12: Kenapa Kamu Tidak Datang?
To Artha,
Boy I've Loved Before.
💌🌈🍨
_______
MENDENGAR sesenggukkan dan melihat tetesan air mata Irene itu bukan hal yang bisa Artha tertidur diamkan begitu saja. Meski mereka sekarang sudah tidak kontak sejak hari putus itu, mau bagaimana pun Irene Valeria tetap berharga dan spesial untuk Artha.
Malam lalu, Artha ingin meminta maaf. Ia tak pernah bermaksud membuat Irene merasa hancur seperti itu. He means it. Dia tak pernah ingin melihat Irene menangis karenanya. Hatinya merasa tidak tenang, ia akan berangkat 2 hari lagi dan masa sampai malam ini dia belum berbaikan dengan Irene?
Artha tidak tahu perasaan apa yang menggerogotinya namun yang pasti dia tidak siap kehilangan begitu saja.
Apa ini yang mereka sebut sebagai penyesalan?
Pemuda itu meraih ponsel, mengetik beberapa pesan kalimat dan berharap kalau sang gadis akan segera membalas.
Tapi Irene Valeria tidak memberi jawabanㅡpadahal dulu selalu secepat kilat. Alhasil, berkat kegusaran yang sudah membeludak, Artha menekan tombol panggilan suara.
"Halo?"
Ah, syukurlah. Gadis ini masih sudi menjawab teleponnya. "Halo. Kemana aja?" Artha tersenyum tipis.
"Emm, kenapa telepon?"
Huh. Artha tak diizinkan basa-basi, ternyata. Pemuda itu sempat terdiam beberapa detik sebelum mengeluarkan dehaman kecil, "My flight is on the day after."
Irene terhenyak nyaris 5 detik, lalu ia menguatkan diri untuk membalas seadanya, "Ah... Sydney, ya?"
"Mhm," Artha mengangguk pelan. "Jam 10."
"Pagi? Atau malam?"
"Pagi. Bisa?" Tanya Artha penuh harap.
"Bisa apa?"
Artha bergumam ragu, "Ketemu sebelum itu. Aku ada sㅡ"
"Nggak bisa, Tha. Maaf."
Helaan napas kecil lolos dari celah bibir yang sedikit terbuka, Artha tersenyum kecut. Aku ada sesuatu yang mau aku bicarain. Apa daya jika sang lawan bicara tak ingin. Mungkin dia harus membujuk satu kali lagi.
Dengan tawa ringan yang diusahakan ia melanjutkan, "Ya ampun. Sombong sekali, Ilea ini. Dasar pilus. Kamu masih bete banget, ya, sama aku?"
Dari seberang sana terdengar kekehan canggung milik Irene. "Bukan gitu. Cuman..." Irene menggantungkan kalimat, membuat si pemuda mengangkat alis dalam kuriositas.
"Cuman?"
"It is fine, Tha. Tadi cuman lagi cek agenda. Entah ada janji atau nggak. Tapi nanti aku usahain dateng, yah."
Ujung bibir Artha perlahan merekah naik. "Aku tunggu, ya?"
Artha dapat mendengar dengusan kecil. Sang gadis terkekeh pelan seraya menggeleng, "Nope, no need."
"Uhm, Rene... Apa itu artinya kamu nggak akan datang?"
Terdengar gumaman samar di seberang sana. "Apa ini artinya kamu lagi maksa aku buat datang?"
Artha bergeming.
Sejujurnya ia tidak suka attitude pasif-agresif seperti ini. Kesannya ia dipojokkan seperti orang jahat yang pantas diabaikan seperti itu. Lagipula, Artha hanya ingin berbaikanㅡwell, meski mereka tidak bermusuhan seperti harfiah sebenarnya.
Artha hanya ingin hubungan mereka kembali sama. Dia hanya ingin Irene yang lama. Irene yang dulu cerewet dan galak.
Pun ia cuman berkeinginan meninggalkan Irene dan Indonesia dengan memori baik.
Artha tahu ini, memang Irene dan dia itu bukan hanya teman biasa.
Hubungan mereka agak berbeda kendati tidak ada sesuatu yang spesial. Tapi semuanya terlalu rumit untuk diperjelas. Takut kehilangan dan timing buruk adalah dua tersangka utamanya.
"Aku nggak maksa," dengusan Artha terdengar, ia pun menyerah, "Ya sudah, nggak apa-apa. Selamat malam."
"... Night," balas Irene pelan setelah sempat diam agak lama. Artha mengernyitkan dahi kala ia menyadari kalau suara Irene bergetar.
"Kamu nangis, Rene?"
"Enggak."
"Enggak salah lagi."
"Dibilang enggak."
"Enggak mungkin salah."
"Hiks."
"Lagi dapet, ya? Makanya cengeng?"
Lagi-lagi, Irene tertawa paksa, "Dapet kok disalahin mulu. Kasihan dong dianya."
"Yaaaah... terus, kamunya kenapa nangis, dong?" Wajah si pria muram, ia tak kunjung mendapat jawaban bahkan sampai akhir sambungan telepon diputuskan karena sang gadis terlelap dalam lautan air mata.
Demi Tuhan. Pemuda itu benar-benar tidak bermaksud. Hatinya merasa tak nyaman, sungguh. Pun Artha tidak suka jika ia membuat orang menangis. Untuk alasan apapun, termasuk ketika mengantar kepergiannya ke Sydney.
He doesn't know, too. But, being together with her doesn't feel right. He can't explain.
Raymond, Dean, dan teman-teman akrab lainnya menemani Artha di Bandara dengan tetes air mata atau senyum bakal rindu. Tak lupa pemuda itu menukar peluk dan tawa hangat yang merekah sebelum masuk ke imigrasi.
Kepalanya celingak-celinguk. Kadang ke utara, selatan, timur, bahkan barat. Tapi nihil saja, Irene Valeria sudah pasti takkan datang. Entah apa yang Artha harapkan.
Di saat semua orang menanyakan apakah Artha meninggalkan sesuatu, hanya Raymond yang bertanya; "Nyari siapa, Tha?" kata sahabatnya dengan pelan.
Artha tertegun sejenak dengan kepala yang tertunduk.
"Tha... Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang," Raymond lalu melontarkan pertanyaanㅡyang sebenarnya sudah ia tahu jawabannyaㅡlewat bisikan kecil, "Ilea?"
Yang ditanya menggeleng, lalu hanya mengulas senyum tipis.
"Nope. Dia lagi nggak enak badan. Lagian waktu udah mepet. Aku pergi dulu, Mon," kata Artha sembari menyisakan punggung berbalut jaket denim yang terlihat kosong.
Sejak putus, Irene selalu menjauhinya tiap kali ia berusaha menyapa. Mungkin dia ini memang benar parasit yang menempeli Irene sampai si inang merasa begah dan tak sudi lagi bicara dengan Artha. Tapi bukankah agak keterlaluan jika Irene tidak datang? Bukankah mereka teman dekat? Bahkan tidak satu pesan singkat pun ia terima.
Artha ingin melihat presensi Irene. Setidaknya yang terakhir kalinya untuk 4 tahun ke depan.
Obsidiannya tampak tedup perlahan. Kuyu dan sayu. Helaan napas berkali-kali terembus dan hanya ada jeda senyap yang merayapi jiwa.
Aku menunggu.
Tapi...
Mendadak, muncul rasa kecewa kepada Irene. Meski sebenarnya rasa kecewa pada diri Artha sendiri lebih besar kentaranya. Namun tetap saja, agak perih untuk dirasa.
Kenapa kamu tidak datang, Rene?
Amplop surat yang ia kepal di tangan diremas sedikit sampai menyebabkan lipatan berantakkan. Sebelum berjalan memasuki ruang imigrasi, dikantonginya amplop putih tersebut dengan berat hati. Untuk alasan tertentu, ada retak di dalam hatinya.
Jam tangan yang melingkar dilirik cepat sebelum Artha menarik koper dengan terburu-buru, berbaris menunggu giliran passport miliknya ditelisik oleh penjaga.
Pluk.
Sesuatu terjatuh dari saku jaket Artha.
Beberapa detik setelahnya tentu saja Artha tahu itu. Itu adalah sebuah amplop surat yang terlipat. Postur Artha mematung. Netranya tengah menatap selembar benda putih yang tergeletak mati di atas keramik dingin. Tertulis dengan rapih di sana; To Irene.
Pemuda itu meneguk saliva getir. Kemudian tanpa seinci pun ia ingin bergerak mengambil surat yangㅡpadahalㅡsudah ditulisnya semalam dengan hati yang bertekad penuh.
Langkah kakinya mendekat pada ujung surat. Ia masih ingat tentang apa yang ia tulis di dalam sana. Hanya pesan singkatㅡyang mana akan ia lupakan mulai sekarang.
Roda koper pun ditarik cepat. Surat terlantar itu tergeletak sendirian, lambat laun terlupakan bersama kekecewaan sang pemilik yang tersapu waktu. []
NOTES:
Kisah dari dua sisi emang lebih indah sekaligus tragis. hmmHHh. Seandainya kita bisa lihat sisi doi semudah ganti POV karakter di wattpad ye. :D
By the way, ini udah mau END loh.
Dan maaf juga kalau POV Artha ngebosenin. Dia anaknya gak meme-able, sih :-(
For me, Artha itu lumayan dewasa dan kalem. Iya gak sih? Menurut kalian kalau Artha ini gimana?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro