part 32
(Rega Damasatya–Sekarang)
***
"Neng, menjadi ibu itu bukan soal bagaimana dia melahirkan," kataku, mengusap lembut punggungnya. Berusaha memberi pengertian dengan perlahan. "Caesar atau normal, perempuan yang memiliki anak adalah seorang Ibu. Allah meletakan surga di telapak kaki kalian tanpa pengecualian."
Marwah menutup wajah menggunakan dua tangan. Menggeleng lemah. "Kamu enggak ngerti," bisiknya.
Aku bergeser maju lebih dekat. Lalu merengkuhnya. Marwah menenggelamkan wajah ke pundakku. Tangisnya pecah. Pandangan negatif segelintir orang terhadap operasi Caesar memang kerap kali membuat perempuan merasa kecil. Belum lagi komentar-komentar yang sifatnya menyudutkan, meremehkan, dan lantas memberi label ketidaksempurnaan status Ibu bila tak merasakan sakitnya melahirkan. Marwah, aku tahu, bukan tipe orang yang akan meyakini hal itu. Dia hanya gampang dibuat resah oleh ucapan orang, terutama tentang standar keberhasilan sebuah rumah tangga. Juga karena aku, laki-laki yang dianggapnya sempurna ini, dia jadi kecewa pada dirinya sendiri.
"Mas ...." Dia tersedu-sedu. "Mereka enggak pernah nakal. Enggak pernah nyusahin aku. Kalau lagi rusuh pun selalu langsung anteng pas didengerin rekaman ngajinya kamu. Aku enggak mau mereka lahir sebelum waktunya. Kasian."
Hatiku berdenyut ngilu. Jika boleh memilih, aku pun tidak mau anak-anakku lahir dengan paksaan. Aku masih ingin menebus kealfaanku selama ini, menjalani peran sebagai suami yang menemani Marwah setiap kali terbangun di tengah malam. Masih ingin pula melihat Marwah kegirangan saat mereka aktif menendang, atau dia yang suka sekali mengusap-usap perut di depan kaca sambil tersenyum senang. Namun membiarkan usianya sampai 9 bulan akan sangat beresiko bagi Marwah serta anak kita. Dan sebenarnya, sejak awal Fatma sudah memberitahu Marwah tentang kemungkinan operasi caesar, di samping adanya peluang melahirkan secara normal. Tak heran jika Marwah terus berupaya meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Sayangnya, hasil lab dari pemeriksaan kedua saat Marwah mengeluhkan sakit kepala hebat malam itu menunjukan hasil yang tidak diinginkan. Membuat Fatma langsung mengambil tindakan berupa terapi, pun mejadikan operasi sebagai satu-satunya opsi.
"Allah kok tega banget si sama aku, Mas." Marwah tergugu. "Selama ini aku kan udah berusaha taat, bahkan lagi proses buat menghafal al-qur'an. Kamu juga rutin menyantuni orang-orang yang membutuhkan. Tapi kenapa dikasih cobaannya kayak enggak kelar-kelar."
"Ssstt, enggak boleh ngomong gitu." Aku menegur lembut. "Allah tahu apa yang enggak kita tahu."
"Tapi aku enggak mau caesar!" Dia kembali merancau. Kepalanya menggeleng-geleng. "Enggak mau, Mas. Enggak mau!"
Aku mengeratkan pelukan. Sudah sejak pagi Marwah menahan diri hanya karena Mama di sini. Kepulangan kita dari rumah sakit yang mendadak tentu mengundang kecurigaan beliau, dan tak kuasa untukku berbohong saat disuguhi kalimat bersoal mengenai apa yang terjadi.
"Nanti Mbak Susan pasti tambah ngelihat aku sebagai beban buat kamu, Mas. Dulu aja aku pernah denger. Katanya ...." Dia sesenggukan. "Katanya keluargaku itu numpang hidup ke kamu kayak benalu. Bikin susah. Mana Ayahnya sakit-sakitan pula. Terus mentang-mentang lagi hamil, aku enggak mau ngapa-ngapain. Gayanya udah kayak tuan putri. Pokoknya kalau di rumah Mama cuma ongkang-ongkang kaki doang. Enggak malu. Gitu."
Mataku terpejam rapat. Rahang terkatup kuat menahan gejolak emosi yang seketika ingin meledak. Meski sudah menduga, rasanya tetap mengkal dan tak terima mendengar istri yang selama ini aku jaga sebaik mungkin, yang hanya karena membentaknya saja sudah membuatku merasa sangat bersalah, diperlakukan demikian oleh orang lain.
Dan untuk Marwah, aku yakin, dia tidak akan mau menceritakannya andai tidak sedang kalut seperti sekarang. Takut aku bersitegang dengan yang bersangkutan.
***
Setelah setengah jam menangis sambil berbicara banyak hal, Marwah tertidur di pelukanku tanpa sadar. Lalu perlu beberapa menit lagi sampai aku bisa melepas mukenah yang dipakai, membopong dan menidurkannya ke dipan.
Aku yang menempatkan diri di pinggir ranjang menyingkirkan rambut di sekitar pelipis Marwah ke belakang. Lantas menarik tisu di atas nakas, mengelap jejak tangis di matanya yang sembab.
"Pantas kamu selalu enggan buat minta sesuatu sama aku, Mar," kataku, terenyuh. "Bahkan di saat dompetku masih diisi jajaran kartu dan uang ratusan ribu ...."
Marwah melenguh kecil dan mulai bergerak tidak nyaman. Aku mengusap-usap lengang atasnya, berharap dia kembali tenang. Kemudian sedikit bergeser guna memberi ruang bagi Marwah yang merubah posisi tidurnya yang terlentang menjadi miring ke kanan.
Tak lama berselang, pintu kamar diketuk seseorang. Begitu menoleh, aku mendapati Disa yang sedang membuka daun pintu perlahan.
"Assalamualaikum," katanya.
"Waalaikum salam." Aku membalas rendah.
Disa mendekat. Perhatiannya tertuju pada Marwah.
"Aunty masih sakit?" tanyanya, menatapku.
Tersenyum, aku menjawab, "Enggak. Aunty cuma lagi istirahat. Disa kapan sampai? Kok Uncle enggak denger mobil Papa."
"Barusan. Mobil Papa berhenti di pinggir jalan depan rumah. Terus tadi pintu depan dibuka, jadi Disa sama Papa langsung masuk. Tapi berhubung Uncle-nya enggak nyaut pas dipanggil, ya udah, Disa samperin sendiri."
"Oh, gitu." Aku berdiri, mengajak Disa keluar. "Mama ikut juga ke sini?"
"Enggak. Ade-nya enggak mau diajak soalnya."
Kepalaku manggut-manggut. Aku memang sempat meminta Mas Galuh datang. Berdiskusi dengan dia yang merupakan dosen di fakultas hukum akan memudahkanku dalam memahami proses hukum yang akan berlangsung. Pengacara pribadi yang sudah aku tunjuk untuk menangani kasus Tomi pun sudah mengantongi banyak bukti.
"Mau minum apa, Mas?" tawarku sembari menghampiri Mas Galuh yang duduk di sofa ruang tamu.
"Ah, enggak usah repot-repot." Dia menolak sungkan, memasukan gawai ke celana. Aku tak memaksa, memilih langsung menempatkan diri di seberang meja. Tak menunggu lama, kita mulai membicarakan apa saja yang berkaitan dengan proses hukum. Sementara, Disa sibuk bermain bersama dua kucing di ruang tengah.
Dibutuhkan waktu sekitar satu jam lebih untuk mengupas tuntas prosedur yang harus aku lakukan, termasuk saran agar aku membawa kasus lain yang pernah menyeret Tomi untuk memperkuat tuntutan.
"Sekali lagi terima kasih ya, Mas," kataku, mengantar Mas Galuh ke mobilnya.
Mas Galuh menepuk pundakku. "Jangan segan buat minta bantuan."
Aku tersenyum, mengiyakan. Sesudah mobil Mas Galuh menjauhi pelataran, aku berbalik badan masuk ke dalam. Tujuanku jelas ke kamar, mengecek istriku yang ternyata masih pulas di ranjang. Setelahnya bergeser ke meja kerja, duduk dan membuka laptop. Aku menghubungi beberapa orang kenalan, salah satunya Kenzie.
"Waalaikum salam. Kenapa, Ga? Sorry agak berisik," kata Kenzie. Lantas berbicara bersama seseorang. "Ga, sebentar, ya. Aku menepi dulu." Sambungnya, padaku.
"Ehm." Aku menyahut sekadarnya sambil mengetik sesuatu di laptop. Sekon ke depan, sederet artikel preeklamsia terpampang di layar.
"Halo, Ga?" Kenzie bersuara lagi. Suasana lumayan hening di sana.
Aku hanya bergumam, sudah tidak fokus pada niat awal mengajak Kenzie bicara. Fakta lain soal preeklamsia menyedot perhatianku sepenuhnya.
"Kamu mau minta bantuan apa?"
Mataku menyipit, mencermati sepenggal kalimat yang cukup membuatku jeri.
"Rega?" Kenzie tidak sabar. "Came on, jangan ragu."
Alih-alih menanggapi, aku malah menggeser kursor ke halaman lain, mencari artikel serupa dari sumber berbeda.
"Rega!" Kenzie terus berseru memanggil namaku, mengira sinyal buruk yang menjadi alasan aku diam. Sementara, aku sibuk mencari gawai di antara tumpukan map, dan gegas membaca ulang balasan Fatma semalam begitu benda itu ditemukan. Lantas menghela napas berat. Mendadak merasa khawatir tidak keruan. Aku bersandar punggung ke belakang, mengusap wajah menggunakan dua tangan.
"Ken," kataku, sudah kehilangan minat melanjutkan obrolan.
Kenzie yang hendak berpindah tempat lagi untuk mencari sinyal menghela lega.
"Ya?" Responnya, penuh harap.
"Kita bicara next time saja, ya. Ini aku tutup dulu."
"Lho kenapa?"
Mengabaikan keheranan Kenzie, aku menguluk salam dan memutus sambungan tanpa menunggu balasan. Lalu melepas handsfree yang menyumbat salah satu telinga, sejenak bergeming sambil menatap nanar ke depan.
"Mas," panggil Marwah, serak khas bangun tidur. Membuatku tersadar dan kontan memutar pandang.
Aku tersenyum mendapati wajah bantalnya, dan bagaimana dia menggaruk pipi. Lantas beranjak menghampiri, menempatkan diri di samping ranjang.
"Jam berapa?" tanya Marwah, berkedip sayu. Sisa-sisa kantuk masih menggantung di matanya.
"Jam tiga kurang lima belas menit," jawabku, mengambil sehelai rambut di dekat mulut Marwah.
"Kamu udah makan, Mas?"
"Sudah."
"Mas Galuh jadi datang?"
"Jadi. Tapi sekarang sudah pulang."
Marwah ber-oh panjang.
"Aku tadi beli salad buah. Mau enggak?"
Kepalanya menggeleng. "Maunya makan nasi goreng buatan Mas aja nanti."
Aku mengangguk, menyelipkan anak rambut ke telinganya.
"Mas."
"Ehm?"
"Kamu ngelakuin ini bukan karena aku, kan? Maksudnya soal Tomi. Kamu menempuh jalur hukum, itu bener-bener kemauan kamu sendiri, kan?"
Atensiku turun ke matanya yang sedang menatap cemas. Aku memberi senyum, menenangkan. "Enggak. Aku ngelakuin ini atas kemauanku. Kamu enggak ada hubungannya. Lagipula memaafkan bukan berarti enggak memberi ganjaran. Dan setelah dipikir-pikir, dengan aku yang diam, aku malah mendukung Tomi untuk lepas tangan."
"Hem. Iya juga si." Marwah bermonolog pelan, manggut-manggut. Nampak puas mendengar pengakuanku. Kemudian seperti tersadar sesuatu. "Mas."
"Iya?"
"Kamu ... Cinta aku, kan? Maksud dari 'kamu enggak ada hubungannya' bukan karena aku enggak penting, kan?"
Aku tersenyum lagi. Kali ini antara geli dan tak habis pikir perihal Marwah yang masih merasa perlu bertanya hal itu.
"Sudah mau asar," kataku, mengalihkan obrolan. "Sayang mau mandi dulu apa enggak?" Aku sengaja memanggilnya Sayang agar dia tidak mencecar jawaban.
Marwah yang sadar itu menggembungkan pipi seperti ikan buntal. Namun wajahnya nampak merah merona, menjalar sampai telinga.
"Curang." Dumelnya, menyibak selimut yang membalut separuh badan.
Sekian menit ke depan, baik aku maupun Marwah, kita sama-sama bersiap melakukan salat asar. Sesudahnya beranjak ke ruang makan.
"Mau disuapi?" Aku menggeser kursi lebih dekat.
Marwah menggeleng. Kembali menyuapkan sendok ke mulut. Kepalanya menghadap lurus ke depan. Sementara, aku lekat memperhatikannya dari samping.
"Yang."
Dia memutar pandang. Mulutnya sibuk mengunyah.
"Minggu depan ada acara haul Masyayikh di Nurur Taqwa. Kita ke sana, yuk."
Ekspresinya berubah secara signifikan. Sorot matanya redup. Ada getir bercampur kecewa yang aku tangkap di sana. Meski kita sudah sering ke pesantren Nurul Taqwa, kedatangan yang sejak awal diniatkan untuk sowan, bukan sekadar mampir, memang selalu bermakna lain.
Aku meraih tangannya. Pesan tersirat yang tersampaikan jelas, bahwa, aku di sini untuk dia. Apa pun kata orang tentangnya. Namun, mulutku mengatakan hal yang berbeda. "Nanti aku ajak kamu main ke pasar malam dekat alun-alun."
Tbc ...
Update cerita udah kek setoran motor. Wkwkwk. Btw, minal aidzin wal faidzin ya, semua. Mohon maaf lahir batin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro