part 37
(Rega Damasatya–Sekarang)
•••
"Biar aku yang cuci," cegahku, bangkit dari kursi, mendekati Marwah yang sudah berdiri di dekat wastafel.
Marwah seperti menimang-nimang. Bukan tanpa alasan. Melihat jumlah perabot kotor yang lumayan banyak, aku tahu dia segan membiarkanku yang mengerjakan.
"Enggak apa-apa." Aku meyakinkan, meletakan piring bekas sarapan ke tempat cucian. Lalu meminta piring kotor yang Marwah pegang. "Sekalian. Sini."
Kepalanya menggeleng. Dia bergeser memberiku ruang, masih sambil membawa piring kotornya di tangan. Ekspresi wajahnya yang ditekuk sejak pembicaraan semalam, dan tingkahnya yang sok jual mahal ....
"Kenapa senyum?" tanyanya, tersinggung.
Aku terkesiap. Benar-benar tidak sadar sedang tersenyum. Lantas berdeham. "Enggak," sahutku, berusaha agar terkesan biasa saja.
Marwah memicing curiga. Dia mengeluarkan gawai dari saku gamis, bercermin di sana.
"Masih cantik, Yang." Aku buru-buru meluruskan persepsinya. Riasan yang Marwah aplikasikan ke wajah memang belum berubah meski sudah berkutat dengan bumbu dapur.
Marwah tidak mau mendengar. Justru mulai sibuk menghapus lipstik menggunakan lengan bajunya. Padahal, warna yang dipilihnya sekarang adalah warna favoritku.
Sayang sekali.
Menghela napas pasrah, aku maju satu langkah dan menghentikan tangannya. Dia mendongak. Tak keberatan saat aku mengambil alih piring dan mengusap lembut bibirnya setelah menyimpan benda berbahan beling itu ke meja.
"Salah enggak misal aku kepikiran cara lain buat ngilangin lipstik ini?"
Alisnya bertaut samar. Kemudian terperanjat. Terlepas dari hasil sapuan make up, pipinya bersemu merah jambu. Namun bukan Marwah namanya kalau mau terang-terangan tersipu. Lihat, sekarang dia mendengkus kecil sambil melengos.
"Ngeres," cibirnya.
"Aku atau kamu nih yang ngeres?" Aku menggodanya dengan santai.
Marwah menghadap lagi padaku. Tidak terima. "Kamu!"
Aku menaikan alis. "Yang aku maksud pakai tisu."
"Ha ... ih!" Dia berteriak, memukul lengan atasku. Sebal sekaligus malu. Kemudian pergi. Sedikit berlari. Meski sekilas, aku sempat melihat sudut-sudut bibirnya berkedut.
Tak urung, aku pun terkekeh pelan sembari menggeleng samar. Lantas berbalik badan dan menghidupkan kran.
Beberapa menit berselang, suara salam terdengar di depan. Tanpa diminta, Marwah keluar kamar dan beranjak membukakan. Tak lama, dia menghampiriku yang tengah membilas hasil cucian.
"Mas," panggilnya, gengsi.
Aku menoleh. "Ehm?"
"Ada Ahmad. Dia bawa perwakilan Mahasiswa yang katanya mau praktik lapangan ke kebun."
"Perwakilan Mahasiswanya berapa orang?"
"Dua. Cowok cewek."
Mengangguk, aku merampungkan bilasan. Sengaja tidak mengeringkan tangan.
"Ayo," ajakku.
Perhatian Marwah tertuju ke sisa-sisa air yang menetes di ujung jariku.
"Mas, ih! Becek itu." Protesnya.
Ketika dia akan beranjak mengambil lap, aku buru-buru menghentikan. "Nanti aku yang pel. Janji."
"Mas ...."
"Mending kita keluar dulu sekarang." Aku menyela. "Enggak enak ditunggu tamu."
Berdecak sebal, Marwah tak membantah. Berjalan di belakangku.
Di ruang tamu, Ahmad dan dua Mahasiswa itu sedang duduk di sofa. Mereka berdiri begitu melihatku.
"Mas," sapa Ahmad.
Mahasiswa laki-laki mengulurkan tangan, mengenalkan nama. "Riko. Saya yang waktu itu menghubungi Pak Rega."
Aku tersenyum. Menerima jabatan. Sesudahnya, berpura-pura tersadar. "Ah, maaf-maaf. Tangan saya masih bersabun."
Lawan bicaraku langsung menyangkal, tidak enak perihal aku yang meminta maaf karena masalah barusan. Lalu saat yang perempuan ikut mengulurkan tangan, aku bisa terang-terangan menolak tanpa membuatnya merasa dipermalukan.
Benar. Ada hati yang sedang aku jaga. Perempuan berjilbab instan yang berdiri di sebelahku ini lebih tepatnya. Istriku.
"Silakan duduk," kataku.
Ketiganya duduk ke tempat semula.
"Aku buatin minum dulu, ya." Tawar Marwah, ramah.
"Enggak usah repot-repot, Mbak." Tolak Ahmad, santun. "Kita enggak lama kok. Harus buru-buru ke kebun soalnya. Sudah pada nunggu di sana."
"Oh, gitu ya. Oke." Marwah tak memaksa. Aku pun memintanya duduk di samping, satu sofa berdua.
Ahmad membuka pembicaraan. Disusul kedua Mahasiswa itu secara bergantian. Seperti yang Ahmad utarakan, obrolan ini memang hanya sebentar. Begitu selesai, ketiganya pamit pergi ke kebun lebih dulu. Sementara, aku menunggu seseorang yang akan menemani Marwah selama aku tinggal. Dia sedang malas ke mana-mana. Katanya lebih baik nonton film daripada panas-panasan.
"Kenapa si ngeliatin terus?" Tegur Marwah. Padahal matanya fokus ke layar laptop yang terbuka di pangkuan.
"Enggak." Kilahku, tetap memandanginya.
"Enggak salah maksudnya."
Aku bergeser mendekat, mengintip apa yang dia lihat.
"Katanya waktu itu pengen bikin status. Mana?" Dia menagih. Jarinya sibuk menggeser touchpad, berselancar di akun instagramku. Hanya tiga unggahan gambar di sana. Semuanya berupa kutipan buku.
Menatapnya, aku bertanya---sungguh-sungguh tidak tahu. "Status apa?"
"Selain berat, rindu juga kurang ajar. Seenaknya saja membuatku tidak betah diam, padahal baru beberapa menit istriku pamit keluar." Marwah mengulang ucapanku dulu. Persis. Dan entah kenapa, itu terdengar menggelikan.
Aku menggaruk sebelah alis menggunakan jari telunjuk. Tak habis pikir kenapa waktu itu aku sok-sokan begitu.
"Cuma pengen doang." Sindir Marwah.
Tak bisa berkelit, aku tersenyum malu. Lantas menyandarkan kepala ke sebelah pundaknya dan melipat tangan di perut.
"Yang."
"Hem."
"Sejujurnya aku males nyusul ke kebun," aduku, tidak penting.
"Tahu. Kentara banget, kok."
"Kalau gitu, kamu larang aku pergi. Ya?"
Marwah melirikku. "Mau mangkir dari tanggungjawab?"
Aku menggeleng ringan. "Bukan. Buat urusan ini, sudah ada yang menghandle. Anak-anak lulusan jurusan pertanian. Keterlibatanku sekadar formalitas."
Laptop ditutup. Diletakan ke sofa samping. Tangan Marwah kembali ke pangkuan, mengusap-usap perut tanpa sadar. Punggungnya yang bersandar nampak sangat nyaman. "Lagian kenapa bisa jadi kamu yang seolah memegang usaha si, Mas? Jelas-jelas kalau ini, itu usaha punya pesantren."
"Enggak tahu. Aku juga bingung."
"Apa mungkin karena selama ini Mas yang wira-wiri ketemu orang penting?"
"Mungkin," responku, sekadarnya.
Setelah itu obrolan terjeda. Baik aku atau Marwah, kita sama-sama diam. Menatap lurus ke depan.
"Mas," panggilnya kemudian.
"Ehm?" sahutku, masih merebahkan kepala ke pundaknya.
"Menurutku, hukum bacaan titik tiga muanaqah dalam al-qur'an itu romantis."
Aku menoleh. Marwah tetap memandang ke depan. "Romantis?" tanyaku, memastikan.
Begitu dia mengangguk, aku menegakan posisi duduk. Menghadap ke arah Marwah sepenuhnya. Tertarik.
"Titik tiga muanaqah selalu mengharuskan kita memilih. Mau berhenti di titik tiga yang pertama atau titik tiga yang ke dua. Ibaratnya kayak komitmen di sebuah hubungan." Marwah mengalihkan perhatian, membalas tatapanku. "Sebelum menikah, kita punya banyak pilihan buat tempat berlabuh. Tapi setelah diikat ijab, mau enggak mau, bisa enggak bisa, tempat berlabuh kita cuma di pasangan. Enggak peduli meski di luar sana ada orang yang bikin kita nyaman."
Tersenyum, aku membelai pucuk kepala Marwah. "Berarti kamu itu titik tiga muanaqah-ku."
"Mas enggak pengen poligami?" tanyanya, jauh di luar dugaan.
Membuatku kontan tersedak ludah saking terkejutnya.
"Kok pertanyaannya gitu, Yang?" Aku terang-terangan menunjukan keberatan.
Pembahasan soal poligami tergolong cukup berat bagiku. Aku dan Marwah hanya pernah sekali membicarakannya. Itu pun gara-gara fenomena para remaja yang baru belajar hijrah di sosial media. Mereka sangat fokus pada kisah romansa seolah-olah hidup hanya akan berpusar di sana. Mendambakan laki-laki setia, lantas membenci orang yang berpoligami, bahkan poligami itu sendiri. Berdalih kalau enggak ada laki-laki yang bisa adil selain Rasulullah, mengunakan surah An-Nisa 129 sebagai dalil. Padahal, adil yang dimaksud di surah tersebut adalah adil soal hati dan perasaan, yang mana enggak bisa dipatok atau ditakar. Dalam hal ini, Rasulullah memasrahkannya pada Allah. Terbukti dengan beliau yang selalu berdoa sebelum menemui istri-istrinya secara merata. Sedangkan, adil dalam konteks syarat utama poligami itu adil yang sifatnya materil. Harta. Sangat bisa diupayakan. Intinya, hukum berpoligami itu diperbolehkan. Dan bagi siapa yang membencinya, dia termasuk orang yang mengingkari syariat. Namun bukan berarti perempuan harus setuju untuk dipoligami.
"Poligami kan termasuk sunnah. Yang penting bisa adil."
"Tapi setia juga sunnah. 25 tahun Nabi Muhammad setia pada siti Khodijah," jelasku, kukuh. "Lagipula kamu mau dipoligami memangnya?"
Marwah merapatkan mulut. Tidak punya jawaban.
Menghela napas pelan, aku meraih tangannya. Memberinya pengertian. "Berpoligami itu bukan perkara siapa yang mau, Yang. Melainkan siapa yang mampu. Dan aku merasa kalau aku enggak mampu."
Dia diam. Mendengarkan.
"Kamu tahu," kataku, berniat bergurau. Tak ingin berprasangka. Apalagi berpikir kalau Marwah, barangkali, sedang merasa harus menyiapkan pengganti dirinya. Sedikit banyak aku sudah paham bagaimana tabiat Marwah yang suka berpikir kejauhan, cenderung melantur. Marwah pun agaknya sadar itu. Tidak heran kalau dia tidak suka saat aku selalu menanggapi serius ucapannya. "Ngadepin satu Marwah mode bad mood saja sudah bikin aku kelimpungan. Enggak kebayang kalau aku harus ngadepin dua Marwah sekaligus."
"Nyarinya jangan yang kayak aku."
"Kalau bukan kayak kamu, ya, aku enggak mau. Kamu kira dulu aku jadi bujang jamuran karena enggak laku?"
Bibirnya berkedut. Calon senyum yang ditahan. Istilah bujang jamuran pasti membuatnya geli.
"33 tahun. Butuh usia setua itu buat nemuin perempuan yang pas. Sekarang ...." Aku berdecap lidah. "Keburu tidur di tanah kalau harus nyari yang kayak kamu."
***
Lokasi kebun berada di pinggir jalan dusun, jauh dari pemukiman tapi cukup strategis dan mudah dikunjungi. Jaraknya dari rumah singgah hanya sekitar lima belas menit berjalan kaki. Kontur tanah mendatar yang dibagi menjadi petakan-petakan luas membuatnya mirip seperti lahan persawahan. Bedanya, bukan padi yang ditanam. Melainkan macam-macam sayuran.
Lalu di tengah kegiatan menjelaskan di depan beberapa Mahasiswa, aku melihat kedatangan Marwah bersama temannya, Alma.
"Sebentar, ya," kataku pada mereka, pamit mendekati ustadz Ihsan yang berada tak jauh dari tempatku sekarang. "Kang."
Dia menoleh. Matanya sedikit menyipit menghalau silau.
"Bisa tolong gantiin saya dulu?" Pintaku, mengedikan dagu ke arah Marwah. Tersenyum tidak enak. "Istri nyusul."
Sebelum menyahut, ustadz Ihsan menengok sekilas ke sana. Lantas mengangguk sambil mengacungkan jempol.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku menghampiri Marwah. Alma pun meminta izin beranjak pergi.
"Kok enggak ngabarin mau ke sini?" Aku meraih tangannya. Mengajak dia sedikit menepi. "Kan bisa aku jemput pakai motornya Ahmad tadi."
Alih-alih merespon, Marwah justru mengulurkan tangan, menyeka keringat di pelipis dan dahiku. Kemudian mengeluarkan sesuatu dari goodie bag. Sebuah topi.
"Rendahin badan." Perintahnya.
Aku menurut. Membiarkan dia yang memakaikannya. Tak ingin mengambil kesempatan untuk Marwah menambah pahala.
Benar. Jadi suami itu tidak boleh curang. Jangan suka mempersulit cara istri berbakti dengan tugas-tugas berat yang sebenarnya bukan kewajibannya. Jangan membuat istrimu dilaknat Allah karena tidak bisa memenuhi tuntutanmu yang kadang di luar kemampuan dia.
"Udah."
Badanku menegak. Topi sudah terpasang nyaman menaungi kepala.
"Mau keliling?" tawarku.
Marwah mengangguk. Aku kembali meraih tangannya. Membimbing langkah menyusuri jalan setapak yang diapit tanaman tomat.
Pandangan Marwah menjelajah keadaan. Namun bukan mengamati jenis-jenis sayuran. Melainkan para Mahasiswa yang menggerombol di beberapa bagian.
"Banyak ceweknya." Komentar Marwah.
"Iya. Cowoknya pada ke bagian ternak."
"Cantik-cantik ya anak jaman sekarang. Glowing-glowing mukanya."
Kalimat menjebak. Jika dijawab iya, dia marah. Jika sebaliknya, dia tidak akan percaya. Jadi aku memilih pura-pura tidak mendengarnya.
"Mas."
Aku menoleh. "Iya?"
"Nanam pakai metode hidroponik kan enggak makan lahan. Gimana kalau nanti kita nanam beberapa sayur di halaman samping? Kek bayam, sawi hijau, kangkung ... Yang gitu gitu. Mayan, Mas, buat kegiatan sambilanku selagi ngurus anak. Jadi enggak jenuh jenuh banget."
"Yang ...." Aku kehilangan kata-kata.
Bibir Marwah tertarik samar. Dia mengeratkan gandengan. "Kata Alma, kebodohan terbesar manusia ialah mengkhawatirkan apa yang jadi hak Allah."
Sekonyong-konyong, senyumku mengembang lebar. Ya Rabb, tak ada yang lebih melegakan dada daripada keyakinan Marwah atas kuasa-Mu untuk keberhasilan operasi minggu depan.
"Ya," jawabku, mengangguk antusias. Terlalu senang sampai tidak bisa memikirkan apa-apa.
"Berarti nanti dua bulan berturut-turut kita punya empat momen besar. Desember hari ulang tahun Mas sama si kembar. Januari-nya ada hari ulang tahun aku sama pernikahan–,"
"Mas Rega!" Seseorang dari kejauhan berseru memotong ucapan Marwah. Suara perempuan.
Tak ayal, kita berbalik guna memastikan. Mendapati dua Mahasiswi yang sedang tergopoh-gopoh ke sini.
"Maaf," ucap salah satunya. Mereka sama-sama terengah-engah. "Kita butuh tandatangan Mas Rega buat melengkapi dokumentasi."
Aku menerima papan kayu berisi selembaran yang dia ulurkan, membubuhi tandatangan.
"Kalian masih awal 20-an, kan?" tanya istriku tanpa basa-basi.
Si lawan bicaranya saling pandang, bingung. Kemudian mengangguk gamang.
Marwah tersenyum. Kentara sekali dipaksakan. Aku yang sudah selesai pun mengembalikan papan tadi pada si pemberi, bertepatan dengan Marwah yang berujar, "suami saya ini umurnya udah kepala lima. Jadi lebih enak kalau manggilnya pakai Pak, bukan Mas. Oke?"
Kedua Mahasiswi itu menautkan alis, semakin kebingungan. Sebelum menjadi tak keruan, atau umurku yang kembali dituakan, aku menggandeng tangan Marwah. Ketika dia mendongak, aku tersenyum menenangkan. Lalu mempersilakan Mahasiswi tadi melanjutkan kegiatan.
"Anak-anak jaman sekarang pada kecentilan." Gerutu Marwah. "Bisa-bisanya manggil suami orang pakai Mas."
Aku membiarkan. Ingat, cemburu itu tabiat dasar wanita. Tidak ada penghakiman atasnya. Alih-alih, aku mengajak Marwah meneruskan tujuan.
"Lagian kamu kok mau mau aja si dipanggil gitu, Mas?" Dia memprotes. "Harusnya tuh nolak."
Jawabanku hanya akan membuat dia tambah kesal. Aku mencari aman. Tetap diam dan mendengarkan. Apa pun itu.
"Mau pulang." Putus Marwah, akhirnya. Bibir mencebik. Bad mood.
Tak ingin menambah kisruh, aku langsung mengiyakan. Menggunakan motor Ahmad, kita pulang ke rumah sesudah meminta izin pada ustadz Ihsan.
"Hah, gerah." Keluh Marwah, menjatuhkan badan ke sofa. "Minum es sirup enak nih kayaknya."
Aku meletakan topi ke meja. "Mau sirup rasa apa? Aku buatin."
"Jeruk. Tapi aku enggak nyuruh lho, Mas." Dia menatapku, seolah ingin meyakinkan.
Tersenyum geli, aku mencolek hidungnya. "Iya, aku yang inisiatif sendiri."
Kemudian melipir masuk ke dalam. Untuk sejenak berkutat dengan gelas, es batu dan botol sirup yang aku letakan di meja dapur.
"Mas Rega Damasatya, jangan noleh!" seru Marwah, tiba-tiba.
Kaget. Sebagai refleks natural, aku justru berbalik badan. Terlambat mencerna keadaan. Tahu-tahu Marwah sudah menyusupkan tangan ke pinggang dan menempelkan sebelah wajah ke dadaku.
"Makasih," kata Marwah. "Makasih karena lebih milih aku."
Tbc ....
A/n
Pembahasan masalah poligami, mangga ditanyakan lagi ke ustad atau ustadzah biar lebih jelas. Dan mungkin pandangan beliau-beliau berbeda dengan aku yang awam ini. Yang pasti, poligami itu diperbolehkan. Tapi tanggungjawabnya besar. Buanget nget nget nget.
Btw, yang penasaran kenapa judul ceritanya Titik Tiga Muanaqah, tuh, udah dijawab sama Mbak Marwah. Oh, ya, part ini kepanjangan enggak? Ada 2k sekian kata. Sengaja enggak tak bagi dua biar jumlah part-nya enggak jadi kebanyakan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro