3: Semua Cowok Sama Aja!
To Artha,
Boy I've Loved Before
💌🍦🌈
________
SELAMAT datang di atmosfir sekolahmu yang baru, Irene Valeria! Sekarang kau resmi menjadi Lara Jean abal-abal dari novel yang diadaptasi jadi film Netflix tersohor, To All Boys I've Loved Before.
Tapi kali ini isi kisah yang berbeda. Jika Lara Jean yang awalnya terjebak dalam kubangan setan bernama friendzone kemudian mendapat happy ending, kamu ini hanya langsung ditendang jauh-jauh dari galaksi kehidupan Artha Timotius Chandra.
Perlu dijelaskan kenapa? Kamu ditolak. Biar kuulangi. Di-to-lak!
Dan sekarang silahkan persiapkan diri untuk menikmati kericuhan, ejekan, dan apapun yang akan dilemparkan anak-anak di sekolah.
Sebagai anak yang baik dan tidak ingin bikin orang tua malu, lebih baik kau tutup mulut dari rumah dan berjalan dengan kepala yang ditegakkan tinggi-tinggi saat melewati koridor sekolah, yang barangkali bakal penuh dengan manusia bermulut ember.
"Hei, Ilea~" panggil seseorang dari ujung kantin. Jelas itu bukan teman Irene. Itu siswiㅡentah siapaㅡyang pasti ingin mengusilinya. Ditambah lagi, cewek ini membawa seluruh gengnya. Irene yang baru saja menghabiskan makan siang dan hendak pergi ke toilet jadi terhimpit karena ada pagar manusia di hadapannya.
"Jadi, apa yang Artha bilang di depan sekolah?" gadis itu mencondongkan tubuh lalu berbisik kencang-kencang, sengaja membuat teman kelompoknya terkikik-kikik. "Aku dengar kau ditolak, ya?"
Dengusan jengkel lolos dari hidung, Irene lantas menggeser bahu para gadis menyebalkan itu dengan satu dorongan pelan. Tapi salah satu gadis di sana, yang badannya lebih tambun, mendorong Irene tidak senang. Nada bicaranya terdengar meremehkan sekali. "Loh? Kok pergi? Malu, ya?"
"Udah, ini mah fix, dia ditolak Artha."
"Pasti. Artha sih baik banget, ya. Nolaknya di belakang."
Sementara pria yang merasa terpanggil hanya diam-diam melirik dari sudut. Bakmi di mangkuknya belum habis. Butiran es embun di gelas es jeruknya juga hanya semakin banyak sekalipun isinya tak tersentuh.
Irene mengepalkan tangannya dengan gusar. Matanya memicing tak senang dan ia berusaha menerobos barisan cewek-cewek kampungan di hadapan dengan sekali coba. Tapi gagal, para geng centil itu malah tertawa usil. "Eits, eits. Panggil dulu temanmu buat bantuin."
Astaga, Tuhan. Irene ingin sekali mengumpat. Teman-teman Irene semuanya masih di toilet. Para cecunguk pecundang ini hanya berani menganggu Irene saat ia sendirian. Dari ekor mata, Irene mendelik tak habis pikir. Tapi Irene yakin mulutnya lebih beredukasi, jadi ia memilih bungkam daripada berdebat dengan manusia idiot.
"Eh, atau panggil pacarmu aja, ya, Si Artha?" goda Si Tambun.
"Jahat banget. Jangan diingatkan kalau dia ditolak kali," yang lain menyahuti tapi jelas saja itu bukan kalimat pembelaan untuk Irene. Itu hanya sarkasme.
Hooo. Oke. Jadi mereka sedang menyulut sumbu emosi seorang Irene Valeria. Gadis itu lantas menyeringai jijik dan membuat para lawan bicaranya berjengit kesal saat mulut Irene terbuka pelan, "Sori, nih. Kalian semua bisa minggir, nggak? Kalian bau ketek. Saya jijik. Thanks."
Tapi memang dasar bukan manusia, sepertinya. Gadis-gadis ini masih saja tak gentar. Duh. Apa, sih, enaknya menganggu orang? Dapat apa? Uang? Berat badan turun? Payudara membesar? Perut rata dan lengan kecil? Tsk.
Artha Timotius ingin beranjak dan menengahi, tapi satu tangan mencekalnya. Itu Raymond, sahabat baiknya yang punya IQ 148 dan super realistis. "Jangan dibantu dengan dasar kasihan. Bukan urusanmu loh, Tha."
Pemuda itu kembali duduk namun netra tak bisa melepas pandangan pada Irene. Matanya terpaku pada gadis mungil yang berusaha menerobos kerumunan penganggu dan terus-terusan gagal pula.
Gadis itu mulai meninggikan suara. "Bisa pergi nggak, sih?"
"Yuk."
Tiba-tiba suara berat dari belakang muncul dan membuat semua orang menoleh ke arah sang pemilik suara.
Itu Arthaㅡyang satu uluran tangannya mencuat di antara celah kosongㅡmembuat para kerumunan cewek-cewek centil tadi bergeser dalam keterkejutan.
"Ayo, Beb," ulang Artha membuat Irene tersipu sekaligus terkejut. Pipi Irene sudah merah seperti tomat matang saat ia dirangkul dengan hangat.
Artha membantunya lagi.
Kerumunan gadis itu bubar perlahan. Artha berjalan berdampingan dengan Irene yang kepalanya tengah ditundukkan malu. Kalau bukan di sekolah, statistik peluang Irene mimisan mungkin terbilang sebanyak seratus dua puluh tujuh koma sembilan persen. Standar kesalahan nol koma sembilan persen. Sisanya bunyi desir darah nadi yang riuh.
Waktu itu saat pelajaran Ibu Tina, ada yang pernah bertanya soal bagaimana korelasi melihat orang yang disukai dengan mimisan. Irene tidak tahu apa jawabannya. Begitu juga dengan Ibu Tina yang terbengong sepertu ikan tuna kaleng.
Barangkali syaraf otak terjepit dan menyumbat aliran darah? Atau jantung memompa darah terlalu cepat dan kemudian darah pun bocor lewat hidung? Tidak tahu! Dan tidak mau tahu! Meskipun Irene suka belajar, tapi ia benci sainsㅡdan geografi. Jadi lupakan saja soal itu dan dia juga punya pertanyaan lain yang lebih menuntut.
Serius. Bertahun-tahun Irene berkutat dengan laki-laki, tetap saja ada 3 rumusan masalah utama yang tak bisa ia pecahkan.
Kenapa cowok harus sekali menjadi jenis manusia yang membingungkan?
Kenapa cowok harus peduli dan membantu gadis yang tak disukainya?
Kenapa mereka semua sama saja?!
Lengan Artha masih menumpang di bahu Irene. Jujur saja, hati Irene berbunga-bunga dan jantungnya berdebar bahagia. Tapi Irene juga benci situasi ini. Dia ditolong oleh cowok yang menolaknya dan tentu saja harga dirinyaㅡyang sudah dirobek-robek seperti surat cinta di mading ituㅡsekarang semakin pudar menguap jadi polusi di Jakarta.
Mereka bilang hanya ada celah setipis benang diantara cinta dan benci.
Ya, ya, ya. Mungkin kira-kira seperti itu perasaan Irene Valeria saat ini. Terutama saat Artha tiba-tiba berbisik di telinganya. "Maaf, ya, aku rangkul-rangkul. Nanti kulepas saat sudah sepi orang."
Batin Irene ingin berteriak.
Tidak tahu apakah ia ingin berteriak untuk memperbolehkan tangan Artha tetap tinggal lebih lama sekalipun sudah sepi orang, atau ia ingin berteriak frustrasi supaya Artha tidak memperlakukannya seenak hati seperti ini.
Dari luar lagak Irene memang tegar bak dinding. Tapi di dalam? Ha. Sudah jadi pudding.
Mungkin hati Artha sebagai laki-laki tampan yang sering dikerubungi wanita cantik itu kuat-kuat saja jika memperlakukan cewek dengan hal sederhana seperti, merangkul atau mengenggam jemari. Tapi bagi hati Irene yang hanya gadis rumahan dan jarang jatuh cintaㅡtolong deh, selamatkan dia! Hatinya sudah jadi remahan biskuit. Jangan sampai Irene harus mengasihani dirinya sendiri karena telah tetap mencintai meski telah ditolak.
"Nah," Artha berhenti dan berdiri di hadapan Irene dengan gagah. Seperti biasa, dengan pose andalannyaㅡdua tangan tersemat dalam saku, Artha mengembangkan senyum di wajah. "Sudah aman."
Irene Valeria tidak bisa memaksa diri untuk tersenyum. Gadis itu lantas hanya menunduk dengan raut wajah datar yang memerah, kemudian memutar tungkai untuk menjauhi Artha tanpa memberi sepatah kata.
"Maaf, ya," kata Artha. Lagi-lagi, Irene hanya bisa mendengus.
"Iya, biasa aja, Tha. Lagipula bukan pertama kali kamu nolak cewek. Jangan baik cuman gara-gara nggak enak."
"Aku cumanㅡ"
"Makasih udah nolongin tadi," potong Irene dengan cepat.
Artha mematung. Hoodie biru dongkernya diterpa sinar matahari terik dan matanya sedikit menyipit demi menghalau silau. Punggung Irene yang jaraknya 2 meter dari tumpu kakinya, semakin menjauh dan mengecil. Pemandangan itu membuat dahi Arthe berkerut cemas.
Memang bukan pertama kali Artha menolak cewek dan tetap bersikap baik pada para pemujanya. Tapi untuk kasus Irene, Artha tidak tega meninggalkan sang gadis dengan rasa malu yang menggerogoti tiap langkah sang gadis saat berada di sekolah. Namun di lain sisi, ia pun tak punya perasaan khusus pada Irene.
Dan jujur saja, perasaan tak bisa dipaksakan, 'kan? Jadi, Artha hanya mengurungkan niat dan berusaha meredam rasa bersalah saja.
Irene berjalan ke kelas diekori Artha dari belakang. Saat keduanya muncul di daun pintu kelas, teman-teman yang berada di dalam memberi sorakan yang entah apalah. Bahkan mereka semua meracau tidak jelas. Pokoknya tak mau peduli. Irene hanya duduk di sudut, lalu mengistirahatkan kepalanya di atas meja, membiarkan bias mentari menembus kulit putihnya dengan hangat.
Artha memandangi dalam senyap, bagaimana gadis itu terlelap di tengah pelajaran geografi yang sedang berlangsung. Surai si gadis berantakkan dan alisnya agak bertaut kesilauan. Pipi tembamnya yang tertekan di lengan terlihat lucu. Si gadis benar-benar lelap sekali.
Satu senyum kecil mencuat di bibir sang pemuda. Pantas saja tak paham soal inti bumi, batin Artha yang tengah memangku dagu. []
NOTES:
Apakah nge-feel? Apakah baper? Haha
Jangan lupa masukan ke Reading List ya. Ini kan konten tanpa koin-berbayar, jadi tolong dibayar dengan cara seperti itu
Soundtrack Iseng
✔ IRENE'S POV
1. Ananya Birla - Circles
*on mulmed*
(semua moment mereka di work ini kayaknya cocok, hahaha).
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro