BAB 04 Ⅱ Artha
ARTHA
Setelah materi terakhir dipaparkan, tiba waktunya untuk kegiatan lintas alam seperti yang biasanya. Pak Hasan meminta Jaka dan aku untuk berada di pos nomor enam, di mana kami akan mewawancara para calon pengurus OSIS yang besok pagi akan resmi menjadi pengurus OSIS.
Sejak pagi tadi mood-ku sudah benar-benar berantakan, dan semakin siang justru semakin kacau. Pikiranku kalut. Aku memikirkan serah terima jabatan. Bukan artinya aku tidak percaya kalau Dhimas dan Ranita bisa menggantikan Jaka dan aku dengan lebih baik. Hanya saja, aku tidak percaya.
Satu tahun bergulir terlalu cepat. Waktu melesat, tapi kesadarankulah yang terlambat.
“Awkward enggak sih. Kita tuh di pos enam, pos terakhir. Sementara mereka belum tentu ada yang udah selesai di pos satu. Tapi lo diem terus,” ucap Jaka yang duduk bersila di sebelahku. Aku tetap diam. “Jadi lo emang bener-bener mau menyukseskan move on gue?”
Aku tidak meresponsnya lagi. Aku bukannya ingin Jaka benar-benar pergi atau bagaimana. Hanya saja, untuk sekarang ini, aku benar-benar tidak bisa menjelaskan apapun. Setelah apa yang selalu kulakukan padanya, tidak mungkin aku tiba-tiba mengakui ini.
Tidak semudah itu memainkan perasaan seseorang. Aku paham Jaka benar-benar tulus dengan perasaannya, maka dari itulah aku tidak mau mempermainkannya. Dan karena aku selalu berpikir begitulah, pada akhirnya semuanya runyam tak keruan.
“Oke,” katanya lirih. “Nanti deh. Habis apel penutupan gue mau ngomong sama lo. Please.”
Aku mengedikkan bahuku. Kami serempak berdiri dari posisi duduk, dan mulai berhenti bicara satu sama lain. Aku hanya bicara pada para calon pengurus OSIS yang datang ke pos kami. Yang paling pertama datang adalah Dhimas, dan ada Ranita di belakangnya.
Jaka menyuruh Dhimas untuk bicara denganku, sementara laki-laki itu mewawancara Ranita. Padahal kupikir semestinya terbalik. Dhimas harus bicara secara langsung dengan yang satu jabatan dengannya.
“Karena waktu di SMP saya juga Ketua OSIS, Kak,” kata Dhimas setelah kutanya kenapa ia mau maju ketika dipilih jadi kandidat Ketua OSIS.
Aku mengangguk-angguk. “Mau tuh kepilih jadi Ketua OSIS buat setahun ke depan?”
Dengan sangat mantap, kudengar jawabannya: “Mau Kak, pasti.” Entah kenapa, senyumku mengembang tipis. Dulu aku berada di posisi serupa dengan Dhimas.
Satu per satu kandidat datang bergantian, kemudian para calon pengurus OSIS lainnya, sampai yang terakhir, dan kegiatan usai. Waktu benar-benar tidak terasa. Aku belum siap bertemu dengan pagi. Aku tidak mau mendengar pengumuman hasil pemungutan suara. Aku tidak mau ada serah terima jabatan.
Aku ... tidak mau kehilangan semuanya.
+ + +
Kurasa aku tidak perlu menjelaskan tentang bagaimana pengumuman hasil pemungutan suara dibacakan. Yang pasti, di pandanganku, ini tidak setegang yang terjadi tahun lalu. Selisih antara suara yang Dhimas dan Ranita dapatkan masih agak masuk akal. Tidak seperti Jaka dan aku yang hanya selisih satu angka. Menyedihkan.
Dhimas berbahagia betul atas terpilih dirinya menjadi Ketua OSIS yang akan menggantikan Jaka. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Saat apel penutupan, tanpa kami semua duga, seluruh pengurus OSIS baru itu menggenggam masing-masing dua tangkai bunga, kecuali Dhimas dan Ranita. Keduanya menggenggam setangkai bunga mawar, dan satunya lagi adalah sebuah buket.
Aku tidak tahu siapa yang menggagas ide ini di antara mereka. Tapi menurutku ini menarik. Tiap pengurus OSIS angkatanku akan mendapatkan satu tangkai bunga dari masing-masing pengurus OSIS kelas sebelas. Lalu satu bunga sisanya yang masih mereka pegang, akan diberikan kepada siapapun yang mereka inginkan.
Jadi pada intinya, ada pengurus OSIS angkatanku yang mendapatkan satu tangkai bunga, ada yang dua, bahkan ada yang mendapat banyak seperti Jaka.
Jaka dan aku juga mendapatkan buket bunga dari Dhimas dan Ranita.
“Tahun kemarin murung setelah sertijab. Masa tahun ini juga?” Jaka menaruh tujuh tangkai mawar beserta dengan satu buket bunganya di lantai pendopo, kemudian duduk di dekatku. “Last time. Setelah ini lo enggak perlu repot-repot bertugas bareng gue dengan enggak ikhlas lagi.”
Cengkeramanku pada buket bunga di pangkuanku semakin erat. Mendengarnya membuat dadaku sesak. Aku benar-benar belum bisa merelakan jabatanku hilang, hanya karena satu alasan. Aku tidak mau dengan berhentinya tugasku, maka terjaga juga jarakku dengan Jaka.
Jaka berbaring dengan kedua tangan terlipat yang dijadikan bantal. “Enggak kerasa, Ar. Dulu gue enggak mau banget jadi Ketua OSIS, tapi ternyata ini fun juga. Jadi nyesel pernah enggak mau jadi Ketua OSIS,” katanya.
Aku tetap tidak meresponsnya sama sekali. Rasanya semakin sakit ketika mendengarnya. Kemudian tanpa kuminta, tahu-tahu air mataku meleleh perlahan. Tentu saja aku berusaha secepatnya untuk menghapus air mataku. Namun sayangnya, aku terlambat.
Jaka sudah telanjur melihatku meneteskan air mata.
Laki-laki itu bangkit lagi dari posisi tidurnya. Ia duduk kian merapat denganku. “Kok malah nangis sih, ih,” ujarnya. “Kenapa?” ia berusaha menyingkirkan tanganku yang menutupi kedua mataku. Namun dengan sekuat tenaga juga aku menahannya agar Jaka tidak melihat mataku yang mulai banjir air mata. Sekalipun hasilnya nihil.
“Come on, come on, tanpa lo jelasin kenapa, gue enggak bakalan ngerti, Ar,” katanya. Jaka berpindah posisi, kini duduk di depanku. Aku sudah tidak bisa menjelaskan apapun. Mengakuinya akan terasa aneh. “I wish I can hug you, Ar. Serius. Please jangan kayak gini.”
Aku menggeleng. “Gue takut, Jak. Gue enggak mau jabatan ini hilang.”
“You love it?” tanyanya. Aku mengangguk. “Really really love it that much?” aku mengangguk lagi. Aku menyukai posisi ini, sangat. Aku senang ada di OSIS dengan jabatan sebagai Wakil Ketua OSIS, karena Jaka-lah Ketuanya.
Ini adalah satu-satunya alasan kenapa Jaka dan aku bisa tetap berkomunikasi—untuk sekarang ini. Lantas jika aku menyerahkan jabatanku kepada Ranita, mana bisa aku berjuang menyelesaikan begitu banyak hal bersama Jaka? Hanya angan-angan.
Hubungan kami sudah berantakan. Jika setelah ini Jaka dan aku harus kehilangan jabatan, maka kupastikan akan hilang juga hubungan tersebut. Komunikasiku dengannya akan semakin runyam. Aku takut. Aku tidak mau orang seperti Jaka pergi begitu saja semudah ini.
“Jadi, semuanya berubah, atau gue aja yang enggak sadar kalau sebenarnya lo emang suka jadi Wakil?” Jaka bertanya lagi. Ia masih memegangi tanganku, masih bersikeras untuk menyingkirkan tanganku yang sedari tadi menutupi mataku.
“Semuanya berubah, dan lo enggak sadar kalau gue suka jadi Wakil lo,” akuku. Jaka terdiam layaknya orang speechless. Seperti tidak percaya, atau tidak mengerti apa maksud ucapanku. “Jak, ini satu-satunya alasan kenapa lo sama gue masih bisa komunikasi. Like ... seriously, gue bakalan kehilangan.”
Aku tidak bisa menahan apapun. Kurasa, lebih baik jika aku mengatakan semuanya kepada Jaka. Lagi pula, ia adalah Jaka, seorang yang selama dua tahun terakhir ini selalu berada di dekatku. Jaka bukan orang asing. Ia adalah satu dari beberapa orang yang terlalu mengerti aku.
Termasuk mengerti tentang rasa yang sebenarnya kumiliki.
“Kayak yang selalu gue bilang, you love me.” Jaka berkesimpulan cepat. Namun, meski itu kenyataannya, aku tetap tidak bisa dengan ringan mengiyakan pernyataannya. Aku hanya bisa memandangnya tanpa berkata-kata, dan berharap kalau Jaka menemukan jawabannya sendiri.
Kuhela napasku perlahan. Melihatnya tersenyum, aku jadi berhenti menangis. Seleraku ternyata memang tidak pernah berubah. Melihat lesung pipitnya timbul selalu bisa membuatku senang.
Aku masih tergila-gila dengannya.
Jaka mengambil beberapa bunga miliknya yang tadi ia taruh di lantai. “Tapi lo enggak pernah nerima gue,” katanya sambil menaruh semua bunga tersebut ke pangkuanku. “Bahkan setelah gue berulang kali ngasih kesempatan, lo tetap buang semua itu, Ar.”
Bibirku melengkung sedikit. Aku tahu, selama ini aku selalu bersikap seperti orang yang menyia-nyiakannya. Aku juga selalu menolaknya, ketika ia bercanda maupun serius. Aku selalu bersikap semena-mena terhadapnya. Namun meski begitu, Jaka tetap saja tidak pernah meninggalkanku.
Aku merasa sangat bersalah jika mengingatnya.
“Maaf, Jak,” tuturku lirih. “Gue enggak pernah tau gimana caranya nolak tanpa nyakitin perasan lo. Makanya gue selalu sesinis itu, supaya lo enggak anggap gue terlalu serius.”
Senyum Jaka luntur seketika. “Buat apa lo selalu nolak gue, dan bersikap kayak gini, padahal hati lo enggak pengin kayak gini, Ar?”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro