Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14: Surat Terakhir

To Artha,
Boy I've Loved Before

FINAL CHAPTER.

💌🍦🌈

________


6 Tahun Kemudian...

Bandara Internasional Soekarno-Hatta, 2025.

"Penerbangan D2912 akan segera mendarat. Mohon kencangkan sabuk pengaman dan tetap di tempat sampai pesawat mendarat dengan sempurna."

Bunyi dengung samar-samar mengisi rungu Artha. Direnggangkannya leher dan pundak sebelum ia benar-benar terjaga. Perjalanan yang menguras nyaris 9 jam dari Sydney membuat fisiknya pegal-pegal. Rindu juga dengan Indonesia, batinnya sambil tersenyum tipis.

Pramugari memberi instruksi untuk melepas sabuk pengaman karena roda pesawat telah sukses mendarat mulus tanpa cacat. Beberapa penumpang telah berdiri dan mengambil koper dari kabin. Artha sendiri, masih duduk, menunggu keramaian agak senyap sebelum beranjak. Ia masih Artha yang 6 tahun lalu, masih pemuda yang ogah berdesak-desakan demi mengambil sesuatu.

Maksudnya, waktunya masih banyak. Ia tak perlu buru-buru untuk mengejar. Masih ada 15 sampai 30 menit sebelum semua penumpang harus turun.

Lantaran soal pernyataan barusan yang hinggap di kepalanya, Artha mendesah kecil tatkala sesuatu terjatuh dari tempat duduknya. Sebuah amplop biru tua klasik dengan frame emas sebagai pemanis.

Oh, ternyata benda ini terbawa sampai tidur.

Menggaruk tengkuk dengan gusar, ia buka kembali amplop tersebut. Ada 2 kertas.

Artha membuka salah satunya yang lebih tipis dan penuh tulisan tangan. Matanya perlahan tersenyum manis kendati sedikit getir dan nostalgia saat ia melihat kalimat pertama yang tertoreh di sana.

_____

To Artha, cowok yang pernah kusukai sebelumnya,

Hai, Artha Timotius Chandra!

Ini temanmu. Irene Valeria yang waktu kecil dipanggil sama anak komplek dengan Ilea. Kamu tidak mungkin lupa, 'kan? Cewek yang dulu buku hariannya dibocorkan di mading kelas dan kamu jadikan pacar pajangan supaya mukanya tidak harus ditaruh di dengkulㅡsetidaknya sampai graduation.

Terima kasih, ya. Aku yang (udah agak) dewasa ini baru sadar kalau kamu sebaik itu. Mungkin aku dulu terlalu kekanakkan buat mengerti dan paham soal kebaikan kamu. Thank you, Tha.

Apa kabarmu?

Udah berapa tahun ya sejak kelulusan SMA? 6 tahun? 7 tahun?

Ngomong-ngomong, ternyata yang membocorkan isi diari itu adalah Gianna. (Dia memang suka kurang ajar gitu. Tapi aku sayang dia selalu kok. Hiks.) But it's okay, at least I got my ice cream date with you, back then!

Ini surat terakhir yang kutulis di diari kuning SMA-ku. Saat aku bilang bahwa isi diari kuning itu hanya kamu, aku serius. Aku belum pernah bilang soal ini, mungkin kamu juga heran dengan kelakuanku dulu. Aku pun sama bingungnya--dengan aku sendiri. Kayaknya, Ilea kecil terlalu labil untuk menyatakan perasaan.

Iya. Enggak usah kaget dan baca dua kali.

Ilea kecil yang itu sangat menyukaimu. Aku pernah menyukaimu, Tha.

Maaf, aku banyak bohong. Aku sendiri enggak punya banyak keberanian untuk mengekspresikan rasa sukaku padamu, apalagi kalau diucapkan. Aku cuman ingin mengambil satu langkah kecil dalam hidupku. Aku ingin jadi sedikit lebih berani dan bersikap lebih baik untuk diriku sendiri--seperti yang selalu kamu contohkan, dan tanpa sadar saja kebaikanmu menular padaku. Hehe.

Kuharap kamu enggak terlalu marah karena aku memutus kontak denganmu selama 6 tahun.

Juga, maaf aku enggak mengantarmu tepat waktu saat di bandara waktu itu. Aku terlalu takut kalau aku bakal menangis di keramaian karena kehilangan kamu. Aku masih ingat dengan jelas seberapa besar perasaan yang aku punya untukmu, Tha. Bodoh, ya? Kalau aku menyukaimu sedalam itu harusnya kunyatakan saja karena sepenting itu eksistensi seorang Artha Timotius Chandra buat Irene Valeria.

Maaf, ya. Aku sungguh menyukaimu dan aku banyak menyangkal soal itu.

... Ataukah kamu sudah tahu soal itu?

Seharusnya tidak tahu, sih. Sebab kalau tidak salah ingat, aku selalu maju mundur menyatakan isi hatiku. Aku enggak pernah mengakuinya karena aku takut kamu jijik denganku atau malah... menjauhiku. Terkadang malah aku dengan galak membentakmu, ya? Payah sekali. Pantas saja kamu tak pernah balik menyukaiku. Pft. Tapi tidak apa-apa. Sekarang aku sudah menemukan apa yang kuinginkan.

Bulan depan, aku akan segera menikah. Kamu lihat undangan yang terselip bersama amplop ini, bukan?

Aku harap kamu bisa datang. Aku juga sudah membeli 2 tiket untukmuㅡjaga-jaga kalau kamu sudah punya kekasih, tolong bawa ia kemari. Hehe.

Sampai jumpa, Artha Timotius Chandra.

Dari Irene Valeria, yang tak sabar melihatmu.


_____

***

Artha menghela napas. Untuk alasan tertentu matanya membasah haru meskipun ia merasa bahagia.

Kembali pada titik itu, dimana ia dan Irene masih berseragam, teringat wajah polos Irene dengan rambut lurus hitamnya. Sulit dipercaya bahwa ia sekarang mengenakan kemeja rapih tergulung untuk menghadiri hari penting ini, hari pernikahan Irene Valeria.

Foto pre-wedding yang dipajang di depan aula ballroom menampakkan Irene punya rambut cokelat pirang sekarang. Ia masih cantik. Artha yakin wanita itu akan terlihat lebih menawan saat ditatap langsung.

Dan benar saja, begitu Artha melangkah masuk dan menatap Irene yang berdiri dari kejauhan dengan seorang laki-laki gagah berjas hitam dengan dasi kupu-kupuㅡsudah pasti itu sang mempelai pria.

Wanita itu berbalut gaun pengantin putih, berdiri di bawah lampu chandelier mewah yang memukau. Ah, tidak, Irene lebih memukau lagi. Bola mata Irene yang bulat jernih, bulu mata lentik natural, pulasan lipstik satin, dan pipi persik yang tersipu manis. Semua kombinasi itu membuat Artha melengkungkan kedua sudut bibir.

Semoga berbahagia dalam menjalani hidup baru, doanya dalam hati.

Kakinya melangkah dengan keyakinan, duduk di salah satu meja yang sudah disediakan khusus teman-teman dari SMA Chandrawaka, hitung-hitung sebagai reuni kecil. Gianna dan Raymond juga duduk di meja yang sama. Mereka mengosongkan satu bangku khusus Artha yang sedikit terlambat akibat jetlag.

"Telat banget, bro?" Raymond menepuk bahu Artha yang hanya menyengir sambil meminta maaf.

"Udah denger belum ternyata dulu si Gianna yang bocorin diari Irene," celoteh Raymond sambil menunjuk Gianna tepat di depan wajah.

"Jangan dibahas lagi bisa kali," Gianna mencebik. "Aku masih merasa bersalah banget dia nangis."

"Irene nangis?"

"Nangis lah. Menggelegar badai tuh air matanya. Hadeh. Aku merasa bersalah banget jadinya. Malah aku ngakunya barusan bulan lalu," Gianna tertawa ringan, lumayan menggemaskan jika mengingat-ngingat suramnya Irene hari itu.

"Iseng sih jadi manusia, Gi," celetuk Raymond.

"Bukan iseng. Awalnya aku beneran mau bantuin temenku yang super gengsi itu biar deket sama cowok taksirannya yang udah selana 3 tahun tapi nggak aja kemajuan," Gianna memberi jeda, karena Artha nampak tak fokus padahal ini titik klimaks singgungan, "Eeeeh, ditolak sama ini orang," sahut Gianna menunjuk Artha yang terkekeh pelan.

"Memang bocah banget sih, habisan greget banget mantengin Irene mantengin kamu, Tha. Akunya berasa terlibat dalam rantai permantengin ini. Pusing dan greget. Jadi aku jodohin aja sekalian."

Artha tertawa kecil, "Kenapa harus lewat mading, sih? Kasihan tahu. Kan bisa kamu kirim aja ke kolong meja, Gi."

"Ah, kamu. Kayak enggak tahu Irene aja, Tha. Udah dipajang di mading aja masih ngelak. Apalagi kalau cuman di kolong meja? Enggak akan lah kamu jadi at least pacar bohongannya saat itu. Kalian juga jadi dekat kan, setidaknya?"

"Ada benarnya, sih."

Pemuda itu mengangguk-angguk setuju, tak ada yang perlu disesali atau disalahi, Artha suka dengan semua kenangannya dengan Irene. Ia akan menjaganya dengan baik.

"Makasih loh, Gi, udah mantengin Irene sama aku."

"Nah, tanpa sadar ternyata dulu gue mantengin lo semua dari jauh," Raymond menimbrung dan membuat semuanya tertawa.

Berbincang dan melihat wajah dua teman SMA-nya ini semakin membuat Artha kembali bernostalgia. Sekarang mereka tidak lagi berseragam. Tidak lagi mengantri di kantin sekolah. Tidak taat lagi pada bunyi bel masuk. Tidak ada pelajaran Geografi mengenai inti bumi. Tidak melewati mading lantai dasar setiap pulang sekolah.

Merekaㅡtermasuk Arthaㅡtidak lagi hidup dalam jadwal rutin, melainkan hidup dalam rutinitas yang dijalankan atas dasar desisi masing-masing sebagai orang dewasa.

Ngomong-ngomong soal dewasa, apakah Artha yang sampai sekarang tidak pernah menyatakan perasaannya juga pantas disebut dewasa?

Ah, tunggu dulu. Memangnya apa tolak ukur menjadi dewasa? Lagi-lagi Artha tersenyum tipis.

Artha agak rindu pada suasana tahun itu. Tahun dimana ia bertemu Ireneㅡmeski terlalu ciut untuk menyatakan perasaan karena berbagai macam alasan payah yang tak ingin ia akui satu per satu.

Timo-chan alias Artha remaja pernah bermimpi mencari dunia yang ingin ia punyai di masa depan. Tapi yang ia dapatkan hanya sentilan bahwa dunianya lagi-lagi berputar pada Ilea. Berporos pada Irene Valeria, gadis yang pernah ia sukai kala itu.

Gadis yang berhasil membuatnya mencari teh hangat karena si gadis tengah datang bulan dan tak kuat menahan rasa nyeri di bagian perut bawah. Gadis yang membuatnya menahan kekehan gara-gara satu 'Huh?' dengan wajah bantal polos usai pemuda itu meletakkan satu gelas teh hangat di atas meja seraya berkata, "Ini Artha, bukan Gianna."

Gadis yang menolak jaketnya mati-matian, padahal Artha tahu bahwa Irene butuh itu untuk menutupi bercak merah di rok sekolah. Gadis merepotkan yang harus Artha jaga karena sering diganggu karenanya. Gadis merepotkan yang harus ia paksa supaya mau mengenakan hoodie-nyaㅡdan menuduh Artha modus, padahal belum pernah Artha melakukan itu pada cewek lain.

Gadis yang berani mengatainya dan terang-terangan bilang, "Ya, emang dari awal aku naksir kamu. Bego, ya?" Yang waktu itu Artha kira itu sekadar bentuk candaan sarkasme, karena menurutnya, mana mungkin Irene suka padanyaㅡjika sekasar itu dan selantang itu mengumandangkannya.

Artha hanya memohon sedikit waktu lebih lama untuk mengenal gadis ini sebagai teman bicara yang mengasyikkan. Tanpa intensi, ia tulus peduli pada gadis ini. Dan bukan lagi rahasia, kalau ia sangat suka berbincang dengan Irene tulus dari lubuk hati. Terutama saat pipi gadis itu berubah menjadi merah setiap kali ia melancarkan serangan usil.

"...Gemesin. Kayak pilus kecelup saos tomat."

"Apa sih? Genit lu. Lelaki kardus."

"Loh aku ngomong apaan emang? Kok genit, sih? Ngegodain aja enggak..." Ngeledek doang sih adanya, batin Artha menambahkanㅡkalau dipikir-pikir sekarang ini.

Pemuda itu tak bisa berhenti memerhatikan Irene yang berada di podium. Sekarang gadis galak yang pernah kebocoran surat itu sekarang sudah menjadi wanita cantik dengan polesan kosmetik tipis dan sikap anggun.

Di detik yang bersamaan, mata mereka bertemu pada satu titik yang sama namun berlawanan. Saling menatap lembut. Artha pada sosok Irene. Dan Irene pada figur Artha yang sedang bangga untuknya.

Meski kamu bukan untukku...

Artha mengacungkan jempol tinggi-tinggi, berharap Irene dapat melihatnya, sementara sang gadis mengembangkan senyum paling cantik yang pernah Artha lihat. Netra gadis itu berkilat tulus, Terima kasih sudah datang, Artha.

Selamat berbahagia, Rene.

Tangan Artha pun perlahan turun. Ia menyadari satu hal.

Waktu mungkin masih banyak, tapi waktu tidak akan menunggumu usai terbangun bersama perasaan yang kautimbun di dalam sana.

Sebab, hal paling sedih dan paling bodoh adalah ketika dua orang yang saling punya perasaan tidak pernah bersama karena mereka kira tak mungkin mereka saling menyukai.


_____

To Irene,

Sekarang kamu sudah bahagia. Tentu saja aku juga akan berbahagia untukmu. Kamu pantas mendapatkan itu. Dan kamu juga pantas mengetahui ini.

Maaf aku tidak pernah menyatakannya terlebih dahulu. Maaf dulu aku membuatmu harus menanggung perasaanmu sendirian. Ketakutan yang sama-sama kita punya membuat kita tidak melakukan apapun. Karena itu juga, sekarang, ketakutan kita menjadi nyata.

Seharusnya jika saat itu kubuang banyak pertimbangan, jika aku sedikit lebih cepat menyadari perasaanku padamu tanpa harus meninggalkanmu, aku ingin bilang satu hal singkatㅡyang pada masanya sangat ingin kau dengar.

Kepada Irene Valeria...

Aku pun juga pernah menyukaimu.

_____

***

Barangkali, ia yang tak balik mencintaimu bukanlah orang jahat. Mereka yang tak bisa menyatu denganmu, tak berarti mereka jahat. Mungkin mereka hanya orang yang mengekspresikan diri dengan cara yang barangkali salah kau interpretasikan.

Kalian yang tidak bersatu, bukan berarti salah satunya lebih buruk.

Kalian yang tidak bersatu, bukan juga karena tidak cocok.

Kalian yang tidak bersatu, barangkali hanya butuh waktu. Entah untuk melepaskan, merelakan, memaafkan, menyadari, menyesali, mengulang, atau... mengikhlaskan.

Bahwasanya, dua orang yang gagal menjadi satu itu normal. []

"TO ARTHA,
BOY I'VE LOVED BEFORE"
Season 1: Letter
officially finished.

FIN
2019

NOTES:
Aku nggak paham kenapa air mataku netes dikit ya pas nulis ending yang ini?

Buat pembaca baru maaf ya endingnya sudah begitu dan kalau kalian kecewa yah saya ga punya obatnya :") haha.


[Do not forget to put this book on your Reading List!☆]


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro