Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 38

(Marwah Syaiqila–Sekarang)

•••

Aku mendongak. "Mas."

Mas Rega menoleh. Satu tangannya menggandeng tanganku. Satunya lagi membawa sandal jepit. Punyaku. Yang sengaja dilepas karena mau sekalian joging selagi jalan pulang setelah ikut ngaji subuh di pesantren, kegiatan umum yang rutin diadakan.

Bukan rahasia lagi kalau suasana di pedesaan itu asri. Pemandangannya masih hijau. Adem di mata. Udaranya pun segar, apalagi pas pagi kayak gini.

"Berdasarkan ceramah ustadz tadi, berbakti ke suami itu sama kayak berbakti ke orang tua," kataku, memberi umpan. "Dalam artian enggak ada kata kecuali. Ya, Mas?"

"Ehm." Singkat padat dan jelas.

Eh?

"Ehm doang?" Aku bertanya memastikan. Plis, deh, Mas. Aku udah excited buat menyimak, ngarep banget bakal dijelasin panjang lebar. Hitung-hitung tuntasin kajian barusan.

"Harusnya apa?" Dia malah balik nanya dengan polosnya.

Wajahku merengut. Lantas melepaskan gandengan. Berjalan mendahului. Ih, nyebelin!

"Lho, Yang." Mas Rega kaget. Bergegas menyusul. "Hei, kenapa?"

Melengos, aku menarik tangan yang mau dia pegang. Lewat ekor mata, aku melihat alisnya menyudut.

"Aku ada salah?" tanyanya, bingung.

Aku berdecak kesal perihal dia yang enggak nyadar. "Mas jawabnya singkat banget. Kesannya jutek. Aku tuh maunya Mas jelasin panjang lebar."

Alisnya makin menyudut. Lalu ber-oh pelan, agaknya paham. Bibirnya tertarik samar. Enggak sedikitpun kesal. Dia kembali menggenggam tanganku. Memilih ngalah ketimbang menyanggah. "Mas enggak tahu. Maaf, ya?" bujuknya. Dan itu bikin aku ngerasa bersalah seketika.

Kekanakan banget enggak si aku? Lebay.

Aku mengembuskan napas.

"Maksud aku, apa berarti bakti di sini itu bakti yang membodohi?" kataku, menjelaskan. Membuang ego perempuanku yang maunya bisa langsung dimengerti. "Soalnya banyak banget laki-laki yang suka bertindak seenaknya pakai kedok agama. Dikit-dikit dosa. Dikit-dikit bawa neraka. Bahkan kadang pakai dalil yang seolah-olah memojokkan perempuan. Katanya, penghuni neraka itu lebih banyak perempuan. Dan alasannya karena enggak berbakti sama suami."

Mas Rega mengangguk.

"Melakukan perintah Allah, hitungannya bukan pakai hitungan dunia. Saat seorang istri tetap taat ke suaminya meski dizalimi, sejatinya dia lagi menaati perintah Allah. Ini bukan pembodohan. Tapi berakad pada Allah. Istilahnya ikhlas. Enggak peduli balasan dari manusia. Toh, suami yang dzalim pasti akan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Tapi bukan berarti islam membenarkan tindakan suami yang begitu. Di samping dalil yang isinya perintah bagi para istri buat berbakti ke suami, banyak juga dalil yang isinya perintah bagi suami agar memuliakan istri. Kajian soal ini, itu sepaket. Enggak boleh dipisah-pisah ngambilnya. Lagipula, untuk membentuk istri yang konitatun dan hafidhotun fil ghoib itu dibutuhkan suami yang qowwam. Bisa memberi nafkah, baik secara batin dan materi, juga membimbing istri. Dan ini hukumnya wajib, sama kayak hukum taat-nya istri ke suami. Itulah kenapa ada seperangkat alat salat sebagai salah satu mahar. Sayangnya, kebanyakan laki-laki cuma fokus memenuhi yang duniawi. Istri enggak menutup aurat, dimaklumi. Istri enggak salat, dibiarin. Nyari uang saja kerjanya. Termakan stereotip kalau perempuan itu matre. Jadi ya wajar kalau punya istri yang enggak bisa taat ke suami."

"Menurut Mas perempuan itu matre enggak?" Aku beneran penasaran. Soalnya, hampir semua laki-laki yang aku temui menganggap perempuan itu matre. Katanya, kalau ada uang Abang disayang. Kalau enggak ada uang, Abang dibuang.

"Enggak. Materialistis itu kecenderungan semua orang. Baik laki-laki atau perempuan. Kecenderungan yang semakin menguat di saat seseorang enggak punya hati dan pikiran yang nyaman. Alhasil mencari kebahagiaannya lewat uang."

Aku menyimak.

"Kamu tahu, Yang. Hal yang sebenarnya dibutuhkan seorang perempuan itu bukan materil, melainkan dukungan secara mental. Sebab, sepintar apa pun perempuan. Sekeras apa pun wataknya. Dia tetap bisa hancur di tangan laki-laki. Jadi kalau ada istri yang lebih mencintai uang daripada suaminya, bisa dipastikan ada yang salah dari cara si suami memperlakukan dia."

"A, iya ya, Mas." Aku manggut-manggut. Setuju banget sama yang satu ini. "Misal disuruh milih antara Mas yang masih punya saham di perusahaan tapi sibuk, sama Mas yang sekarang, aku bakal lebih milih yang sekarang. Karena nyatanya, punya suami yang selalu gandeng tangan itu jauh lebih membahagiakan ketimbang punya tas branded sebagai tentengan," kataku, sungguh-sungguh.

Tapi, Mas Rega malah senyum-senyum sendiri.

"Mas, ih. Kok mesem." Aku memprotes. "Ini serius, lho."

"Pagi ini kamu lagi cantik banget," katanya, enggak nyambung.

Aku memutar bola mata malas. "Gembel."

Tawanya berderai. Gandengannya berubah jadi rengkuhan. "Mau sarapan bubur ayam enggak?" tawarnya kemudian.

***

Aku meringkuk di pangkuan Mas Rega sambil meringis dan merintih memegangi perut. Enggak lama memilih kembali duduk.

"Ah, mules banget," keluhku, enggak tahan. Asli. Selain nyeri, rasanya juga kayak diremas-remas kuat dari dalam.

"Ke dokter sekarang, ya?" bujuk Mas Rega, menatapku cemas.

Alih-alih merespon, aku malah meringkuk lagi ke kasur. Telapak kaki terasa dingin. Keringan udah membanjiri wajah dan leher. "Aw. Shhhh." Desisku, menggigit bibir bawah. Tangan otomatis meremas seprai.

Duh, Gusti. Obat padahal udah aku minum sejak tadi. Tapi kok enggak hilang-hilang si. Apa aku kualat ya karena enggak nurut kata suami, diam-diam masukin sambal ke bubur ayam pas sarapan, makanya perut jadi enggak karu-karuan gini?

Lalu entah bagaimana ceritanya, begitu kesadaran yang sempat mengawang mulai terkumpul, aku mendapati diriku udah duduk di pangkuan Mas Rega dan merebahkan kepala di pundaknya. Sedangkan Mas Rega-nya bersandar di kepala ranjang sambil memejam. Dia merengkuh punggung dan mengusap-usap perutku selagi melantunkan surah Ar-Rahman dengan suara pelan.

"Mas," panggilku, serak.

Rengkuhannya merenggang. Mas Rega membuka mata, sedikit menunduk. Tersenyum lembut. "Ehm. Kenapa?"

Tenagaku sebenarnya udah terkuras. Cuma biar Mas Rega bisa tenang, aku harus bikin dia yakin kalau aku udah baikan. "Aku mau kentut."

"Silakan."

"Bau bangkai."

"Aku enggak pernah bilang kentut kamu wangi."

Percayalah. Aku sering sengaja random gini.

"Enggak jadi, deng." Aku berlagak seolah beneran mengurungkan niat. Menegakan badan. "Mau baringan aja."

Sigap, Mas Rega menata bantal. Setelahnya ikut menempatkan diri, berhadapan denganku yang mengambil posisi nyaman miring ke kiri.

"Mar." Mas Rega menatapku serius.

Aku membalasnya pakai tatapan sayu. "Ehm?"

"Selama aku tinggal, kamu pernah kayak tadi?"

Kepalaku menggeleng, jujur. "Enggak. Biasanya kayak yang Mas lihat sebelumnya. Itupun seringnya karena si kembar terlalu aktif."

Mengerti. Mas Rega mengangguk. "Ya sudah. Tidur lagi, gih. Masih jam 3."

Menurut, aku menarik selimut sampai pinggang. Pagi harinya Mas Rega ngelarang aku ngelakuin apa-apa. Katanya urusan masak, nyuci dan segala tetek bengeknya bakal diberesin dia.

"Kalau udah nikah, surga perempuan itu ada di suaminya, Un. Makanya harus pinter-pinter milih calon. Biar surga-nya enggak cuma di akhirat aja. Tapi di dunia juga. Kek yang gue alami," kataku, agak menyombongkan diri.

Di seberang panggilan video, Uni mencibir, iri perihal aku yang masih malas-malasan di kasur jam segini.

"Itu kontraksi palsu, Mar," terang Gina, menanggapi ceritaku sebelumnya. Dia enggak fokus ke hp yang dipegang, sibuk jemur pakaian.

"Delapan bulan belum genap masa udah ngalamin kontraksi palsu, Gin." Aku sangsi. "Setau gue kontraksi palsu itu muncul di minggu-minggu terakhir, deh."

"Kan keadaan orang beda-beda." Tatapan Gina beralih ke layar. "Gue dulu juga pernah gitu, kok. Aman. Jangan terlalu khawatir."

"Yang palsu rasanya sama kayak kontraksi asli enggak, Gin?" tanya Uni. Videonya lumayan goyang-goyang karena memang dasarnya lagi joging.

"Dibilang sama, ya enggak. Dibilang enggak, ya sama," sahut Gina, beranjak dari tempat jemuran dan masuk ke dalam rumah.

"Maksudnya?" Uni mendudukkan diri di kursi taman. Entah di mana.

Sementara, aku merubah posisi tidur miring ke kanan. Suara blender dari dapur yang kebetulan ada di samping kamar menyelusup di antara jeda. Mas Rega bikin jus, kah?

"Pembukaan kan ada sepuluh. Dan masing-masing punya level sakit yang beda. Menurut gue, bukaan satu sampai tiga itu nilainya 4 dari 10. Bukaan empat sampai tujuh itu 9 dari 10. Terus pas masuk ke bukaan delapan, sembilan, sepuluh, itu 1000 per 10."

"Berarti sakit banget, dong?" Uni menyela.

Gina berdecap lidah. "Enggak bisa didefinisikan, Un. Bahkan sampai kuku-kuku jari ikutan sakit. Belum lagi punggung yang rasanya kayak dikuliti. Panas dan perih."

"Ngeri, ih." Uni bergidik. "Mending operasi caesar aja enggak si kalau gitu. Enggak sakit."

Hatiku berdenyut ngilu mendengar kalimat Uni. Secara otomatis ucapan orang-orang di luar sana terngiang.

Ibu jalur obat bius. Bah, cil banget itu mah.

Aku menelan ludah. Tercekat di tenggorokan.

"Ehm, Gaes," kataku, memotong percakapan Uni dan Gina. Enggak nyaman. "Gue tutup dulu, ya. Tiba-tiba kebelet.

Uni memprotes. "Ya, Mar ...."

Tanpa menunggu kelanjutan, aku memutus panggilan. Lantas menyemburkan napas berat.

Tepat setelahnya, hp bergetar panjang. Tanda ada panggilan. Begitu melihat nama Mama mertua terpampang di layar, aku buru-buru mendudukkan badan.

"Assalamualaikum, Ma," sapaku, lebih dulu.

"Waalaikum salam. Mar, Mas mu sehat, kan? Dari semalam Mama telpon enggak bisa terus."

"A ...." Aku melirik nakas. Kemudian bergeser, meraih hp Mas Rega yang dicas. Udah penuh. Cuma memang belum diaktifkan. "Hp Mas Rega dicas, Ma. Lupa enggak dihidupin."

"Oalah." Mama menghela lega. "Sekarang Rega bareng kamu enggak? Mama pengen ngobrol."

"Oh. Iya, Ma. Sebentar." Aku bergegas turun, menemui Mas Rega di dapur. "Mas, Mama," kataku, mengulurkan gawai.

Mas Rega meletakan pisau ke atas talenan. Mengelap tangan menggunakan serbet yang menggantung di dekat wastafel sebelum menerima ponsel. Lalu saat aku hendak mengambil alih pekerjaannya, dia menahan lenganku. Menggeleng tegas.

Enggak ada mood buat mendebat, aku langsung nurut. Malah sekalian izin balik ke kamar. Aku tidur menyamping ber-bantalan lengan. Pandangan menerawang keluar jendela, tangan satunya mengusap perut secara naluriah.

Un, andai lo tahu rasanya enggak punya pilihan selain harus SC.

Beberapa menit kemudian, Mas Rega menghampiriku ke kamar. Dia duduk di pinggir ranjang sesudah menyimpan hp-ku di nakas.

"Sarapan, yuk." Mas Rega mengelus kepalaku. "Mas bikin sup ikan sama jus alpukat buat kamu."

Aku menggeleng, belum mau noleh ke dia. "Belum laper."

"Mama ngomong sesuatu, ya?" tebaknya.

"Eh?" Kagetku. Mengalihkan pandang ke wajah Mas Rega. Menatap heran. "Kok Mama."

"Kamu keliatan murung sejak nerima telpon dari Mama. Dan biasanya kamu suka nunda-nunda makan kalau lagi ada pikiran."

"Ih, sotoy. Lagian Mas kan tahu sendiri Mama baiknya kek apa sama aku. Masa iya Mas masih bisa punya pikiran ngawur gitu."

"Persepsi terbentuk dari gabungan informasi yang tertangkap panca indra. Pun, gini-gini aku sering dijadiin tempat curhat temen-temen. Enggak jarang yang dicurhati itu soal istri yang kurang akur sama mertua."

Skakmat. Aku terpaksa harus cerita. Enggak mau Mas Rega punya persepsi yang enggak-enggak ke Mama.

"Tadi aku telponan sama Uni-Gina. Gina ngasih gambaran sakitnya lahiran normal. Terus, Uni bilang, 'mending operasi caesar aja enggak si kalau gitu. Enggak sakit'."

"Kamu tersinggung karena ngerasa kalau Uni ngeremehin kamu?"

Bibirku merapat. Mas Rega memperjelas apa yang berusaha aku sangkal.

Senyumnya terbit. Memaklumi. "Rasa tersinggung yang muncul itu bias dari hasil persepsi kamu sendiri. Kamu sering denger orang di luar sana pakai kalimat serupa buat bahan olok-olokan. Secara otomatis kamu pun jadi menyamakannya di kasus Uni. Padahal, kamu tahu kalau dia itu suka asal ceplos. Lagian, memangnya kamu itu termasuk orang-orang bodoh di luaran sana? Orang yang suka mengkotak-kotakan dan melabeli orang lain seenaknya? Ibaratnya kan kayak sapi dan ayam. Satunya melahirkan. Satunya bertelur. Tapi keduanya tetap disebut induk. Kecuali bagi orang-orang yang tadi aku bilang."

Aku mengerjap. Lumayan tersengat mendengar ucapannya yang cukup frontal. Oh, Mas Rega udah pernah ngomong gini. Cuma waktu itu egoku terlalu dominan, menolak mendengarkan. Sekarang, aku tertampar. Sadar kalau ternyata selama ini aku haus akan pengakuan.

Ya Allah, mendadak aku merasa malu. Suami, orang tua dan mertua udah nerima aku apa adanya. Eh, akunya malah enggak bersyukur.

"Bye the way." Mas Rega menyelipkan anak rambut ke telingaku. "Kita enggak jadi seminggu di sini. Besok Mas mau kita pulang, ketemu dokter Fatma."

***

Keputusan Mas Rega udah final. Kita beneran pulang. Dan beneran ketemu dokter Fatma.

Sama kayak sebelum-sebelumya, Mas Rega enggak malu tanya-tanya. Dibanding aku, di sini malah suamiku yang pengen banyak tahu.

Kata dokter Fatma, apa yang aku alami itu bukan jenis kontraksi palsu. Melainkan salah satu dari gejala preeklamsia. Tapi, aku enggak harus sampai rawat inap. Cuma diberi dosis obat yang baru dan diminta banyak minum air putih. Sayangnya, Mas Rega enggak setuju. Kukuh menyarankan biar aku melakukan pemeriksaan lebih lanjut buat memastikan.

Alhasil, aku pun tertahan di rumah sakit selama 24 jam. Qadarullah. Malam sebelum aku pulang, suamiku tumbang karena kecapean. Maag-nya juga sempat kambuh. Jadi, yah, mau enggak mau, betah enggak betah, aku harus tetap di RS biar Mas Rega bisa dirawat sekalian.

"Jodoh. Sakit aja barengan." Begitu komentar Mbak Rahma pas kemarin datang jenguk kita. Dia juga bilang kalau dia penasaran sama wajah keponakannya. Apa bakal lebih mirip aku atau Mas Rega. Lalu membahas hal mitos segala. Katanya, "kalau anak lebih mirip sama Ibunya, itu artinya si suami cinta banget sama istrinya. Pun sebaliknya."

Sekarang udah lima hari sejak aku dan Mas Rega di sini. Kalau kemarin-kemarin Ibu sama Mama gantian nemenin, malam ini kita dibiarin buat quality time.

"Yang," panggil Mas Rega, menahan salah satu tanganku di pipinya. Kasur tidur di ruang rawat yang enggak seberapa lebar sedang kita tempati berdua, miring saling bertatap muka.

"Hem?"

"Besok malam kamu sudah mulai puasa."

"He'em. Makanya aku mau banyak makan dulu," jawabku, enggak serius.

Jempol Mas Rega mengusap punggung tanganku yang masih ditahan di pipinya. "Bismillah, ya."

Tersenyum, aku mengangguk mantap meski sebenarnya agak gentar. Benar. Lusa, lebih tepatnya sekitar jam 7 pagi, adalah jadwalku menjalani operasi.

Mas Rega bergeser maju, mendekap kepalaku di dadanya. Dielus lembut. Nyaman. Enggak urung, aku pun terlelap di beberapa menit kemudian. Terbangun di jam 03.00 dini hari tanpa sebab, dan memergoki Mas Rega sedang bersujud di atas sajadah yang dihampar di depan ranjang.

Aku diam. Menunggu. Lalu isak tertahan Mas Rega terdengar di tengah hening ruangan.

Tbc ....

A/n
Aku belum nikah, apalagi punya anak. Belum tahu juga rasanya hamil cem mana. So, ya, apa yang aku tulis di sini, itu hasil cerita temen dan riset tipis-tipis di google.

Masalah operasi SC, di daerahku, masih ada segelintir orang yang suka memandangnya dengan tatapan remeh. Kek ... manja lah. Enggak sempurna jadi ibu lah. Dan lah lah lainnya. Hem. (Emotikon miris) Alhasil banyak perempuan, khususnya mahmud, ngerasain kayak yang Marwah rasain.

Btw, aku lagi bingung bikin nama buat si kembar. Pengen yang simple tapi enggak pasaran dan berkesan. Ada yang punya saran? Barangkali selera kita sesuai. 😗

Oh, ya. Rabu besok aing mau mulai kerja. Huhu. Minta doanya ya semoga semuanya dimudahkan dan dilancarkan. Aamiin. 🌼

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro