6: Jangan Lupa Diri
To Artha,
Boy I've Loved Before.
💌🍦🌈
________
ADA untung dan rugi sewaktu masuk UKS pada jam siang. Sisi manisnya bisa mengademkan diri dan berleha-lehaㅡbahkan selonjoran di kasur. Sedangkan sisi ruginya itu, jam pulang jadi lebih lama, sebab Irene harus membuat laporan absen atau semacamnya yang bahkan ia tidak paham bagaimana cara membuatnya.
Oh, kata Mbak Bunga, itu disebut log. Sepertinya sesuatu yang harus diisi untuk kepentingan laporan pertanggung jawaban agar ruang UKS tidak sembarangan dipakai. Maklum saja, banyak yang pura-pura sakit demi benefits yang bisa didapatkan dari tersebut.
Ruang UKS selalu sepi orang karena penjagaan yang ketat. Irene tahu itu meski ia belum melihat ke dalam, sebab dari luar pun yang terdengar hanya senyap.
Kakinya dengan gontai menarik diri agar tetap bisa berdiri. Kepalanya pusing dan badannya agak hangat. Mungkin efek kurang tidur lantaran pelajaran tambahan alias PM tak pernah absen.
Tangan Irene mendorong pelan kenop pintu, dengan harapan ruangan memang benar-benar kosong, sepi, sunyi, dan senyap. Karena jujur saja, Irene ingin tidur. Namun saat pintu yang tadinya rapat terbuka celahnya, telinganya mendapati hal lain.
#Enemy has been slain.#
Eh? Uhm? Mobile Legend?
Irene diam di tempat. Sepertinya si pemain terlalu fokus sampai tidak sadar kalau sepasang mata Irene tengah memerhatikan sedari tadi. Hm, jago juga doi, pikirnya seraya mengusap dagu.
Di sudut kamar, dibalik tirai putih, seorang pemuda sedang melipat lutut dan tangannya dengan gesit memenangkan permainan.
"Loh, Artha?"
Yang dipanggil spontan mendongak, lalu menyengir malu karena ketahuan.
"Kamu bolos? Pura-pura sakit?"
"Eh, e-enggak," Artha menggaruk tengkuk lalu melanjutkan, "Setengah-setengah, sih. Tadi pagi beneran sakit, tapi pas udah sembuh, akunya mager ke kelas. Hehe."
Refleks saja Irene berbalik badan, "Kulaporin Mbak Bunga kalau kamuㅡUMFFHh!" Kalimatnya terpotong, dihalau tangan.
Irene tak bisa bergerak. Suara tertahan dan pergerakkannya dikunci oleh Artha yang tengah membekap mulutnya. Irene bisa merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuh.
Ia merasa terkena serangan panik, tatkala pemuda itu perlahan mendorong Irene sampai punggungnya menempel di tembok. Astaga, astaga, astaga. Tolong! Jarak wajah mereka sangat dekat. Mata mereka saling bersilang pandang. Irene bisa melihat sosoknya yang kalut di bola mata jernih sang pria.
Satu detik...
Dua detik...
Tiga detik...
"Huaaah! Keterlaluan kamu emang!" Sahut Irene saat Artha sudah melepas bekapan.
Sementara si pria terkekeh merasa menang kala tadi ia berhasil membuat Si Tukang Tidur ini tak bisa berkutik.
"Jangan ngadu dong mainnya. Kan biar sama-sama enak."
"Apa enaknya buatku? Emang aku dapat apa?" Irene mengangkat dagu, sok menantang. Tapi Artha itu setenang air, selalu saja hanya membalas santai dan lembut.
"Maunya apa?"
Irene bahkan sempat berkedip satu dua detik. Kemudian entah setan apa yang merasukinya, ia bercerocos tanpa haluan yang membuatnya tersadar kalau ia baru saja melontarkan permintaan paling 'enggak tahu malu' sedunia.
"Minta nomor hape."
Bingung, Artha berkedip satu kali. "Buat apa?"
Damn.
Keheningan merayap. Sel otak Irene belum mampu mendistribusikan motif sebenarnya. Ya iya dong, sis. Mustahil kalau Irene si manusia tergengsi sedunia ini bilang; Modus nge-chat kamu lah!
Ha. Ha. Gimana baiknya sekarang? Matanya melirik kiri dan kananㅡbingung total. Gadis itu terdiam dengan bibir yang celahnya terbuka kecil, lalu tertutup rapat, lalu terbukaㅡdan begitu terus sampai ia berhasil menemukan jawaban.
"N... Nanya tugas."
Gadis itu menjawab. Tapi tidak dengan sang lawan bicara. Artha bergeming lucu.
Keheningan menyerbu lagi. Kali ini semakin parah karena dibarengi rasa canggung. Keduanya bertukar pandang. Artha menatap Irene. Dan Irene menatap Arthaㅡsembari mencari air minum dalam kepalanya sebab ia gugup sekali.
Rasanya ingin sekali menusuk lubang hidungnya dengan tujuh puluh tujuh jarum infus sekaligus. Sunyi yang nyaris semenit berlangsung ini lama-lama mencair saat Artha menyengir usil, "Tuh, 'kan," ia berujar.
"Tuh, 'kan, apanya?" tanya Irene was-was.
"Kamu naksir aku."
"E-enak ajㅡ!"
"Beneran enggak naksir?" potong Artha dengan cepat. Ada keseriusan di sana. Pertanyaan barusan seolah membuat Irene ingin mundur. Tapi 'kan dia sudah telanjang, apalagi arti malu, hah?
Kurang ajar juga cowok ini. Padahal Irene belum melakukan apapun, masa minta nomor saja hendak tak dikasih. Sebegitunya nggak pengin digebet Irene, apa, ya?
Gadis itu lantas balas menghardik dengan galak. "Enggak! Orang buat nanya tugas! Pede banget, sih?"
Artha berdiam bersama bibir cemberut, tatapan ringan dalam obsidiannya seolah menantang Irene, menagih motif sebenarnya--yang alih-alih hanya mendapat delikan galak dari si gadis.
"Ya udah nggak usah kasih juga gapapa," ketus Irene sambil menarik ponsel dari tangan Artha.
Kepala si pemuda digelengkan. Alisnya berkerut lucu. Padahal bukan seperti itu maksudnya. Artha akhirnya pun mengiyakan dengan segera memasukkan nomornya di ponsel Irene.
"Bener ya cuman buat nanya tugas..." katanya terkekeh seraya menekan tombol simpan di layar.
Pipinya digembungkan, si gadis mendadak jinak. "O-oke."
Irene menunduk malu. Pipinya memerah. Hft. Senang. Senaaaang, woi!
Sebenarnya ia masih belum tahu bagaimana cara memodusi Artha. Pun, sejujurnya, ia tak punya niatan lebihㅡsedanh belajar tahu diri ceritanya. Oh ya, kecuali selain sesekali mengirim pesan untuk lelaki ituㅡhanya demi tanya tugas sungguhan. Well, itu modus, sih. Irene bisa saja bertanya pada ketua kelas atau si cewek juara satu, bukannya memilih Artha si peringkat tiga.
Irene masih berusaha mengontrol diri. Dia sudah terlihat cukup nggak tahu malu. Jadi, dia harus mengontrol perihal yang ini.
Tolong dibantu dan didukung, ya, kawan-kawan sekalian. Bantu doakan.
Ingatkan kalau Irene Valeria sudah ditolak. Ingatkan kalau dia tak mungkin bisa naik pangkat di kehidupan Artha Timotius Chandra. Ingatkan kalau dia tidak boleh berharap lebih jauh lagi kepada cowok yang baiknya sama semua orang ini. Ingatkan kalau dia jangan lupa diri.
"Main Mole, nggak?" Artha bertanya tiba-tiba, membuyarkan seluruh isi pikiran Irene yang sekarang sudah menguap di udara.
Tanpa sadar, Irene langsung tersenyum lebar. Sumingrah, malah. Duh, si Idiot.
Bisa-bisanya benteng pertahanan Irene Valeria auto gagal dalam 2 detik hanya karena kombinasi Mobile Legend dan senyum manis Artha. Bukannya menahan diri dan menolak, ia malah mengangguk antusias.
"Main, doooong!" sahutnya ceria. "Yuk, main!"
Dasar bodoh, kok lengah, sih?! cecarnya dalam hati saat tersadar.
"Yuk," balas Artha woles lalu tertawa lebar. "Jangan cupu, ya, kalau cupu auto-kick dari game sekaligus ruang UKS."
Irene mengangguk mantap. "Oke saja," mata bulat itu menyorotkan bahwa ia siap menunjukkan keahliannya dalam bermain.
"Awas ngefans, ya, sama skill aku!" kata Irene sebelum ia dan Artha menghabiskan waktu bermain bersama, terlena nyaman dan keseruan di ruang UKS sampai lupa waktu.
Semoga saja dalam sisa beberapa hari menuju putus dengan Artha ini Irene tidak juga lupa diri.
Amin. []
NOTES:
Kalian juga. Jangan lupa diri. Pfft :p
Btw mo nanya, ini tuh bosenin ya? Kok jadi sepi?????? ☹
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro