Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 31

(Marwah Syaiqila–Sekarang)

•••

Tekanan darahku naik. Dokter Fatma mengharuskan aku rawat inap, sekalian nunggu hasil tes dua hari lalu keluar. Ayah-Ibu dan Mama-Papa udah bolak balik gantian membesuk sejak kemarin. Mbak Rahma juga. Kalau Mbak Susan serta yang lain, kata Mbak Rahma, memang sengaja enggak datang karena dilarang Mas Rega.

Parah banget kan suamiku itu?

Aku aja sampai ternganga enggak percaya, berulang kali memastikan ke Mbak Rahma. Lalu begitu Mbak Rahma mengangguk, aku buru-buru menghubungi mereka sambil ketar-ketir, takut sama respon si penerima yang mungkin tersinggung atas sikap Mas Rega.

Tapi syukur Alhamdulillah-nya, enggak ada yang gimana. Semuanya udah paham betul tabiat Mas Rega. Bahkan Oma Tari sempet ketawa dan bilang, "Rega udah dari bocah kayak gitu. Istilah Jawa-nya wangkeng. Kalau sekali jangan ya jangan. Cuma itu anak baiknya MasyaAllah, Mar. Loman banget sama keluarga. Paling diem pula di antara cucu-cucunya si Mbah. Jadi ya udah. Tanpa diminta pun, sekeluarga bisa dengan sendirinya menghormati segala
keputusan dia. Termasuk perkara besar sekelas mundur dari perusahaan. Hal semacam ini mah bukan apa-apa, Mar. Enggak usah minta maaf buat Rega."

Di sana, aku merasa lega. Sayangnya enggak bertahan lama sebab beberapa menit setelah Mbak Rahma pulang, Dokter Fatma masuk ke ruang rawat sambil membawa hasil lab. Mengingat biasanya pasien yang dipanggil ke ruang Dokter, bukan Dokter yang nyamperin ke ruang rawat, firasatku kontan enggak enak seolah ada sesuatu yang buruk.

Dokter Fatma mengajak basa-basi sebentar sebelum membuka sesi penjelasan. Tab di tangannya berfungsi menunjukan visualisasi hal-hal yang lumayan sukar diterangkan cuma lewat lisan. Aku sempat menahan napas selama mendengarkan. Mas Rega yang sadar mengusap punggungku diam-diam selagi serius menyimak. Posisinya berdiri tegak di samping brankar, menghormati Dokter Fatma yang memilih tetap berdiri alih-alih menduduki kursi. Penjelasan ditutup dengan gambaran sederhana mengenai beberapa terapi, salah satunya terapi MgSO4, yang harus segera aku jalani.

Dan segera yang dicetuskan bukan besok atau lusa. Melainkan langsung pada malah harinya, tepatnya ba'da isya.

Ditemani Mas Rega, aku dibawa ke ruang khusus. Dia yang fobia jarum suntik udah keliatan pucat sejak tindakan pertama yang aku terima berupa memasang infus RL, tapi tetap setia di sampingku sampai serangkaian prosedur selesai. Alhasil, aku jadi bisa sedikit legawa---seenggaknya aku enggak melewati hal ini sendirian.

Besok sorenya, aku kembali ke kamar rawat setelah sebelumnya dokter memastikan keadaanku baik-baik aja.

"Sebenernya aku tuh udah boleh pulang tahu, Mas," kataku, duduk bersila di atas brankar.

"Lusa ada kemungkinkan kita diminta datang lagi. Daripada bolak balik, lebih baik nunggu di sini."

"Ya, iya si. Cuma kan ...." Aku menelisik penampilanku. Daster lengan panjang, kerudung instan dan lengan bebas infus. Beneran style rumahan. "Aku udah terkesan sehat banget nget nget. Masa iya masih nginep. Berasa kek numpang tidur jadinya."

"Ya enggak apa-apa," sahut Mas Rega, santai. Kulit apel di tangannya udah setengah bersih.

"Uangnya sayang, Mas. Mana kamu ngambilnya yang VVIP lagi."

Mas Rega mengabaikan ucapanku. Dia paling enggak suka kalau aku udah mengkhawatirkan soal uang. Baginya, urusan nafkah materi adalah tanggungjawab laki-laki sepenuhnya, enggak seharusnya seorang istri diberi beban untuk ikut pusing memikirkan. Aku pun merapatkan bibir, menautkan tangan di pangkuan. Ya udah, lah. Terserah dia.

"Ini apelnya mau dipotong kotak-kotak apa memanjang?" tanya Mas Rega, sekon kemudian.

"Dibagi dua aja."

Tanpa menunggu lama, Mas Rega melakukan apa yang aku minta.

"Eh, enggak jadi apel, deng," kataku saat Mas Rega menyerahkan piring berisi dua belah apel. "Pisang aja."

Mas Rega beranjak meletakan piring ke nakas, beralih mengambilkan satu-satunya buah kuning di keranjang.

"E, Mas Mas." Aku menginterupsi.

Dia menoleh.

"Enggak jadi pisang. Mangga aja yang seger."

Tanpa protes, Mas Rega menurutinya. Sesudah menyingsing lengan panjang kemeja, suamiku telaten mengupas mangga sambil menginjak pedal tong sampah agar tutupnya terus terbuka. Plastik kresek yang melapisi menimbulkan suara saat kulit jatuh ke sana, mengisi lengang di antara aku dan Mas Rega.

"Mas."

"Ehm."

"Aku enggak nyangka lho kalau dokter muda yang dulu pernah dijodohin sama kamu itu Dokter Fatma."

Mas Rega enggak terkejut sama sekali. "Dokter Fatma cerita?"

"Enggak."

"Mbak Susan yang ngasih tau?"

"Enggak juga."

"Terus?"

"Aku sendiri yang tanya ke Dokter Fatma. Maksudnya, dia kan bukan temen kamu. Jarang ketemu pula. Tapi interaksi kalian aku lihat-lihat kayak udah kenal lama. Plus dulu kamu langsung yakin banget sama dia pas pertama kali aku periksa."

"Aku yakin sama Dokter Fatma, bisa jadi karena aku sudah baca artikel tentang dia di web rumah sakit, kan?"

"Ya, iya. Cuma sikap dia tuh ramah banget sama aku. Pokoknya bukan sekadar Dokter ke Pasien ...."

"Cemburu?" Sela Mas Rega, enteng.

"Eh?" Aku ngelag, enggak menduga pertanyaannya.

"Kamu pengen cepat pulang supaya aku enggak deket-deket Dokter Fatma?"

"Bu-bukan." Enggak tahu kenapa aku malah gelagapan.

"Kalau iya juga enggak apa-apa."

"Mas, bukan."

"Sering-sering saja cemburu gini. Aku suka."

"Ih, bukan!" Aku berseru gusar, bertepatan sama seseorang yang membuka pintu. Ternyata Ayah dan Ibu.

"Apanya yang bukan, Mar?" tanya Ayah, melepas jaket di dekat sofa. Sementara Ibu mendekat ke nakas, meletakkan parsel buah di sana. "Suara kamu barusan kedengaran sampai luar, lho." Sambung Ayah.

"Lagi cemburu sama salah satu Dokter sini, Yah," jawab Mas Rega, beringsut ke kursi samping brankar, duduk memangku piring berisi buah mangga.

Otomatis aku terbelalak. "Ih, enggak!"

"Enggaknya perempuan itu biasanya berarti iya. Kan, Ga?" Ayah mendaratkan badan ke sofa.

Mas Rega tersenyum menanggapi Ayah.

"Dokter yang mantan kamu bukan, Ga?" Ibu nimbrung.

"A, Ibu. Kok ikut-ikutan sih." Aku memprotes. "Lagian Mas Rega tuh enggak pacaran, Bu. Mana mungkin punya mantan."

"Wah, gimana tuh, Ga. Beneran cemburu kayaknya." Ayah tambah-tambah ngeledeknya.

"Ih, tau ah." Kesal diolok-olok, aku merebahkan badan. Menarik selimut menutupi wajah.

"Walah! Ngambek Ga, istrimu."

"Enggak apa-apa, Yah. Kalau kata At-thabari dan para ulama lain, rasa cemburu wanita itu harus dimaklumi. Enggak ada hukuman bagi mereka," jawab Mas Rega. Meski Ayah yang disebut, aslinya ucapan itu ditunjukin buat aku.

"Ooo, iya kah, Ga? Kira-kira kenapa, ya?" Ayah enggak serius pengen tahu.

Aku mencebik. Seneng banget ngeledek anak sendiri.

"Karena cemburu merupakan tabiat dasar wanita."

"Tuh, dengerin Yah." Sambar Ibu, menggebu.

"Lho lho, kok malah Ayah, Bu." Suara Ayah panik.

Nah, kan? Senyumku tertarik puas.

"Lha iya, Ayah. Ayah kan suka kesal kalau Ibu cemburu."

"Memang Ibu pernah cemburu?"

"Sering, lah. Ayahnya aja yang enggak peka."

Ayah enggak membalas. Penasaran, aku menurunkan selimut ... Oh, Ayah lagi melempar kode ke Mas Rega, minta bantuan. Sedangkan, Mas Rega cuma tersenyum kikuk karena enggak berani berkutik.

"Mar."

Aku menoleh pada Ibu. "Iya, Bu."

"Ibu keluar dulu, ya."

Ibu beranjak sesudah aku mengangguk. Beliau enggak pamit sama Ayah. Malah sengaja melengos. Begitu pintu tertutup, Ayah menggeleng samar.

"Ngambek," gumam Ayah. "Memahami perempuan memang PR banget ya, Ga," adunya, mencari dukungan.

Mas Rega melirikku. Merasa dituduh, aku melotot galak.

"Yah," panggil Mas Rega, menghadapkan wajah ke Ayah.

"Iya, Ga."

"Beberapa minggu lalu saya membentak Marwah sampai dia nangis."

Aku tersedak ludah.

***

Aku memiringkan badan ke kiri. Di sofa bed seberang---padahal di sisi lain ruang ada kasur---Mas Rega terlentang sambil menaruh lengan di atas mata. Keadaan kamar rawat redup sebab lampu utama dimatikan, membuat cahaya dari luar menerabas masuk lewat jendela yang ditutup korden tipis dan membentuk siluet di dinding. Aroma jeruk purut pengharum ruangan dan dingin AC yang pas di badan sebenarnya udah cukup nyaman. Tapi rasa kantuk yang enggak kunjung datang membuatku susah terpejam. Dan untuk Mas Rega, aku yakin, dia pun enggak bakal bisa lelap selagi aku masih terus bergerak di atas brankar.

"Mas."

"Ehm."

"Kamu kenapa bilang ke Ayah soal kamu yang bentak aku?"

"Karena kamu enggak bilang."

"Tapi aku emang sengaja enggak bilang. Toh, kamu bentak aku juga ada alasannya. Dan alasan itu secara sadar bisa aku terima. Lagian kamu apa enggak khawatir sama image kamu di mata Ayah?"

"Alasanku cuma marah, intuisi emosional tanpa penalaran. Lalu masalah imageku di mata Ayah, aku enggak punya kendali untuk menentukan. Yang jelas, dengan aku yang jujur sama Ayah, aku sedang memperingati diriku agar enggak mengulangi hal serupa."

"Kamu enggak bakal gitu lagi dengan atau tanpa bilang ke Ayah, Mas." Aku kukuh. Meski aku tahu persepsi Ayah ke Mas Rega enggak berubah setelah denger pengakuannya, mengingat respon beliau yang malah tersenyum sumir sambil menepuk pundak suamiku, tetap aja aku enggak setuju. Maksudnya ... Hei! Selama ini aku udah berusaha banget ngejaga citra dia di depan orang tua. Dia yang begini tentu membuat usahaku sia-sia. "Aku kenal banget kamu. Kamu bukan orang yang bakal mengulang kesalahan serupa, sesepele apa pun itu."

Mas Rega diam.

"Mas."

"Hem."

"Kamu dengerin aku enggak, si?"

"Denger."

"Kok responnya hem doang."

"Lagi sariawan, Sayang."

Mulutku terbuka. Enggak lama tertutup lagi. Aku merubah posisi tidur jadi terlentang, menggigit bibir bawah menahan senyum. Andai sekarang ada kaca, mungkin pantulan wajahku akan terlihat merah merona. Ah, asem tenan. Udah hampir empat tahun menikah tapi masih aja baper gara-gara panggilan Sayang.

"Mar."

Aku menolehkan kepala. Mas Rega masih di posisi semula.

"Hafalan kamu sudah sampai mana?"

"Surah As-Saff." Jangan salah paham. Aku memulai hafalan di juz 26, dan surah As-Saff ada di juz 28. Itu pun udah dua tahun jalan.

"Coba buka terjemahan ayat 34 surah An-Nissa."

Meski sempat mengernyit bingung, aku meraih hp di atas nakas dan gegas membuka aplikasi al-qur'an yang dilengkapi arti serta tafsir. Aku berhenti menggeser layar tepat di ayat yang dimaksudkan, membacanya dalam diam.

34. Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.

Aku tercenung. Rasanya semua hal yang barangkali ingin Mas Rega sampaikan, sempurna terwakilkan.

***

Tanganku terkepal kuat, mati-matian menahan air mata. Kabar yang barusan aku dengar terasa kayak duri ikan yang tersangkut di tenggorokan.

"Aku mau pulang sekarang," kataku, final. Bukan untuk Dokter Fatma yang duduk di balik meja kebesarannya, atau Mas Rega di sampingku kalimat itu ditunjukkan. Melainkan untuk diriku sendiri yang kali ini ingin mempertanyakan keadilan Tuhan.

Tbc ...

Triple up karena hampir 1 bulan ngilang gegara hp rusak. Wkwkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro