11: To Artha...
To Artha,
Boy I've Loved Before
💌🌈🍨
_____
"AKU suka banget tahu tiap ngobrol sama kamu."
Ucapannya serius. He means it. Every word of it.
Bola mata Artha bergetar. Artha hanya bisa tersenyum kecut, menerima degup ringan yang mulai tidak berirama di dalam jantungnya.
Tatkala gadis kecil itu membelah celah hening dengan membalas apa yang ingin ia dengar, lengannya tak kuasa menahan diri. Direngkuhlah sang gadis. Seerat mungkin meskipun yang bisa ia lakukan hanya bergeming dengan dagu yang bersandar pada puncak kepala Irene.
"Kita sampai sini aja, ya. Terima kasih, Ilea."
Banyak hal di dunia ini yang tak bisa dijelaskan.
Perasaan Artha kepada Irene salah satunya.
Teman perempuan yang satu ini agaknya punya posisi khusus. Meski Artha tidak memandangnya sebagai wanita sepenuhnya. Tapi, dikatakan sahabat pun... kata itu tidak cocok buat seorang Irene Valeria.
Sosok yang berhasil membuatnya nyaman kala mengikis waktu bersama dengan lelucon tak berguna, sosok yang membuatnya merasakan hal yang sama, sosok yang ingin ia jaga, sosok menarik nan unik yang menyita waktunya.
Apakah ini rasa nyaman? Ataukah bentuk perhatian? Ataukah bentuk ilusi atas kedekatan mereka? Atau barangkali hanya rasa keterikatan semu karena mereka terlalu sering menghabiskan waktu bersama?
Yang pasti, teman tidak melakukan hal yang ia lakukan bersama Ilea. Hanya saja, ia merasa bersalah karena telah membuat hal tersebut kejadian. Ia pun terlalu nyaman dalam lingkup kelabu ini. Lingkup yang mana tak seharusnya ia lanjutkan. Lingkup yang membuat keduanya bertanya-tanya; siapa aku bagimu?
Membingungkan.
Akan tetapi bergantung pada tali harapan yang setipis ini pun keterlaluan untuk Irene. Mumpung belum terlambat dan terlalu dalam, rasanya kesempatan menjalin itu tak diperlukan.
Tidak ada artinya semua ini diperjuangkan, toh, pada akhirnya mereka akan berpisah. Pada akhir cerita, Artha sudah tahu kalau mereka takkan bersama. Jadi lebih baik tidak pernah berdampingan sama sekali. Makanya, "Sampai di sini saja, ya."
Tapi... bulir bening malah turun dari mata Irene.
Artha punya dua asumsi yang sangat menganggu saat melihat tetesan air mata tersebut.
Satu, Irene sedih dan merasa kehilangan karena barangkali mereka takkan bisa berdekatan atau menghabiskan banyak waktu bersama--seperti dahulu--karena Artha akan segera pergi jauh.
Atau kedua, yang rasanya agak mustahil dan terlalu percaya diri yaitu, mungkin Irene masih menyukainya.
"Thank you for everything, Tha."
Pupil Artha hanya bisa menjadi kosong. Dan satu keping hatinya seperti pecah tatkala punggung Irene yang semakin menjauh, mengecil, lalu hilang dari hadapannyaㅡitu ialah penglihatan terakhir yang ia dapatkan.
Artha tidak mau tahu soal kemana jalan cerita mereka telah dan akan bergulir. Yang ia yakini, mereka hanya harus berpisah jalan. Masing-masing pada tujuannya.
***
Irene berlari ke kamar, air matanya bercucuran tatkala ia membanting pintu. Ia menghempaskan dirinya ke atas kasur dan menangis sesenggukkan. Lengannya dipakai satu untuk menutup wajah.
Sungguh, gadis itu tak mengerti. Kata orang-orang, cinta remaja itu hanya cinta monyet. Tidak serius, hanya main-main, dan bukan perasaan yang nyata. Lantas jika memang begitu, kenapa hatinya sakit sekali? Kenapa dia merasa seolah ada gas beracun yang menyesak paru-paru dan membuatnya sulit bernapas?
Irene tidak pernah tahu kalau menyimpan perasaan dan bertepuk sebelah tangan bisa sepahit ini. Irene kira merelakan itu bisa membuat hati lega. Irene juga berpikir bahwa perasaan yang ia sembunyikan dan tak pernah ia ekspresikan ini adalah bentuk perlindungan buat dirinya. Sebuah prevensi dari rasa sakit. Tapi, apa?
Likuid bening tidak berhenti mengalir. Amis perih dalam hati tak kunjung reda. Saking perihnya hingga tangisan Irene pun semakin kencang. Ia menangis sejadi-jadinya.
Semuanya sudah terjadi. Barangkali, sudah berakhir. Seandainya... seandainya ia mengekspresikannya dengan baik, akankah hubungannya berubah? Jika Tuhan memperpanjang kisah mereka supaya Irene punya waktu luang, mungkinkah cintanya terbalas? Kalau fisik Irene sedikit lebih atraktif lagi, apa mungkin Artha akan menyukainya? Ataukah sifat dan sikapnya yang menyebalkan itu penyebab segalanya?
Ah, sudah cukup. Hentikan skenario di dalam kepalamu. Hentikan perasaanmu. Kepergian bukan akhir. Kalau mimpimu bergerak menjauh, maka sadarlah, lihat kaca dan mulai suatu yang baru.
Irene berusaha menghipnotis diri kalau ia punya banyak hal yang bisa dipikirkan selain ini. Cinta bahkan tak masuk dalam kamus sejarah dulunya. Ia punya hal lain yang bisa diprioritaskan.
And now, her priority is moving on. It is a reward for herself.
___
》 To Artha,
Kamu punya banyak impresi keren sejak awal. Tentunya, tinggi badan kamu sendiri sudah mencolok. Aku suka melihat kamu tersenyum dan berinteraksi dengan teman-teman, senyum kamu selalu terkembang sempurna. Aku selalu mikir; kamu kenapa baik sekali, ya?
Aku suka kamu sejak pandangan pertama.
Klise, ya? Tapi kalau dipikirkan lagi, realita itu memang klise, bukan?
Aku pikir aku cuman bakal naksir kamu karena kamu ganteng dan tinggi. Aku salah total.
Semakin diperhatikan; semua tutur kata kamu, kelakuan kamu, senyum kamu, sifat kamu, dan diri kamuㅡaku jadi sadar sesuatu.
Kayaknya bapak kamu itu magnet. Soalnya kamu berhasil menarik aku dan seluruh atensiku. Huhuhu.
Aku berusaha banyak hal. Katanya usaha itu takkan mengkhianati hasil.
Tapi aku dikhianati oleh usahaku sendiri.
Aku berusaha untuk enggak suka semakin dalam sama kamu. Tapi percuma. Aku makin suka. Bahkan kali ini bukan lagi 'besar' untuk mendeskripsikannya. Melainkan 'dalam'ㅡsedalam itu aku suka kamu. Tapi sedalam itu juga kebodohanku dalam mengekspresikannya.
Lebay banget ya? Tapi bakat aku ya itu doang. Kata Gianna, talenta aku cuman 3; lebay, menjadi bucin, dan sok cool.
Aku nggak bisa ngomong kalau lewat bibir, padahal isi hati aku mah begini. Lidah sih jutek, hati klepek-klepek.
Kisah kasih SMA-ku isinya cuman kamu. Well, mungkin itu bukan sesuatu yang bisa kamu banggakan karena disukai sama cewek sederhana kayak aku.
Tapi, Artha..
Di masa depan sekali pun, kamu akan selalu jadi cowok yang punya tempat spesial buatku karena kamu adalah cowok yang pernah sukai.
Nama kamu akan mengingatkanku pada kardus soalnya senyum kotakmu suka diumbar sembarangan (plis, jangan lakukan pada semua orang. Nanti banyak yang mati jantungan!). Btw, you are the real definition of lelaki kardus :)
Nama kamu berhasil mengingatkanku pada segarnya es krim potong favoritmu kala mentari terik. Juga pada bakmi dan bakso yang suka kita habiskan saat pulang sekolah.
Juga pada konversasi malam bersama bulan di kamar kita masing-masing, sampai lupa bahwa fajar sudah berganti dan kita harus beranjak ke sekolah.
Katamu kita bersahabat. Tapi aku punya opini lain. Kamu akan selalu jadi teman kencan favoritku.
Nama kamu akan mengingatkan aku bagaimana rasanya jatuh cinta secara improptu dan tanpa aba-aba.
Dan kamu, Artha Timotius Chandra, akan selalu jadi cinta pertamaku. 《
_____
"ARGH! ARTHA TIMOTIUS PANCI ULER! JAHAT! NGESELIN! JELEEEEKK!" Irene meraung dengan ponsel terselip di telinga.
Gianna di seberang sana mengusap kuping, lalu membalas lemah, "Yah... terus kamu mau aku gimana?"
"Aku yang harusnya nanya. Aku harus gimana, Gi? Padahal aku udah nyiapin surat yang mau kukasih ke Artha secara personal, tapi emosiku kacau banget. Aku nggak bisa ngontrol terus sekarang semuanya canggung."
Gianna mendengus, "Iya... terus? Kan sudah terjadi, Rene. Memang mau balikan?"
"Ya enggak! Pacaran aja enggak!"
"Aku tuh ngerasa Artha tarik ulur banget. Kadang ngerasa dia suka sama aku, tapi mulutnya selalu bilang secara enggak langsung kalau aku dan dia cuman teman. Tapi kelakuannyaㅡIkh, kesel saya."
"Dia udah diemin kamu berapa hari sih di sekolah?"
"8 hari, sama hari ini 9 berarti! Kesel nggak, sih? Biasa kalau di koridor papasan dia pasti senyum formalitas gitu lah at least, sekarang apaan?" Jawab Irene menggebu-gebu sedangkan Gianna malah merasa ragu dengan pernyataan tersebut.
"Bukannya gimana ya, Rene. Kamu yakin nggak kalau itu bukan perasaanmu doang? What if, ternyata kamu yang buang muka duluan sebelum dia sempet senyum atau nyapa?"
"Gi... kalau mau nyapa yah nyapa aja."
"Kalau yang disapa kayak singa PMS, gorilla juga takut keles."
Gianna sialan. Irene memberengut. Matanya masih berair dan wajahnya merah. Ia membaringkan tubuh, menatap langit dinding dengan sayu. Satu tangan mendarat pelan di atas dahinya yang hangat. 3 detik kemudian, air mata luruh begitu saja.
"Gi..." Gianna mendapati suara sahabatnya bergetar. Ia tahu Irene sedang menangis meskipun masih sanggup melanjutkan, "Aku enggak menarik kali, ya? Kurang cakep, kurang atraktif, makanya aku ditolak."
"Aduh, gimana yah, Rene... aku tuh ngerasa bukan itu masalahnya. Aku kepikiran, apa jangan-jangan dia tuh nggak berani maju soalnya kamunya nggak pepetin dia."
"Kalau aku cantik, mungkin Artha bakal mempertimbangkan aku, kan?" Irene masih keras kepala padahal ucapannya sudah terbata-bata
Suara Irene mulai berubah menjadi sesenggukkan. Gianna yang dihalangi jarak ingin sekali memeluk sahabatnya, tapi ia tak bisa melakukan apapun selain membiarkan Irene mengucurkan air mata untuk beberapa saat.
"Astaga. Kamu tuh menarik, Rene. Kamu nggak jelek. Kalaupun kamu jelek, buat apa kamu suka sama cowok yang cuman lihat cantiknya kamu?"
Irene menggeleng pasrah dan masih menangis. Perasaan bersalah semakin bercokol di hati Gianna, ia seperti merasa bertanggung jawab atas air mata Irene hari ini.
"Rene, kalau kita diginiin cowok, jangan bikin skenario 'what ifs' di kepala. Nyiksa batin. Lagian, kamu nanti malah terperangkap dalam ilusi sendiri. Ikhlasin, nanti dapat yang lebih baik."
Gianna masih melanjutkan, tapi itu tak cukup untuk membuat Irene berhenti.
"Rene. Sadar. Kalau cowok yang hobi tarik ulur itu memang mau sama kamu, dia akan menghampiri kamu."
Irene berteriak kesal, "Jahat banget sumpah kalau dia gitu, salah aku apa coba?"
"Gini loh, Rene. Menurutku nggak ada yang salah... Lagipula kamu sendiri yang bilang kalau Artha sedari awal kalian pacaran boongan, doi udah make it clear dengan ngomong kalau dia nggak punya perasaan sama kamu dan cuman mau bantu kamu."
"Tapi sifatnya ke aku itu, Gi... Hiks. Benci, benci banget... Buat apa tiap malam kita telponan, vidcall sambilan mainㅡmaksudnya investasi waktu kayak gitu tuh apa? Gimana aku nggak makin baper, Gi? Malah mulutnya manis banget."
"Kalau bukan karena suka, berarti gabut, bosen, atau... nggak enakan."
"Ya terus? Aku nggak pernah maksa dia hubungin aku duluan, tuh."
"Kalau kata Abang aku nih, cewek tuh kadang bego, Rene. Dikasih 10 jam, dia kira cowok itu udah bertekuk lutut. Padahal 'kan kamu nggak tahu 14 jam dia kemana. Rada nethink sih kesannya, tapi beberapa kasus hal kayak gini terjadi."
"Sengaja banget Artha?"
"Yah, aku pribadi ngerasa Artha nggak gitu sih, Rene... Kamu sendiri yang lebih tahu, 'kan? Daripada aku, kamu lebih kenal Artha. Kamu tahu dia orang yang seperti apa..."
Kristal di mata Irene semakin menggenang banyak. Iya, dia tahu Artha itu sosok yang sangat baik. Artha bukan tipe yang akan secara sengaja menyakiti orang lain. Irene tahu persis soal itu namun ia hanya belum bisa menerima rasa kehilangan mendadak ini.
Dehaman terdengar, Gianna kembali berucap, "Rene, kamu harus ingat aja. He might like you, I agree. But he is just not that into you."
Irene terdiam.
"Oh iya, inggrismu batek, ya? Nih aku terjemahinㅡ"
"Kurang ajar lu, Gi," protes Irene langsung mengundang kekehan manis dari Gianna. Tentu saja Irene mengerti.
"Mungkin iya, Artha suka sama kamu, kita nggak ada yang tahu. Alasan kenapa dia kayak gitu pun bukan hak kita untuk judge meski dia udah nyakitin hatimu. Hak kita yah cuman diberi kebebasan untuk punya perasaan kepada siapapun. Kewajiban kita itu jaga perasaan kita sendiri."
Saran Gianna sukses membuat Irene terdiam. Tangisnya mulai mereda. Emosinya teredam dan ia hanya mengangguk pelan saat Gianna minta maaf dan pamit karena harus jaga toko membantu orang tuanya.
Hak kita diberi kebebasan untuk punya perasaan kepada siapapun. Kewajiban kita adalah menjaga perasaan kita sendiri.
Kalimat Gianna terus terngiang-ngiang di kepala, membuat jantungnya berdegup cemas dan kehilangan arah untuk mulai membenahi emosi.
He might like you, but he is just not that into you.
Irene meneguk saliva, menenggelamkan wajah ke dalam bantal dan mungkin hari itu bisa diingat sebagai hari dimana Irene terakhir kali menangis sebanyak itu.
Dan pikiran Irene kala ini telah bulat. Masa bodo, sekalipun Artha benar-benar menjauh usai kalimat terakhir mereka... sekalipun Artha tak lagi menyapa saat mereka berpapasan di koridor sekolah... Irene berjanji untuk tak memikirkan Artha lagi.
Because it is not the same anymore.
She should move on, because life goes on.
Segalanya sudah berubah dan kehidupan normal membosankan nan datar yang tadinya asupan sehari-sehari sekarang sudah kembali lagi jadi teman karibnya.
Tak ada pacar bohongan ataupun status pajangan. Tak ada gosip menyebalkan yang selalu memberi Irene jam tayang di sekolah. Tak ada keramahan manis di kantin. Tak ada obrolan kecil tersisa di kelas. Tak ada lagi Artha Timotius Chandra di hidupnya.
Semua obrolan siang malam dan rasa hangat yang pernah mereka bagikan hanya akan jadi kenangan. Malam prom pun tak berarti karena mereka tidak menghabiskannya bersamaㅡIrene menepi sendirian. Pada hari kelulusan pengambilan ijazah Irene hanya bisa membuang mukaㅡmenolak kontak ramah.
Semuanya hanya jadi kenangan tanpa bisa kembali.
Penolakan, rasa malu, bekas luka, kecanggungan, serta... aku & kamu yang gagal menjadi kita.
Maybe he thinks of you positively and viewed you beautifully.
Maybe it's true that you are not only his friend. But that doesn't make you his lover.
It's just, maybe you are a maybe.
Maybe a friend, maybe a lover, maybe an almost.
Irene benci. Fakta bahwa mereka telah putus pada hari itu.
Sekarang, gundukkan perasaan yang ia punya hanya harus disimpan. Barangkali sampai bertahun-tahun kemudian, saat ia sudah sembuh dan mampu melirik ke belakang hanya untuk sekadar mengenang bahwa Artha Timotius Chandra adalah laki-laki semanis gulali kapas yang sukses membuatnya mabuk cinta bukan kepalang.
Bahwa Artha hanyalah orang yang pernah jadi cinta pertamanya.
Tidak tahu berapa tahun dari sekarang,. Akan tetapi Irene memastikan kalau beberapa tahun ke depan, ia akan meyakinkan diri dan bersiteguh bersuara; kepada Artha, kamu hanyalah laki-laki yang pernah kusukai. []
NOTES:
BTW kenapa ini cerita jadi serius gitu yak?!!
Ini belom END ya.
Baper ga si kalian?
Cuma pengen kalian lihat kalau perasaan manusia memang serumit dan seaneh itu. It's a fact. Coba aja pikirkan sendiri. Kalau kalian benci Artha, coba pikir lagi. Mungkin kita pernah jadi Artha di suatu waktu & momen yang berbeda. Atau malah kita yang menjadi Ilea... hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro