Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7: Buk Buk Buk!

To Artha,
Boy I've Loved Before

💌🍦🌈

________

          HARI ini tepat 2 minggu dari insiden permulaan kisah remaja yang berkepemilikan nama kecil Ilea dan Timo-chan.

          Sejak hari itu, mereka terkadang pulang sekolah bersama. Sekadar berbincang ringan, menukar tawa, atau kejar-kejaran dramatis karena Artha itu suka sekali mengusilinya.

          Kalau mau dibilang menyesal, sih, Irene tidak menyesal. Karena meskipun (sebenarnya) ditolak dan tak jadi pacar alsi, setidaknya dia jadi berteman dengan Artha.

         Well, mungkin bisa dibilang... teman dekat?

          Dia tahu kalau Artha suka menuang sup sebelum bakmi gara-gara mereka pernah makan siang di meja yang sama. Dia juga tahu kalau Artha diam-diam hobi mendengarkan lagu girlband Korea saat memakai earphone sembunyi-sembunyi di ruang kelas. Dia juga tahu kalau Artha suka menonton pertandingan basket NBA sebelum tidur. Tentu saja, Irene jadi tahu kalau ternyata sifat 'nggak enakan' Artha itu sudah mendarah daging sejak lahir.

          Dan sebaliknya, Artha tahu kalau Irene itu super cengeng kalau sedang datang bulan. Gadis itu juga suka topping pudding telur bersama boba tea tanpa gula setiap pulang sekolah. Dia juga tahu kalau Irene hobi menulis diari tiap waktuㅡterutama saat sedih dan uhm, saat terlalu naksir Artha dan nggak tahu harus cerita sama siapa. Tapi kata Irene itu dulu. Semenjak ditolak, gadis itu sudah move onㅡdan yeah, Artha aminkan saja.

          Artha juga tahu, meskipun Irene terlihat galak, tapi Irene mengoleksi foto langit di galeri ponsel layaknya gadis-gadis softie. Gadis itu suka merekam langit golden hours yang gradien ungu-pink menyatu lembut.

         Dan tentu semua hal itu didapatkan seiring keduanya menghabiskan waktu bermain mobile legend bersama sembari menyambung telepon.

         Gosip bahwa mereka pacaran bohongan pun sudah mereda. Meski masih banyak desas-desus diiringi keheranan, tapi Irene tidak lagi diganggu atau dicemooh. Sebab lambat laun seisi sekolah mulai percaya bahwasanya barangkali Irene dan Artha berpacaran sungguh-sungguh dengan kedok kode etik PSK. Pacar Sehat Beretika.  

          Selain mereka, tak ada yang tahu kalau hari ini adalah akhir kisahnya.

          Ngomong-ngomong soal hari iniㅡtanpa Irene bilang putus di depan wajah Artha pun, pemuda itu sudah pasti menganggap mereka putus. Hubungan mereka tidak spesial. Dari teman sekelas yang menjadi teman.

          Jadi lupakan akhir kisah drama Netflix atau novel Wattpad yang sudah dibaca sekian juta kali itu. Percuma sajalah, kisah Artha dan Irene ini tidak banyak yang vote. Hanya Irene seorang yang menaruh harapan pada bintang itu.

          "Sebelum putus, ayo makan bareng dulu," bisik Artha sambil menyengir lucu.

          Kurang ajar. Bisa-bisanya dia menyengir lebar begitu padahal mau putusin cewek.

          Irene mendelik galak. Ingin sekali rasanya memukul puncak kepala Artha dengan kertas karton gulungan bekas kelas kesenian di tangan saat ini.

          "Mau nasi uduk, nggak?" Tanya Artha.

         "Enggak," Irene menggeleng ketus membuat Artha agak terkesiap. Gadis itu menlanjutkan dengan tegas. "Maunya bakso."

         "Wuih," seru Artha sambil bertepuk tangan. "Keren loh."

         "Apaan?" Cebik Irene dan melangkah menjauhi gerbang sekolah.

        "Kamu cewek pertama yang nggak jawab terserah," Artha tergelak bahagia. Kemudian ia berlari menyusul Irene yang berada di beberapa meter di depan. Pria itu lantas berbalik badan saat berhasil menyusul. Mata mereka bertemu seraya Artha berjalan mundur. Senyum Artha mengembang. "Aku suka."

          Langkah keduanya berhenti serentak. Irene dengan pipi memanas berusaha tidak membawa perkataan Artha masuk ke dalam hatinya yang sibuk merutuk. Dasar laki-laki tak memikirkan perasaan orang lain.

         Mereka 'kan harus putus. Kenapa hanya Irene yang merass berat hati dan ingin menangis sementara Artha masih bisa terkekeh membawa guyonan ringan. Benci. Irene benci dirinya yang suka bawa perasaan.

         "Jangan mentang-mentang ganteng terus suka ngomong seenak jidat, ya. Dikira kelarin baper tinggal ngangkang."

          "Hah? Gimana? Enggak paham."

          Mendongak pada si pria yang tingginya beda satu kepala dengannya, Irene menatap penuh Artha dalam diam. Dalam hitungan 3 detik, gulungan karton sudah ditimpuk di atas kepala Artha. Hanya ada satu bunyi Buk kecil dan dua kali kedipan kelopak mata Artha yang terkejut.

          "... R-rene."

          Hening.

          Suara kecil itu kemudian menyusul lagi dengan beruntun kali ini.

          Buk-buk-buk!

         "Aduh, aduh. Kenapa, sih?" Artha mengaduh bingung.

         Buk!

         Satu pentungan terakhirㅡpaling kencangㅡdilancarkan.

        "Rasain."

        Siapa suruh nggak mikirin perasaan orang. Aku-suka aku-suka, apanya!

         "Rene... kamu nangis?" Dengan suara terbata-bata, Artha mendekat. Tapi pemandangan di depannya ini mengharuskannya berhenti. Kakinya hanya bisa berpijak di atas rumput taman kala sang gadis menyergah dengan cepat.

          "Berhenti di sana."

          Ternyata tanpa disadari bulir air mata Irene sudah meleleh ke pipi. Irene hanya merasa bahwa semua tidak adil. Artha bisa saja merasa baik-baik saja tanpa menyangkut pautkan perasaan satu jengkalpun. Tentu saja mudah baginya untuk mengakhiri semua ini.

         Buat kamu yang menebar remah, yang letih adalah kamiㅡyang dengan bodohnya terpancing memunguti remahanmuㅡyang tak tahu bahwa barangkali kamu tanpa sadar telah menaburnya di banyak tempat.

          Bagi Irene, yang memupuk harapan dan skenario dengan ending bahagia, ini bukan hanya sekadar ucapan. Ini komitmen untuk melepaskan Artha dan meluruhkan perasaannya.

          Sekalipun Artha tidak melakukan apapun, sekalipun mereka hanya berkoneksi dalam konteks teman, sekalipun Artha hanya memberi kebaikan kecil yang tak berartiㅡsatu sekali pun Artha tidak pernah bermaksud membuat Irene jatuh cinta...

          Akan tetapi, Irene sudah terperosok.

          Irene Valeria suka sekali pada Artha Timotius. Tanpa alasan, apa adanya, dan muncul begitu saja.

          Irene mengusap air mata dengan kasar, "Aku suka kamu."

          BergemingㅡArtha hanya bisa menatap bahu Irene yang naik turun karena sesenggukkan. Pemuda tersebut menghela napas sedikit sedih.

          "Maaf..." tutur Artha dengan berat hati. Ia benar-benar tulus saat melanjutkan. "Maaf, ya, aku bikin kamu nangis."

          Gadis itu menggeleng dengan air mata yang menghujan. Irene berusaha mengais napas sebelum membulatkan hati. Bibirnya yang muram bergetar sedih, membuat dusta pedih. "It's okay, Tha. Aku udah enggak suka kamu, kok."

          Artha masih menunggu kelanjutan si gadis yang sesenggukkan. Irene meneguk ludah getir penuh kebohongan yang hanya menjadi konsumsi pribadinya. "Jadi... jangan jauhin aku. Kita tetap temenan, ya, Tha?"

          Pemuda itu tersenyum kecut. Dia tidak tahu apa yang dirasakannya. Mungkin kecewa atau kelegaan yang bercampur satuㅡdia sendiri tidak paham. Namun ia hanya mendekatkan tangan di hadapan Irene. "Sini."

          Bola mata Irene yang lembab mengerjap bingung saat Artha meraih tangannya dengan hangat. Jabat tangan dipererat, Artha membuat senyum tipis.

          "Selamat hari satu, teman."

          Tangis gadis itu mereda meski jantungnya meletup-letup kesakitan ingin keluar, tapi Irene hanya bersyukur karena ia tak perlu kehilangan orang sebaik Artha dalam hidupnya. Meski perih, entah kenapa Irene punya keyakinan kalau ia bisa melewai lingkaran ini nantinya. Tak masalah jika mereka hanya berteman. Irene hanya ingin berada di sisi Artha, mendukung pemuda itu dan menjadikan dirinya tempat berbagi.

          Ia akan belajar puas dengan posisi itu.

          Irene Valeria akan belajar puas menjadi teman baik milik Artha Timotiusㅡcowok favoritnya selama kehidupan SMA-nya di Candrawaka.

         "Lain kali, biarkan aku yang ngomong duluan, ya," Artha tersenyum lagi. Rambutnya tertiup semilir angin dan matanya menyipit manis.

         "Hah?"

         "Kamu masih mau bakso?" Artha mengalihkan pembicaraan. Irene menggeleng, otomatis membuat pemuda itu menjentikkan jari dengan semangat.

         "Makan es krim aja mau?"

         Irene masih mendongak dengan bingung. Isi kepalanya kosong saat ini.

         "Kamu bilang mau traktir aku es krim sepuasnya, 'kan?" Artha menyengir diselingi kekehan. Berusaha mencairkan suasana dengan merapikan kertas karton gulungan yang berserakan di rumput. "Ada di suratmu. Lupa?"

          Astaga. Sekalipun ingat, mana mungkin Irene mengangguk dan mengaku begitu saja. Gadis itu menggeleng cepat dengan ekspresi yang jelas terbaca kalau ia berbohong. Tapi pemuda ramah itu terkikik gemas.

          "Kencan es krim," Artha mengendikkan bahu, berusaha menyalurkan keceriaan dengan tawa kecil. "Sebagai permintaan maaf. Aku deh yang traktir."

          "Enggak usah, Tha... Jangan lakuin hal yang kamu enggak mau karena enggak enak."

          "Aih, kata siapa enggak mau. Aku mau, kok!" Pemuda itu langsung menarik pergelangan Irene tanpa aba-aba. Cengiran tak berdosanya terukir sementara Irene, sebagai penerima kehangatan, hanya tak bisa menahan diri untuk tersenyum tipis.

          Irene diam saja mendengarkan celotehan Artha berikutnya. "Aku anak gendut yang hobi makan es krim itu loh."

          "Yang aku suka itu?"

          Mulut Artha ternganga kecil. Dia tidak menyangka kalau Irene bakal merespon kalimatnya dengan kalimat lepas landas tanpa rem begitu. Jadi berusaha mengimbangi, pria itu hanya mengendikkan bahu. "Wih, udah nggak malu-malu nih, ye, ngakunya."

          "M-maksudnyaㅡ" Pipi Irene memerah dan alisnya berkerut penuh sangkalan. "Kan sukanya dulu!"

          Keduanya tertawa. Senyum Irene merekah di bibir berusaha menutupi apa yang ada di dalam hati.

          Barangkali desisi yang dibuat Irene itu bukan solusi paling benarㅡapalagi paling pintar. Tapi, jika si gadis mungil hanya ingin mengelabui diri dan menenggelamkan dalam euforia fana, maka biarkan saja ia sejenak memupuk jarum yang tiap sekon menghujam hati kecilnya.

         Bodohnya, ia tak tahu menahu soal penyesalan yang sedang menunggu di ambang pintu.  []

NOTES:

Akutu kepo akutu. Komen opini kalian tentang cerita Artha x Irene ini dongs! (Gak tau nama pairingnya apa lol. Tharene? Thalea? Arlea?)

Aku pribadi ngerasa cerita ini aneh banget. Tapi ya emang sih sifat pemeran utamanya di sini semuanya aneh2(?). Udah lah. Bingung. HAHA

Bye bye bye.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro