Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 7

(Beberapa bulan lalu - Marwah Syaiqila)

•••

"Yang ...."

"Aku enggak apa-apa." Aku menutup pintu kamar mandi, bergerak ke arah nakas dan meraih minyak angin di sana. Lalu duduk di pinggir dipan.

Mas Rega berjongkok di depanku. Tatapannya menelisik. "Beneran enggak apa-apa?"

Sambil menghirup aroma mint yang bikin bagian dalam hidung kerasa dingin, aku mengangguk. "Beneran. Enek dikit doang ini, nanti juga ilang sendiri. Kamu kalau mau makan sop tetelan kambingnya, enggak apa-apa, makan aja. Punyaku disimpan atau enggak kasihkan ke orang."

Dia menggeleng. "Kalau kamu enggak, aku juga enggak. Nanti aku kasih dua duanya ke satpam. Sekalian sama oleh-oleh yang aku beli di Batam."

"Jangan gitu lah, Mas. Aku tambah enggak enak hati nih jadinya."

"Enggak enak hati kenapa? Wong cuma sop, kok."

Aku tahu Mas Rega kecewa. Gimanapun dia udah bela belain dari bandara mampir ke warung buat beli sop itu. Belum lagi harus antri segala mengingat pembeli di sana lumayan ramai. Tadi aja wajah Mas Rega semringah banget pas nunjukin isi plastik yang ditenteng. Tapi aku enggak bisa bohongi diri sendiri. Baunya bener-bener bikin mual enggak keruan.

Dan, ya, aku memang enggak jemput Mas Rega ke bandara. Aku enggak tahu jam berapa pesawatnya tiba. Semalam lupa buat tanya, dan pesan yang aku kirim subuh subuh enggak dibaca---barusan aku tahu kalau hp Mas Rega kehabisan daya. Untung aku punya feeling buat pamit pulang pagi dan sempat belanja. Jadi pas Mas Rega sampai sekitar jam sembilan kurang, aku udah di rumah menyambutnya ... Secara enggak sengaja.

Mas Rega bangkit. Satu tangannya menyelipkan anak rambutku ke telinga. "Aku ke depan dulu kalau gitu."

Sesudah Mas Rega keluar, aku turun dari ranjang dan duduk di karpet bulu di tengah ruang. Kardus besar yang tadi Mas Rega bawa aku bongkar. Isinya penuh sama makanan yang nanti bakal diambil sama si pemesan. Termasuk Aliyah-Aisyah.

Dirasa enggak ada satu pun yang pengen dimakan, aku menutup lagi kardus dan menyimpannya di bawah meja. Lalu beralih ke koper Mas Rega. Baju yang masih rapi aku tata ke lemari. Sisanya aku tumpuk buat dibawa ke belakang. Tapi sebelum itu, aku mengendusnya lebih dulu karena mencium sesuatu.

"Rokok?" Hidungku mengernyit. Menghidu aromanya lebih dalam. "Iya ...."

"Yang."

Aku menoleh, meletakan baju ke pangkuan.

"Udah?"

Dia mengangguk.

"Mas mau makan sekarang? Aku gorengin ayam, ya?"

"Nanti aja. Aku mau mandi dulu. Sama ini ...." Mas Rega menyingsing lengan sweater. "Nanti tolong bantu perban."

"Ya Allah, Mas." Aku buru-buru bangkit. Menghampiri dan meraih tangan Mas Rega. Ada cairan bening bercampur sedikit darah di lukanya. Pasti gara-gara gesekan baju. Aku meringis, kebayang perihnya kaya apa. "Kok dibiarin kebuka gini, si?"

"Perban yang lama aku lepas sebelum subuh. Mau pasang yang baru tapi enggak sempat."

Menurunkan tangannya hati-hati, aku mengangguk. "Ya udah, sana mandi."

Begitu dia masuk ke kamar mandi, aku mulai menyiapkan baju gantinya sama kotak P3K. Dilanjut beresin koper dan tetekbengek yang ada di kamar sebelum membuka jendela.

Suamiku tuh kalau mandi lamanya melebihi anak perawan. Jadi enggak heran kalau pas aku udah rampung, dia belum juga keluar. Barulah beberapa menit setelah aku duduk nunggu di pinggir ranjang, knop pintu kamar mandi yang diputar terdengar.

Aku meletakan hp ke nakas sambil menoleh, menemukan Mas Rega yang cuma pakai handuk melilit pinggang dan rambut basah berantakan---bayangin aja model iklan susu pembentuk otot yang sering lewat di TV itu. Ada bekas parut memanjang di bagian tulang rusuk sebelah kanan. Terus pas dia balik badan, memar lumayan lebar di punggungnya keliatan.

"Baju kotornya," kataku.

Mas Rega yang udah beres pakai baju membulatkan bibir, lalu buru-buru ngambil baju di cantelan belakang pintu kamar mandi. Dia melipir keluar. Masuk lagi sambil mengusap usap rambut pakai handuk yang tersampir di pundak.

Tersenyum, aku meminta Mas Rega duduk di sebelah. Lantas mulai fokus merawat lukanya sambil sesekali meniup-tiup karena Mas Rega yang refleks meringis nahan perih. Terakhir, aku menutup pakai perban yang kapasnya udah dioles obat salep.

"Beresinnya nanti aja," cegah Mas Rega, mengambil alih kotak P3K dari tanganku. Kemudian diletakan di bawah ranjang. Dia pun merebahkan kepala ke pangkuan.

Aku meraih handuk di nakas lalu mengeringkan rambut Mas Rega. Sementara, orangnya terpejam.

"Yang?"

"Iya, Mas?"

"Kamu belum keramas?"

"Belum."

"Kok lama?"

Pipiku panas. Bibir berkedut menahan senyum. "Sabar, lah."

Mas Rega membuka mata. Kedua tangan bersedekap. Kakinya yang diluruskan saling bertopang "Biasanya tujuh hari, kan?"

"He'em. Tapi sekarang enggak tahu."

"Enggak tahu?"

"Lagi enggak lancar. Bercak-bercak doang. Ini aja seharian bersih. Tapi mau keramas masih ragu-ragu."

"Sudah berapa hari?"

"Lima."

"Jika dijumlah ada 24 jam?"

"Ehm ... Ada kayaknya."

Kepala suamiku mengangguk samar. "Kalau gitu keramasnya mengikuti kebiasaan aja."

Keuntungan punya suami yang paham masalah wanita memang gini, serasa kek punya mentor pribadi. Pernah aku tanya ke dia soal kapan berhentinya darah haid. Dan dengan gamblang Mas Rega ngejawab, "saat area kewanitaan terasa kering, atau saat kapas yang dimasukan ke jalan pipis dan hasilnya putih bersih. Kalau masih keruh hitungannya belum suci."

Aku juga pernah tanya, "Kalau potong kuku gimana? Terus rambut rontok ... Apa kudu dikumpulin dan dikeramas bareng pas mandi wajib?"

"Terkait itu, ada banyak pendapat. Salahsatunya menganggap hal tersebut kontradiksi karena dinilai menyulitkan, padahal dalam surah al-baqarah ayat 185, Allah berfirman, ‘Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.’ Dan menurut pembahasan yang pernah dilakukan syaikh Nawawi Al-bantani, rambut atau kuku yang terlepas hitungannya sudah menjadi sampah. Enggak perlu dikeramas bareng. Cuma, kalau mau motong rambut atau kuku, dianjurkan sesudah keramas untuk menghindari was-was. Lalu masalah keramas saat haid, itu juga boleh-boleh saja asalkan niatnya bukan untuk mandi wajib."

Terus mengenai warna darah. Mana yang terhitung haid, dan mana yang istihadoh---jika udah lebih 14 hari. Oh, sama doa di hari pertama haid yang bunyinya seperti ini, Alhamdulillahi ala kulli halin wa astaghfurullaha min kulli dzanbin.

"Yang."

"Ehm?"

"Warna lipstik kamu bagus. Jangan dipakai di luar, ya? Cukup aku."

"Iya. Pas pergi pergi aku mah burik."

Dia terkekeh pelan. "Enggak apa-apa. Justru kalau kamu cantik, aku takut ada yang berani lirik lirik."

"Pret!"

"Serius."

"Hem."

"Hem-nya terpaksa banget."

Mengabaikan protesan itu, aku berkata, "udah yuk, sarapan. Udah siang."

"Nanti. Aku masih betah kaya gini."

"Mas."

"Sebentar lagi."

"Enggak. Ayo, ah, buruan. Tadi aku beli ayam, sosis, bakso sama ikan. Sayurnya ada brokoli, jamur, wortel, jagung. Mau makan apa? Disup atau tumis? Temennya ikan apa ayam?"

"Em ...." Lagaknya sok berpikir. "Terserah kamu."

Ck, dikasih pilihan malah jawabnya gitu.

"Tai kucing mau?"

"Kamu mana sanggup masak itu."

"Kata siapa?"

"Kata aku."

"Belum nyoba belum tah ...."

Mas Rega membungkam ucapanku. Gerakannya yang gesit bikin aku enggak sempat berkelit. Tahu-tahu bibirku udah kena sambar.

"Masih pagi, jangan ngajak debat masalah tai kucing. Sudah, gih, sana masak."

"Kamu yang ngajak deb ...."

Kejadian serupa terulang.

"Mas, ih. Denger dulu ... Oke oke." Buru-buru aku berdiri pas dia mau maju lagi. Lantas melipir ke dapur sambil menyanggul rambut di bawah tengkuk.

Di tengah kegiatan memasak, seseorang berseru sambil mengetuk keras pintu. Aku meraih hijab instan yang tergeletak di atas kulkas, lalu memastikan sang tamu.

Alisku menukik.

"Pagi, Bu," sapa salah satu polisi.

"Pagi. Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Apa benar ini kediamannya Pak Rega Damasatya?"

"Iya, benar."

"Beliaunya ada?"

Aku mengangguk. Rasa penasaran mulai berkembang jadi khawatir. Apa yang suamiku lakuin? Punya salah apa dia sampai dijemput gini?

"Boleh minta tolong dipanggilkan, Bu?"

Pertanyaan itu jelas terdengar. Tapi, otakku terlambat mengirim sinyal ke mulut buat ngasih tanggapan. Aku bergeming. Menatap wajah mereka bergantian.

Polisi yang senior pun berdeham. Senyumnya kentara dipaksakan. "Bu?"

"Oh, iya, sebentar."

Kaki melangkah lebar masuk ke dalam. Enggak kepikiran buat mempersilakan mereka masuk.

Di kamar, Mas Rega lagi sibuk bersama laptop. Kacamata bertengger di hidung. Tumpukan berkas ada di sisi lain meja.

"Mas?"

"Iya, Yang."

"Ada polisi nyari kamu."

Mas Rega menoleh seketika. Mukanya kaget. "Polisi?"

"Iya," kataku, gentar. Mas Rega berdiri. Saat dia mau beranjak, aku menahan lengannya. Sedikit mendongak, menatap tepat di mata. "Jujur sama aku, ada apa?"

"Enggak ada apa-apa."

"Mas." Suaraku menuntut.

"Serius, Mar."

Cekalanku terlepas. Mas Rega berlalu, dan aku terdiam untuk sejenak. Apa ada hubungannya sama masalah kantor? Aku menyusul Mas Rega. Mereka bertiga berbicara di teras. Begitu melihatku mendekat, satu tangan Mas Rega memberi kode biar aku tetap di tempat.

Mau enggak mau kakiku tertahan di bibir kusen tanpa pintu ruang tamu. Kedua tangan meremas cemas di depan badan. Dari gesture Mas Rega, aku duga kalau apa yang dibicarain bukan hal baik. Sayangnya suara orang-orang itu terlalu pelan. Jadi aku cuma bisa mendengar samar-samar.

Segera .... Kerjasama ... Tidak ... Mangkir.

Maksudnya apa?

***

"Mas?"

"Ehm."

"Kamu belum cerita apa-apa."

Mas Rega meraih tanganku, diletakan di pipinnya. Wajah kita yang saling berhadapan cuma berjarak sekian centi.

"Salah satu pihak yang merasa dirugikan melaporkan Tomi. Aku ditetapkan sebagai saksi. Tadi pagi aku ke pengadilan."

Alisku bertaut. "Bukannya harus ada surat panggilan dulu, Mas? Kalau dua kali mangkir, polisi baru dibolehkan menjemput paksa."

Jakun Mas Rega naik turun. Keraguan terpancar nyata di matanya. "Aku mangkir. Maaf karena enggak bilang sebelumnya. Tapi semua akan baik-baik saja."

***

Nyatanya, setelah hari itu, enggak ada yang baik-baik aja. Keadaan makin runyam. Suamiku beberapa kali datang ke pengadilan untuk memberi keterangan. Proses hukum sampai kini masih berjalan, dan aku enggak diizinkan tahu lebih dalam. Mas Rega hanya memberiku informasi sekadarnya, tentang jalur damai yang sedang diupayakan.

Namun hari ini semuanya selesai. Lebih tepatnya Mas Rega yang mengalah. Dia bersedia bertanggungjawab atas kekacauan yang Tomi ciptakan. Kerugian perusahaan enggak sedikit. Puluhan miliar, bahkan mungkin ratusan.

Tindakan suamiku enggak masuk akal, memang. Tapi kata itu cuma berkoar di kepalaku.

Alih-alih, aku malah bertanya enggak habis pikir, "Kenapa harus kamu? Ini bukan kesalahan kamu."

"Aku yang memimpin proyeknya, Mar. Banyak orang yang akan jadi korban kalau aku enggak pasang badan."

"Tapi enggak bunuh diri kaya gini, Mas."

Dia mengusap wajah dengan kasar. Feustrasi.

Aku mendesah berat. Bangkit dari sofa, masuk ke kamar. Marah, kesal, kecewa dan enggak berdaya di waktu bersamaan endingnya bikin nyesek.

Beberapa menit kemudian, pintu berderit. Tanpa menoleh pun aku tahu itu suamiku. Tapi, bukan aku yang dituju. Melainkan meja kerja. Dia juga enggak menetap di sana. Setelah mengambil laptop, kaki jenjangnya bergerak keluar kamar. Selalu begitu.

Tbc ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro