Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9: Soda dan Es Krim dari Inti Bumi

To Artha,
Boy I've Loved Before

💌🍦🌈

________

            SEJUJURNYA, Artha ragu apakah Irene ingat dengan pertemuan pertama mereka atau tidak. Tapi Artha ingat dengan jelas. Pada Si Gadis Mungil yang tidak bisa minum soda tersebut.

           Kalau tidak salah, pada hari pertama MOS SMA Chandrawakaㅡhari itu tidak ada yang terlambat datang ke sekolah. Maklum, murid baru. Masih semangat empat lima dengan kehidupan SMA.

           Sekolah Artha yang baru ini sangat besar dan luas. Sekiranya ada lebih dari 500 murid baru untuk angkatannya. Semua murid berbaris rapi dengan atribut yang ditentukan, rambut dikepang untuk wanita, dan pangkas jambang untuk laki-laki.

           Terik matahari semakin meninggi, keringat dan keluhan mulai bercucuran dari para peserta orientasi yang kepanasan. Panitia pun tak kalah panas--lidah mereka, terutama. Para panitia terus berteriak-teriak, memarahi hal kecil yang bukan kesalahan. Dan jujur saja, itu membuat Artha muak.

           Padahal hanya perlu bilang satu kali, "Ini jam buka bekal. Buka bekal kalian!" Namun entah apa alasannya, para senior malah repot-repot menghitung buat para peserta mos. Mereka harus mendapatkan kotak bekal mereka di kelas masing-masing dalam hitungan 100 detik. Sinting.

           Apa panitia tidak memikirkan kemungkinan kalau akan ada anak yang terpleset dari tangga akibat terburu-buru? Bagaimana jika ada kematian karena gegar otak massal? 'Kan lucu.

           Artha tidak berlari. Ia membiarkan anak-anak yang lain mendahuluinya. Toh, menurutnya kalau dihukum takkan membuatnya kehabisan uang. Ia melangkah pelan tak peduli diteriaki lamban oleh salah satu panitia perempuan. Pandangannya terpaku pada satu gadis mungil dengan kepang dua yang sedang berdiri di ujung tangga.

           Gadis ini sama sepertinya, tidak juga bergerak kendati ditekan oleh waktu.

           "Kok nggak ikutan lari?" tanya Artha begitu saja.

           "Eh?"

           Gadis itu berkedip satu kali. Mendongak pada si pria yang tingginya melampaui satu kepalanya. Awalnya Irene pikir laki-laki tinggi ini adalah senior, tapi setelah melihat papan nama bertuliskan Artha T. Chandra dan potongan rambut tanpa jambang, ia yakini kalau pelajar di hadapannya ini adalah teman sebaya. Lantas mendadak tersadar ia pun menggeleng. "Kebanyakkan orang."

           "Sama, dong." Artha menyengir. "Males banget, ya?"

           Bibir gadis itu dilipat masuk, ia menggeleng satu kali lagi. "Bukan males, sih. Percuma kalau aku naik ke atas ambil bekal. Nanti juga dihukum. Aku enggak bawa soda putih."

           "Oh, Sprite? Aku punya dua, kok. Nanti aku ambilkan sekalian."

           "No, no, no. Bukan. Aku nggak bisa minum soda. Jadi... gitu..." cicitnya.

           Artha memiringkan kepala. "Tapi makanan yang lain bawa?" tanyanya dan dijawab dengan anggukkan dari gadis tersebut.

          "Ya sudah, yuk. Cari soda."

          "Percuma. Aku nggak akan bisa minum."

          "Aih, pinter dikit, dong," Artha terkekeh dan berjalan mendahului sang gadis menuju kantin. Ia menoleh sekali lagi dengan seringai ramah. "Ayo! Mau nggak? Daripada dihukum padahal udah susah-susah cari telor bebek dengan cap Pak RT."

           Sang gadis dengan papan kalung bertuliskan Irene Valeria itu berlari pelan, mengejar Artha yang sudah jauh membeli masing-masing satu botol Sprite dan air mineral dingin.

           Irene terhenyak bingung dan mulai mengerti maksud Artha ketika pemuda itu mengulas senyum setelah membuka botol Sprite lalu menyengir, "Bilang, 'makasih Artha. Baik, deh'. Bilang begitu."

          Huh. Dasar. Malah dikerjain.

          Merotasikan mata, Irene lalu dengan cemberut memenuhi permintaan Artha. Pipinya sedikit memerah tatkala cicitannya terdengar. "Makasih Artha... B-baik, deh..."

           "Sip."

           Pemuda itu tertawa kecil kemudian menegak minuman berkarbonasi tersebut. Tanjakan di leher Artha naik turun perlahan dan garis rahangnya terekspos jelas. Soda tersebut habis dalam hitungan detik.

          Saat disodorkan, gadis bernama Irene itu tengah bersemu salah tingkah. "M-makasih Artha. Baik, deh."

           Artha terbahak-bahak seketika. Refleks saja karena tak bisa membendung rasa grmas, ia mencubit pipi Irene, "Cukup satu kali aja ngomongnya. Ehㅡ" lalu buru-buru ia melepas cubitan saat tersadar.

          Tangannya diangkat ke langit, tinggi-tinggi, "Sumpah, sorry, sorry!"

          "Najis lo. Genit." Irene mendesis lalu meninju lengan Artha sekencang--sebisanya.

          Spontan saja, ia langsung pergi meninggalkan Artha sendirian dengan tangan kosong. Sementara si pria tengah buru-buru menuang air mineral dingin ke dalam botol hijau Sprite. Masih ada bulir embun dingin di badan botol. Kamuflase sempurna. Kaki panjangnya melangkah super cepat demi mengejar sang gadis yang sudah menghilang entah kemana.

           Di depan saja, Irene baru saja turun dari tangga dengan dua kotak makan. Satu yang berwarna hijau dengan motif kaktus itu punya Artha! Dahinya mengernyit tak paham. Kok bisa berada di cewek itu?

          "Eh, eh, itu kotak makan aku, loh?!" Pria itu menunjuk-nunjuk Irene.

          "Ngawur. Minggir."

          "Tukang nyolong nih cewek," desis Artha, sukses sekali membuat Irene meledak dan melancarkan cubitan di pinggang.

           "Baca, nih," jari Irene menunjuk pada sticker nama-nya. "I-re-ne! Va-le-ri-a!"

           Artha meringis kesakitan tak peduli meski cubitan telah lepas. Dari belakang ia bisa mendengar sang gadis mendumal, 'Lagian siapa sih yang mau nyolong kotak makan? Mending nyolong duitㅡkalau dia punya banyak duit. Hih! Aneh.'

           Bola mata Artha bergeser malu, lalu ia buru-buru ke lantai 2 untuk mencari kotak makannya yang masih terletak rapi di sana.

           Ia menggaruk tengkuk bingung. Kok bisa-bisanya kotak makannya mirip.

           Artha jadi ingin mengganti kotak makanannya, tapi tak tega, karena kotak makan ini adalah hadiah dari Neneknya saat ia masih kecil. Kotaknya masih bisa digunakan, jadi tak ada alasan untuk tidak menggunakan kotak hijau ini hanya karena motifnya terlalu imut untuk cowok SMA.

          Dengan kaki panjangnya, ia buru-buru berlarian ke lapangan meskipun ia tahu bahwa terlambat adalah jawabannya.

          "Hebat kalian berdua, ya!" omel ketua panitia. Irene menunduk diam, begitu juga Artha. "Kok diem doang? Jawab, dong!"

          "Siap! Maaf, Kak Ong." balas keduanya serentak.

          "Dikasih makan, nggak mau! Maunya apa?!" bentak Kak Song Ong.

          Salah satu panitia yang lain, Kak Jaka, menimbrung dengan halus, "Maunya disuapin qaqa~"

          "Ya udah! Ini berdua suruh suap-suapan aja, Ong," sorak Kak Wendy setuju sementara Irene dan Artha bertukar pandang canggung.

          Salah satu lengan mereka harus bersilangan, tak boleh lepas apapun alasannya. Lengan satu lagi yang bebas dari ikatan boleh dipakai untuk menyuap partner serta membuka botol. Kak Ong dan Kak Wendy mulai menggunakan toa di depan wajah, bersiap memberitakan aba-aba lagi.

           "Sodanya dikeluarin! Dikocok terus diminum langsung dalam satu tegak!" tukasnya. Irene merasa sangat gugup usai mendengar lanjutan ucapan Kak Ong selaku ketua orientasi yang super songong. "Yang enggak minum habis, wajib beresin semua WC di sekolah ini!"

          Di lain sisi, Artha hanya merasa bangga pada diri sendiri. Pemuda itu tersenyum menang kepada Irene setelah meletakkan botol kamuflase yang tadi ia buat di kantin.

          Alis Artha naik satu dengan pongah. "Hehe. Hayooo~ Bilang apa?"

          Hari itu ditutup dengan keduanya menjadi maskot orientasi yang diharuskan saling menyuapi selama 3 hari berturut-turut.

        Sebenarnya daripada menyebalkan karena dikerjai kakak kelas, Artha malahan lebih merasa tidak enak pada sang gadis. Pasti Irene merasa tidak nyaman. Artha mengacak-acak rambut frustrasi. 100%! Takkan pernah lagi ia berani mengajak gadis tersebut bicara, pokoknya. Apalagi tadi diaㅡdengan gaya tengilnyaㅡmenjahili Irene usai membantu perihal si gadis yang tak bisa minum soda.

           Artha semakin yakin dengan asumsinya karena sang gadis selalu kabur tiap melihat Artha. Mereka tidak akan sekelas, padahal. Lambat laun sosok gadis itu tak sering lagi menyapa penglihatan Artha sejak sekolah resmi berlangsung dan kelasnya dipindahkan ke lantai atas. Total kontak mata mereka selama dua tahun itu kurang dari jumlah jari di dua tangan. SMA Chandrawaka memang seluas itu.

          Lagipula, Artha punya banyak teman. Ia menikmati kehidupannya di sini. Tentu saja, ia populer dan menjuarai berbagai macam pelajaran akademik sekaligus olahraga. Meski mereka bertemu lagi di kelas yang sama pada tahun ketiga, hubungan mereka tidak berubah secepat itu. Irene dan Artha tinggal di lingkaran yang berbeda. Dan sepertinya Irene pun sudah melupakan insiden itu. Mereka hanya sekadar bertukar senyum formal sebagai teman sekelas.

          Kehidupannya begitu saja. Sampai suatu hari, tahun ketiga pada semester dua menjelang ujian nasional, sebuah surat cinta norak terpampang di mading, dan secara khusus ditujukan untuknya.

           Artha hampir tersedak saat membaca suku kata 'rambut panjang bergelombang' dan 'seksi ' di sana. Astaga. Itu bukan tipenya sama sekali. Dia lebih suka gadis manis, simpel yang bajunya tidak terlalu terbuka. Rambut lurus panjang itu bonus. Wait, wait. Bukan itu inti permasalahannya.

         Sekarang problematikanya hanyalah kalau sampai si pengirim ketahuan, mati lah sudah riwayat kehidupan tentram sang gadis. Pasti malu bukan main.

          Duh, lebih baik segera tutup wajahmu, pikir Artha berusaha menyemangati lewat doa.

         Bicara soal siapa yang menulis surat cinta norak nan aneh seperti itu, sebenarnya rasa penasaran sangat menggelitiki perut Artha. Tapi pria manis itu hanya berusaha menyudahi gosip yang berterbangan.

          Pertama, ia tak mau ada orang tak bersalah yang terlibat. Dua, gosip selalu membuat banyak pihak tidak nyaman. Tiga, ia tak berniat pacaran sebab dalam waktu dekat ia akan ke luar negeri. Dan yang terakhir, kasihan sang pengirim yang menahan malu. Maka dari itu, ia selalu berlagak datar meski isi hatinya melompat-lompat ingin tahu.

           Tapi siapa sangka bahwa ia dikejutkan oleh nama itu untuk kedua kalinya? Nama Irene Valeria diteriakkan. Riuh ramai di lantai dasar menarik atensi Artha yang sedang bersandar di balkon lantai 3. Di saat yang bersamaan dengan bola matanya yang membulat tak percaya, Raymond, sahabatnya, mengirim pesan singkat: Irene Valeria yang nulis suratnya. Turun sini.

           Artha menuruni anak tangga secepat kilat, melewati toilet laki-laki dan membenarkan tatanan rambut, kemudian dilanjut dengan berjalan pelan.

          Santai, santai, ia membuang napas kalem dan berusaha tenang.

          Tapi melihat Irene yang dipaksa dengan sorak-sorakan membuat jantungnya bertalu semakin kencang tatkala kerumunan mulai berseru dengan serentak, "Terima! Terima! Terima!"

           Tangannya (tidak direncanakan ataupun disengaja) dengan lancang menarik Irene menjauh dari sana. Hanya bermaksud membantu agar sang gadis tidak terlalu malu. Ada dua hal. Satu, supaya takkan ada lagi sorakan-sorakan kampungan. Dua, karena Artha akan menolak Irene Valeria.

           "Sorry," Artha berusaha tegas. Raymond sudah sering menceramahinya soal ini. Jadi ia menambahkan dengan jelas. "Aku enggak tega kalau nolak di depan umum."

           Tapi memang dasarnya Artha Timotius Chandra hanyalah seorang laki-laki yang baik dari sananya, jantungnya seperti mencelos saat mendapati bola mata jernih Irene Valeria yang agak berkaca-kaca. Gadis itu mungkin tidak memperlihatkannya sama sekali. Ia menundukkan kepala, berlagak kuat dan jutek, tapi Artha bisa melihat kalau Irene sedang berusaha keras agar tidak menumpahkan air mata di hadapannya.

           Artha ingin sekali bisa memutar badan dan pergi menjauhi Irene di sana. Tapi ada sesuatu yang membuatnya bergeming menatap sang gadis yang juga dirundung kebingungan. Ini semua mengingatkannya pada Irene Valeria dengan kepangan lucu nyaris 3 tahun yang lalu, gadis yang pertama kali ia ajak bicara di sekolah ini.

          "Kalau temanmu tanya dan kamu malu, kamu bohong aja. Nggak apa-apa."

          Fyuh. Akhirnya Artha mampu mengatakannya. Tutur Artha tentu saja membuat Irene berkedip heran, meminta penjelasan.

         "Begini..." Artha menggaruk tengkuk canggung.

          Sebenarnya dan seharusnya, ia tidak boleh melakukan ini. Ia tahu itu. Raymond dan Dean pasti akan mencincangnya dengan ceramah panjang lebar.

          Tapi apa daya, ia hanya merasa kasihan jika gadis ini harus dijadikan bulan-bulanan atau menanggung malu sampai hari kelulusan yang tinggal beberapa bulan lagi. Oke, oke. Memang bukan urusan Artha jika gadis itu jadi punya kehidupan sekolah yang tak mengenakkan. Tapi... Artha sedang berada di posisi yang bisa membantunya. Jadi kenapa Artha harus mengesampingkan fakta dan melupakan posisi itu?

          Selama Artha tidak punya intensi jahat seharusnya takkan jadi masalah. Lagipula ia sudah menolak tegas dan akan memperjelasnya dua kali. Jadi seharusnya Irene mengerti, kan?

          Pemuda itu lantas membuang napas. "Maaf, aku enggak bisa nerima perasaan kamu. Tapi kalau misalkan ada anak-anak yang mengejek kamu perihal itu, kamu bohong saja kalau kita memang pacaranㅡdaripada kamu menanggung malu sampai lulus. Beberapa minggu kemudian, bilang saja kamu mutusin aku."

          Tapi gadis itu malah mendesah, terlihat tidak suka. "No, tidak usah. Terima kasih," desis Irene. Artha jadi mengernyit bingung saat si gadis menatapnya dengan keki sebelum mengambil langkah menjauhinya.

         Keheningan merayap sejenak.

         Oke.

         Uhm...

          Jadi... dia baru saja ditolak, bukan?

         Dia baru saja ditolak oleh gadis yang ia tolak. Lucu juga.

          Artha diam-diam menyunggingkan senyum geliㅡtak habis pikir. Irene Valeria masih sama saja. Tidak ada yang berubah dari Irene selain rambut lurusnya yang semakin panjang dibandingkan dahulu yang sebahu. Artha jadi merasa telah melewatkan banyak hal. Ternyata sudah 3 tahun ia berada di SMA Chandrawaka, dan masa dia belum berhasil berteman dengan 'teman' yang ia ajak bicara di hari pertamanya?

          Ah, rasanya ingin menertawai diri sendiri. Ia ingat dengan jelas bahwa ia mempersiapkan diri selama tiga hari hanya untuk ingin minta maaf karena telah bersikap tidak sopan dan cukup tengil selama 3 hari MOSㅡtapi selalu kandas di tengah jalan karena Irene itu seperti punya tembok, sulit digapai. Irene selalu kabur dengan pipi merah (sepertinya marah) setiap bertemu Artha.

         Mungkin Irene Valeria yang tengah membelakanginya ini pernah menganggap Artha sebagai lelaki tengil menyebalkan yang hobi bikin onar atau murid lelaki tak sopan yang minta ditinju.

           Semester sekolah hampir berakhir. Rasanya tak masalah jika Artha punya satu teman baru, sekaligus buang dosa karena menjahili Irene dulu. Mencuri kesempatan, Artha lantas berseru tanpa pikir panjang.

          "Selamat hari jadi pertama."

          Dan... kisah mereka pun dimulai.

          Bukan berawal sebagai teman, namun sebagai pacar pajangan yang konon katanya dicintai sebesar anak gendut yang suka es krim dan sedalam inti bumi. []

NOTES:

Beda banget ya POV Artha dan Irene. Hahaha. Maklum, namanya juga beda personaliti. :D Berasa gak sih? Apa fail?

Btw, aku bikin ini. Kalau mau save/repost monggoㅡasal ninggalin jejak & gak crop watermark-nya. ♡

See you on the next chapter.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro