part 34
(Rega Damasatya–Sekarang)
•••
"Slogan 'kalau yang lain bisa kenapa aku enggak?' itu cuma berlaku untuk usahanya. Bukan hasilnya. Misal, kalau si A bisa belajar sekian jam dalam sehari, kenapa aku enggak? Kalau si B bisa gigih dan pantang menyerah dalam berbisnis, kenapa aku enggak? Bukan kayak, kalau si A bisa peringkat satu, kenapa aku enggak? Kalau si B bisa kaya, kenapa aku enggak? Sebab, perkara hasil itu ada di luar kendali kita. Sedangkan usaha adalah apa yang bisa kita kendalikan. Toh, nasib masing-masing orang enggak sama. Jadi fokus dan nikmati saja prosesnya," kataku, masih sambil mengoperasikan setir. "Kamu juga pernah denger kan kalimat ini 'Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali jika mereka berusaha mengubahnya'? Coba ditelaah baik-baik. Bukannya makna dari kalimat barusan itu jelas kalau Allah lah yang punya kuasa untuk mengubah keadaan, dan usaha diserahkan pada kita?" Aku melirik Marwah. Mendapati dia sedang melipat bibir ke dalam ... Senyumku tersungging samar. Air wajah seriusnya tak pernah gagal membuatku candu. "Paham?" tanyaku, lembut.
"Paham," sahutnya. "Cuma, masih ada yang ganjal."
"Apa?"
"Gimana kabar perempuan itu sekarang?"
Lha, kok ... Aku menghela napas kecil. Ternyata belum selesai juga cemburu berkedok penasarannya.
Berawal dari memintaku menyimaknya muroja'ah selagi menempuh perjalanan ke pesantren, Marwah lantas bertanya adakah perempuan yang dulu aku sukai saat remaja. Lalu dengan jujur aku menjawab, "enggak ada.
Marwah tidak percaya, terus mencecar pengakuan. Hingga dia pun memilih mengganti pertanyaan. "Yang kamu kagumi, deh."
"Ada. Salah satu santri wati di pondok."
"Tuh, kan, ada," tuduhnya.
"Suka dan kagum itu beda. Ibaratnya, suka itu dibeli. Kagum itu diamati." Aku berkelit.
"Iya in aja," balasnya, tak peduli. "Jadi apa yang bikin kamu kagum ke dia?"
"Prestasinya. Dia menjadi penghafal tercepat waktu itu. Kalau enggak salah 15 juz dalam waktu 4 bulan. Padahal pas masuk pondok belum punya hafalan."
"Ih, kok MasyaAllah banget," komentar Marwah, dan aku belum curiga apa-apa. Barulah saat dia mulai membanding-bandingkan diri, aku segera mengalihkan topik pembicaraan. Sayangnya, seperti biasa, untuk hal semacam ini, Marwah suka bebal. Bahkan sesudah aku berusaha memberi pengertian.
"Dia sudah meninggal."
"Innalilahi." Marwah nampak terkejut. Kemudian berkata tidak enak, "Maaf, Mas."
"Enggak apa-apa," responku, santai.
"Eng .... Dia meninggal kenapa?"
"Karena sakit, dua hari setelah menuntaskan hafalan 30 juz." Tanganku membelokkan setir ke kanan, beralih ke bagian tengah jalan. Kondisi lalu lintas malam kali ini cukup padat dan lancar. Lampu merah bagian belakang kendaraan yang menyemut membentuk semacam kerlip di sepanjang jalan, berbanding terbalik dengan penampakkan jalur untuk arah berlawanan yang cenderung lengang. "Penyakitnya aku enggak tahu pasti. Kata orangtuanya, beberapa jam sebelum meninggal, dia mengeluh sakit perut."
Ekspresi Marwah berubah. Meski penerangan di dalam mobil hanya remang-remang, aku tahu betul jika apa yang tergambar di wajahnya adalah rasa iri, bukan sedih.
"Beruntung banget ya dia," katanya. "Meninggal karena sakit perut aja udah terhitung syahid. Ini malah seorang hafidzah. Mana masih fresh lagi. Belum terkontaminasi sama ria dan malas. Istiqomah buat menjaga hafalan kan enggak gampang. Dan Allah udah jemput duluan, seolah enggak mau amalannya rusak kalau kelamaan di dunia."
Sudut-sudut bibirku tertarik. Ada semacam kebanggan tersendiri mengetahui dia berpikir demikian.
"Iya, dia beruntung. Tapi Allah enggak pernah tanya hasil 5+5 itu berapa. Melainkan 10 itu hasil dari berapa ditambah berapa," ungkapku, berusaha membesarkan hatinya, mengutip ucapan salah seorang public figure tersohor ibu kota.
"Aku bukan ahli ibadah atau ahli kitab. Bukan juga orang sabar dan ikhlas." Tatapan Marwah lurus ke depan, menerawang. "Anak yang soleh dan salehah, belum tentu aku punya. Jadi anak yang berbakti ke orang tua pun enggak. Kira-kira buat bisa masuk surga, aku kudu lewat jalur apa ya, Mas?"
Aku ingin menyangkal soal anggapan dia yang tidak berbakti pada orang tua. Namun aku tahu Marwah tidak akan mendengarkannya. Jadi aku memilih memberinya tanggapan.
"Jalur berbakti sama suami."
Marwah mengalihkan perhatian.
"Kamu tahu, Yang? Allah ngasih 7 pilihan pintu surga lho untuk istri yang berbakti sama suaminya."
Menghela napas, bahu Marwah merosot lesu. "Aku enggak yakin aku ini termasuk istri yang berbakti, Mas. Aku sering melanggar larangan kamu. Sering enggak nurut. Sering ngomel. Sering nguras kesabaran kamu."
Aku tersenyum lagi. "Yang, berbakti itu bukan berarti kamu enggak pernah buat salah, enggak pernah bikin aku marah atau enggak pernah ngomel. Berbakti adalah konitatun dan hafidhotun fil ghoib. Kamu sudah memenuhi syarat itu."
"Masa si?" Dia bertanya sangsi.
Kepalaku mengangguk mantap. Kendati harus fokus ke depan, aku menyempatkan diri untuk menoleh sebentar. "Konitatun, atau sebut saja dengan istilah partner yang baik, itu meliputi, salah satunya, mau menerima berapa pun nafkah yang mampu diberikan suami dengan ikhlas. Dan kamu, istriku. Sejak menikah, kapan si nuntut ini itu sama aku? Hampir enggak pernah."
"Tapi pas kamu mundur dari kantor, aku marah sama kamu. Malah terang-terangan bilang enggak mau hidup susah."
"Iya, kamu memang sempat bereaksi begitu. Wajar. Cuma kan buktinya kamu menerima keadaanku, bahkan berperan paling depan dalam memberikan support, sampai rela mengorbankan jatah waktu yang harusnya aku berikan ke kamu. Lalu hafidhotun fil ghoib, menjaga diri agar enggak menimbulkan fitnah, wajah polos kamu sekarang itu buktinya. Aku pernah minta kamu buat enggak dandan pas keluar rumah, dan kamu nurut. Malah jadi betah di rumah gara-gara aku. Padahal kamu tipe orang yang enggak suka diam tanpa kegiatan."
"Gampang banget dong berarti?"
"Gampang, tapi enggak semua perempuan bisa. Apalagi di zaman sekarang, zaman di mana banyak banget perempuan yang berpegang teguh pada prinsip feminisme, mengesampingkan hukum-hukum agama. Masalah nafkah, katanya bisa nyari sendiri. Dilarang main keluar, katanya dikekang."
Cara Marwah memandangku kentara sekali jika dia belum yakin. Selama ini Marwah selalu menganggap aku luar biasa dan dia bukan apa-apa hingga yang aku jelaskan tadi mungkin terkesan hanya akal-akalanku untuk memujinya
"Nanti wes kita tanya ke ustaz di pesantren, sekalian tanya nama kitab yang memuat bab itu apa."
Alisnya bertaut. "Bukannya Mas tahu?"
"Tahu."
"Terus?"
"Lupa."
Dia berdecap lidah. "Perasaan Mas enggak setua itu deh."
Aku terkekeh. "Pikun maksudnya?"
"Ya ... aneh kalau sampai lupa nama kitab tapi isinya ingat di luar kepala."
"Aku dulu enggak ngaji langsung kitabnya, Yang." Aku menarik rem tangan. Mobil berhenti karena kemacetan. "Sebatas menyimak pas kuliah subuh. Kan kamu tahu kalau aku ngambilnya program tahfiz."
"Program tahfiz enggak ngaji kitab?"
"Ngaji. Cuma ngajinya kitab yang sifatnya fardu ain." Meraih botol minuman di cekungan pintu, aku menawarkan. "Mau minum?"
Marwah menggeleng.
Aku meneguk dua kali. Lantas melanjutkan sambil menutup botol, "kecuali pas ramadhan. Itu biasanya ngaji kitab kuning."
"Hemmmm." Dia manggut-manggut. "Selama nyantren kegiatan kamu padat banget. Ya ngafalin qur'an. Ya ngaji kitab. Ya sekolah formal. Dan luar biasanya, kamu bisa unggul semua."
"Berlebihan kalau disebut unggul, Yang." Bantahku. Perlahan menjalankan mobil.
Marwah tak mengindahkan. Alih-alih mengajukan soalan lain. "Itu kamu gimana bagi waktunya, coba? Rasa-rasanya kayak enggak sempet buat tidur, deh. Aku yang di rumah, yang kegiatannya gitu-gitu doang, buat ngapalin satu muka al-qur'an per hari aja enggak bisa."
"Kedengarannya saja hectic banget. Aslinya ya masih sempet main juga aku."
"Kok bisa, ya? Apa karena waktunya yang berkah?" Monolognya, pelan. Kemudian memanggilku. "Mas."
"Hem?"
"Dulu kamu bikin target hapalan enggak? Minimalnya kan 5 juz sebelum lulus. Dan kamu malah dapat 11."
"Enggak. Soalnya kalau bikin target, aku suka jadi stres."
"Mengalir apa adanya?"
"Iya, tapi tetap memprioritaskan. Maksudnya, daripada mematok harus berapa banyak, aku memilih fokus pada seberapa sering aku bisa menghafal dalam sehari."
"Gitu juga buat urusan akademik, Mas?"
Aku mengangguk. Serupa anak kecil, Marwah memang selalu antusias mendengar ceritaku di pesantren.
"Dalam artian kamu enggak membebankan diri dengan hasil, melainkan usaha?"
"Ehm."
"Gitu, ya?" Marwah bergumam. Lantas terdiam. Agaknya memikirkan sesuatu. Sekian menit berselang, dia berujar, "kayaknya ada yang harus diubah dari mindset-ku deh, Mas."
"Apa?"
"Menghafal al-qur'an itu bukan sampai 30 juz. Tapi sampai umur habis. Jumlah sekadar angka. Yang terpenting adalah bagaimana lisan dan hati kita meresapi setiap ayat yang dibaca. Enggak perlu terburu-buru. Dan enggak peduli selambat apa progresnya, aku cuma harus terus lanjut."
Aku tersenyum haru. Aku tidak pernah memintanya ikut menghafal. Bahkan sudah menjelaskan bahwa menghafal al-qur'an itu wajib bagi laki-laki, sunah bagi perempuan. Namun jika sudah kadung memiliki hafalan, menjaganya adalah sebuah kewajiban. Dan Marwah tetap pada pendirian.
"Anyway." Marwah berdeham. Sadar kalau ucapan barusan terdengar dalam---dia lebih suka terkesan berguyon. "Enggak mau gantian nih nyetirnya? Udah tiga jam lebih, lho. Nanti encok."
Pura-pura mencebik, aku berkata, "Gara-gara sudah jarang ke gym, kamu menganggapku jompo, ya?"
Dia tergelak. Meninju main-main lengan atasku. "Gemukin badan makanya."
"Kalau aku gemuk, nanti pas jalan sama kamu disangka Om-nya. Kamu tahu, dulu aku pernah dibilang terlalu tua bersanding sama kamu."
"Sama siapa?" Marwah memandangku geli.
"Mantan kamu."
"Baper enggak?"
"Enggak. Cuma ... apa ya, setiap kali ngaca jadi suka tanya, apa iya aku tua?"
Dia kembali tergelak. "Baper itu namanya."
"Tapi aku berhenti ke gym bukan karena dia." Sambungku, cepat. Tidak rela rasanya dikira baper oleh komentar laki-laki itu.
"Terus?"
"Kamu."
"Perasaan aku enggak pernah larang kamu ke gym, deh."
"Ingat enggak dulu kamu pernah enggak bolehin aku keluar, bahkan ke kantor karena otot-ototku mengecap di balik kemeja?"
Dahinya mengerut. Berusaha menggali memori yang tersimpan di kepala. Kemudian ber-oh panjang.
"Iya iya! Aku ingat." Akunya, terkekeh. "Ih, waktu itu aku nyebelin banget enggak, si, Mas? Manjanya enggak ketulungan. Enggak mau ditinggal. Suka ngidam aneh-aneh. Kalau enggak kesampaian auto ngambek. Tapi kalau boleh jujur, itu adalah salah satu pengalaman paling membahagiakan yang pernah aku alami." Marwah mengusap-usap perut. Sorot mata dan garis bibir nampak sendu. "Enggak kerasa udah dua tahun."
Tanpa suara, aku meraih jemarinya. Tidak peduli sebanyak apa seorang perempuan memiliki anak, cinta dan kasih sayangnya akan tetap sama rata. Begitu juga dengan Marwah. Anak pertama kita akan selalu punya tempat di hatinya.
"Ah, udah ah. Ngantuk," imbuhnya, mengalihkan pembicaraan.
Aku melepas genggaman. "Iya, sudah malam. Tidur, gih."
Marwah merendahkan sandaran kursi. Memposisikan tidur menyamping menghadapku, memejamkan mata.
Beberapa menit berselang, dia kembali bersuara. "Mas."
"Ehm?"
"Aku tak pernah meminta."
Aku meliriknya. "Minta apa, Yang?"
"Sosok pendamping sempurna."
Alisku bertaut.
"Cukup dia yang selalu sabar menemani segala kekuranganku."
Kalimatnya seperti tidak asing. Tapi aku lupa di mana pernah mendengarnya.
"Namun, Tuhan menghadirkan kamu, lelaki terhebat. Kuat. Tak pernah mengeluh. Bahagiaku selalu bersamamu."
Oh, ya ya, aku paham.
"Andai, ada keajaiban. Ingin ku lukiskan namamu di atas bintang-bintang," balasku, mengira Marwah ingin bermain sambung lirik lagu. Tanpa nada, tentu saja. Sama seperti yang sejak tadi Marwah lakukan.
Sayangnya, Marwah justru berdecak kecewa.
"Enggak peka." Dumelnya. "Padahal udah spesifik pakai lelaki."
"Eh, aku salah lirik ya Yang?" Aku bertanya kaget. Seingatku memang begitu.
"Gak," jawabnya, singkat.
Sekilas aku mengalihkan pandang ke arahnya. Dia masih memejamkan mata.
"Besok tanggal berapa?" tanya Marwah tiba-tiba.
"15 Desember."
"So?"
"So ... Ada acara haul?" Aku menebak.
Menghela napas, dia memutar badan, memunggungiku.
"Salah?"
Marwah diam.
"Ya sudah kalau gitu." Pungkasku, pasrah. Menarik cup kopi, menyesapnya.
"Pagi tadi Sarah wa aku. Dia ngajakin kamu ketemu setelah kita pulang," kata Marwah, sekian menit setelahnya.
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro