Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 30 (b)

**

"Jadi mampir ke supermarket?" Mas Rega memecah hening.

"Jadi."

Terdengar helaan napas pelan. "Aku bercanda, Mar."

Aku mengalihkan perhatian dari jendela mobil ke wajah Mas Rega. "Bercanda apa, Mas?"

"Ucapanku tempo hari. Sejak tadi kamu mikirin itu, kan? Trust me. Aku enggak benar-benar mau jadi kayak mantan-mantan kamu, terutama Geo Andrea. Lagian alasan kenapa aku bisa nikahin kamu itu karena aku adalah Rega. Kan kamu yang bilang kalau aku orang favorit nomor satunya Ayah. Right?"

Pundakku merosot lesu. Alasan yang bikin Mas Rega waktu itu sampai ngomong gitu pasti karena capek sama sikapku. "Maaf," cicitku.

"Untuk?"

"Sikapku. Kamu pasti frustasi banget ngadepin aku."

"Kenapa harus frustrasi?"

Menarik napas dalam, aku mengembuskannya lewat hidung. Menatap nanar ke depan. "Aku bingung, Mas. Aku enggak suka kamu yang terlalu memproteksi dan memprioritaskan aku di atas diri kamu. Tapi giliran kamu cuek, aku ngerasa sakit hati. Aku juga aleman plus caper. Tapi pas kamu ngasih feedback, akunya ngerasa risi ... Aku yakin kamu paham banget soal itu."

Mas Rega enggak langsung menangapi. Satu kakinya menginjak rem perlahan. Mobil berdenyut halus sebelum berhenti. Kendaraan nampak mengular panjang di depan.

"Dalam hidup, kita perlu yang namanya kesadaran diri. Dan kesadaran diri terdiri dari beberapa lapisan. Di antaranya; yang pertama terhadap emosi. Ke dua berupa kemampuan untuk bertanya kenapa kita merasakan emosi tertentu." Suaranya tenang. "Terlepas apakah ini fakta atau cuma opini, tapi kebanyakan anak pertama itu beranggapan kalau dia enggak boleh manja, harus tangguh karena dibebani ekspetasi orang tua, enggak boleh gagal, juga bisa jadi contoh bagi adik-adiknya. Hal tersebut biasanya akan membentuk semacam sisi maskulinitas secara universal, juga ego yang menekankan agar tetap tegak di segala situasi, enggak mau bergantung sama siapa pun dan seolah berkata 'aku bisa sendiri'. Tapi di sisi lain, dia juga haus akan sisi melankolis-nya dan mendambakan tempat yang nyaman buat bersandar, berkeluh kesah atau bahkan bersikap cengeng."

"Bisa dibilang, aku bersikap manja dan aleman ke kamu itu karena aku nyaman? Terus perasaan risi yang muncul itu karena egoku ngerasa terusik?" Tebakku, gamang.

"Kamu sendiri yang bisa jawab."

Aku melipat bibir ke dalam. Merenung. Sementara, mobil kembali bergerak. Pelan-pelan keluar kemacetan.

"Setiap orang punya tipe ideal tertentu terhadap sesuatu, termasuk soal pasangan. Dan ini biasanya dipengaruhi oleh latar belakang, sifat, karakter, tabiat dan sejenisnya, dari orang tersebut," sambung Mas Rega. Aku pun menoleh ke arahnya. "Sayangnya, manusia adalah makhluk kompleks. Penuh misteri. Enggak kayak barang yang semuanya bisa didata terang-terangan. Itulah kenapa dua orang yang memutuskan menikah akan mencari satu kesamaan fundamental yang nantinya dijadikan alasan. Biasanya berupa prinsip, visi misi, tujuan hidup dan ideologi. Atau barangkali perbedaan yang berpotensi melengkapi kekurangan masing-masing. Atau justru malah keduanya. Kayak aku sama kamu. Selain punya visi-misi serta tujuan serupa, kita juga punya komposisi yang pas untuk saling mengisi."

Mulutku terbuka, ingin meralat kalimat terakhir Mas Rega. Tapi akhirnya cuma bisa menggeleng lemah, menunduk jengah. Lebih tepatnya kamu yang mengisi kekosonganku tentang agama, Mas. Sementara aku ... entah kelebihan macam apa yang bisa mengisi kamu.

"Lalu karakter individunya ibarat corak yang mewarnai tembok dari bangunan bernama rumahtangga. Bisa sesuai selera. Bisa juga sebaliknya. Tapi sebagai dua orang yang memutuskan hidup bersama, menerima pasangan yang seperti itu merupakan kewajibannya. Ya, kecuali kalau sejak awal prioritasnya memang bukan mempertahankan komitmen, melainkan menjadikan pasangan seperti yang diinginkan. Dan yang aku garisbawahi di sini adalah soal karakter, sifat bawaan lahir."

Aku mendengarkan.

"Salah satu temanku ada yang sudah tiga kali menikah dan tiga kali bercerai, Mar. Alasannya karena ngerasa enggak cocok. Tapi baru-baru ini dia cerita ke aku kalau dia pengen balik ke mantan istri petamanya. Katanya, dia sadar kalau selama ini dia sudah mengedepankan ego hingga fokusnya cuma pada kekurangan sang istri, dan memilih mencari sosok lain yang bisa memenuhi kekurangan tersebut. Padahal yang namanya manusia kan enggak ada yang sempurna. Juga komplek dan penuh misteri kayak yang aku bilang tadi. Lama enggaknya pacaran enggak menjamin bisa seratus persen kenal. Malah enggak menutup kemungkinan kalau dari pengalaman berpacaran lah kita jadi tamak, mengumpulkan macam-macam hal yang kita sukai dari mantan-mantan sebelumnya, lantas memaksakan seseorang setelahnya agar memiliki semua hal yang kita suka."

Aku tercenung. Memaksakan orang setelahnya agar memiliki semua hal yang kita suka .... Mengangkat wajah, aku memandang Mas Rega was-was. Kayak yang Aliyah bilang, Mas Rega memang 360 derajat dari tipe cowokku sebelumnya. Sikapnya yang dewasa adalah hal yang enggak ada di mantan-mantanku. Tapi sikap santai yang ada di diri mantan-mantanku, dia enggak punya itu. "Mas, apa tanpa sadar aku udah, atau bahkan masih, mencari sosok masa laluku di diri kamu? Makanya aku suka kesel pas kamu nanggepin segala sesuatu dengan serius, padahal begitulah karakter kamu?"

Mas Rega tersenyum. "Kamu orangnya sangat peka, Mar. Enggak heran kalau kamu sulit terbuka sama orang tua tentang masalahmu, takut menambah beban mereka. Enggak heran juga kalau akhirnya kamu menjadikan teman sebagai tempat curhat. Dan Geo, selain mengisi ruang special di hati kamu, dia pun mampu mengisi ruang teman selama kalian menjalin hubungan. Sedangkan aku enggak demikian." Ada kekecewaan yang tersirat pada suaranya.

Hatiku mencelus.

Mas Rega terkekeh hambar. Dan saat itu air mataku menggenang. "Ya, tapi seenggaknya hal itu menandakan kalau posisiku setara dengan orang tua kamu---orang yang paling kamu sayang, orang yang paling enggak pengen kamu buat khawatir."

Aku memalingkan wajah. Menyeka pipi yang basah. Rasanya kecewa. Entah pada siapa. "Kamu mau aku selalu terbuka sama kamu, karena kamu udah ngerasain enggak enaknya jadi orang yang apa-apa dikasih tahunya belakangan. Cuma bagi kamu, kamu udah gagal berperan layaknya teman dan bikin aku enggak bisa leluasa cerita. Endingnya kamu berusaha ngertiin aku dan ngalah lagi buatku."

Kini giliran Mas Rega yang mengedarkan.

"Lalu di aku, aku yang risi sama feedback kamu, termasuk sikap terlalu ngalah, mungkin bener karena itu mengusik egoku yang enggak mau dianggap egois, mengingat selama ini aku dituntut keadaan buat selalu ngalah demi adik-adikku. Tapi lebih dari itu, sekarang aku ngerti, kalau sikap terlalu ngalah kamu bikin aku enggak sadar sama kesalahanku ...." Suaraku tercekat di ujung kalimat. Aku menelan ludah susah payah, berusaha mengendalikan diri. "Dulu kamu pernah tanya sikap kamu yang gimana yang enggak aku suka, kan? Itu jawabannya. Aku enggak suka kamu yang selalu ngalah. Hidup bersama bukan cuma tentang satu orang, Mas."

Bukan sekadar data. Perselisihan dan pertengkaran memang betul jadi penyebab utama perceraian. Awal mulanya dari benturan ego. Ada yang sama-sama meledak sampai saling lempar barang. Ada yang kayak aku dan Mas Rega sekarang---salah satunya maksain diri buat ngalah supaya tetap damai, yang pada dasarnya kayak nyimpen bom waktu.

***

Tenggorokanku masih mengganjal meski pil obat udah sempurna tertelan. Aku merebahkan badan, disusul Mas Rega yang membereskan tablet obat ke kotak penyimpanan. Lalu beranjak menekan saklar lampu utama kamar, membuat keadaan kembali redup keorenan. Mas menempatkan diri ke tempat semula, posisi miring menghadapku.

"Aku pijat, ya?" ijinnya.

Aku mengangguk. Begitu tangannya mulai bekerja, aku memejamkan mata. Sebisa mungkin enggak mengernyitkan dahi biar dia percaya kalau aku baik-baik aja. Sebagai gantinya, aku diam-diam mengatur napas, berharap bisa mengurangi denyutan hebat di kepala, terutama di bagian ubun-ubun yang seolah dihantam benda tumpul berkali-kali.

"Sampai keringetan gini," gumam Mas Rega, sarat khawatir. "Nanti habis subuh mau ya ke rumah sakit?"

Lagi, aku mengangguk. Udah enggak punya tenaga buat sekadar bilang, "iya." Enggak tahu juga kenapa kondisiku bisa tiba-tiba drop. Padahal selama acara tujuh bulanan yang digelar siang tadi, aku enggak ngelakuin kegiatan berat. Sebelum tidur pun aku masih sehat wal afiat. Seenggaknya sampai pukul 02.00, di mana aku kebangun karena sakit kepala.

Beberapa menit kemudian, atau mungkin jam, tubuhku terasa melayang---meski mata tertutup, aku yakin kalau ini bukan mimpi. Lantas mendarat di sofa ... Oh, kursi mobil, sebelum sabuk pengaman melilit badan.

"Marwah enggak boleh tidur. Oke?" Suara Mas Rega bergetar. Dia panik tapi berusaha tetap tenang.

Tbc ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro