Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 42

Halaw! Udah lama, ya, enggak bersua di lapak ini. Btw, apa kabar? Baik?

***

Rega Damasatya–Sekarang

"Mas sayang aku enggak?" tanya Marwah, lirih. Napasnya terdengar cepat. Matanya terpejam, wajah basah oleh keringat.

"Sayang," jawabku, parau. "Banget nget nget. Enggak bisa dihitung."

"Cinta?"

Aku mengangguk meski tahu dia tidak akan melihat. Dan saat itu, air mataku kembali meluruh melewati hidung dan telinga, jatuh ke bantal. "Cinta, dong. Banget."

Dahi Marwah mengernyit. Mulutnya meringis. Otomatis aku sedikit mengangkat kepala, berniat lekas menekan tombol emergency.

"Sakit, ya?" tanyaku, cemas.

Marwah menggeleng. Aku pun berhenti di sana. Perlu sekian menit untuk dia kembali berbicara, "Mas, maafin aku, ya," katanya, berbisik. "Maaf karena sering ...."

"Ssttt. Enggak enggak. Enggak ada yang perlu dimaafin." Selaku, menggeleng tak mau. Air mata lagi lagi tak bisa dibendung. Aku membenamkan wajahnya ke dada dan mengusap lembut punggungnya. Tenggorokan yang tercekat, tangis yang ingin menyeruak aku tahan sampai terasa sekali sakitnya di dada. Malam yang nyaris hening membuat atmosfer terasa lain. Antara terenyuh, khawatir dan bingung bercampur jadi satu. Melihat bagiamana istriku sebegitu tersiksa setelah sebelumnya harus berjuang di meja operasi untuk melahirkan anak kita, aku tak tega tapi juga tak berdaya.

Benar. Normal atau caesar, Ibu tetaplah Ibu. Tidak ada istilah kurang sempurna. Tidak ada istilah manja. Tidak ada istilah gampang. Sebab, semuanya sama-sama bertaruh nyawa.

"Mas?" panggilnya, pelan sekali.

Aku hanya mampu bergumam untuk menyahutinya. Takut dia sadar jika suaminya ini sedang cengeng.

"Selamat, ya." Imbuh Marwah, masih sepelan tadi. "Sekarang Mas udah tuntas hafal 30 juz. Yey." Dia bersorak untuk merayakanku bahkan ketika untuk sekadar membuka mata, dia tak ada tenaga.

Memejam, aku berusaha mengendalikan diri. Juga berusaha meredam tangis. Marwah tidak suka dikhawatirkan. Marwah tidak suka melihatku sedih karena dia.

Setelah dirasa cukup tenang, aku membuka mata dan sedikit menunduk, menatapnya yang masih menutup mata.

"Boleh minta hadiah?" kataku, lembut.

Mata Marwah terbuka perlahan. Nampak sayu dan lelah. "Apa?" tanyanya serupa bisikan.

Aku tersenyum. Senyum paling sulit yang pernah aku lakukan. "Dinner romantis."

***

"Tidur, ya?" tanya Ibu, pelan.

Aku menoleh. Mengangguk sembari tersenyum. "Mungkin sudah enakan, Bu."

Beliau mengangguk. "Kamu juga tidur, gih. Istirahat. Marwah itu baringin aja. Biar Ibu yang jaga."

"Enggak apa-apa, Bu." Tolakku, halus. "Biar saja Marwah begini."

"Kamu enggak pegel memangnya?" tanyanya, seolah meragukan jawabanku.

Lagi, aku tersenyum hanya agar Ibu percaya dan bisa beristirahat tanpa dibebani rasa rikuh. "Enggak."

Ibu tak langsung setuju. Ada iba yang terpancar dari mata beliau perihal ... Ya, mataku sembab. Penampilanku barangkali juga nampak menyedihkan.

"Ya sudah kalau gitu." Putus Ibu, mengalah. Lalu pamit ke ruang tidur.

Aku menekan remot guna menaikan bagian atas brankar. Lantas membenarkan posisi duduk secara perlahan agar Marwah yang sedang tertidur di pundakku tidak terusik.

Lama, aku memandang wajahnya. Mengamati mata berbingkai alis tebal dan bulu mata lentik miliknya. Hidung kecilnya. Bibir tipis yang saat sedang ngomel bisa seramai pasukan bebek ... Senyumku mengembang. Teringat dengan tingkahnya yang selalu tak terduga. 

Cinta yang bukan hanya ingin memiliki, tapi juga ikut merasakan sakit setiap kali dia menderita. Sayang yang bukan hanya bahagia saat dia bahagia, tapi juga ikhlas menerima ngambeknya, omelannya, marahnya, bahkan jawaban terserahnya setiap kali ditanya mau makan apa, memang kadang terkesan tidak realistis. Tapi aku adalah salah satu manusia yang sudah jatuh cinta pada titik tidak realistis itu.

"Besok ngomel lagi, ya," kataku, mengelus lembut kepalanya. "Tantrum enggak jelas lagi. Ngambek ngambek lagi. Usil lagi. Semuanya. Hum?"

Aku harap, aku akan terkejut karena dia yang tiba-tiba membuka mata dan tertawa. Lantas meledekku sedemikian rupa. Atau menyeringai nakal sambil menaik turunkan alis, menggoda.

Namun mendapatinya tetap tak bergeming, aku merasa lega. Sebab, itu artinya dia sudah baik-baik saja.

Meski operasinya berjalan lancar dan keadaan anak-anak kita, alhamdulillah sehat dan sempurna, efek pasca operasi jelas bukan sekadar susah bergerak leluasa. Melainkan, demi Tuhan, lebih dari apa yang mereka, orang-orang yang tidak pernah ada di posisi ini, bayangkan.

Aku mencium dahinya. Lembab dan dingin. Kemudian ikut memejamkan mata. Terbangun karena alarm di satu jam berikutnya dengan keadaan ngantuk, juga lelah yang entah karena apa.

"Eh, Bu," kataku, serak. Beranjak bangun dari brankar. Marwah sendiri masih terlelap nyaman. "Sudah sejak tadi, Bu, bangun?"

Mukenah putih yang sudah dikenakan dan sajadah tersampir di lengan, aku tahu jawabannya iya. Bahkan, mungkin beliau baru saja pulang dari mushala mengingat azan subuh sekarang tepat setengah lima.

"Enggak apa-apa," balas beliau, tersenyum maklum. Tidak ingin aku merasa rikuh. Kemudian menoleh ke arah Marwah. Tidak mengucapkan apa-apa. Hanya saja tatapannya menunjukan jika beliau lega melihat wajah lelap putrinya. "Oh iya, Ga." Ibu kembali menatapku. "Ibu nanti mau keluar beli sarapan. Kamu mau dibeliin apa biar sekalian."

"Eng ...." Untuk sejenak aku bingung. Aku tidak lapar. Ingin menolak tawaran. Namun, Ibu pasti mengira kalau aku hanya segan dan kukuh akan membelikan sarapan. Berkata jujur, aku tahu itu bukan pilihan. "Bubur ayam saja, Bu." Akhirnya aku menjawab demikian.

Ibu mengangguk. Aku pun pamit ke kamar mandi, membersihkan diri dan bersiap melaksanakan salat subuh.

"Mas," panggil Marwah di beberapa menit kemudian. Suaranya pelan.

Aku menegakan punggung, memutar pandang ke arahnya masih sambil bersila di atas sajadah. Tersenyum. "Ehm?"

"Mau ke kamar mandi."

Bangkit, aku menghampiri Marwah. Lebih dulu melepas kopiah sebelum membantunya bangun.

"Pelan-pelan, Yang," tegurku, memapah dia ke kamar mandi. Dahinya tadi sempat mengernyit.

"Mas di luar aja," pintanya begitu duduk di closet.

"Oke," sahutku, tak ingin memaksakan. Aku tahu dia butuh privasi.

Lalu setelah sekian menit menunggu, Marwah memanggilku. Aku kembali memapahnya dan membantu dia berbaring di brankar.

"Maaf, ya, Mas, ngerepotin," ujarnya, tidak enak.

Mendengarnya berbicara demikian, sebagian diriku merasa tidak terima. Jadi alih-alih mengindahkan, aku memilih mencium pipinya sebagai pengalihan.

"Asem," selorohku, menjauhkan badan. Dan lagi lagi aku berharap, sama seperti semalam, dia akan merespon sebagaimana dia biasanya, yang besar kemungkinan akan tertawa sambil bilang, "Ya, namanya juga dari kemarin enggak mandi. Tapi masih secantik bidadari, kan?" Lantas mengedipkan sebelah mata. Bukan malam diam, menatap sayu ke tembok seberang dengan nanar.

"Mau makan?" tawarku, duduk di pinggir brankar.

Marwah menoleh padaku. Menggeleng kecil. "Mau lihat si kembar."

***

Pukul 09.00 pagi di penghujung tahun. Sama seperti beberapa hari ke belakang, hari ini pun awan berat sudah merapat, siap mengguyur Jakarta dengan hujan yang jika dilihat dari suasananya yang gelap, barangkali akan lebat. Bahkan lampu lampu di taman rumah sakit di sisi kanan kiri koridor yang tengah aku lewati ini sudah kembali dinyalakan. Beberapa orang yang lewat pun sudah bersiap membawa payung di tangan. Atau sekadar mengenakan baju tebal.

Aku sendiri memilih sweater rajut yang Marwah buatkan. Selain hangat, benang wol-nya juga lembut dan nyaman. Tapi lebih dari itu, aku menyukainya tentu karena ini adalah hasil karya istriku.

Sayangnya, dia sekarang sedang tidak se-energik biasa. Kakinya yang selincah tupai kini duduk anteng di kursi roda. Senyumnya, tawanya, candaannya ... Semuanya lesap dari wajah, berganti gurat kuyu dan lelah dengan lingkar hitam di bawah mata yang kentara.

"Sampai," kataku begitu melewati belokan. Ruang NICU berada tepat di ujung koridor. Jendelanya yang lebar itu biasa aku gunakan untuk sekadar mengintip keadaan anak-anak kami yang tertidur di tabung inkubator.

"Pagi, Pak. Bu," sapa suster penjaga. Tersenyum ramah.

Aku dan Marwah balas tersenyum dan menyapa. Kita pun diminta memaki masker, baju khusus dan pelindung kepala. Tak lupa mencuci tangan sebelum akhirnya diperbolehkan masuk ke dalam sana.

Perawat yang bertugas memantau keadaan bayi bayi di sini menyambut kami. Lantas bertanya, apakah Marwah ingin menggendong anaknya atau tidak. Dan tentu saja jawabannya adalah iya.

Lalu setelah Daneen dan Nayaka diletakan di kedua tangan Marwah, aku berjongkok di samping dia. Membelai pipi kemerahan Daneen menggunakan telunjuk sembari tersenyum tipis di balik masker.

"Mereka mirip kamu banget, ya," komentarku. "Hidungnya. Bibirnya ...." Aku gegas menutup mulut mungil Nayaka yang menguap sambil menggeliat kecil. Sedangkan, Marwah langsung menggoyang-goyangkan tangannya sembari mendesis pelan agar jagoan kami kembali tidur. "Bahkan ngelilir-nya pun mirip kamu," sambungku, mengalihkan atensi ke arah Marwah.

Marwah hanya tersenyum---terlihat dari matanya yang menyipit. Menatap anak-anak kami penuh kasih.

"Enggak nyangka ya, Mas, kita udah jadi orang tua."

Aku mengangguk. Kembali pada Daneen dan Nayaka. Entah berpengaruh atau tidak, tapi Daneen yang lahir lebih dulu memiliki badan jauh lebih besar dari Nayaka.

"Nak," panggil Marwah untuk keduanya. Suaranya lembut. "Kalian memang lahir sebelum waktunya. Dan Mama enggak berhasil menjadi Ibu yang sempurna. Tapi, Mama bisa pastikan kalau cinta adalah alasan kehadiran kalian di dunia. Cinta paling sempurna dari Mama Papa."

Mendengar itu, dadaku berdesir haru. Apalagi melihat air mata Marwah menetes saat mencium dahi Daneen dan Nayakan secara bergantian sembari berpesan, "jadi anak soleh dan solehan ya, Nak. Kayak Papa."

"Kayak Mama juga." Tambahku, membenarkan selimut Nayaka.

Sekali lagi, Marwah mencium dahi Daneen dan Nayaka. Kemudian memanggil perawat yang sejak tadi berdiri tak jauh dari kita berdua.

Si perawat yang mengerti pun langsung mengambil alih si kembar dibantu temannya, dan memasukan mereka kembali ke inkubator.

"Mama pamit, ya," ucap Marwah, menyentuh dinding kaca inkubator Daneen dan Nayaka.

Namun, aku tak lantas berdiri. Sengaja memberinya waktu. Aku tahu jika Marwah berat meninggalkan mereka sendiri di sini. Aku tahu jika diamnya kini adalah caranya berkomunikasi melalui naluri. Barulah setelah dia menoleh padaku, aku beranjak dan mendorong kursi rodanya keluar dari ruang NICU.

"Mas," panggil Marwah setelah cukup lama kita menyusuri koridor.

"Ehm."

"Mau pulang," pintanya, mendongak menatapku yang sedang mendorongnya di kursi roda. "Boleh, ya? Plis."

"Eng ...." Aku membasahi bibir. Bingung untuk menjawab. Perkara pulang atau tidak, itu di luar kuasaku. "Kita liat nanti. Oke?" sahutku, mencoba membujuknya.

Ekspresi Marwah berubah murung. Kembali memandang ke depan. Tak memprotes. Namun karena itu, aku justru merasa semakin tak tega dan mulai berpikir untuk menurutinya saja.

"Pengen pulang kenapa memangnya?" tanyaku. Entahlah. Mungkin aku harus bernegosiasi dengan Fatma nanti. "Kangen Mochi?"

Dia diam. Bukan marah. Aku tahu. Jadi, aku pun memilih berhenti sejenak. Tak lupa mengunci roda. Kemudian berpindah posisi. Berjongkok di depan dia, membetulkan selimut yang menutup kakinya. Dan tentu ini adalah pemandangan biasa. Terbukti dengan tak ada satupun di antara orang-orang yang hilir mudik di selasar, atau perawat yang melangkah lebar sembari membawa peralatan medis, mengacuhkan kita. Selain posisinya di dekat ruang tunggu yang setiap jamnya ramai disinggahi berbagai kalangan dan usia, guyuran hujan di luar sudah banyak menyita perhatian mereka. Baju dan celana basah, udara dingin, keadaan lantai becek, genangan air yang mulai tinggi hingga menutup lubang lubang di jalan ... Semua.

"Mau pulang?" Alih-alih pertanyaan, kalimatku lebih terdengar seperti penawaran.

Tak langsung menjawab. Marwah menelisik ekspresiku. Meragukan.

"Boleh emang?" tanyanya, sangsi.

"Tergantung alasan kamu mau pulangnya kenapa." Meski sudah berniat mengiyakan, aku tetap berusaha realistis. Melihat bagaimana Marwah semalam, membawanya pulang ke rumah jelas beresiko besar. Setidaknya jika memang aku harus melanggar perintah dokter, aku bisa yakin hal tersebut memiliki bayaran sama besar.

Dia menghela napas lesu. "Aku lagi enggak pengen ketemu orang selain kamu. Ayah, Ibu, Mama, Papa, Mbak Rahma ...." Bahunya mengedik. "Enggak tahu."

Tbc ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro