Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 5.

(Beberapa bulan lalu - Rega Damasatya)

•••

Aku kira pesan dari Marwah akan membunyikan notifikasi tanpa henti, mengingat aku hanya sempat mengirimnya kabar sekali. Begitu tiba, aku memang langsung sibuk berunding bersama orang-orang yang ikut terkena ibas atas kasus penggelapan dana yang dilakukan Tomi. Gawai dibiarkan mati kehabisan daya, dan baru pagi ini aku ingat untuk mencarger-nya.

Langsung saja aku membalas pesan terakhir Marwah yang belum sempat terbaca.

Istriku.
Stay safe. Pulang enggak boleh sakit.

Anda
Miss you. Di sini aku cuma bisa peluk guling.

Istriku
Baru aja mau aku bangunin.

Istriku
Sok sokan bilang miss you. Huh! Dasar kepala batu.

Marwah mengirim foto wajah khas bangun tidur. Mata ngantuk, rambut acak-acakan, dan guratan bantal di pipi sangat kentara. Ekspresinya seolah merajuk. Aku terkekeh dibuatnya. Lantas ikut-ikutan mengirim foto.

Istriku
Dih, sok imut!

Istriku
Pakai gaya pis segala kek anak muda. Ingat, Pak, empat tahun lagi, Anda resmi berkepala empat.

Istriku
Terus senyumnya itu, lho ... Beh, ajib. Kek Mas Mas sales panci.

Anda
Tapi kamu suka, kan?

Istriku
Sales panci?

Anda
Aku.

Istriku
Mau bilang enggak, tapi kisanak adalah suami saya. Jadi, iyain aja.

Istriku
Meski jujurly, aku lebih suka suamiku yang lain.

Anda
Siapa?

Istriku
Yang pasti bukan Anda. Hahaha.

Aku membalasnya dengan stiker cemberut. Marwah menyepam emoticon love. Banyak sekali. Lalu, foto wajah yang sengaja dizoom. Di bawahnya, gelembung chat berisi "hahaha" sepanjang tiga baris muncul.

Lagi, aku terkekeh pelan. Dengan kurang kerjaaanya aku mencubit layar, mengecil-besarkan wajah cantik istriku tersayang.

Tingkah Marwah memang luar biasa. Ibarat rokok, dia membuat candu. Sejak dulu, aku kurang suka dengan perempuan kalem dan anggun. Bukan bagaimana. Duniaku hanya sudah terlalu sepi untuk aku ramaikan sendiri. Terlalu monoton jika warna yang mengisi tidak semeriah kembang api. Tidak. Marwah tidak datang bersama kebahagiaanya. Namun karena itulah aku jadi tertantang untuk menyelami lebih dalam. Mengartikan setiap sandi yang ditunjukan agar kelak bisa menaklukannya, hingga tak ada lagi rahasia yang mampu dia sembunyikan.

Aku benar-benar ingin merengkuh Marwah seutuhnya. Menyediakan pundak ternyaman untuk dia bersandar, dan menjadi tangguh di waktu bersamaan. Sebab, aku pun akan memintanya berlaku demikian di saat aku hampir tumbang. Dan sejauh ini, Marwah bisa sangat baik berperan.

Jika ada yang bilang, tidak memberitahu pasangan terkait masalah yang sedang dihadapi adalah bentuk kasih sayang, maka aku menolak mendengarkan. Meski, bagian di sudut hatiku pernah membenarkan. Beralibi kalau aku bisa menghadapi sendirian dan tidak mau merepotkan. Hanya saja, aku ingat kalau aku tidak suka jika di tempatkan di posisi itu. Tak dianggap, dan akhirnya tahu dari suara luar.

Pasangan adalah teman hidup. Sebagai teman, idealnya dia bisa membuatmu nyaman melepas topeng. Logikanya, untuk apa menambah beban dengan menikahi seseorang jika nantinya kamu harus menjadi badut? Pontang panting membahagiakan orang yang bahkan tidak memberi kontribusi apa pun sebelumnya, dan babak belur sendirian?

Tapi jangan salah paham. Apa yang aku maksudkan bukan seperti, "Aku capek kerja seharian, enggak kaya kamu yang enak-enakan santai di rumah!" Atau, "Aku ngurus rumah dan anak sampai stres! Kamu mah ringan cuma kerja doang."

Melainkan tentang didengar dan mendengarkan, paham memahami, bahagiakan serta membahagiakan.

Anda
Yang?

Istriku
Ye?

Anda
Setelah masalah kantor selesai, kita liburan, ya? Cuma aku sama kamu. Berdua.

Tanda centang dua berwarna biru. Namun, perlu beberapa menit untuk Marwah merespon ajakanku.

Istriku
Ke mana?

Anda
Ke mana saja asal bareng kamu.

Istriku
Ke negri alakabum bim salabim pim pim pom, mau?

Anda
Memang ada?

Istriku
Ada.

Anda
Di mana?

Istriku
Di hatiku. Hahahaha.

Anda
Kamu bikin aku tambah kangen.

Panggilan video tersambung. Secepat kilat jariku menekan terima. Wajah Marwah terpampang. Dia masih di kasur. Bantal berbentuk hati mengalasi kepalanya.

"Lho, kok udah rapi," katanya. "Aku kira foto ganteng tadi cuma efek kamera."

Aku bangkit dari posisi bersila di atas sajadah. Lantas bergerak ke arah dipan dan duduk bersandar di kepala ranjang.

"Mas bangun jam berapa?"

"Sekitar jam tiga."

"Ih, aku enggak dibangunin." Dia pura-pura cemberut.

"Takut kamu baru tidur dini hari, Yang." Aku menyahut disertai senyum. "Oh, ya, Ayah nanyain aku enggak?"

Marwah mengangguk ringan.

"Enggak marah, kan, karena aku enggak sempat pamit?"

"Enggak, lah. Apaan. Kamu tuh orang nomor satu favorit Ayah. Mana bisa beliau marah perkara gituan."

"Cuma favorit Ayah, nih? Kamu enggak?"

Tampilan video bergoyang saat Marwah beranjak turun. "Em ... Iya enggak, ya?"

Lampu di seberang sana menyala, membuat segala yang tertangkap layar terang seketika.

"Iya aja, deh, biar kamu seneng."

Mataku mencari sesuatu. "Mochi di mana, Yang?"

"Aku titipin ke pet shop. Sekalian dimandiin. Besok baru mau aku jemput."

"Oh." Aku manggut-manggut.

Kini Marwah menggunakan kamera belakang. Dia sedang berdiri menyamping di depan cermin meja rias sambil mengelus perut. Daster bebal bunga-bunga yang dikenakan, entah kenapa selalu dia bawa ke mana-mana. Bahkan ke luar negri sekalipun.

"Kamu enggak makan sahur hari ini, Yang?" tanyaku, berniat meledek.

Dia tidak mendengarkan. Tangannya menahan daster bagian pinggang di punggung, hingga ukurannya menjadi pas badan.

"Mas, aku gendutan enggak, si?"

Pertanyaan yang hampir semua laki-laki benci, termasuk aku. Sebab semua jawaban yang kita beri selalu terdengar salah.

"Lihat." Marwah menepuk pelan perutnya. "Berlemak banget sampai buncit gini. Pantes aku dikatai tambah seger."

"Seger artinya sehat."

"Bukan itu."

"Bukan?"

"Ih, kamu mah." Dia berdecak. Kamera kembali ke depan. Bibirnya mencebik. Marwah duduk di kursi meja rias.

Baik. Agaknya bukan tentang berat badan.

"Kenapa?" tanyaku, lembut.

"Enggak."

"Soal anak lagi?"

Marwah diam.

Aku menghela napas kecil. "Yang, jangan terlalu dipikirin. Nanti kamu malah stres sendiri."

"Ya tapi dua tahun lagi umurku udah 30, Mas."

"Terus?"

"Kalau udah segitu bakal susah punya anak. Kamu juga udah mau 40. Masa belum punya anak. Kenzie aja yang nikah belakangan udah punya."

"Kita enggak harus sama kaya orang lain. Enggak apa-apa. Justru dengan begitu, kita punya banyak waktu buat pacaran. Iya, kan?

"Kalau aku beneran enggak bisa punya anak, gimana?" Ada ketakutan yang tersirat dalam nada suaranya.

Jika sudah seperti ini, meneruskan pembicaraan hanya akan membuat suasana tidak nyaman. Aku sedang tidak ingin bertengkar. Jadi lebih baik aku mengalah.

"Enggak boleh ngomong gitu. Kita cuma belum ketemu waktunya, Yang. Sudah, ah, jangan galau. Baru satu hari aku tinggal masa sudah baper-baperan kayak gini."

Debas napas Marwah terdengar.

"Sebentar lagi azan subuh. Aku tutup dulu, ya, nanti agak siangan aku telpon lagi."

Kepalanya mengangguk. Ekspresi masih murung. "I love you."

Aku tersenyum. "Baik-baik di rumah."

"Kamu juga jaga diri baik-baik. Jangan skip makan. Kalau dirasa maag-nya mau kambuh, buru-buru minum obat. Jangan nunggu parah dulu."

"Iya."

Setelah saling bertukar salam, kita menyudahi panggilan. Tak lama, azan menggema di kejauhan. Aku beringsut ke jendela kamar, membukanya lebar-lebar. Angin pagi menyambar wajah. Gelap suasana diwarnai kerlip lampu bangunan layaknya bintang di langit malam. Jalanan di bawah sana ramai dilalui ratusan kendaraan.

•••

Aku mendatangi kontrakan Tomi sendirian. Untuk sampai ke rumah petak bercat putih lapuk ini, aku harus berjalan kaki sekitar dua ratus meter dari jalan raya melewati gang sempit. Di sini suasana sangat sepi seolah tak berpenghuni. Namun beberapa sandal nampak di depan beberapa pintu. Botol minuman keras teronggok bersama puluhan bungkus rokok dan kartu remi. Kulit kacang yang berserakan terinjak-injak sepatuku. Bunyinya renyah, tanda masih baru.

Menurut informan, dua hari lalu Tomi terlihat berkeliaran di Batu Aji. Aku sengaja ingin menanganinya sendiri. Jadi, memang tidak ada pihak yang aku izinkan turun tangan. Dulu Tomi pernah datang di saat aku berada di titik nol. Dia satu-satunya orang luar yang bersedia mengulurkan bantuan. Bisa dibilang, Tomi memiliki peran atas pencapaianku sekarang.

Pelan, aku mengetuk pintu. Sekali, tidak ada sahutan. Aku mencoba lagi. Lagi dan lagi. Sampai akhirnya seseorang menegur. Atau lebih tepatnya memaki.

"Berisik! Ko tak tahu awak lagi tidur, hah?!"

"Maaf, Bang." Aku tidak ingin mencari keributan. Kendati lawan bicaraku anak muda, berbadan kerempeng dan dalam pengaruh minuman, aku berusaha berbicara sopan, "Abang tahu orang yang tinggal di sini ke mana?"

"Kagak!" Matanya melotot tak suka. Dia menunjukku. "Ada baik sekarang ko minggat sebelum awak hajar!"

Otot tidak akan banyak membantu. Aku yakin di dalam sana ada teman-temannya. Jadi, aku pun mengalah dan pergi.

Saat berbalik badan, mataku memergoki laki-laki bermasker hitam dan topi yang kontan berlari. Itu Tomi. Benar, tidak salah lagi. Dia memang Tomi. Segera aku mengejarnya.

"Tom!"

Aku berpapasan dengan ibu-ibu di gang. Mau tak mau aku berjalan merapatkan badan ke tembok bata merah ini. Tomi makin jauh di depan. Aku memacu kaki lebih cepat begitu lengang. Sampai di pinggir jalan besar, siluetnya hilang.

Kepalaku bergerak bak mercusuar. Berharap Tomi ada di antara mereka yang berlalu lalang. Dan harapanku terkabul. Tomi nampak di seberang, masuk ke kerumunan. Begitu saja aku bergerak membelah jalan. Lalu entah bagaimana, aku tiba-tiba terguling di aspal. Orang-orang di sekitar memekik kaget, beberapa di antaranya berlari mendekat sambil memasang ekspresi cemas.

Tbc ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro