Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10: Kamu Kira Saya...

To Artha,
Boy I've Loved Before

💌🍦🌈

________

ARTHA bimbang apakah dia ini Si Anak Gendut atau Sang Es Krim. Tapi sepertinya Irene akan marah kalau dipanggil anak gendut. Jadi biar Artha saja yang menamai dirinya Si Anak Gendut yang hobi makan bakmi kantin.

Jadi siang itu, ketika ia tengah nikmat-nikmatnya menyeruput kuah hangat dan potongan daging ayam kecap, rungunya menangkap bisikan tak mengenakkan yang membuatnya hampir tersedak.

"Artha sih baik banget, ya. Nolaknya di belakang."

Yang merasa terpanggil mengusap tengkuk dengan gusar. Aktivitas mengunyah bakmi berhenti, pipi Artha penuh dan ada tetesan kuah di sudut bibir. Duh, masih saja dibahas.

"Jangan dilihatin," kata Raymond mengingatkan.

Raymond memutar kepala sahabatnya agar tidak lagi melihat pemandangan tersebut, tapi kepala Artha bebal. Kepalanya tetap menoleh serta netranya terpaku di sanaㅡke Irene seorang.

Raymond harus merepotkan diri menangkup pipi Artha dengan dua tangan lalu mengancam dengan gemas.

"Gue patahin leher lo nih ya. Jangan dilihatin mulu. Kecuali kalau lo emang demen. Hobi banget bantuin orang."

Lah aing di-gas. Huft.

Raymond mengerti kalau sahabat kecilnya ini memang punya hati lunak dan baik hati. Tapi menurut pemilik otak berfondasi logika ini, ia tidak setuju jika 'bantuan' tersebut didasari rasa kasihan. Artha harus bisa membedakan mana masalah yang perlu dibantu, mana yang tak perlu.

Helaan napas lagi-lagi lolos baik dari lubang hidung Artha maupun Raymond. Kenapa Irene tidak mau menerima bantuan Artha dan berbohong saja, sih? Kalau begitu kan masalah akan selesai dan Artha tidak perlu repot-repot mencemaskan gadis tersebut.

Raymond sibuk mengomelㅡdan diabaikan. Sedangkan netra Artha masih terpaku takjub pada Irene yang melawan kerumunan gadis bak serdadu bebek, "Kalian semua bisa minggir, nggak? Kalian bau ketek. Saya jijik. Thanks," ketus Irene di seberang sana.

"Tuh, Tim. Bisa dia. Dia bisa kok ngurus sendiri," Raymond hampir frustrasi mengingatkan Artha.

Raymond tidak punya perasaan buruk pada Irene, pemuda itu netral dan hanya bertindak sebagai teman Artha. Sebab ia tahu bahwa dalam beberapa menit Artha pasti beranjak jika lehernya sudah terpaku ke arah tersebut.

"Bisa pergi nggak, sih?" Suara si gadis mulai meninggi.

Semua yang di kantin juga tahu kalau Irene berusaha menerobos dan mulai meninggikan suara. Apalagi Artha. Hati Artha benar-benar tidak tega melihat gadisnya harus dihadang seperti itu. Dan benar saja, ia berlari kecil dan sampai di antara kerumunan dalam sekon singkat. Tangannya terjulur dan kerumusan cewek-cewek terbagi menjadi dua baris saat suara beratnya terdengar, "Yuk."

Mata Irene membulat syok.

"Ayo, Beb," ulang Artha mendalami peran sebagai pacar pajangan.

Tautan jemari bertemu. Dibawanya Irene menjauh dari keramaian dengan lembut. Ia tak punya intensi apapun saat tersebut merangkul Irene. Sembari ia hanya berbisik tulus. "Maaf, ya, aku rangkul-rangkul. Nanti kulepas saat sudah sepi orang."

Mendadak saja batin Artha ingin berteriak. Ingin menampar diri sendiri juga. Kenapa dia lancang sekali, ya?!

Dia berani bersumpah, sebaik-baiknya dia pada gadis lain, belum pernah ia melakukan hal gila seperti ini.

Raymond sudah pasti akan menendang bokongnya (lagi) saat bertemu di kelas Geografi usai jam istirahat ini.

"Maaf, ya," Artha agak membungkuk usai melepas rangkulan di tempat sepi.

"Iya, biasa aja, Tha. Lagipula pasti bukan pertama kalinya kamu nolak cewek." Gadis itu mendengus, ucapannya sukses menusuk Artha. Kok seolah-olah dia disindir, ya?

Lagi-lagi, gadis di depannya menambahkan, "Jangan baik cuman gara-gara nggak enak."

Artha setengah menganga. Ya Tuhan. Salah mulu, pikirnya.

Irene Valeria buru-buru pergi dan Artha hanya bisa mengekori sang gadis yang berhasil membuatnya berpikir keras.

Apakah kebaikan itu tak boleh diberikan pada siapapun?

Apakah bersikap baik berlandaskan dasar kasihan itu dilarang?

Atau kebaikan Artha yang salah tempat?

Tapi... katanya menerapkan kebaikan harus dimana saja. Terus salah Artha apa sampai pantas diketusi begitu, ya?

Semua pertanyaan ini mengingatkannya pada ceramah Raymond dan Ibu; "Susah kalau udah ganteng, terus baik."

Tunggu, masa sih karena itu? Ha. Padahal jujur, Artha tidak sedikitpun merasa ia tampan. Cuman, yah, dia tahu dia enggak jelek.

Ia pun diam saja saat diceramahi Raymondㅡsahabat akrabnya sejak TK yang paling berhargaㅡdi daun pintu kelas, sebelum sempat mendaratkan bokong di bangku kelas. Kepalanya tengah sibuk pada hal lain yang lebih menarik.

Artha memandangi dalam senyap, bagaimana Irene Valeria terlelap di tengah pelajaran Geografi yang sedang berlangsung.

Surai Irene berantakkan dan alisnya bertaut kesilauan akibat duduk di dekat jendela. Pipi tembam Irene yang tertekan di lengan terlihat lucu. Si gadis benar-benar lelap sekali layaknya bayi.

Satu senyum kecil terulas begitu Artha duduk di bangku dan menopang dagu. Pantas saja tak paham soal inti bumi, ia terkekeh dalam hati.

"Artha, sini."

Kemudian lamunan tersebut buyar saat Pak Gilang meminta bantuan untuk membagikan buku tulis yang telah dikumpul minggu lalu.

Artha dengan inisiatif berdiri dan menghampiri guru tersebut. Tanpa sedikit kesulitan, digendongnya tumpukan buku dalam lengannya yang kekar.

Matanya menangkap sesuatu. Buku Irene berada di paling atas. Lalu buku bersampul kelinci itu ia pindahkan ke paling bawah. Ia akan menyisakannya terakhir dan menghampiri gadis itu nanti. Save the best for the last, pikirnya.

Usai mengedarkan seluruh buku ke seisi kelas, kini lah saatnya.

Artha memegang buku tulis Irene dengan satu tangan, menghampiri sang gadis yang masih terlelap dibalik buku cetak yang diberdirikan demi mengelabui Pak Gilang.

Sinar matahari membuat wajah Irene terlihat jelas, tulang pipinya yang tersorot terik pelan-pelan diselimuti bayangan sejuk. Artha mendekatkan tangannya di atas wajah Irene, menghalau terik matahari untuk beberapa sekon.

Lucu. Tembem, pikirnya tersenyum-senyum sesaat sebelum tersadar bahwa ia harus pergi.

Buru-buru, buku Irene dijepit di antara sekat jendela, membentuk semacam kanopi untuk mengusir terik dan atap untuk tidur semakin nyenyak.

Dasar. Ternyata kamu pemalas, Artha tersenyum geli.

Teringat pada ucapannya tadi, saat Irene menangis tanpa alasan yang ia ketahui, dahinya mengkerut tipis. Sangat jelas sekali kalau tadi Irene menghardik dengan sangkalan mantap.

"Kamu kira saya beneran suka sama kamu, ya?"

Di lain sisi Artha agak lega karena ia mungkin tidak terlalu menyakiti sang gadisㅡkarena jika Irene 100% tidak suka padanya itu artinya mustahil kalau Artha mematahkan hati gadis itu, bukan?

Tetapi di lain sisi, Artha tidak paham kenapa Irene menangis dan tahu-tahu dia malah mulai berusaha menghibur gadis ini dengan sesi self-diss yang panjang.

"Aku hobi main game. Kamu tahu 'kan tipe cowok yang suka nganggurin chat ceweknya gara-gara main? Nah, itu! Itu aku salah satunya. Jadi beruntunglah kamu ditolak oleh aku. Kamu pantas dapat yang lebih baik kok, Rene."

Dan mulailah Artha berkata asal-asalan, yang penting menurutnya masuk akal.

"Kamu rajin. Sekretaris kelas yang pendiam tapi selalu bisa diandalkan..."

Iya, kayaknya Irene rajin. Dan dia memang pendiam tapi kurang tahu deh kalau soal diandalkan. Artha tak pernah minta tolong padanya.

"Kamu juga kreatifㅡaku pernah nonton musikalisasi puisi kamu saat kelas 10."

Kalau yang ini bukan asal-asalan, meski Artha lupa waktu itu Irene membawakan puisi siapa.

"Kamu tegas, wangi, dan banyak teman. Aku juga yakin kamu ini pribadi yang seru diajak ngobrol."

Tegas, iya. Wangi, iya. Banyak teman, enggak tahu, kayaknya lumayan.

Seru diajak ngobrol? Heee, bagaimana, ya? Sejak MOS, Artha cuman pernah dimarahi, sih. Tapi kayaknya sih anaknya oke gitu. Meskipun judes.

Artha berhenti sejenak, matanya berhenti pada wajah Irene yang tengah menatapnya dengan semburat merah muda.

Bola mata Irene yang bulat, hidung mungil yang kemerahan serta kulit putih bersih dengan pipi meronaㅡkombinasi yang tersuguh berhasil membuat senyuman Artha mengembang tipis tanpa disadari kala sang pemuda dengan tulus melanjutkan, "Dan kamu juga manis."

Deg.

Tidak tahu dengan Irene, tapi yang jelas sesuatu baru saja mengetuk katup jantung Artha dan menghantarkan banyak kehangatan. Padahal bukan ia yang menerima pujian, tapi kenapa malah dia yang berdebar-debar! Sial. Irama detak jantungnya mulai tidak santai, sehingga Artha mendadak gugup dan menambahkan celetuk pelan.

"Jangan bikin aku nggak enak, dong. Masa nangis gara-gara ditolak cowok kayak aku..."

Kedengarannya seperti merendah untuk meroket, tapi bukan itu. Ini dia merendah untuk didamprat plus dihujat.

Dan seperti ekspektasinya, Irene Valeria mengeluarkan banyak ocehan yang terus menembaki Artha tanpa ampun. "Kamu gila, ya?"

Iya kali, balas Artha dalam hati.

Bagaimana ia tidak mengiyakan pertanyaan tersebut? Pasalnya saja, ia rela-rela saja diomeli tanpa rem dari Irene... padahal Artha pun bingung apa sih yang sebenarnya diomeli? Salah dia apa pula? Haih.

Ia menggaruk tengkuk lagiㅡkebiasaan khasnyaㅡtatkala hanya bisa terdiam dalam konflik batin saat gadis itu sekali lagi membuka mulut.

"Kamu kira saya nangis karena ditolak kamu?"

Sahutam Irene nyalang. Padahal samar-samar ada bulir air mata menggenang di pelupuk. Dan Artha tidak tega melihat cewek nangis.

"Sori, sori. Aku nggak tahu gimana cara menghibur cewek nangis. Tapi aku cuman ngungkapin apa yang aku lihat dari kamuㅡ"

"Bisa diam, tidak?" potong Irene dingin otomatis membuat Artha bungkam.

Tarik napas. Lalu, senyum.

Ini cewek pasti lagi PMS, dengusnya dalam hati. Mengalah tidak berarti kalah. Ini mengalah untuk menang.

Aih, demi Tuhan. Artha sungguh tidak paham. Adakah orang yang bisa menjelaskan kelakuan Irene padanya?

Oke, oke. Anggap saja begini.

Mungkin hanya ia yang berlebihan dalam menyikapi ini. Barangkali di dalam sana Irene pun sama sekali tidak merasa malu dan malah sangat cool dengan situasi ini.

Mungkin Artha yang terlampau berlebihan memedulikan gadis tersebut, memikirkan macam-macam soal rasa belas kasihan kalau nanti Irene dibully. Kata Raymond benar, mungkin dia tidak perlu membantu Irene karena cewek sangar ini bisa mengatasinya sendiri.

Dan terlebih lagi, sebaiknya sejak dulu Artha tidak perlu membantu Irene sejak awal. Sebab, jadi pacar pajangan, itu agak idiot sebenarnya.

Artha jadi merasa buruk, mungkin dia ini sedang berlakon seperti parasit yang menempeli Irene kemana-mana. Daripada nanti Irene membenci presensinya, lebih baik ia diam saja.

"... Jangan nggak tega atau nggak enakan. Dan jangan pakai hal itu untuk bikin kamu bersikap baik dalam konteks yang nggak necessary buat aku."

Mungkin air mata Irene itu karena ia frustrasi tak bisa mengendalikan Artha yang keras kepala, ya? Padahal tidak sekalipun Artha suka ataupun bangga jika seorang perempuan menangisinya. Artha yang tak tahu apapun soal kebenaran hanya bisa terkekeh malu saat sang gadis kembali meninggalkannya sendirian.

"So, jangan kira saya nangis gara-gara kamu," katanya untuk yang terakhir sebelum menghilang dari pandangan.

Dasar. Galak sekali cewek ini.

Mata Artha menatap sendu pada punggung Irene yang jaraknya semakin melebar, sosok mungil itu mengecil dan menghilang perlahanㅡitu cukup untuk menyebabkan si pemuda lembut hati membatin kecut.

Kamu kira saya mau kamu nangis karena saya? []

NOTES:
Menurut kalian ini bakal happy ending atau sad ending?

Btw, semangat ya besok senin ^_^♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro