Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 36 (a)

(Marwah Syaiqila—Sekarang)

•••

Mas Rega bangkit dari kursi. Tanpa kata, dia membawa kepalaku ke pelukannya.

Seketika isak tangisku jebol di sana, air mata membasahi kaos di bagian perut Mas Rega. Perayaan ulang tahun yang sepantasnya jadi momen bahagia malah berubah drama.

Aku memang suka enggak jelas. Mood-nya naik turun. Labil. Tapi buat yang sekarang, aku benar-benar takut. Bayangan buruk itu susah banget ditepis pergi.

Gimana kalau operasinya enggak berjalan lancar?

Kalau akunya kenapa-napa, gimana nasib Mas Rega?

Terus anak-anakku, apa mereka bakal baik-baik aja?

Ya Allah, ya Rabb ....

Dan Mas Rega, aku tahu dia juga ngerasain hal serupa. Itulah kenapa dia diam-diam berencana membawaku ke Singapura sampai harus pinjam uang Kenzie segala. Tujuan kita datang ke sini pun enggak lain adalah untuk mencari semacam pegangan bernama tawakal melalui nasihat para ustadz.

Kalau boleh jujur, aku sebenernya kasihan sama Mas Rega. Dia yang ibaratnya udah babak belur karena masalah kantor harus diterjang lagi sama perkara ini. Ditambah aku yang apa-apa ngeluhnya ke dia. Padahal dari awal aku yang memilih buat sok mampu menanggungnya sendiri.

Ah, iya. Andai aku mau langsung jujur ke Mas Rega dan enggak menggampangkan preeklamsia, mungkin enggak gini endingnya. Kan?

Aku sedikit memberontak di pelukan Mas Rega. Mendadak kesal dan marah pada diri sendiri.

"Mas, aku yang salah!" Seruku. "Selama ini aku selalu bilang enggak apa-apa. Menganggap kekhawatiran kamu berlebihan ...."

"Ssttt." Mas Rega menginterupsi. Mengeratkan pelukan. Satu tangannya mengusap-usap punggung. Aku enggak berdaya. Tapi tangis semakin menggila. "Enggak ada yang salah dan enggak akan ada pilihan antara kamu atau anak-anak kita. Kamu cuma overthinking."

Ucapan Mas Rega cuma sebatas penenang. Faktanya, apa yang aku minta itu memang kemungkinan yang dokter Fatma bilang.

"Mar." Suaranya lembut banget. "Aku tahu ini enggak gampang. Tapi untuk sekarang, lebih baik kita fokus saja pada hal-hal yang positif selagi terus berikhtiar. Dokter dan rumah sakit akan aku upayakan cari yang terbaik. Doa pada Sang Khaliq, baik aku atau kamu, kita sama-sama memanjatkan di setiap sujud. Tinggal bagaimana kita berprasangka baik sama takdir-Nya. Oke?"

"Kalau takdir terbaik versi Allah enggak kayak yang kita mau gimana?" tanyaku, lirih.

Mas Rega enggak menyahut. Paham banget kalau di kondisi ini aku enggak bakal gampang dibikin legawa dengan kata-kata.

***

Mas Rega menghentikan mobil di depan kompleks pondok putra. Setelah melepas sabuk pengaman, dia keluar dan membukakan pintu. Kayak biasa, tangannya selalu sigap membantu sambil satunya melindungi di atas kepalaku.

"Kita ke ndalem dulu ketemu Ummi," kata Mas Rega, lebih tepat disebut pemberitahuan ketimbang ajakan.

"Iya, Mas."

Mas Rega menggandeng tanganku. Suhu badannya lebih hangat dari biasa. Kita melangkah ke kediaman keluarga pengasuh sekaligus pemilik pesantren sama-sama. Letaknya yang dekat dengan pondokan putra membuat pengeras suara acara haul terdengar nyaring di sini.

"Assalamualaikum." Uluk salam Mas Rega.

Dari arah dalam, mbak abdi ndalem tergopoh-gopoh keluar sembari menjawab salam. Lantas mempersilakan masuk dan duduk. Enggak lama, nampan berisi teh dihidangkan ke meja. Disusul kedatangan Ummi dengan kursi roda yang didorong salah seorang santri putra. Beliau udah kehilangan penglihatannya sejak beberapa tahun silam karena faktor usia. Enggak heran pas Mas Rega maju dan sungkem, satu tangan Ummi meraba-raba pundaknya seolah berusaha mencari tahu siapa dia.

"Awakmu, Ga?" tanya Ummi.

"Enggih, Mi. Niki Rega." Mas Rega mengonfirmasi.

Ummi tersenyum sumringah meski arah pandangannya tetap lurus ke depan. "Apik kabarmu, Nang?"

"Alhamdulillah, Mi." Kepala Mas Rega diangkat dari pangkuan Ummi, sedikit mendongak. "Ummi pripun? Terose Gus Dzikri, Ummi siweg gerah. Sampun ke dokter nopo dereng?[¹]"

Ucapan Mas Rega yang terakhir enggak bisa aku artikan. Tapi karena ada kata dokter, aku menebak ada hubungannya sama kondisi kesehatan.

Untuk sebentar, aku dilupakan. Dibiarin plonga-plongo menyimak obrolan Ummi dan Mas Rega yang entah apa. Maklum, aku cuma mudeng kalau bahasa Jawa-nya Jawa ngoko. Sedangkan yang Mas Rega pakai itu krama inggil. Kalau Ummi, pelafalan beliau memang udah enggak jelas. Ditambah kena tabrak suara hadroh dari soundsystem.

Tiba-tiba, Mas Rega tertawa kecil. Aku yang dari tadi ngeliatin dia otomatis senyum sendiri. Asli. Mas Rega yang pakai sarung, koko dan peci itu vibe-nya adem banget, persis kang Santri. Sikapnya yang jadi super duper ramah dan santun pas di sini menunjukan sisi lain seorang Rega Damasatya, si balok dikasih nyawa, yang enggak semua orang tahu.

Kata ustadzah di sebuah grup kajian yang aku ikuti, Islam enggak memaksa pemeluknya untuk merubah sifat dasar. Melainkan dikendalikan dan ditempatkan pada tempatnya. Aku rasa suamiku sadar betul hal itu. Makanya dia bisa cuek bebek akan penilaian orang luar.

Lalu, dia menoleh padaku. Memberi isyarat biar aku maju.

"Assalamualaikum, Ummi," kataku, menyalami beliau.

Ummi mengusap lembut kepalaku selagi menjawab salam. Lantas menyuruhku yang udah enggak bisa jongkok duduk di sofa samping.

"Marwah Syaiqila binti Lukman Arwan ya, Ga?" Ummi memastikan. Begitu Mas Rega mengiyakan, beliau mulai membaca doa ... Lumayan panjang, sembari memegang sebelah lengan atasku, yang aku amini dalam diam.

Setelah selesai, Mas Rega enggak langsung pamit keluar. Terdengar salam pembuka sang pembawa acara haul dari speaker. Dilanjut beberapa kali kata sambutan dan sebagainya. Hingga setengah jam berselang, acara inti pun dimulai. Membuat Mas Rega lekas meminta izin pada Ummi untuk bergabung ke sana.

Haul diadakan di halaman pondok putra. Panggung dan jajaran kursi plastik yang menyebar hampir ditempati semua pas aku tiba. Antusiasme ibu-ibu yang tinggal di sekitar pesantren memang juara. Di masjid pula, bapak-bapak bergabung bersama sebagian santri putra. Sementara sebagian lainnya memilih duduk bersila di tikar yang tersedia.

"Mas, aku di situ aja, ya," pintaku, menunjuk salah satu kursi kosong. "Di aula isinya para ustadzah sama tamu kehormatan. Rikuh aku."

"Jauhan sama aku enggak apa-apa?"

"Enggak apa-apa. Kan jauh di mata, dekat di hati." Aku mengedipkan sebelah mata, menggodanya.

"Ck." Mas Rega tersenyum geli, kepala menggeleng samar. Genggaman tangannya mengerat. "Bisa banget kalau gombal."

Kita berhenti di dekat kursi yang aku maksud. Sebelum beranjak, Mas Rega menyerahkan jaket yang sempat diambil di mobil beserta paper bag berisi botol air mineral.

"Nanti kalau dingin dipakai, ya?" Pesannya.

Aku mengangguk.

"Aku bawa hp. Kalau ada apa-apa, cepat kabari."

"Iya, Mas."

"Ya sudah. Aku ke sana dulu."

Mengiyakan, aku menempelkan punggung tangannya ke pipi. Mas Rega mengangguk kecil pada ibu-ibu di sebelah kursiku, kemudian melipir pergi sesudah bilang, "Mari, Bu."

"Udah berapa bulan, Mbak?" tanya seorang Ibu, ramah.

"Mau delapan bulan, Bu," jawabku, tersenyum.

"Oalah. Tak kira bulannya."

Masih sambil senyum, aku memaklumi anggapan ibu itu. Bukan sekali ini juga disangka gitu. Ya, wajar, si. Bayi kembar. Ukurannya jelas lebih besar dari hamil tunggal.

"Tadi suaminya, Mbak?" Ibu yang lain ikutan tanya.

"Iya, Bu."

"Dari Jakarta? Kok bisa sampai sini?"

Mulutku kebuka, siap memberi respon, saat sese-ibu di belakangku tiba-tiba nimbrung, "itu Mas-nya yang punya ladang sayur sama ternak ayam, Bu."

"Walah!" Ibu tadi menoleh. "Ladang yang di dekat sungai itu, ya?"

"Iya."

"Semuanya?"

"He'em."

Terdengar decak penuh kekaguman. Obrolan dua ibu ini pun semakin ke mana-mana. Kesalahpahaman mereka soal status kepemilikan usaha yang bisa dibilang paling maju di daerah sini bikin aku jengah. Tapi kalau diluruskan sekarang, yang ada aku malah jadi ikutan ngobrol. Ini aja aku udah kehilangan timing buat menyimak penjelasan soal kelebihan doa dengan bertawasul yang disampaikan salah satu ustaz di atas panggung.

Untungnya pas tahlil dimulai, para hadirin langsung hidmat membaca serangkaian doa. Termasuk Mas Rega. Dia kelihatan khusuk banget di depan sana.

***

Acara rampung pukul 12.00 malam. Kursi-kursi perlahan ditinggalkan. Aku yang diminta Mas Rega buat enggak beranjak dari tempat duduk sebelum dia datang, sesekali membalas teguran ibu-ibu yang sejujurnya enggak aku kenal.

Enggak lama kemudian, Mas Rega muncul bersama rombongan ustad Ihsan. Selagi mendekat, sayup-sayup obrolan mereka bisa aku dengar.

"Aku sekadar otak yang menggerakkan, Kang. Yang lebih banyak berperan kan njenengan [²]. Ahmad dan lainnya. Kurang pas kalau semisal tadi aku yang naik ke atas panggung memberi sambutan mewakili para pemuda," kata Mas Rega, kentara banget berusaha berkelit.

Oh. Pantas pas ke ndalem dia sengaja lama-lama. Mau menghindar rupanya.

"Iya wes iya." Ustad Ihsan menepuk-nepuk pundak Mas Rega, agaknya pasrah. Lantas pamit memisahkan diri. Diikuti Mas Rega yang juga pamit sebelum menghampiriku di sini.

"Ayo," ajak Mas Rega, meraih paper bag di pangkuanku. Wajahnya kentara capek dan ngantuk.

Aku bangkit sambil berpegangan Mas Rega. Dia yang paham gegas membantuku.

"Pegel, ya?"

"Kesemutan. Cuma enggak apa-apa kok."

Mengangguk, Mas Rega mengapit lenganku dan membimbing langkah menuju jalur keluar.

"Hati-hati." Dia memperingatkan saat aku hampir oleng karena enggak sengaja menginjak batu. "Atau mau duduk lagi dulu?" Tatapannya kentara banget prihatin.

"Enggak usah. Beneran oke kok." Aku menenangkan.

Mas Rega menunduk, memperhatikan cara jalanku yang sedikit pincang. Sementara, aku mengamati wajahnya diam-diam. Baik dinilai dari segi mana pun, dia tetap luar biasa.

"Mas," panggilku.

Dia mengangkat wajah.

"Tadi namaku disebut pas doa bersama."

Tersenyum lembut, dia menyahut. "Kita enggak pernah tahu doa siapa yang diijabah lebih dulu."

Mendengar itu, dadaku kontan bergelenyar terenyuh. Di dalam sini seolah ada yang runtuh. Bercerai berai enggak berbentuk.

Setelah ini tangan siapa lagi yang mau kamu pinjam, Mas?

Tenggorokanku tercekat. Hawa panas merebak di mata.

Oh, ya Allah. Kau yang paling tahu sebesar apa suami hamba mencintai hamba. Hamba mohon, ya Rabb, izinkan hamba menemani dia sampai tua. Ada banyak bakti yang ingin hamba lakukan. Ada banyak cinta yang harus dibalas.

Tbc ....

[¹] Ummi gimana? Kata Gus Dzikri, Ummi sedang sakit. Sudah ke dokter atau belum?

[²] Kamu atau Anda dalam bahasa krama inggil.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro