Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 30 (a)


 

(Marwah Syaiqila–Sekarang)

•••

"Bagaimana nanti, itu tergantung dari hasil tes hari ini yang insyaAllah bisa keluar kurang dari seminggu," terang Dokter Fatma, mengulurkan kertas resep, diterima oleh Mas Rega. Lantas kembali menambahkan beberapa hal, di antaranya tentang aku yang harus mulai mengatur pola makan sehat atau diet, serta olahraga ringan yang dianjurkan. Juga enggak boleh punya banyak pikiran.

Begitu Dokter Fatma selesai, kita berdua berterimakasih dan pamit keluar.

"Kamu tunggu di mobil. Biar aku yang tebus obatnya," kata Mas Rega. Bibirnya masih pelit senyum sejak kejadian lima hari lalu. Tapi seenggaknya dia enggak mau memperpanjang soal mantan-mantanku.

"Iya, Mas," sahutku, patuh. Kemudian berbelok ke arah basement rumah sakit.

Di tengah jalan, aku bertemu perempuan muda---mungkin beberapa tahun di bawahku---yang lagi hamil tua. Dia nampak kerepotan bawa tas jinjing lumayan besar dan beberapa berkas di tangan. Saat kita berpapasan, aku bisa dengan jelas mendengar obrolannya bersama orang di telepon, dan tahu kalau dia hendak melahirkan. Sementara, keluarganya tinggal jauh dan suami yang kebetulan sedang dinas di Seberang.

Ugh, Mar! Kalau dibanding dia, bukannya kamu jauh lebih beruntung?

Aku menelan ludah. Mendadak malu, ingat akan sikapku yang alih-alih bersyukur karena masih bisa dimanja-manja suami, diperhatiin sedemikian rupa meski berjauhan, ditemani ke mana-mana, malah menganggapnya sebagai beban dengan alasan yang aku sendiri juga enggak ngerti apa. Padahal, banyak banget perempuan di luaran sana yang terpaksa jadi mandiri, bahkan di momen sepenting melahirkan. Dan andai Mas Rega beneran memilih jor-joran, cuek dan terserah ... itu artinya dia udah capek sama kamu!

Dadaku berdesir, dilanda resah. Tanpa pikir panjang, aku berbalik badan, tergesa menyusul Mas Rega ke dalam.

Di ruang tunggu penebusan obat, aku menemukan dia duduk bersandar punggung di kursi paling belakang. Topi hitam yang dikenakan menutup separuh wajahnya yang menunduk karena sibuk bermain hp di pangkuan, sama sekali enggak terganggu dengan bisingnya suasana sekitar.

Aku mendaratkan badan di samping Mas Rega. Mas Rega refleks menarik kasar tangan yang aku pegang sambil menoleh waspada. Lalu menghela lega.

"Aku kira siapa," katanya.

Aku memberinya cengiran.

"Enggak jadi ke mobil?" Mas Rega memasukan gawai ke saku jeans.

"Enggak punya kuncinya."

Alis Mas Rega bertaut samar. "Belum aku kasih?"

Kepalaku mengangguk sok polos. Dalam hati bersorak girang karena enggak perlu nyari alibi.

Mas Rega merogoh saku jeans satunya. Sebelum kunci dikeluarkan, aku buru-buru menghentikan. Enggak urung, dia pun memandangku penuh tanya.

"Aku di sini aja."

"Antriannya masih lumayan lama."

"Enggak apa-apa. Lagian di basement lumayan sepi. Takut."

"Oh, ya sudah kalau gitu," sahutnya, enggak keberatan. Lalu kembali menghadap depan.

Aku menautkan telapak tangan kita, bersandar ke pundak Mas Rega.

"Mas."

"Hem?"

"Aku sariawan."

Mas Rega mengulum senyum. Pasti langsung ngeh sama malam itu.

Aku menyeringai. Menusuk sebelah pipi Mas Rega. "Cie, udah bisa mesem."

"Memangnya dari kemarin aku enggak senyum?" tanyanya, seakan enggak percaya.

"Enggak."

"Masa?"

"Beneran. Kemarin-kemarin kamu tuh udah kayak Mochi yang lagi bad mood, tahu. Merengut mulu."

"Hem ...." Lagaknya sok berpikir. Meski kentara banget lagi males ngomong, dia tetap berusaha meladeni polahku. "Kira-kira siapa yang sudah bikin bad mood coba?"

"Aku."

"Berarti?"

"Enggak boleh protes."

Sudut bibirnya tertarik. "Good."

"Hih, curang." Aku pura-pura cemberut, memainkan cincin pernikahan di jari manisnya yang lumayan longgar, bukti kalau dia memang kurusan. Berbanding terbalik dengan aku yang malah melar.

Ngomong-ngomong, cincin pernikahannya enggak terbuat dari emas, melainkan perak, bermodel ring biasa. Kata Mas Rega, dalam Islam laki-laki itu enggak boleh pakai emas. Dan biar orang-orang yang lihat tangan kita bisa langsung paham kalau kita pasangan, punyaku sengaja disamakan.

Yah. Apa pun alasannya, aku si fine fine aja. Toh, salah satu mahar yang Mas Rega kasih, berupa kalung berlian murni, harganya punya embel-embel M di belakangnya.

"Mas," panggilku sesudah agak lama saling diam.

"Hem?"

"Kamu masih marah sama aku, ya?"

"Aku enggak pernah marah sama jamu, Mar," sahutnya, santai.

"Soal omongan Aliyah ...."

Seorang apoteker menginterupsi. Namaku yang diserukan membuat Mas Rega ijin beranjak sebentar, dan memaksaku segera menegakan badan.

Aku mengedarkan mata selagi nunggu Mas Rega. Enggak tahunya ada seseorang yang manggil dari belakang. Praktis, aku pun menengok guna memastikan. Mendapati Geo dan Maminya yang mendekat, tanganku kontan saling bertaut gusar di pangkuan. Apalagi setelah mereka memilih duduk tepat di sebelah.

"Eh, Tante," sapaku, tersenyum kikuk. Duh, Gusti. Baru aja aku berniat meluruskan ucapan Aliyah. Ini malah ketemu sama objek yang bisa bikin suamiku gerah. Mana mood dia belum seratus persen bagus pula. "Apa kabar, Tan?"

"Puji Tuhan, baik," jawabnya, tersenyum sumir. "Kamu sendiri apa kabar?"

"Baik juga, Tante."

Salah satu tangannya terulur mengusap perutku. Sikapnya masih seakrab dulu meski udah jarang banget ketemu. Terakhir mungkin satu tahun lalu. "Berapa bulan ini?"

"Tujuh bulan, Tan."

"Walah." Beliau menarik tangan. Nampak terkejut tapi senang. "Tante kira udah bulannya."

Aku tersenyum simpul. "Ngomong-ngomong siapa yang sakit, Tan?"

"Oh, enggak ada. Cuma cek up rutin biasa. Kalau Marwah cek up juga?"

"Iya, Tante."

"Suami?"

"Itu, lagi nebus obat."

Maminya Geo mengikuti arah pandangku, ber-oh panjang. Enggak lama kemudian, Mas Rega datang membawa plastik putih khas rumah sakit. Dia sempat melirik Geo sebelum melempar senyum ramah pada Tante.

"Tan, Marwah duluan, ya," kataku, bangkit. Setelah mendapat anggukan, aku gegas mengajak Mas Rega keluar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro