part 6.
(Beberapa bulan lalu - Marwah Syaiqila)
•••
"Kak?"
Aku mengalihkan perhatian dari laptop ke wajah Aliyah. "Iya, Al?"
"Butuh menstruasi care patch? Dari tadi aku lihat tangan Kakak neken-neken perut. Duduknya juga kaya enggak nyaman banget. Geser sana geser sini mulu."
"Kamu punya?"
"Nyetok aku mah."
"Boleh, deh."
"Sekalian pembalutnya enggak?"
"Enggak usah. Kakak masih ada."
Aliyah beranjak keluar kamarku. Enggak lama dia masuk lagi. Benda yang dimaksud disodorkan.
Aku meraihnya. Berterima kasih. Setelahnya kita kembali fokus menonton drama Korea. Biasanya Aisyah ikut juga. Tapi, pas siang tadi dia pamit buat nugas. Dan sampai sekarang belum pulang.
Kegiatanku di rumah Ibu memang sekadar makan, tidur, bantu masak, lalu goleran di kasur sambil main hp. Malamnya telponan sama suami. Sayangnya udah dua hari ini nomornya susah dihubungi. Kalau enggak di luar jangkauan, ya, pasti sedang tersambung dengan saluran lain.
Selama sekian menit, suara aktris dan aktor mengisi senyap. Beberapa kosa kata yang udah sering mampir ke telinga membuatku paham meski tanpa membaca terjemahannya.
Kadang Aku suka iseng bilang gini ke Mas Rega, "Saranghae."
Terus dia yang sekadar mesem tanpa pernah mau ngasih balasan.
Pas ditagih, dia bakal milih nyari topik lain. Ya, begitulah laki-laki. Meski enggak semua, tapi ada kok penelitian yang menjelaskan kenapa kaum Adam kayak anti bilang I love you ke pasangan.
"Kak?"
"Hum?"
"Aku pengen cerita."
Aku melirik Aliyah. Dia memandangku ragu-ragu, tapi kentara banget ada sesuatu yang serius. Aku menekan pause. Lantas memposisikan badan menghadap Aliyah sepenuhnya sambil memangku bantal.
"Kamu mau cerita apa?"
"Tapi ... Kakak jangan bilang-bilang ke Ayah atau Ibu, ya?"
Aku mengangguk.
"Beberapa bulan terakhir ada cowok yang ngajak aku serius. Selama ini hubungan kita cuma sebatas temen. Tapi, baik aku atau pun dia, kita sama-sama nyaman. Masalahnya, aku ngerasa belum sekenal itu buat benar-benar bisa hidup bersama. Dan aku enggak mau punya status pacaran. Menurut Kakak aku harus gimana? Enggak enak gantung jawaban lama-lama."
"Cowok yang pernah ke sini nganter buku?"
"Bukan."
Bibirku membulat. Alih-alih bingung ngasih tanggapan, aku malah setengah enggak nyangka kalau adikku ternyata udah beranjak dewasa.
"Kalau menurut Kakak, jalan satu-satunya ya emang dengan pendekatan serius, Al. Enggak harus dengan pacaran, kok. Ada jalur ta'aruf."
"Temenku nikah lewat jalur ta'aruf, dan ngerasa ketipu, Kak. Kayak beli kucing dalam karung, katanya."
"Caranya kurang benar berarti. Dari kajian salah satu ustadzah yang pernah Kakak ikuti, kita boleh lho meminta bantuan orang yang bisa dipercaya buat diam-diam awasi calon kita pas di luar."
"Gitu, ya?"
"He'em."
"Berarti aku harus cepet bilang ke Ayah, dong, Kak?"
"Ya, harus. Tapi terlepas dari perkara itu, kamu beneran udah siap lahir batin buat nikah?"
"Ehm ...." Adikku menipiskan bibir. Diam lumayan lama. Dan aku yakin, dia bakal ngajuin pertanyaan yang biasanya ditanyain sama orang yang pengen nikah cuma karena "keliatannya."
"Menikah, enak enggak, si?"
Tuh, kan, bener.
Aku tersenyum kecil. "Pernikahan enggak sama kayak makanan yang rasanya bisa ditentuin, Al. Tapi kalau kamu tanya ke Kakak, apa Kakak bahagia, Kakak bakal jawab bahagia. Kalau kamu tanya, apa Kakak pernah capek ngejalani kehidupan rumahtangga, Kakak bakal jawab iya. Dan kalau kamu tanya, apa Kakak menyesal, Kakak bakal mantap ngejawab enggak."
"Maksudnya?"
"Bagi Kakak, pernikahan itu bukan sebuah pencapaian sampai pantas dibebani ekspektasi, melainkan fase yang udah sewajarnya dialami, bagian dari tumbuh kembang manusia. Cuma meski gitu, menikah enggak boleh buat coba-coba. Kalau bisa harus sekali seumur hidup. Dan buat bisa sekali seumur hidup, alasan cinta aja enggak cukup. Sebab cinta, katanya, hanya bertahan selama empat tahun. Pas itu udah selesai, kita bakal ketemu titik jenuh ke pasangan, terus mulai punya pikiran buat main-main di luaran. Kalau sekadar pengen dinafkahi, di saat keadaan ekonomi lagi enggak baik, kita bakal menyesali pernikahan itu. Atau karena ngebayangin adegan uwu, misal dipeluk dari belakang pas masak, disentil jidatnya karena bacaan ngajinya salah, atau digendong bridal style ke kamar ... Oh, sama punya anak lucu lucu yang ngomongnya cadel, dan sepanjang waktu hidupnya bahagia haha hihi, kita bakal tertampar sampai babak belur sama realita. Jadi yang mesti kamu pikirin bukan rasanya gimana, tapi mau kayak apa kehidupan pernikahan-nya. Mau dibawa ke mana rumahtangga kalian."
Aliyah serius mendengarkan.
"Kakak juga sebenernya baru sadar pas udah nikah sama Mas Rega, Al. Sadar kalau suami itu ibarat supir dari kendaraan bernama rumahtangga. Yang mana dia harus tahu jalan, atau seenggaknya punya peta biar bisa sampai ke tujuan. Dan tujuan ini yang kadang dilupain. Mikirnya ... Ya, udah, si, nikah mah nikah aja. Enggak usah ribet. Padahal yang ribet justru nikah yang tanpa tujuan. Lalu tujuan yang gimana, itu balik lagi ke masing-masing orang. Tapi sebagai muslim, kita diminta buat melihat tujuan menikah lewat kacamata spiritual, yaitu sebagai sarana melengkapi separuh agama."
Mata Aliyah berkedip dua kali, kentara banget ada semacam kesadaran yang mulai muncul.
"Tugas perempuan dalam rumah tangga itu enggak ringan, Al. Rugi kalau kita enggak dapet apa-apa setelah menikah, kecuali status dan hal-hal yang sifatnya duniawi."
***
"Biasanya nyium buahnya langsung juga enggak apa-apa, Mar."
Aku meletakan gelas wedang manis ke nakas. Ibu yang mengantarnya ke kamar. Tadi Aisyah pulang bawa kue lapis rasa durian. Kita sekeluarga kumpul di meja makan, siap menikmatinya bersama. Tapi begitu kardus dibuka, aku mendadak mual. Mau enggak mau aku lari ke kamar mandi. Muntah-muntah enggak jelas sampai kerasa lemas.
"Enggak tahu, Bu. Akhir-akhir ini emang lagi sensitif sama bau bauan menyengat."
"Enggak mau dicek, Mar? Siapa tahu."
Ada harapan di kalimat Ibu. Aku menelan ludah. Berkata pelan, "Aku lagi dapet, Bu."
Agaknya Ibu paham sama reaksiku. Beliau mengusap bahuku. Tersenyum lembut. "Enggak apa-apa."
Panggilan Ayah di lantai bawah terdengar. Ibu bangkit dan pamit. Setelah pintu tertutup rapat, aku beranjak ke meja rias. Mengambil menstruasi care patch. Biasanya kram bakal hilang kalau darah udah keluar. Kali ini intensitasnya malah bertambah. Meski enggak sampai mengganggu aktifitas, tetap aja enggak enak.
Tapi sebelum aku beranjak ke kamar mandi, hp lebih dulu berbunyi. Telepon dari pak Suami.
Senyumku mengembang. Aku duduk di pinggir dipan.
"Assalamualaikum, Mas?"
"Waalaikum salam." Suaranya lembut banget.
"Mas ke mana aja? Kok susah banget dihubungi."
"Sibuk wira-wiri, Yang. Ini baru banget pulang ke kamar hotel."
"Udah makan?"
"Sudah."
"Pakai apa?"
"Nasi goreng. Kamu sendiri sudah makan?"
"Udah."
"Lagi repot enggak? Aku pengen video call."
"Wait." Panggilan suara aku alihkan ke video. Di seberang sana, suamiku lagi tiduran sambil meluk guling—hp-nya enggak tahu disandarin pakai apa. Dia keliatan udah capek banget.
Aku tengkurap, menyangga dagu pakai bantal.
"Yang."
"Ehm."
"Aku mau kasih tahu kamu sesuatu."
"Apa?"
Mas Rega enggak langsung menyahut.
"Dua hari lalu aku keserempet motor."
"Hah ...."
"Cuma luka ringan," sambungnya buru-buru. Tahu banget istrinya udah mau kelabakan.
"Mas, serius?" Aku duduk. Ekspresi khawatir. "Kok bisa?"
"Aku meleng pas nyebrang mau beli sarapan." Satu tangan Mas Rega menyingsing lengan kaos hitamnya. Perban memanjang dan lecet-lecet kemerahan nampak di sana.
"Ya Allah, Mas."
"Ini enggak sakit, Yang."
Wajahku berubah masam. "Bohong banget enggak sakit," kataku, agak ketus.
Dia malah senyum.
"Harusnya kamu tuh langsung bilang ke aku."
"Aku enggak mau kamu khawatir berlebihan."
"Kamu pikir, kalau kamu udah baikan, aku bakal biasa aja?"
Mas Rega diam.
"Kamu tahu kan, aku tuh paling enggak bisa lihat orang yang aku sayang kenapa-napa?"
"Iya. Besok besok aku langsung lapor."
"Heh!" Mataku melotot. "Enak aja besok-besok. Enggak ada, ya! Pokoknya hal ini enggak boleh terulang."
Dia memberi hormat singkat. "Siap."
"Terus lain kali kamunya tuh hati-hati. Jangan main hp sambil jalan."
"Iya."
"Lihat kanan kiri sebelum nyeberang."
"Iya."
"Badan jangan terlalu diforsir."
"Iya."
"Makan juga. Enggak boleh telat."
"Iya."
"Kalau cape, istirahat."
"Iya."
"Jangan iya iya aja ... Ih, kamu mah, aku lagi serius juga malah mesem-mesem sendiri." Aku cemberut. Ini kalau orangnya ada di depan mata, udah aku cubit pinggangnya. Beneran.
"Kangen."
"Tau ah." Aku melengos.
"Serius."
Tak cuekin.
"Yang."
Masih tak cuekin.
"Besok aku pulang."
"Bohong."
"Beneran."
Aku melirik layar.
"Enggak betah lama-lama jauh dari kamu. Di pundak capeknya jadi kerasa banget soalnya."
Ini kalau ngeluhnya udah terang terangan gini, bisa dipastikan kalau dia udah capek yang beneran capek.
"Informanku salah orang, Yang. Tomi enggak ada di Batam."
Oalah, pantes. Tapi enggak kaget sih. Sejak awal aku udah menduga kalau keberangkatan Mas Rega ke Batam memang cuma sia-sia belaka.
"Waktu dan tenagaku kebuang tanpa hasil."
"Muka Tomi pasaran. Diskonan lagi."
Niatku mau bercanda buat menghibur Mas Rega. Enggak tahunya dia malah bergeming, sibuk sama pikirannya sendiri.
Aku menghela napas pelan. Enggak tega lihat Mas Rega begini. Cuma aku enggak bisa bantu apa-apa selain nyediain telinga.
"Yang."
"Iya, Mas?" Selembut mungkin aku menyahut.
"Maaf, ya."
"Buat?"
"Aku tahu kamu enggak nyaman nginep di situ. Apalagi sekarang enggak ada aku."
Tersenyum, aku majuin layar biar pas semuka. "Enggak selamanya juga aku bisa lari dari kenyataan, Mas. Sekali-kali emang kudu sadar."
Mas Rega diam lagi. Matanya berkedip sayu, kentara banget udah ngantuk.
"Yang."
"Hem."
"Mochi gimana? Sudah wangi?"
"Udah, dong. Udah ganteng pula."
"Dia itu lucu, bukan ganteng."
"Terus yang ganteng siapa, dong?"
"Ayah Lukman."
Aku berdecap lidah. Perkara buat becanda aja dia tetep enggak mau sok. Serius, deh, suamiku ini kayak alergi banget sama yang namanya membanggakan diri sendiri. Padahal, dia punya modal, lho. Dari mulai lulusan salah satu universitas terbaik di Jogja dengan IPK hampir sempurna di setiap semester, berhasil punya perusahaan sendiri di usia muda, punya relasi manca negara dan ... Banyak, lah. Tapi enggak ada yang pernah mau disinggung, di depanku sekalipun.
Ya, bagus, si, sebenernya punya sikap rendah hati. Cuma, kadang aku suka takut kalau dia jadi diremehkan. Maksudnya, sekarang kan banyak orang yang enggak bisa menghargai orang lain cuma karena dianggap levelnya ada di bawah dia.
"Harusnya dijawab 'aku yang ganteng', gitu. Narsis dikit kenapa si?"
Mas Rega terkekeh. Gigi atasnya yang besar-besar dan rapi sampai keliatan. Sekonyong-konyong, aku tersenyum. Lalu dia menguap kecil.
"Tidur, Mas. Istirahat."
"Sebentar lagi. Aku masih kangen sama kamu."
"Tidurnya sambil aku temenin."
"Sampai subuh?"
"He'em." Aku merebahkan badan.
"Beneran?"
"Iya."
"Oke."
Suamiku mulai terpejam.
Enggak lama, dia memanggil pelan, "Yang?"
"Aku masih di sini."
"Beneran jangan ditutup, ya?"
"Iya, Mas Rega."
Bibirnya melengkung. "Ngomong-ngomong, si kembar ada rencana lanjut S2 enggak, Yang?"
"Enggak tahu. Tapi kalau Aliyah kayanya mau nikah dulu."
Seketika mata Mas Rega terbuka lebar. "Nikah? Sama siapa?"
"Belum bilang siapa cowoknya."
"Aliyah pengen nikah bukan karena keseringan lihat konten uwu di medsos, kan?"
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro