Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 4.

(Beberapa bulan lalu - Marwah Syaiqila)

•••

Sebenarnya aku masih jengkel perihal Mas Rega yang ngeyel pergi ke Batam. Tapi begitu tangannya melingkar ke pinggang, perasaanku merasa nyaman.

"Enggak apa-apa kalau kamu mau tidur memunggungi aku. Aku tahu kamu kesal. Aku juga berat ninggalin kamu sendiri. Cuma mau bagaimana lagi. Keadaanya memang begini."

"Aku enggak rela mental sama fisik kamu babak belur karena orang lain," sahutku, ketus. Padahal enggak ada niat buat begitu.

"Aku baik-baik saja."

"Aku yang enggak baik-baik aja."

Mas Rega diam.

Sampai beberapa menit berselang, dia bersuara pelan, "Maaf."

***

"Kabari kalau udah sampai," pesanku.

"Ehm."

Aku meraih tangan Mas Rega, dicium singkat. Dibalas sama dia berupa kecup di pucuk kepala.

"Mau oleh-oleh apa kalau aku pulang?" tanyanya sambil mundur sejengkal.

"Enggak mau apa-apa."

Mengangguk, Mas Rega bergeser pada Ibu. Sesi berpamitan berakhir kala jadwal keberangkatan terdengar menggema di langit-langit bandara.

Aku memperhatikan punggung Mas Rega. Semakin jauh dia pergi, rasa enggak rela di hatiku makin menjadi. Lalu sesudah badannya yang tinggi itu hilang di antara gerombolan, Ibu mencolek lenganku. Mau enggak mau, aku beranjak dan menyusul Ibu yang berjalan lebih dulu.

***

Aslinya aku enggak keberatan di rumah sendirian. Toh, selain pas malam, rasanya sama aja kayak hari-hari biasa saat Mas Rega kerja. Tapi berhubung Mama mertua kukuh mau nemenin, yang mana bikin aku enggak enak hati, aku terpaksa---dalam artian lain---tinggal di rumah Ibu selagi Mas Rega pergi.

Beneran, deh. Selama ini tuh aku selalu nyari alibi pas diminta nginep. Bukan apa-apa, ya. Aku cuma enggak suka kalau pada akhirnya aku sadar sama keadaan Ayah yang belum baik-baik aja. Ditambah, otakku kadang suka nyama-nyamain Ayah kayak robot yang enggak bisa berfungsi tanpa alat-alat medis itu, dan hidupnya bergantung pada selama apa mereka bisa melakukan tugasnya.

Tapi sekarang, aku enggak bisa menghindari kenyataan.

Tepat di depan mataku, Ibu sedang mengganti baterai LVAD Ayah.

Aku tahu, Allah enggak bakal mengabulkan doa buruk hamba-Nya. Meski gitu, untuk ke sekian ratus kalinya, aku tetap minta agar donor jantung sehat segera ada. Yang artinya, aku mengharapkan kematian seseorang demi mempertahankan Ayah di dunia. Begitu aja dadaku terasa sesak. Aku menghela napas berat diam-diam setelah memalingkan wajah. Lalu menyeka ekor mata yang basah.

"Tau lah. Ayah enggak pernah mau dengerin Ibu," kata Ibu, entah karena apa. Tapi dari nada suaranya, kentara banget beliau kesal.

Aku menoleh, mendapati Ayah sedang mengancing kemeja. Sementara, Ibu membereskan peralatan yang baru digunakan sebelum menghentak bangkit tanpa pamit. Beliau berlalu ke dapur, korden yang menjuntai di kusen tanpa pintu disibak dengan kasar.

"Ibu kenapa, Yah?"

Mengedikkan bahu acuh tak acuh, Ayah menatapku. "Mas-mu tahu kamu nginep di sini?"

Aku mengangguk.

"Listrik, kompor dan kran air enggak lupa dicek, kan?"

"Iya, Yah."

"Jendela, pintu sama lemari?"

"Itu juga. Aman."

"Kamu ...."

Ucapan Ayah diinterupsi omelan Ibu yang keluar membawa nampan. Nama Aisyah dan Aliyah ikut terseret dalam kemarahannya. Wajah beliau sempurna keruh saat meletakan cangkir teh Ayah ke meja. Setelahnya masuk lagi tanpa sepatah kata.

"Ibu beneran ngambek," kataku.

Ayah menghela napas. "Enggak tahu juga, Mar. Akhir-akhir ini lagi sering banget manja. Dikit-dikit cemberut. Dikit-dikit diem."

"Ayah ada bikin salah kali."

"Itu yang bikin Ayah bingung. Ibu enggak mau ngasih tahu salahnya Ayah di mana." Ayah uring-uringan. "Kamu sama suamimu jangan gitu ya, Mar. Kasian. Rega bukan kaya Ayah yang pengangguran. Isi kepalanya sudah runyam sama kerjaan, apalagi di masa masa sekarang. Jangan kamu tambahi beban. Laki-laki bukan cenayang yang bisa nebak maunya perempuan."

"Eng ...." Bibirku kembali tertutup. Sejenak kehilangan kata-kata. Apa Mas Rega suka cerita-cerita ke Ayah?

"Kamu tahu, Mar, senyum sama tutur kata lembut dari istri itu bikin plong pikiran. Tapi ngambeknya kalian ibarat asap yang bikin sumpek. Bawaannya jadi enggak betah di rumah. Kalau sudah begitu, masuknya orang ke tiga di antara pasangan makin gampang."

"Ih, amit-amit, Yah. Jangan sampai."

"Makanya. Itulah kenapa, Mar, kamu harus berbakti dengan sebaik-baiknya bakti pada suamimu. Dengarkan dia. Jangan sekali-kali membantahnya. Asal enggak melanggar syariat islam, turutin apa pun kemauannya. Dan harus ridho. Jangan yang penting dilakukan."

Menyandarkan punggung, aku mengembuskan napas. "Susah, Yah. Nahan buat enggak ngomel aja butuh astaghfirullah berkali-kali."

"Karena di situlah letak ujiannya. Kamu ingat kan cerita seorang perempuan yang ditinggal perang suaminya?"

Aku mengangguk. "Dia dilarang keluar rumah sebelum si suami pulang. Dan saat itu Ayahnya meninggal. Karena alasan ta'at pada suami, perempuan tadi milih enggak datang di pemakaman."

"Ya, dan apa yang Allah hadiahkan pada Ayahnya?"

"Kemuliaan karena berhasil mendidik anaknya menjadi istri solehah."

Ayah tersenyum. Lantas bergeser badan. Satu tangannya merengkuh bahuku. "Itu yang Ayah maksud. Jadi, kalau kamu mau marah ke suamimu, coba ingat Ayah. Atau, lihat mata dan telusuri garis wajahnya, bayangkan selelah apa dia bekerja untuk menafkahi keluarga. Dari sana, Ayah yakin, rasa kesal yang ada bakal berganti jadi kasihan."

Aku mendengarkan.

"Ada kalanya, dalam rumah tangga, sabar adalah hal yang paling dibutuhkan. Dan sabar berarti menerima dengan lapang, tanpa tapi. Bukan. Ayah bukan meminta kamu untuk selalu mengalah dan positif. Cuma ingin kamu sadar bahwa enggak semua amarah harus ditunjukan, apalagi diletuskan. Ayah yakin kalau Rega juga berpikir demikian. Dia laki-laki dewasa."

Tiba-tiba aku merasa bersalah karena udah biarin Mas Rega menyetrika baju sendiri pagi tadi. Dia pasti sadar kalau aku masih kesal, makanya segan buat minta bantuan.

Tepat setelahnya, Ibu muncul bersama tas selempang yang tersampir di sebelah pundak. Busananya rapi.

"Mau ke mana, Bu?" tanyaku.

"Ke pasar. Sayur di kulkas habis."

"Ikut, dong."

Ibu mengangguk. Aku pun beranjak.

Swalayan yang biasa kita kunjungi masih termasuk tradisional. Tapi, kebersihan tempatnya enggak diragukan. Kios-kios penjual berjajar, dan saling berhadap-hadapan dengan sekat selebar tiga meteran untuk jalur lewat. Di salah satunya, aku dan Ibu berdiri sambil memilah sayur bayam yang mau dibeli.

"Lama enggak keliatan kayaknya makin seger aja, Mar," kata sang penjual. "Udah isi lagi, ya?"

Aku tersenyum. "Minta doanya aja, Bu."

"Ealah, tak kira. Tapi kadang emang gitu, ya. Pasangan yang udah dewasa dan mapan ndilalahnya enggak dikasih-kasih, sementara bocah kemarin sore malah bentar-bentar hamil. Padahal, perempuan kalau udah umur 30-an itu susah punya anak. Resikonya juga tinggi."

Mendengar kalimat terakhir beliau, aku mendadak merasa enggak nyaman. Meski aku yakin si Ibu penjual enggak bermaksud apa-apa, sisi sensitifku tetap terusik.

Benar, yang salah memang bukan bentuk ucapannya, melainkan kondisi yang denger lagi gimana. Makanya, ada kata-kata bunyinya gini, "Jangan menceritakan rumahmu di depan orang yang enggak punya rumah."

Well, maknanya lebih dari sekadar rumah. Sama kayak soal anak buatku.

Waktu itu Mas Rega pernah bilang, "Kalau sekiranya bikin mengkal, kamu langsung saja menghindar. Atau kalau sudah dipojokan, coba dijawab seperti ini, 'ada baiknya saudara tanya langsung sama Yang Maha Kuasa, deh. Syukur-syukur bisa sekalian dikasih tahu kapan ajal menjemput Anda. Kan, kelahiran dan kematian itu sepaket. Sama-sama rahasia Ilahi'."

Terus aku merespon gini, "Kamu tuh orangnya enggak suka banyak omong. Cuma sekalinya ngomong, yang keluar pedes banget, Mas. Lagian kalau misal aku beneran jawab kayak gitu, aku bakal dikatain kurang ajar."

Dia terkekeh kecil. Melanjutkan, "Ya sudah, istighfar saja banyak-banyak. Menjaga lisan karena takut melukai perasaan orang itu salah satu ciri orang beriman."

Andai sekarang dia di sini, mungkin dari tadi aku udah ditariknya pergi.

"Ayo, Mar," ajak Ibu.

Aku mengangguk. Mengekor langkahnya melawan arus kedatangan orang-orang.

"Nanti Ibu mau mampir dulu ke rumahnya Bu Ajwa. Ikut?"

"Ada kepentingan apa ke rumahnya Bu Ajwa?"

"Arisan."

Alisku kontan menyudut. "Bukannya ini belum tanggalnya, Bu?"

"Malah udah telat ini, Mar."

"Memang sekarang tanggal berapa?"

"Lima belas."

"Eh, udah lima belas?" Aku lumayan kaget.

"Ya, kan? Sekarang mah sebulan rasanya cepet banget."

Sahutan Ibu, aku acuhkan. Alih-alih sibuk sama pikiran sendiri. Bukan soal pergantian bulan. Tapi tentang tanggal arisan yang biasanya bareng sama tanggal merahku, dan sekarang aku belum halangan. Artinya, sama kayak Ibu yang telat bayar arisan selama lima hari, aku juga demikian ...

"Mar?"

Tepukan di pundak bikin aku menjengkit, mengembalikan angan dalam raga.

"Kenapa?" tanya beliau, khawatir.

"Uhm ...." Aku menggeleng. Tersenyum tipis. "Enggak. Ngomong-ngomong, Bu Ajwa enggak bilang ke Ibu ya kalau tanggalnya udah lewat?"

"Dua hari sebelum tanggalnya sempet bilang di grup. Cuma Ibu lupa."

"Oalah. Ya udah, Ibu mending cepet-cepet ganti deh. Takut uangnya mau buat perlu. Aku pulang duluan aja. Itu belanjaannya sini, biar aku bawa."

Ibu menyerahkan kresek di tangannya. "Hati-hati, ya. Sama itu, nanti Bu Maesaroh mau datang ke rumah nganterin tape. Kemarin kamu nelpon Ibu katanya lagi pengen kolak tape."

"Udah dibayar?"

"Udah."

"Oh, oke."

Tbc ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro