Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 29

(Marwah Syaiqila-Sekarang)

•••

"Karet gelangnya putus," jawabku, acuh tak acuh. Tetap sibuk memotong wortel.

"Pitanya di mana?"

"Kamar."

Mas Rega melepas tangan. Rambutku yang semula ditahannya kembali tergerai bebas di punggung. Lewat ekor mata, aku menangkap siluetnya keluar dapur setelah menyibak tirai di kusen tanpa pintu penghubung ruang.

Enggak lama kemudian, dia masuk lagi sambil bawa sisir dan pita. Lalu tanpa segan mulai menyisir rambutku secara perlahan, pun sesekali merapikan beberapa bagian.

Aku enggak bereaksi apa-apa. Mas Rega yang memilih ngalah membuatku lumayan jengkel. Ya, aku tahu dia melakukannya demi menjaga perasaan Ayah-Ibu. Enggak mau mereka curiga. Cuma, nada bicara dan ekspresi Mas Rega enggak bisa bohong. Kelihatan banget di mataku kalau sebenernya dia masih belum bombong.

Itulah kenapa aku sengaja menghindari Mas Rega. Salah satunya dengan bantu Ibu masak buat makan malam, meski akhirnya dia nyamperin ke sini juga.

"Belum mandi itu, Kak," adu Aliyah yang duduk di seberang sambil metik kangkung.

Aku menendang pelan kakinya di bawah meja, mendelik memperingatkan. "Diem!"

Aliyah nyengir. Jarinya membentuk huruf V.

"Iya, Al," sahut Mas Rega, enteng. Tangannya cekatan mengikat rambutku. "Kakak kamu memang paling susah disuruh mandi."

"Ish." Mendesis jengah, aku menekuk wajah. Memotong wortel di talenan dengan kasar sampai bunyi ketukan pisaunya terdengar brutal.

Mas Rega beringsut ke kulkas, meraih bergo hitam di atas sana dan kembali menghampiri meja. Lantas menahan tanganku, mengambil alih pisau yang kemudian diletakan ke baskom berisi irisan wortel. Aku mendongak. Sebelum sempat melayangkan protes, Mas Rega udah lebih dulu memakaikan kerudungnya.

"Mau ada tukang galon," jelasnya. Bibirku terkatup. Sesudah membenahi anak rambut di sekitar pelipis, dia menempatkan diri di kursi sebelah. "Ibu ke mana, Al?"

"Ke luar, Kak. Beli garam."

Mengangguk, Mas Rega menoleh ke arahku. Enggak ngomong apa-apa. Tapi arti tatapannya gini kira-kira, "jangan ditunda lagi. Hari ini juga kamu harus bicarakan sama Ibu."

Alhasil aku jadi langsung mati kutu. Huh, dasar orang enggak sabaran.

Untungnya saat itu Mas-Mas Galon datang. Mas Rega pun beranjak untuk membuka pintu belakang. Aku terselamatkan. Napas yang rasanya tertahan di dada, aku hembuskan diam-diam. Lega.

"Satu air mineral sama enam isi ulang kan ya, Pak?" tanya si Mas galon.

"Iya, Mas." Mas Rega membenarkan. Detik selanjutnya, suamiku dan si Mas itu gantian ngangkut galon dari luar ke dalam. Sementara, aku kembali melanjutkan kegiatan.

"Ternyata bener ya kalau tipe ideal laki-laki sebagai pacar dan tipe ideal laki-laki sebagai suami itu bertolak belakang."

"Sotoy," responku, sekadarnya. Debur air yang dituang ke tempat penampungan terdengar. Antara Mas Rega atau si Mas Galon yang melakukan, aku enggak berminat memastikan.

"Ibu yang bilang." Aliyah membuang sisa-sisa batang kangkung yang enggak kepakai ke ember. "Katanya, dulu pas jamannya pacar-pacaran, Kakak tuh sukanya laki-laki yang kayak anak band, yang penampilannya agak berantakan, receh dan paling pinter bikin terbang. Terus juga seumuran. Berbanding terbalik sama Kak Rega yang ke-bapakan, orangnya serius, rapi dan pendiam."

Aku otomatis berhenti menggerakkan pisau. Menatap Aliyah, sedikit enggak percaya. "Masa sih Ibu bilang gitu?"

Mengangguk, Aliyah melipat tangan di atas meja. Balas menatapku. "Tapi intinya sih, Ibu tuh sreg banget Kakak nikah sama Kak Rega. Sampai wanti-wanti aku sama Ais tahu buat nyari suami yang kayak suami Kakak. Karena selain gentle dan sat set sat set---beda banget dari mantan Kakak yang pada melempem pas ditodong Ayah---menurut Ibu, Kak Rega itu sosok laki-laki yang mampu ngemong istrinya. Plus paham bagaimana memuliakan dengan sikap, bukan dengan rayuan memabukkan yang memperdayakan. Kek misal muji cantik tiap hari tapi membiarkan istrinya mengumbar aurat. Bilang cinta tiap malam tapi matanya suka jelalatan. Terus ngakunya suka istri yang betah di rumah tapi tahunya malah doyan nyari perempuan di luaran."

Aku terdiam sambil merenung. Bukan soal penilaian Ibu terhadap mantan-mantanku yang sebenernya jarang banget main ke rumah. Bukan pula soal Mas Rega yang aku yakin adalah bukti seberapa sayang Ayah-Ibu ke aku. Melainkan tentang asumsi yang nyangkut di kepala; kalau polah orang lain aja bisa Ibu amati sejeli itu, apalagi aku, anaknya? Bukan enggak mungkin misal beliau ternyata udah menerka alasanku ngeyel nyusul Mas Rega, makanya mau bantu bujuk Ayah meski sebelumnya sempat ikut melarang keras. Sepulangnya aku pun beliau enggak tanya apa-apa seolah tahu aku bakal secepatnya cerita dengan sendirinya.

***

"Anak dari tetangganya teman Ibu juga kena preeklamsia, Mar. Dia hamil di umur 18 tahun. Dan alhamdulillah-nya dia bisa lahiran normal. Keadaan anak serta ibunya juga baik-baik aja."

Perasanku lega. Lebih lega dari pas jujur ke Mama mertua. Ketakutanku perihal respon Ibu yang bakal sedih atau mungkin khawatir lesap seketika. Nyatanya, Ibu enggak yang gimana. Sama kayak Mama.

"Udah." Ibu mengusap lengan atasku. "Jangan terlalu dipikirin. Nanti malah kamunya stres. Enggak baik. Masalah Ayah, biar jadi urusan Ibu. Yang penting sekarang, kamu fokus aja ikhtiar. Lakukan apa pun yang disarankan dokter. Dan harus lebih prihatin ke diri sendiri. Ada apa-apa langsung bilang ke suami, jangan disepelekan."

"Iya, Bu."

"Terus buat acara tujuh bulanan, serahin semuanya ke Ibu. Kamu enggak perlu ikut capek-capek ngurus ini itu. Oke?"

Tersenyum, aku mengangguk patuh.

"Ya udah. Ibu keluar dulu, ya."

Setelah aku mengiyakan, Ibu beranjak keluar kamar. Sekian menit berselang, suamiku datang membawa tumbleware berisi air putih di salah satu tangan.

Mas Rega mendekat begitu pintu sempurna rapat. Dia menaruh bawaan ke nakas dan duduk di tepi kasur, menghadap lurus tembok seberang. Aku sendiri nyaman bersandar di kepala ranjang.

Untuk sesaat kita sama-sama diam. Sampai akhirnya Mas Rega bertanya ... Atau lebih tepatnya memastikan.

"Sudah bilang Ibu?"

"Udah."

Aku kira itu bakal jadi awal membangun obrolan. Tahunya malah enggak ada lagi yang buka suara. Hening cukup lama. Membuat kegaduhan di lantai bawah bisa sayup-sayup tertangkap telinga di antara detik jam dinding yang berpadu deru AC di pojok kamar.

Aku memainkan kuku jari di pangkuan. Sedikit menunduk.

Lalu tiba-tiba Mas Rega mengulurkan gawai. Aku mengangkat pandang. Mata kita bertemu.

"Blokir nomor Angelin," katanya.

"Buat?"

Mas Rega meletakan gawai ke kasur. Kembali meluruskan wajah.

"Angelin menelponku dalam keadaan mabuk. Dia marah-marah karena aku pergi tanpa pamit. Bahkan menyebutku brengsek. Terus nangis-nangis enggak jelas. Aku enggak memutus sambungan cuma supaya dia enggak diganggu orang selama menunggu jemputan Glen."

"Aneh," cicitku, mencibir Angelin. "Dia kira dia siapa sampai harus dapat pamit kamu segala."

"Iya. Aneh dan enggak masuk akal." Tatapan Mas Rega menerawang. Ada jeda sebelum dia bertanya, "Tapi kamu tahu enggak apa yang lebih aneh dan enggak masuk akal dari itu?"

Aku enggak menyahut. Menunggu dia melanjutkan.

"Saat Angelin yang bukan siapa-siapa saja bisa merasa pantas dan berhak buat marah ke aku karena diperlakukan demikian, sementara aku yang jelas-jelas suami kamu justru dianggap berlebihan."

Mulutku terbuka dan tertutup berkali-kali. Endingnya cuma mampu melipat bibir ke dalam, sangsi. Tentu Mas Rega tersinggung. Dan enggak seharusnya aku bilang gitu.

"Sayangnya aku enggak bisa marah sama kamu, Mar. Rasanya selalu ada celah untuk memaklumi kamu. Barangkali memang benar kalau sikapku yang bikin kamu segan langsung bilang. Barangkali juga karena keenggak pekaanku sebagai laki-laki yang tanpa sadar sudah memberi kamu kesempatan agar tetap diam. Atau barangkali kalau dulu aku enggak setuju buat pergi, kamu enggak akan apa-apa sendiri."

Mas Rega menghempaskan debas berat. Menoleh lagi ke arahku. Bertanya pasrah. "Sekarang, kamu maunya aku gimana? Nyamannya kamu itu seperti apa? Aku yang jor-joran ke kamu, cuek dan terserah? Kalau iya, meski susah, akan aku coba. Atau perlu aku jadi kayak mantan kamu?"

Alisku berkerut samar. Kok malah bawa-bawa mantan ... Ah! Iya iya.

"Kamu denger obrolanku sama Aliyah?"

"Memang tadi kalian ngobrolin apa?"

"Lho, bukannya sekarang kamu lagi cemburu gara-gara Aliyah ngebahas mantan-mantanku?"

"Mantan-nya jamak. Berarti lebih dari tiga?"

Eh?

Tbc ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro