5.5: Orang Ganteng Yang (Dilarang) Baik Hati
To Artha,
Boy I've Loved Before
🙇♀️
[ Work ini sudah tamat. Sebagai pembaca budiman, jangan lupa tinggalkan jejak. ]
💌🍦🌈
________
MASIH di episode dan hari yang sama, Irene Valeria sudah berusaha menahan rasa sakit dan keram yang menyerang perut bagian bawahnya. Selain itu, punggungnya juga terasa pegal sekali. Ia benar-benar ingin menangis. Ditambah lagi suasana hatinya belakangan ini terus-terusan buruk sejak insiden surat cintanya yang bocor.
Tapi yang namanya ArthaㅡSi Cowok yang Emang Baik Dari Sananya ituㅡsuka sekali menambah perih di hati. Semakin Artha baik kepada Irene, semakin terpupuk juga tanaman miris di hati Irene. Irene pun jadi sadar kalau kebaikan ini milik bersama dan dia hanya harus berlapang dada kalau perlakuan ini bukan sesuatu yang spesial.
Bel pulang sekolah berbunyi dan anak-anak dengan sigap membereskan meja untuk pulang. Kecuali Irene yang duduk karena menunggu teman-teman lain selesai terlebih dahulu. Dia malu. Roknya yang bocor itu tidak ada pengganti.
Gianna ada di kelas sebelah, lantai atasㅡjadi butuh waktu untuk menemani Irene. Seharusnya ia tinggal duduk manis dan Gianna seharusnya akan datang. Tahu-tahu Gianna malah mengirim chat kalau dia ada piket, jadi Irene harus menunggu lebih lama lagi, kalau Irene mau pulang bersama.
Oh, tidak bisa begitu. Irene mau pulang sekarang juga. Dia sudah jijik sekali dengan dirinya yang lengket dan dia hanya mau pulang. Gadis itu hendak beranjak tapi matanya terpaku pada sosok Artha yang masih duduk, menoleh kepadanya.
"Yuk. Pulang."
Dengan refleks, gadis itu langsung menarik napas dan membuang ghibah dalam hati. Maumu apa sih, Artha Timotius Chandra?! Hatiku tidak kuat, tahu tidak? Pasti tidak! Hiks.
Kian tersadar, Irene buru-buru menggeleng cepat. Kendali diri adalah prinsip hidup yang harus ia pegang teguh mulai sekarang.
Sayangnya, tak semudah itu, Ferguso.
Pesona Artha terlalu gemilang. Banjjak banjjakㅡkalau bahasa koreanya. Dan akibatnya? Irene hanya bisa terdiam karena dugeun dugeun. Lebay memang.
Pemuda itu membuat kepala Irene masuk ke dalam hoodie-nya yang kebesaran. Irene tenggelam dalam balutan cotton fleece yang hangat. Artha memakaikan hoodie sampai menutupi rambut Irene. Di saat yang sama, mata mereka bertemu manis.
Irene bisa merasakan atmosfir bunga-bunga di sekitarnya yang (sialnya) terpotong, membuat ia meringis kaget saat Artha mengikat tali hoodie dengan sekali tarik, "Ouch!"
"Eh, sori sori sori. Nggak pernah pakein cewek soalnya," guman Artha sibuk membetulkan rambut Irene yang ikut menjadi simpul bersama tali hoodie.
Tangan Irene yang belum memasuki lengan baju sedang menggigil gugup. Gila, ini orang ngapain, sih? Niat banget. Kan jadi nggak bisa nolak, gadis itu mendengus.
Akhirnya, dengan wajah datar yang dikontrol baik, ia memasukkan tangan ke lengan pakaian dengan rapi karena parfum Artha menggoda sekali.
"Nah, nurut akhirnya. Soalnya kalau nggak pakai, nanti kamu malu 'kan dilihat-lihatin."
"Ya 'kan, bukan urusanmu."
"Siapa bilang? Ya, urusanku juga. Nanti status pacar pajangan kita ketahuan, bagaimana?"
"Biarkan. Kalau kebongkar, yang malu 'kan aku. Toh, 1 minggu dari sekarang kamu bilang aku harus putusin kamu."
"Eh, loh, kok kamu baper?"
"Ya, emang dari awal aku naksir kamu. Bego, ya?"
Artha mengelus dada, kaget. "Ya ampun, Tuhan Yesus. Kasar banget, Irene."
Irene menghela napas. Dia lupa kalau Artha ini literally anak baik. Lelaki ini anggota pelayanan Gereja.
Playlist Spotify Artha cuman ada dua. Judulnya; Dayㅡberisi instrumen piano dan musik rohani menenangkan, dan Nightㅡberisikan podcast renungan injil sebelum tidur.
Sedangkan Irene apa? Jauh dari kata religius. Terakhir berdoa pun 3 tahun lalu saat minta restu diluluskan saat UN SMP. Parah. Dan setiap menerima reaksi, Irene selalu ingin bilang; Tapi tolong jangan diceramahi, ya. Sebab ini 'kan pilihan hidup masing-masing.
Gadis itu sekarang merasa malu karena tidak bisa mengontrol emosi. Tapi, tetap saja Artha dan perilakunya itu aneh, 'kan? Menjengkelkan.
Irene tak buta jalan seperti Dydy di FTV pagi favorit mama, Tantalizing Romance, tapi kenapa setiap melihat Artha... Irene merasa tersesat? Jiwa butiran debunya tersesat di dalam samudera jiwa Artha.
Inikah yang dinamakan labirin cinta? Halah, jijik.
Intinya tidak seharusnya Artha bersikap sepeduli itu soal hal beginiㅡsoal rasa malu yang akan ditanggung Irene jika satu sekolah tahu kalau dia ditolak. Demi Tuhan, Irene Valeria tidak ingin salah sangka. Akan tetapi kepalanya terus saja menyusun skenario bahwa jika Artha terus-terusan seperti begini, maka kemungkinan Artha mungkin tertarik padanya.
Iya nggak, sih? Menurut kalian gimana? Iya, 'kan?
Oh, oh, berhenti di sana. Tidak boleh dan tidak akan terjadi lagi. Irene akan berpegang teguh pada prinsip anti baper yang sudah (baru) ia canangkan 3 jam lalu. Baru sebentar, tapi motivasi telah melekat lama. Irene harus move on dalam 7 hari.
"Ilea! Tunggu, dong," panggil Artha lantang.
"Jangan panggil-panggil pakai Ilea!" balas Irene galak.
Sebenarnya Irene hanya malu. Tapi Artha sama sekali tidak peka dan hanya menyengir lucu. "Kamu yang ngenalin nama kecilmu. Kok malah sekarang enggak mau dipanggil gitu."
"Enggak pernah!" bantah Irene. Bikin semakin malu saja. Dustanya terlalu mudah terendus dan sang pemuda hanya mengangkat alis dengan usil.
"Hemm, ya, ya. I dari Irene. Lea dari Valeria~"
Dengan gusar, Irene menutup sepasang telinganya dengan dua tangan. Dibalik hoodie Artha yang kebesaran, wajah Irene memerah dan ia ingin sekali menenggelamkan diri di laut cerulean sesegera mungkin, terutama usai Artha menambahkan kekehan manis seperti matahari terbenam yang ia tunggu-tunggu.
"Nama kecilku Timo," ujar Artha tiba-tiba, seketika membuat Irene mendongak menatap mata Artha. Wajahnya berusaha dibuat datar meskipun hatinya sedang berteriak dan meletup-letup seperti kembang api.
Oh my God. Dia baru saja tahu nama kecil crush-nya! Huhu! Mantoel, bos. Pulang habis mandi mau makan nasi tumpeng, pokoknya.
"Timo-chan. Timo dari Timotius. Chan dan Chandra. Oh, tapi kadang aku dipanggil Tichan juga, sih."
Irene berusaha untuk hanya tersenyum kecil. Nama panggilan kecil Artha lucu sekali. Lucuuuuuuu. Selucu orangnya. Tapi ia hanya mengeluarkan kalimat datar. "Timo-chan kayak nama jepang."
"Buatan Mamaku. Papa dan Mamaku rebutan kasih nama. Satunya mau Timotius, satunya mau Chandra."
"Wah, kok jadi Artha?"
"Biar adil. Jadi yang pilih nama Artha itu nenekku."
"Heeee. Bisa gitu, yak."
Irene terkekeh-kekeh. Lalu saat ia sadar kelepasan, ia langsung melipat bibirㅡmenahan diri untuk tidak mengulum senyum. Astaga, jangan sampai terlena. Mingkem, mingkem, mingkem, bisiknya berusaha menghipnotis diri.
Namun nyatanya sulit sekali sebab Artha sangat enak diajak bicara.
Dia ini seperti magnet wanita. Ada sesuatu di dalam Artha yang membuat banyak orang menyukai auranya. Bisa jadi karena Artha lucu, sangat ramah, dan menyenangkan. Dan poin plusnya; Gantengnya kebangetan. Namun sayangnya, kayaknya, sepertinya, nampaknya bukan jodoh Irene.
"Kamu gimana?" tanya Artha antusias, "Ilea itu siapa yang kasih?"
"Emm... itu, sih.. dari teman-teman komplek," Irene tertawa malu. "Dulu aku cadel. Padahal namaku ada 'R' semua," gadis itu menyelesaikan kalimat dan otomatis membuat Artha melafalkan nama Irene Valeria tanpa suara.
"Benar juga. Irene Valeria," ulang Artha dengan suara lalu tertawa renyah. "Irene Valeria, Ilea. Irene Valeria, Ilea. Irene Valeria, Ilea."
Soal dipanggil dengan nama lengkap dari bibir Arthaㅡastaga, Irene paling lemah. Dia paling tidak tahan jika cowok yang ia sukai memanggilnya dengan nama lengkap. Jantungnya pasti berlarian lagi.
Dan benar saja. Irene merasakan pipinya memerah dan ia mendesis kesal demi menyembunyikan itu semua. "Berisik kamu."
"Kamu ngambeknya lucu, loh. Gemesin. Kayak pilus kecelup saos tomat."
"Apa, sih? Genit lu. Lelaki kardus."
"Loh aku ngomong apaan emang? Kok genit, sih? Ngegodain aja enggak..."
"Merasa tergoda sayanya!" Rutuk Irene kelepasan.
Gemes, gemes, apanya gemes! Yang gemesin itu 'kan Artha sendiri!
Irene kesal sekali dipanggil begitu. Meski wajahnya dingin bak beton dan attitude-nya sering dibuat sok cool, sebenarny hati Irene itu seperti squishy. Lembek-lembek. Tapi memang dasar Artha Timotius Chandra yang idiot garis keras itu hanya memiringkan kepala dan bertanya-tanya.
"Aneh. Kenapa tergoda gara-gara pilus dan saos tomat? Kamu lagi diet terus jadi mau nyemil?"
ARGH. Bodo amat. Irama langkah gadis itu dipercepat tiap sekonnya dan Artha yang berjalan di belakang hanya tersenyum-senyum polosㅡbingung.
Irene tahu bahwa ia terlihat kekanakkan sekali. Tapi memang sesusah itu baginya untuk mengontrol diri. Lagipula semua yang dilakukan Artha jadi salah di matanya. Entah sebenarnya salah Irene yang berharap atau Artha yang selalu baik. Tsk.
Sepertinya memang haram hukumnya kalau jadi orang ganteng tapi baik hati dari sananya. []
NOTES:
Btw, this is
Gianna Senja.
And this is
Raymond Hernando.
And this is
♡ our beloved ♡
Artha & Irene.
Please, do not ever crop the watermark! Boleh di share/save asal gak nyolong credits, yah! <>
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro