke," ucap Sakura seraya memberanikan diri menatap mata lelaki itu.
Sesaat, Sasuke tertegun mendengar ucapan perempuan di hadapannya. Bibirnya sedikit terbuka, tak tahu harus bereaksi bagaimana.
Ketika Sakura bersikap terlalu emosional, jejek perempuan itu bisa tertinggal di hutan ini. Dan mahluk-mahluk lain yang bisa merasakannya mungkin saja tak akan membiarkan perempuan itu pulang ke tempat seharusnya. Karena itulah ia sampai mengenggam tangan perempuan itu, agar mereka tak sampai terpisah di jalan.
"Dulu, aku pernah berkeinginan menghabiskan momen berdua denganmu, lalu saling bersentuhan. Terima kasih karena kau mewujudkan keinginanku untuk berjalan di bawah pohon sakura sambil bergandengan tangan denganmu."
Sasuke membuka mulut pada akhirnya. Kalimat penuh perasaan perempuan itu tidak seharusnya diutarakan di tempat ini. Namun di sisi lain, perempuan itu pasti memanfaatkan momen terakhir untuk menyampaikan karena merasa mengenalnya.
Dia yang sekarang, tak lebih dari sebuah jiwa yang mengembara di tempat tak bernama. Dia bukan lagi sosok yang dikenal perempuan itu.
"Sejak tadi aku berpikir, apa sebaiknya aku tinggal di sini saja? Aku tidak merasa seharus itu untuk pulang. Tapi aku menyadari kau terus mendorongku untuk pulang."
Pada akhirnya, Sasuke menjawab sesudah berhasil mengontrol perasaannya sendiri.
"Sasuke yang dulu kau kenal sudah tidak ada. Kalau kau ingin tinggal di tempat ini demi orang itu, keinginanmu sia-sia."
"Kalau kau? Apa kau tidak mau kutemani?" ucap Sakura seraya menelan ludah. Ia merasa bagaikan perempuan murahan. Namun dia sengaja berkata begini, karena yakin kalau Sasuke masih mengingatnya.
"Tidak. Sekarangpun, aku sangat ingin mengantarmu pulang secepatnya. Jadi aku tidak perlu berurusan dengan siapapun lagi."
Sakura tersenyum tipis, ia merasa lega meski reaksinya tidak sesuai yang ia harapkan. Lantas ia berucap, "Terima kasih sudah mendengarkanku. Setidaknya, hatiku jadi lega sekarang. Selama bertahun-tahun, aku menyesal karena tidak mengutarakan perasaanku lebih cepat."
Sakura pernah menyukai Sasuke selama lebih dari 3 tahun. Kala itu, ia berpikir untuk mengutarakannya ketika mereka sudah lulus sekolah. Kalau saja 'kejadian itu' tidak terjadi, dia tidak akan hidup dalam penyesalan.
"Takdir bukan sesuatu yang bisa diubah manusia. Jangan menyalahkan dirimu."
"Betul juga. Kadang aku berpikir, seandainya aku menyatakan perasaanku waktu itu, bagaimana jadinya? Kalau saja Sasuke yang kukenal tumbuh dewasa, kira-kira dia bakal jadi gimana? Jujur, aku rindu Sasuke yang dulu kukenal."
Sakura sudah menemukan jawaban untuk pertanyaan yang kedua berkat perjumpaan mereka kali ini. Sasuke yang dikenalnya ... terasa lebih dewasa meski penanpilannya tak berubah dibanding kali terakhir mereka berbincang.
"Kurasa orang itu tidak akan senang melihatmu terpaku di masa lalu. Dia ingin kau meneruskan hidupmu dan mengejar kebahagiaanmu."
Sakura melirik Sasuke. Lagi-lagi, tatapannya seolah menerawang. Lelaki itu seolah memikirkan sesuatu.
"Ya ampun. Rasanya seolah kau mengucapkan isi pikiranmu sendiri, deh."
Sakura sengaja mengucapkan hal ini. Ia tahu, Sasuke hanya tak ingin dikenali. Karena itulah, ia sengaja memancing dan berharap lelaki itu bersikap seperti dulu.
"Kalau kau berada di posisi orang itu, kau juga akan berpikir hal yang sama, kan?"
"Iya, sih. Kalau aku di posisi dia, aku juga akan berpikir begitu."
Sakura mengembuskan napas dan tersenyum tipis. Kini hatinya terasa benar-benar lega. Sekarang dia benar-benar akan pulang. Dia sudah siap untuk kembali dan menghadapi realita.
"Aku benar-benar sudah siap pulang sekarang. Ayo jalan."
Sasuke tak menjawab. Ia segera melangkah sambil memegang tangan Sakura. Kali ini, ia sengaja berjalan lebih pelan agar bisa memandang sosok perempuan itu dari belakang.
Kalau saja bisa, ia ingin mengulurkan tangan dan meraih bunga sakura yang berguguran, lalu menyelipkannya di rambut perempuan itu. Ia yakin, Sakura akan menikmatinya. Namun hal itu tidak lagi memungkinkan.
Cahaya bulan perlahan sedikit meredup dan Sasuke tersadar, tidak banyak lagi waktu yang tersisa. Perempuan itu mungkin saja tak bisa kembali. Jadi ia segera mempercepat langkahnya.
Sakura menyadari kalau Sasuke mempercepat langkahnya sehingga ia pun ikut berjalan cepat secara refleks.
Lelaki itu memandunya menyusuri jalanan yang sebelumnya tidak dilihatnya, jalan setapak dengan rerumputan hijau dan pohon-pohon di sekitarnya. Jalanan itu sempit dan lebih gelap, sinar bulan terasa jauh dibandingkan tenpat sebelumnya.
"Sebenarnya, aku bercita-cita menjadi dokter. Lalu, aku sedang magang," ucap Sakura.
Sorot mata perempuan itu menyiratkan berbagai emosi yang menyatu dan kepalanya sedikit tertunduk sebelum ia melanjutkan ucapannya. "Ternyata prosesnya sulit. Aku beberapa kali gagal menyelamatkan orang, Aku tidak kompeten, rasanya aku mau menyerah. Tapi orangtuaku sudah mengeluarkan banyak uang."
Sakura menatap Sasuke yang berjalan di sampingnya. Sedikit tidak jelas, karena lelaki itu masih memakai tudung jubahnya. "Kalau kau tidak membuatku sadar dengan menolak permintaanku menemanimu di sini, aku pasti benar-benar melepas keinginanku menjadi dokter."
"Aku ingin nelihatmu menjadi dokter."
Sasuke mengungkapkan isi pikirannya secara mendadak. Ia terkejut sendiri karena tak biasanya seterbuka ini pada orang lai . Namun tak hanya perempuan itu, dia pun ingin memanfaatkan momen pertemuan terakhir mereka.
Bertahun-tahun lalu, dia pernah mengenal seorang gadis yang bercita-cita menjadi dokter. Karena dia mengenal gadis itu selama lebih dari separuh hidupnya, dia sempat berpikir kalau itu hanyalah cita-cita anak kecil yang akan berubah seiring waktu.
Gadis itu kemudian belajar mati-matian untuk ujian masuk universitas. Ketika gadis itu tiba-tiba muncul di hadapannya, dia mati-matian pula ingin membuat gadis itu pergi dan kembali ke tempat yang seharusnya.
Karena ... hatinya akan benar-benar sakit kalau sampai gadis itu malah melepas minpinya dan berakhir di tempat ini. Jadi, dia berusaha melakukan segala hal yang bisa ia lakukan. Meski dalam prosesnya, dia harus bersikap seolah mereka tak pernah mengenal dan menekan perasaannya sendiri.
"Kau ...," Sakura terdiam sejenak. Dadanya sedikit sesak karena emosi yang menyeruak. "Bukankah ini kali terakhir kita bertemu? Bagaimana kau bisa melihatku?"
"Anggap saja aku bisa melihatmu," sahut Sasuke tanpa menatap perempuan itu.
"Kecuali kalau itu memang takdirmu, jangan pernah berpikir mau kembali ke hutan ini. Keluargamu, teman-temanmu dan aku ingin kau meraih mimpimu."
"Oke. Aku berjanji padamu, kau pasti akan melihatku menjadi dokter. Kalau reinkarnasi memang ada, mungkin saja kau malah menjadi pasienku, lho," sahut Sakura sambil tertawa pelan.
Sakura tiba-tiba berucap, "Eh, tunggu. Kalau kau jadi pasienku, berarti kau sakit dong? Aduh, aku tidak berharap kau terlahir kembali menjadi pasienku."
Sasuke merasa lega. Perempuan itu sudah mulai kembali menjadi sosok Sakura yang pernah dikenalnya. Rupanya perempuan itu tidak banyak berubah di usia dewasa.
"Memangnya aku mau jadi pasienmu?"
"Aku malah jadi ingin berharap kau menjadi pasienku saja."
Mereka berdua terus nelangkah menuju jalan setapak. Di kejauhan, terdapat cahaya yang lebih terang.
Angin masih tak berembus di tempat ini. Namun entah kenapa, keheningan dan kegelapan di tempat ini terasa tak nyaman meski ia masih bisa melihat tubuhnya sendiri. Seandainya ia sendirian, ia mungkin akan ketakutan dan tak bisa menemukan jalan pulang.
"Terima kasih sudah menemaniku. Kalau aku harus melewati jalanan sendirian, aku pasti akan ketakutan."
Sasuke sudah tahu kalau perempuan itu pasti akan ketakutan. Dia tahu Sakura tipe orang yang takut berada di tempat gelap.
Seandainya dia meninggalkan Sakura sendirian, bisa saja perempuan itu berakhir dibuat tersesat oleh sosok-sosok yang berada di tempat ini. Bisa jadi perempuan itu melewati tempat gelap, ketakutan, dan selamanya tak bisa kembali.
"Rasanya aku beruntung bertemu teman yang pemberani. Kali ini, aku memujimu dengan tulus, lho."
Sasuke tersenyum tipis. Rasanya sudah lama sejak ia tak merasakan kesenangan berinteraksi dengan seseorang. Apalagi, kali ini dia bertemu dengan seorang teman lama.
"Kalau aku tidak menemanimu, kau pasti akan berusaha mencariku dan meminta kutemani."
Sakura tak menyahut. Dia tak berani bilang, namun sebetulnya dia kerap merasa diawasi sebelum memasuki area dengan pohon Sakura. Kakau saja dia tidak bersama Sasuke, dia pasti akan mulai panik dan ketakutan.
"Ternyata kau bisa membaca pikiran? Entah kenapa, ketimbang sendirian, aku merasa lebih aman kalau bersamamu."
"Waktu kau meremas tanganku dan berdiri di dekatku, aku menyadari kau ketakutan."
Sasuke melirik telapak tangannya sendiri secara sekilas. Telapak tangannya yang lebih besar menangkup telapak tangan perempuan itu. Dan kehangatan perempuan itu seolah menghangat telapak tangannya yang baru ia sadari terasa dingin ketika mereka bersentuhan.
"Ya ampun. Kupikir aku setidaknya lebih berani sedikit dibanding sebelum jaman kuliah."
"Setidaknya kau berani sendirian sampai ke tepi sungai. Kalau aku tidak menghentikannu, kau pasti akan menyentuh air di sana," ujar Sasuke sambil melangkah.
Sekitar 100 meter dari tempat ini, terlihat lampu jalanan berwarna putih di kiri kanan jalan. Perjalanan mereka akan berakhir sebentar lagi.
"Jadi kau menabrakku buat menghentikanku. Tadinya kukira kau ini orang aneh yang menabrakku tiba-tiba."
"Maaf."
Sakura menatap lampu putih di sekeliking dan menyadari kalau jalaan menjadi lebih terang. Di ujung jalan, terdapat sebuah rumah sederhana dengan sebuah pintu.
"Aku akan mengantarmu sanpai depan pintu," ujar Sasuke begitu menyadari arah pandang Sakura.
Sakura menatap Sasuke lekat-lekat. Mata mereka saling bertatapan dan mereka terdiam. Sakura akhirnya memecah keheningan dan berkata, "Selama ini, apa kau pernah berpikir ingin pulang?"
Sasuke tertegun untuk sesaat. Pertanyaan perempuan itu di luar dugaannya. Ia khawatir perempuan itu malah berniat melakukan hal-hal di luar dugaan.
"Kenapa kau bertanya begitu?"
Sakura menyahut, "Aku cuma penasaran. Karena kau sebenarnya tahu jalan pulang. Sekarang, kau bahkan mengantarku."
Sasuke menepuk telapak tangan Sakura dengan ibu jarinya tanpa melepaskan genggamannya.
"Tidak. Tempatku memang di sini."
Sakura merasa dadanya seolah mencelos. Ketika pintu menuju pulang sudah berada di dalam jarak pandangnya, dia menyadari bahwa perjumpaannya akan usai.
Menyadari keraguan Sakura, Sasuke langsung berucap, "Di sini tidak butuh dokter. Kalau kau mau mengobati pasien, pulang sana ke tempatmu."
Sakura mengerucutkan bibirnya. Namun matanya terlihat berkaca-kaca. Ia cepat-cepat mengusapnya dengan satu tangan.
Sensasi dingin dari tubuh Sasuke semula terasa membekukan. Lama kelamaan, ia bahkan mulai terbaisa dengan rasa dingin itu. Malahan, ia mulai merasa tangan itu sedikit hangat.
"Siapa juga yang mau di sini? Sia-sia aku begadang selama beberapa tahun sampai mataku jadi mirip panda begini."
Sasuke tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum tipis. Ia ingin mengelus-elus kepala perempuan itu. Di matanya, Sakura adalah sosok perempuan yang menggemaskan dsn ekspresif.
"Siapa yang bilang ingin menemaniku di sini?"
Sakura terdiam dan wajahnya sedikit nenerah karena malu. "Aku berubah pikiran. Soalnya, ada seseorang yang bilang ingin melihatku menjadi dokter."
Sasuke berhenti tiga langkah menuju pintu. Di tempatnya berada saat ini, lampu putih dari pencahayaan di sekeliling begitu terang. Bayangannya terlihat di balik sorot lampu, sedangkan bayangan perempuan itu tidak. Berarti, mereka belum terlambat.
"Kalau kau membuka pintu itu, kau bisa pulang sekarang."
"Sasuke, aku boleh memelukmu?"
Sasuke tak menjawab. Ia segera melepaskan genggamannya dan memeluk perempuan itu dengan erat. Melalui rengkuhannya, ia meluapkan perasaannya pada perempuan merah muda itu.
Dia tak bisa menjawab ungkapan perasaan perempuan itu. Karena ... memang tak seharusnya dijawab. Perempuan itu tak seharusnya berada di sisinya.
Sakura mengeratkan pelukannya seolah tak ingin melepas tubuh Sasuke. Begitu ia menyentuh tubuh lelaki itu, ia tersadar ketika merasakan tangan kiri tersembunyi yang tidak utuh.
Air mata Sakura mengalir dan ia sedikit terisak. Tangan kanan lelaki itu kini menepuk-nepuk kepalanya dengan lembut.
"Kalau reinkarnasi memang ada, aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin hidup lebih lama bersamamu," ucap Sakura di sela isakannya.
Sasuke meneriakkan kalimat yang ingin ia utarakan dalam hati. Ia tak bisa mengutarakannya pada perempuan itu meski hanya melalui bisikan, maka biarlah perasaan itu menyertainya.
Sasuke terus mengusap punggung Sakura yang masih terisak. Seandainya memungkinkan, ia ingin memeluk Sakura selama yang ia bisa.
Sakura melepas pelukannya terlebih dulu dan Sasuke segera mengusap mata gadis itu dengan telapak tangannya. Ia merasakan wajah Sakura yang lembab dibasahi air mata.
Ia menepuk puncak kepala Sakura dan merasakan helaian merah muda lembut di balik jemarinya. Ia terus menepuk kepala perempuan itu dan menyadari samar-samar bayangan perempuan itu mulai terbentuk. Waktu mereka mulai habis.
Sasuke menurunkan tudung jubahnya dan memperlihatkan wajahnya, membiarkan perempuan itu memandangnya. Ia mengangkat sedikit sudut bibirnya untuk perempuan itu, memperlihatkan apa yang ia anggap senagai senyuman.
Ia mengangkat satu tangannya, "Sampai bertemu lagi. Semoga kau bahagia selalu."
Sakura menatap wajah Sasuke lekat-lekat, seolah berusaha mematri lelaki itu dalam ingatannya. Ia tersenyum dan meraih knop pintu.
"Kalau kau terlahir lagi, aku juga mengharapkan hal yang sama untukmu."
Sakura tak bisa mengatakan agar Sasuke bahagia selalu. Lelaki itu sudah mencapai akhir kehidupannya, dan dia menyadari bahwa hal itu tidak patut diutarakan.
Sakura membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan. Seketika, cahaya putih yang menyilaukan membuat matanya terpejam.
Dia pulang.
.
.
Sakura membuka matanya dan mengerjap beberapa kali. Ia segera menyentuh dan menyadari bahwa ia sedang berbaring di atas kasurnya sendiri.
Ia menyadari wajahnya terasa lembab dan segera menyentuhnya. Rupanya, masih terdapat bekas air mata yang mengering.
Sakura mendapati dirinya sedang berada di dalam kamarnya sendiri. Namun telapak tangan kirinya terasa dingin ketika ia menyentuhnya. Terlebih karena perbedaan temperatur antara tangan kiri dan tangan kanannya. Dan rasanya, sentuhan Sasuke terasa begitu nyata.
Sakura tak mengerti apakah ia sedang bermimpi bettemu Sasuke yang tak mau terang-terangan mengaku bahwa mereka saking mengenal? Atau mereka bertemu sungguhan? Yang jelas, ia merasa seolah bertemu dengan teman lama yang ia rindukan dan melepas beban di hatinya.
Suara Sasuke terdengar samar-samar ketika ia menutup pintu. Lelaki itu mengucapkan 'Terima kasih, Sakura.'
Sakura mengambil segelas air di atas nakas dan menenggak isinya. Ia teringat kalau sebelumnya ia tidur dengan begitu lelap sesudah tidak tidur selama 36 jam. Ia merasa begitu lelah sesudah pasien terakhir yang ia bantu tangani meninggal dan mulai putus asa karena perjalanan menjadi dokter begitu sulit.
Rasanya, dia ingin menyerah. Dia ingin mati saja kalau bisa. Namun dia juga tak mungkin bunuh diri karena tak ingin mengecewakan orangtuanya. Mungkin karena itulah, dia malah terbawa ke tempat itu dan berakhir bertemu Sasuke.
Sakura memeluk lututnya sendjri dan membenamkan kepalanya di antara dua lutut. Dadanya begitu sesak dan ia kembali terisak. Kali ini, tak ada seorangpun yang bisa memeluknya.
Sakura tak bisa melupakan kelulusan sekolahnya 7 tahun lalu. Seharusnya, dia menyatakan perasaaan pada Sasuke. Namun foto Sasuke malah diletakkan di atas meja khusus beserta buket-buket bunga. Dirinya termasuk salah satu di antara para gadis yang ikutan menangis.
Naruto bahkan ikutan menangis sambil berpelukan denganya. Mereka berdua kehilangan teman sejak kecil. Sedangkan, para gadis itu berduka karena kehilangan sang idola sekolah.
Seandainya Sasuke bunuh diri, Sakura masih bisa menerima karena setidaknya itu pilihan lelaki itu sendiri. Namun lelaki itu kehilangan nyawanya dengan tragis karena dibunuh kakak lelakinya yang mengalami gangguan jiwa.
Ketika ditemukan, tubuh Sasuke sudah terpotong menjadi beberapa bagian yang berserakan di sekitar rumah. Telapak tangan kanannya terpisah, begitupun dengan kepala dan beberapa bagian lain. Semua bagian itu dijahit, terkecuali lengan kirinya yang tidak bisa ditemukan.
Kakak lelaki Sasuke mengaku memblendernya, kemudian memasaknya sebagai adonan daging serta memakannya. Karena itulah, ketika Sakura melihat bekas jahitan di pergelangan tangan dan leher Sasuke, hatinya langsung terasannyeri. Bahkan, ketika lelaki itu berada di alam sesudah kematian, tubuhnya masih tak utuh.
Air mata Sakura terus mengalir tanpa bisa dibendung. Ia menumpahkan segala emosinya sebelum akhirnya menenangkan diri sendiri.
Ia telah pulang, ke tempat di mana Sasuke tidak bisa merengkuhnya. Namun di sini lah tempat di mana seharusnya ia berada, dan lelaki itu bahkan sampai berusaha mengantarnya pulang.
Sakura mengusap air matanya dan berjalan menuju mejanya yang dipenuhi lembar-lembar jurnal yang harus dipelajarinya. Dia ingin memenuhi keinginan Sasuke untuknya, dan beranggapan kalau lelaki itu selalu menyertai setiap langkah dalam pekerjaannya.
Suati saat nanti, kalau takdir mengizinkan, maka ia ingin bertemu sekali lagi dengan Sasuke. Ia ingin menjadi pasangan lelaki itu dan menghabiskan seluruh hidup bersama.
Karena ia tak ingin kehilangan lagi.
--Tamat--
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro