Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 28

(Marwah Syaiqila–Sekarang)

•••

Selagi Mas Suami sibuk ngurus kerjaan, aku sengaja goleran di sofa. Golerannya bukan goleran biasa pula. Melainkan khas orang yang lagi gabut parah; posisi kepala sedikit menjuntai di bantalan sofa, lengkap sama rambut panjang yang tergerai jatuh menyentuh ubin dan kedua tangan melambai-lambai. Tujuannya tentu biar ditegur, terus aku yang bakal gunain kesempatan itu buat minta dia udahan.

Sayangnya, rencanaku enggak berjalan sesuai keinginan. Mas Rega tetap sibuk sendiri sama laptop di pangkuan. Bahkan sampai aku yang akting menguap berkali-kali ngerasa ngantuk beneran, enggak sedikit pun perhatiannya dialihkan.

Tapi aku enggak menyerah. Terus aja bertingkah. Dari mulai memukul-mukul meja kaca pakai pulpen kayak anak kecil, bergerak lasak, bikin suara-suara enggak jelas, dan terakhir pura-pura ngeluh sakit kepala. Dan ya, cara itu berhasil menarik atensi Mas Rega. Meski ucapannya yang sedatar jalan tol, berupa menyuruhku ke kamar sebab dia masih lama, sukses bikin aku menekuk wajah sambil ngedumel sebal. Terlebih karena setelahnya dia justru fokus lagi pantengin layar laptop.

Udah. Aku merajuk tuh di sana. Berbalik menghadap sandaran sofa, memunggungi dia. Lalu terlelap ... Entah di jam berapa. Pas bangun, aku udah meringkuk di kamar bersama selimut tebal membalut separuh badan. Juga termos kecil dan gelas tinggi berisi air putih di atas nakas yang Mas Rega siapkan.

Enggak urung, aku tersenyum---ke-geeran. Cuma saat menoleh ke sisi lain ranjang, Mas Rega enggak ada. Bekas seprainya mulus, antara tidur di kamar tamu atau begadang. Sementara, jam dinding sudah menunjukan pukul 02.00.

Aku menghela napas berat guna mengurai sesak. Lantas merubah posisi jadi terlentang, menerawang langit-langit kamar. Lampu utama dalam keadaan mati. Penerangan ruang berupa cahaya keorenan dari lampu tidur yang dipasang di setiap pojok plafon.

Sejak menikah, Mas Rega enggak pernah marah yang betulan marah. Banter-banternya ya sekadar diam. Itu pun cuma berlangsung beberapa jam. Kalau dirayu-rayu, palingan hitungan menit udah mau manggil "Yang". Makanya, sekarang aku bingung kudu gimana. Aku enggak mau terkesan egois dengan memaksanya. Atau berusaha menjelaskan terkait keputusanku mengulur waktu buat ngasih tahu hasil tes sebelum dia melunakkan egonnya. Tapi terus-terusan dicueki gini ... Sampai kapan aku bisa sabar?

Tiba-tiba pertanyaan yang pernah aku ajukan di Spanyol berkelabat. Pertanyaan mengenai Mas Rega yang mau memberi kesempatan ke dua atau enggak andai aku merusak kepercayaannya. Dan Mas Rega menyahut, "Enggak."

Lalu saat aku mengulik lagi dengan kalimat, "Kamu bakal marah ke aku kalau aku apa?"

Dia serius menjawab, "Kamu enggak mau terbuka sama aku."

Mendesah tak berdaya, aku menekan bantal ke wajah. Jeritku teredam, cairan hangat yang merembes turun dari ujung mata. Lama kelamaan terisak juga.

Berselang sekian menit, bantal ditarik paksa seseorang. Mas Rega, si pelaku, berdiri di samping ranjang. Meski sekilas, aku sempat menangkap ekspresi panik di wajahnya. Mungkin barusan dia kira aku kenapa-napa.

"Mas ...." Kalau pun aku terlihat menyedihkan, Mas Rega memilih membuang pandang dan menggenggamkan minyak kayu putih ke telapak tanganku.

Aku buru-buru bangun, mencekal kuat lengan Mas Rega saat dia akan beranjak.

"Mau sampai kapan kamu kayak gini, Mas?" Rasanya aku udah enggak tahan buat tetap diam. "Bukannya susah ya bersikap seolah enggak peduli sama aku?"

Mas Rega bergeming.

"Aku tahu pagi tadi kamu joging keluar kompleks cuma buat beliin aku mangga. Aku juga tahu kemarin kamu diam-diam mindahin bumbu di rak atas ke bawah biar aku enggak perlu manjat kursi buat ngambil. Dan sekarang pun kamu sebenernya khawatir sama aku, kan?" tanyaku penuh harap.

Alih-alih menjawab, Mas Rega malah melepas cekalan dan berbalik badan.

Air mataku meluruh lagi. Aku tersenyum miris, berkata getir, "Kamu berlebihan, Mas."

Mas Rega enggak terusik.

"Preeklamsia itu bukan hal baru. Risiko terjadinya memang lebih tinggi untuk beberapa kasus. Salah satunya hamil bayi kembar. Enggak seharusnya respon kamu gini."

Kakinya otomatis berhenti.

"Apa kamu pikir aku lagi sekarat?"

"Mar." Mas Rega memperingatkan.

Aku tak mengindahkan. Udah kepalang tanggung.

"Apa kamu pikir preeklamsia enggak bisa sembuh? Atau aku yang bakal mati besok ...."

"Marwah!" Bentak Mas Rega, enggak terduga. Sekujur badanku seketika menegang, detak jantung berpacu gila-gilaan. Bahkan sampai refleks mencengkeram selimut, takut.

Mas Rega menoleh padaku. Rahangnya mengeras. "Apa perlu aku jelasin ke kamu?!"

Selimut semakin kuat aku cengkeram. Baru ngeh kalau tangan juga gemetaran. Demi Tuhan, sebelum ini, Mas Rega enggak pernah kayak gini.

"Jelasin sefatal apa akibat dari komplikasi yang mungkin terjadi?!" Emosi Mas Rega benar-benar meledak. Tatapannya nampak penuh amarah. Tapi sekon kemudian, secara dramatis ekspresi suamiku berubah sendu. Air yang tertampung di matanya pun meluruh tanpa malu. Mas Rega duduk di kursi. Menunduk dalam, menenggelamkan wajah ke telapak tangan yang bertumpu siku di paha. Pundaknya terguncang bersama tangis tertahan. Dan saat itulah aku mulai tergugu dalam diam. Hatiku mencelus, sadar seberapa terluka dan kacaunya Mas Rega sekarang. Hingga, perasaan terancam yang sempat membangkitkan alarm siaga di kepalaku perlahan memudar, berganti rasa bersalah teramat besar.

"Aku enggak ngerti, Mar," kata Mas Rega, lirih. "Enggak ngerti kenapa kamu malah jauh-jauh nyusul aku ke Amerika daripada melakukan prosedur perawatan."

"Mas." Turun dari ranjang, aku menghampiri dan berjongkok di depan Mas Rega. Meraih tangannya, digenggam erat. Dia mengangkat pandang. Mata kita bertemu. "Ini enggak seburuk yang kamu pikirkan. Aku baik-baik aja. Percaya sama aku, aku enggak sebodoh itu."

"Kalau memang baik-baik saja, hari itu, tepatnya saat aku tinggal ke restoran, kamu enggak akan berani nelpon Fatma untuk konsultasi, mengingat sejauh apa perbedaan waktu Amerika-Indonesia. Kalau memang baik-baik saja, jawaban Fatma enggak akan bikin kamu nangis-nangis dan minta pulang secepatnya. Kalau memang baik-baik saja, kamu enggak akan menemui Fatma diam-diam waktu aku nganter Mama, sekaligus beliin pesanan kamu yang ternyata sebatas cara agar aku lama di luar, demi memastikan kondisi diri kamu dan anak kita."

Lidahku kelu.

"Aku enggak pernah nuntut apa-apa sama kamu. Cukup kamu yang selalu terbuka ke aku. Jadiin aku, suami kamu, sebagai teman berbagi segalanya. Sesulit itukah untuk kamu melakukannya? Sesulit itukah menghargai keberadaan dan upayaku untuk membuat kamu nyaman?" tanyanya, sarat kecewa. Saat aku hendak menjawab, dia menukas cepat. "Jangan bilang kamu cuma lagi nunggu waktu yang tepat, Mar, karena yang kamu lakukan justru mengulur waktu. Jangan bilang kamu lagi nunggu kesempatan, karena selama ini aku selalu ngasih kamu kesempatan. Dan jangan minta aku untuk percaya sama kamu setelah dengan sengaja kamu merusak lagi kepercayaanku."

Pasrah, genggaman tanganku terkulai. Mas Rega bangkit, bergerak pergi.

"Di sini bukan aku doang yang pernah nyembunyiin rahasia, Mas," ungkapku pelan, enggak berniat membela diri. Tapi Mas Rega tertahan di tempat. "Masalah kantor, kamu bahkan menyimpannya sendiri selama berbulan-bulan. Kenapa? Karena kamu enggak mau aku khawatir---alasan serupa yang muncul di benakku pas Dokter Fatma ngasih surat hasil lab. Apalagi dengan kamu yang ... bahkan bisa kalang kabut gara-gara aku nelan duri ikan. Bakal milih full begadang semalaman pas aku demam. Kamu pikir gampang ada di posisi aku yang harus bicarain ini ke kamu? Gampang ngeyakini kamu biar tetap stay di Amerika nyari Tomi, seandainya kamu tahu dari awal?" Aku menjeda. "Masalah rasa percaya, kamu sadar enggak kalau kamu juga udah bikin aku kecewa? Angelin. Kamu telponan sama dia di saat aku yang statusnya istri aja, lagi kamu cuekin. Padahal, sebelumnya aku udah wanti-wanti kamu buat enggak deket-deket Angelin."

***

"Kakak berantem ya sama Kak Rega, makanya kabur ke sini pakai rencana nginep segala?" Aliyah menatapku penuh selidik. Jari telunjuknya teracung. "Hayo. Nanti Ayah tahu, Kakak bisa disidang, lho."

Aku memukul main-main wajah adikku pakai buku. Dia mengaduh.

"Jangan sotoy."

"Ya, siapa tahu." Aliyah mengusap-usap hidung. "Biasanya kan kalau perempuan yang udah nikah pulang ke rumah orangtuanya sendirian, itu tandanya ada sesuatu."

"Gak," sahutku, enggak minat. Lebih tertarik membuka buku. "Lagian wajar lah Kakak main ke sini. Namanya juga udah beberapa hari enggak ketemu orang tua. Kangen."

"Eleh." Cibir Aliyah. "Kek yang biasanya sering main aja. Wong pas Kak Rega enggak ada juga Ibu yang seringnya nginep di rumah Kakak, bukan sebaliknya."

"Heh!" Aku melotot ke arah Aliyah.

Aliyah cengengesan. Mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Becanda, Kak."

Bersedekap, wajahku melengos. Aliyah turun dari ranjang. Merayu---dalam rangka takut tugas skripsinya urung aku bantu.

Lalu pintu kamar diketuk seseorang. Rengekan Aliyah otomatis berhenti. Lantas berdeham, sok cool. Dia melipir ke pintu, membuka kuncinya sebelum memutar knop.

"Eh, Ibu," kata Aliyah.

"Kakak mana?"

Aliyah bergeser, daun pintu melebar.

"Mar."

Aku yang sedang duduk di kursi, bangkit. Menghampiri Ibu. "Iya, Bu?"

"Suamimu datang."

Sejenak, aku dilanda masygul. Ada sedikit enggan buat ketemu dia setelah kejadian dini hari tadi. Bukan marah atau ngambek. Cuma ngerasa rikuh. Itulah kenapa aku pergi ke rumah Ibu. Oh, aku enggak kabur kayak yang Aliyah bilang barusan, kok. Aku udah minta izin. Termasuk soal pakai taxi, alih-alih dianterin pas ke sini.

Lenganku disenggol Aliyah. Mau enggak mau aku lekas merespon Ibu.

"Iya, Bu. Nanti Marwah turun. Ini mau cuci muka dulu."

Ibu mengangguk. Beranjak dari depan pintu. Aliyah kembali bertingkah. Dia  menyeringai nakal, menyodok pinggangku. "Bener kan dugaanku?"

"Kepo!"

Aku keluar kamar Aliyah, masuk ke kamarku sendiri di sebelah. Lalu gosok gigi, cuci muka dan mengoleskan lipstik tipis-tipis. Enggak lupa pakai parfum. Ya, meski daster panjang bunga-bunga yang aku pakai lumayan bebal, dan bergo hitam di kepala agak kusut, seenggaknya wajahku harus enak dipandang. Bukan gimana. Aku enggak mau aja dia tahu kalau aku belum mandi dari pagi. Terlebih sekarang udah sore.

Aku turun ke lantai bawah begitu selesai. Menghampiri Mas Rega di teras rumah yang lagi ngobrol sama Ayah.

"Mas," panggilku, menunjukan keberadaanku.

Ayah dan Mas Rega menoleh.

Kalau Ayah tampil nyaman dengan t-shirt putih berpadu sarung, suamiku memilih gaya casual dengan kaos hitam berleher tinggi dan celana jeans putih tulang, dilengkapi jam tangan yang mengintip di balik lengan panjang.

Ih, kenapa si dia harus keliatan serapi itu? Berantakan dikit kek biar kesannya enggak cuma aku yang uring-uringan.

"Ya sudah. Ayah ke dalam dulu, ya," pamit Ayah.

Sesudah beliau menghilang di balik pintu, aku menempatkan diri di kursi rotan, menghadap lurus ke depan. Disusul Mas Rega di sebelah, bersekat meja bundar. Aromanya wangi banget, btw.

Barang sekian menit, kita sama-sama enggak membuka obrolan. Sampai akhirnya aku berujar, "Aku mau nginep."

Yang dibalas Mas Rega pakai kalimat bersoal, "Kamu sudah bicarakan sama Ibu?"

Tbc ...

Perasaan kek baru dua hari lalu deh aku update. Enggak tahunya malah udah di awal bulan aja. Btw, scen di Spanyol itu ada di ekstra part-nya Bukan Saktah Pertama, ya. Kalau penasaran, mangga ke akun listiya08 di KaryaKarsa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro