part 43
(Rega Damasatya–Sekarang)
***
Penolakan nyaris keluar dari mulut Fatma saat aku berkata aku ingin membawa Marwah pulang. Dia dengan data medis yang tentu saja harus dipertanggungjawabkan. Dan aku pun dengan opini yang tidak bisa diabaikan.
Aku tahu aku bukan expert di bidang psikologi atau sejenisnya. Tapi sebagai orang yang sangat mengenal Marwah, juga sedikit pengetahuan yang aku dapat, aku mengerti bagaimana kondisi psikisnya sekarang, bahkan jauh sebelum dia melahirkan. Ya, barang kali bantuan tenaga profesional memang dibutuhkan. Tapi sekali lagi, sebagai orang yang sangat mengenal Marwah, aku yakin jika membuatnya merasa aman akan jauh lebih baik daripada memaksanya tetap tinggal di rumah sakit.
Akhirnya, Fatma mengalah dan memberi izin. Atau lebih tepatnya terpaksa mengalah dan memberi izin. Lalu menjelaskan beberapa hal terkait keadaan Marwah serta resiko apa yang mungkin terjadi. Dia juga meresepkan tambahan obat sejenis pain killer untuk Marwah, kalau kalau efek pasca operasi di malam selanjutnya masih seintens sebelumnya.
Aku mengucapkan terima kasih. Benar-benar berterima kasih. Terutama karena dia yang mau mengerti seperti apa perasaan Marwah. Lantas bangkit dari kursi di depan meja kebesarannya, diikuti sang empu yang kemudian mengantarku sampai ke ambang pintu.
"Sekali lagi terima kasih ya, Fat," ulangku.
Fatma tersenyum sungkan. Mengangguk. "Kalau ada apa-apa, hubungi aku secepatnya. Marwah bukan sekadar pasien buatku. Dia udah aku anggap kayak adik sendiri."
Seingatku, aku tak pernah mengenalkan Fatma sebagai kenalanku. Bahkan ketika Marwah tahu jika aku dan Fatma pernah hampir dijodohkan, itu bukan aku yang memberi tahu. Namun mengingat dia adalah Marwah, aku percaya bila apa yang dikatakan Fatma barusan bukan isapan jempol belaka.
Tanpa sadar, aku tersenyum kecil. Ada hangat yang bertandang di dada, semacam kebanggaan sederhana selayaknya Ayah yang menyaksikan putrinya tumbuh menjadi pribadi menyenangkan bagi semua orang.
"Ya udah, kalau gitu aku pamit dulu, ya," kata Fatma. "Mau cek pasien."
"Oh, tentu. Silakan." Aku bergeser memberi akses. Dan saat itu aku melihat kedatangan Oma Tari dan Mbak Susan di arah yang akan Fatma tuju.
"Fat!" Seru Mbak Susan, melambaikan tangan.
Fatma tersenyum, balas melambai sekadarnya. Kemudian menoleh padaku, mengedikan dagu ke mereka seolah mengisyaratkan agar aku ikut serta menyambut Oma Tari dan Mbak Susan sebab dia sedang buru-buru.
Aku mengerti. Maju mensejajari Fatma. Basa basi dua teman lama itu pun berlangsung singkat. Selanjutnya, aku lah yang mengambil alih kendali.
Aku mengajak Oma Tari dan Mbak Susan ke kafetaria rumah sakit. Kita duduk bersebrangan di kursi besi dengan meja yang ukurannya terlalu kecil untuk meletakkan semua buah tangan Oma Tari. Sementara keadaan di sekitar yang cukup bising dan sibuk. Orang orang yang silih berganti keluar masuk di saat cuaca sedang mendung di luar membawa rasa tak betah untukku berlama lama berada di sini.
"Kami udah datang lho, Ga." Nada suara Mbak Susan jelas terdengar sinis. "Masa iya enggak dibolehin jenguk."
"Bukan enggak boleh, Mbak," balasku, terlalu malas memperpanjang urusan. "Tapi buat sekarang, Marwah lagi enggak bisa keseringan ketemu orang."
"Mbak sama Oma buka orang lain, Rega!" Hardiknya, menatap tak suka. "Sikapmu yang kayak gini ni yang nantinya bakal memecah belah keluarga. Istri itu orang lain. Keluarga ...." Oma Tari menyikut Mbak Susan, menggeleng memperingatkan. Mbak Susan berdecak. Wajahnya sempurna keruh.
"Gimana keadaan Marwah, Ga?" tanya Oma Tari, lembut. Berusaha menengahi.
"Baik, Oma. Alhamdulillah," jawabku, tersenyum. "Tapi kayak yang Rega bilang, dia belum bisa sering dijenguk. Itulah kenapa Rega ngabarin lewat grup keluarga biar enggak ada yang repot repot datang."
"Kamu tuh terlalu memanjakan istrimu." Desis Mbak Susan, sarat celaan.
Aku menghela napas dalam. Tak tahu lagi dengan Mbak Susan ini. "Aku berhutang banyak cinta sama dia, Mbak. Dia yang Mbak Susan sebut orang lain itu sudah bertaruh nyawa untuk melahirkan keturunanku. Kalau menjaganya saja aku enggak bisa, di mana harga diriku sebagai kepala rumah tangga?"
Bibir Mbak Susan terkatup. Wajahnya yang tak mau menghadap itu nampak merah. Matanya mulai menggenang, entah apa yang membuatnya demikian. Kemudian dia bangkit. "Ayo, Oma, kita pulang," ajaknya.
Oma Tari agaknya paham tentang apa yang tidak aku tahu dengan respon Mbak Susan. Beliau berdiri, yang langsung sigap aku bantu.
"Oma pulang dulu ya, Ga," pamitnya. "Nitip salam buat Marwah. Sama ini ...." Beliau menunjuk parsel buah dan buket bunga di meja. "Tolong sampaikan ke dia."
"Makasih Oma. Dan maaf karena ini," ucapku, tak enak.
Oma Tari menggeleng. Mengusap lengan atasku. "Enggak apa-apa. Justru Oma yang minta maaf karena udah enggak menghargai tindakan kamu."
Aku tersenyum. Bersyukur Oma sangat mau memahami. Setelah Oma dan Mbak Susan beranjak pergi, aku mengambil pemberian Oma dan berbalik badan ke ruang rawat Marwah.
Di atas brankarnya, dia seperti sedang gelisah.
"Mas," sebutnya, antara lega karena aku yang masuk, juga waspada akan siapa pun yang dia pikir menyusul di belakang punggungku.
Memberinya senyum, aku mengangkat parsel dan bunga di masing masing tangan. "Dari Oma."
"Eh?" Dia terkejut. Bukan karena baru tahu Oma datang. Lebih ke tak menyangka jika Oma tidak masuk dalam pengecualian. "Mas ngusir Oma?"
Aku menggeleng. Meletakan parsel buah ke nakas. Lantas duduk di pinggir brankar.
"Terus?" tagihnya, penasaran.
"Aku bilang, kamu lagi enggak bisa sering sering dijenguk."
"Terus?" Dia makin penasaran.
"Oma ngerti dan enggak keberatan."
"Terus?" Tambah tambah penasaran, ekspresi wajahnya .... Aku terkekeh kecil.
"Kayak tukang parkir saja kamu terus terus mulu," kataku, mengusak gemas kepalanya.
"Ih, Mas!" Protesnya, menghindari tanganku. Bibir bawahnya maju. Mode ala ala merajuknya sudah kembali.
Aku tersenyum kecil. Merapikan rambutnya yang berantakan. Wajah tanpa tersentuh skin care-nya masih amat sangat cantik.
"Oma datang bareng Mbak Susan," jelasku. Marwah kontan tergagap, bingung harus merespon bagaimana. Namun, aku bisa melihat sudut sudut bibirnya berkedut menahan senyum senang.
"Ang ...." Dia mengangguk. "Gitu, ya," cicitnya, berusaha terkesan biasa saja.
Tak urung, dadaku berdenyut terenyuh menyaksikan itu. Jujur, aku suka tak tega mendapati istriku merasa terintimidasi oleh kerabatku sendiri. Berbanding terbalik dengan penerimaan keluarganya yang begitu menghormati posisiku. Fisiknya yang kecil, usianya yang paling muda kadang membuat dia seakan tak berdaya. Belum lagi sifatnya yang senantiasa legawa. Selama menikah, tak pernah sekali pun dia mengadu padaku soal perlakuan kurang baik yang diterima.
"Mar," panggilku.
"Ehm?"
Untuk sebentar, aku hanya menatap matanya yang menatapku begitu polos, seolah tak ada dosa di sana.
"Makasih, ya."
Alisnya bertaut tak mengerti. "Buat?"
Aku meraih tangannya. "Tetap sabar ada di sisiku meski aku tahu ini enggak selalu mengenakan."
Tersenyum teduh, satu tangan Marwah yang lain menyentuh punggung tanganku yang masih menggenggam tangannya. Terasa dingin. Namun membawa kenyamanan yang tidak bisa aku deskripsikan.
"Makasih juga karena enggak pernah ragu gandeng tanganku. Bikin aku selalu merasa pulang di mana pun itu," ungkapnya, bersungguh-sungguh.
Aku tersentuh sampai sampai mataku memanas. Ingatan akan sikapku di awal pernikahan, penyesalan terbesarku, dosa yang tidak pernah dia adili, lagi lagi menyeruak. Aku bergeser lebih dekat. Memeluknya.
"Nanti sore kita pulang. Mintalah waktu selama yang kamu mau. Cuma aku dan kamu."
***
Aku membuka pintu bagian penumpang, mengambil tas jinjing lumayan besar berisi baju baju Marwah. Lalu memutari mobil dari belakang, membukakan pintu untuk Marwah di kursi samping kemudi. Tak lupa melindungi kepalanya agar tak terbentur bagian atas mobil.
"Mochi perlu aku jemput enggak di rumah Mbak Rahma?" tanyaku setelah Marwah keluar. Menutup pintu mobil tanpa mengalihkan perhatian dari Marwah yang matanya seperti sedang mengamati sekitar. "Yang," panggilku karena tak kunjung mendapat sahutan, seolah dia tak mendengar ucapanku barusan.
Marwah menoleh. "Iya, Mas?"
"Kamu lagi nyari apa?"
"Em?" Ekspresinya bingung. Bagian atas jilbab kainnya terusik angin.
Aku mengulurkan tangan, memasukan anak rambut yang keluar bingkai. "Kamu kayak lagi nyari sesuatu," jelasku. "Nyari apa?"
"Ang ...." Dia menggeleng. Tersenyum kecil. "Enggak nyari apa-apa. Cuma, ya, rasanya kayak udah lama enggak pulang aja. Ngomong-ngomong, kamu tadi bilang apa? Mochi apa?"
"Mochi perlu dijemput apa enggak." Aku mengulang. Beralih membenarkan sweater rajut yang Marwah kenakan. "Kalau iya, nanti aku minta Mbak Rahma buat nyiapin kandangnya."
"Oh, itu. Enggak ah. Biarin dulu aja Mochi di sana. Biar puas dia main sama Disa."
Mengerti, aku mengangguk. Lantas merengkuh punggungnya. "Kita masuk sekarang?"
"Hem," sahutnya.
Aku membimbing langkah sampai ke teras. Matahari seharusnya masih ada jika saja tidak tertutup mendung. Baru pukul 16.00. Namun suasana sudah gelap. Awan hitam yang merapat di langit pun nampak sudah sangat berat. Lalu, aku membuka pintu. Hawa hangat di dalam serta aroma kayu manis terasa sangat kontras dengan keadaan di luar yang dingin dan lembab.
"Ah! Rumah," kata Marwah, penuh lega. Langsung menghambur masuk.
Di belakangnya, aku menutup pintu. Menguncinya. Kemudian menyusul dia yang kini sudah duduk di sofa, meletakan tas di dekat meja.
"Kayaknya sekarang aku jadi introvert deh, Mas," katanya, ngawur. Bagian atas sofa terlalu tinggi untuknya bersandar kepala. Alhasil alih-alih santai, posisinya justru kurang nyaman.
Begitu saja, aku menarik halus kepala Marwah agar rebah ke pundak. Satu tanganku menyelusup ke belakang pinggangnya.
"Iya. Asal itu masih kamu, mau introvert, extrovert atau ambivert sekalipun, aku enggak masalah," sahutku hanya untuk menanggapi.
Marwah mendongak. Menatapku lugu. "Kepribadian emangnya bisa berubah ya, Mas?"
Aku mengedik kecil. "Entah."
"Enggak deh kayaknya," gumamnya, kembali meluruskan pandang. Sesaat terdiam. Suasana rumah lantas sepi kontan. Detik jarum jam di dinding bersahut pelan dengan suara gemuruh di luar.
"Mas," panggil Marwah.
Aku meliriknya. Mendapati dia masih memandang lurus ke jendela. Barangkali mengamati jalanan di depan rumah yang lengang. Atau rumah seberang yang agaknya sedang ditinggal penghuninya.
"Iya?"
"Aku kok kepikiran mbak Susan, ya. Dia tuh sebenernya kasihan banget tahu, Mas. Kamu tahu," dia menoleh padaku. "Kata Mbak Rahma, suaminya Mbak Susan itu suka marah marah, kadang juga main tangan. Dan sikapnya ke aku itu bukan karena Mbak Susan enggak suka atau benci, tapi iri."
Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu dengan urusan rumah tangga orang lain. Jadi, aku mengangguk sekadarnya. Tanpa tanggapan. Namun terlepas dari alasan itu, aku tetap tidak bisa menerima sikap tidak ramah Mbak Susan terhadap Marwah.
"Sama ini, Mas. Di islam kan enggak ada yang namanya feminisme atau patriarki. Adanya hak dan kewajiban antara suami istri. Ibaratnya kayak pembagian struktur organisasi di dalam kelas. Cuma karena dia ketua kelas yang tugasnya ngatur, bukan berarti derajat dia lebih tinggi dari siswa lainnya."
Lagi, aku mengangguk.
"Menurut Mas, nih, definisi feminisme dan patriarki itu kayak apa si?"
"Feminisme dan patriarki itu sebenernya soal pola pikir. Makanya kita enggak bisa menyamakan patriarki sama konsep pernikahan dalam islam, yang mana role kepemimpinan memang harus dipegang suami. Atau feminisme, di mana hak suami istri itu sama, sesuai porsi. Hak berpendapat, hak memilih, hak ikut menentukan keputusan, hak merasa aman, dan sebagainya."
Marwah menegakan badan. Duduk sepenuhnya, serius mendengarkan.
"Patriarki juga enggak selalu tercermin dari sikap. Ada yang sifatnya itu halus, yang seolah si laki laki ini baik ke si istri, meratukan dia, tapi ternyata tindakan tersebut enggak lebih kayak seorang kolektor yang merawat baik baik koleksinya. Ada pula laki-laki yang kelihatannya sering marah-marah, punya banyak batasan, tapi sebenarnya dia sedang berupaya mendidik istrinya. Mendidik supaya enggak salah dalam mengambil hak dan kewajiban," sambungku.
"Tapi kekerasan secara fisik atau verbal enggak boleh dijadikan alasan mendidik, kan? Apalagi dinormalisasikan." Marwah mode kritis, tak mau begitu saja setuju.
"Iya. Kekerasan bukan lagi soal patriarki. Masuknya sudah tindak kejahatan. Ada pasal dan udang udangnya. Bisa banget dipenjarakan."
Dia manggut manggut. Nampak puas. "Terus feminisme?"
"Feminisme kan gerakan penyetaraan gender. Semacam perlawanan dari sistem patriarki dan seksisme yang menjamur di masyarakat."
"Berarti bukan cuma pola pikir dong." Marwah ber-statement penuh semangat. Matanya menyiratkan keingintahuan lebih jauh. "Maksudnya, kalau udah ada perlawanan, berarti sebelumnya udah ada tindakan. Di tahun 1975, 90 persen perempuan di Islandia melakukan demonstrasi. Dan ini tercatat sebagai salah satu demonstrasi kesetaraan gender terbesar dunia. Di Indonesia sendiri, ada RA Kartini sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak hak perempuan."
Bibirku terkulum membentuk senyum. Memandangnya kagum. Rasanya seakan kembali pada masa masa Marwah kuliah. Meski aku tak pernah melihat langsung dia kala itu, tapi nilai, berbagai penghargaan serta beberapa beasiswa yang sempat berdatangan padanya, aku bisa membayangkan bagaimana sepak terjangnya.
Nak, kelak Papa harap kalian akan lebih banyak mirip Mama daripada Papa.
"Kayaknya aku bakal ngos-ngosan deh ngeladenin kamu, Yang," selorohku.
"Aaaaaa! Mas, ah." Marwah memprotes dengan gaya khas perempuan, merengek sambil menggoyang goyangkan badan, perihal aku yang justru bercanda alih-alih memberi tanggapan. Padahal dia sudah khusuk menyimak.
"Iya iya." Leraiku, menarik lembut tangannya. Memaksa dia, dalam artian lain, agar memelukku dari samping. "Santai. Jangan serius serius banget. Di luar dingin, tahu."
"Ih, dasar," cibirnya, tersenyum malu malu tapi mau. Lalu menempelkan separuh wajahnya di dadaku.
Aku membelai belakang kepalanya. "Feminisme itu ibaratnya kayak wujud perlawanan dari sistem patriarki yang notabennya mengunggulkan laki-laki dan mendiskriminasi perempuan, juga stereotip masyarakat soal gender, atau seksisme. Kayak yang kamu bilang, feminisme sekarang bukan lagi sebatas narasi, tapi sudah ada aksi. Di sini, Mas coba melihatnya dari akar. Kalau kita cuma melihat dari kasusnya saja, kita mungkin bakal terkecoh dan salah persepsi. Katanya, laki-laki yang melarang istrinya main itu patriarki. Laki-laki yang menyuruh istrinya bikin kopi, patriarki. Laki-laki yang mau istrinya pakai pakaian tertutup, patriarki. Sementara suami yang jor joran, yang mau istrinya main lupa waktu, pergi pakai rok kurang bahan atau enggak ibadah sekalipun dibiarin, dianggap gentle. Kan salah kaprah jadinya."
Marwah tidak menanggapi. Aku menunduk guna memeriksa, mendapati dia yang sudah terlelap dengan damainya.
"Lha, ngantuk ternyata istriku ini," kataku. Kemudian tersenyum. "Tetep sama aku, ya. Temenin aku sampai tua."
Tbc ...
Yang nulis ngos-ngosan sambil tiwal tiwul enggak keruan, yang ditulis malah mesra-mesraan. 😌 Jan jan! Btw, siapa tahu ada yang mau nyapa di Instagram, sila ke profil ini yaw, listi-ya08. Belum ada postingan apa-apa, si. Tapi barangkali aku ngilang lagi, bisa banget dicari di sini. See you!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro