part 26
(Rega Damasatya–Sekarang)
***
Aku berhasil mendapat tiket penerbangan tercepat meski sebelumnya sempat menemui kendala, termasuk percekcokan kecil dengan Marwah karena dia yang ngotot ingin pulang tapi bungkam saat ditanya alasannya kenapa. Belum lagi Glen dan Josh yang sama-sama mengajukan kalimat bersoal perihal keputusanku datang ke pesta ulang tahun putri Glen atau tidak. Aku sempat bingung di sana. Satu sisi tidak enak menolak ajakan mereka. Sisi lain tidak bisa juga mengabaikan istriku yang sudah mengancam akan pulang ke tanah air sendirian. Akhirnya, sesudah menemui Glen dan Josh untuk berpamitan sekaligus minta maaf, keesokan harinya kita meninggalkan Amerika.
Dan sekarang, pukul 09.00 pagi waktu Indonesia, kita mendarat di bandara internasional Soekarno Hatta.
"Apa kabar, Sayang?" tanya Mama. Beliau yang sempat aku kabari menjemput ke bandara.
"Baik, Mah," jawab Marwah.
Pelukan mereka terurai. Mama menunduk, mengusap perut istriku. Tersenyum. "Kalian seneng ya habis diajak liburan, ehm?"
Marwah balas tersenyum. Setelahnya, Mama beralih padaku. Aku mencium punggung tangan beliau sebelum memeluknya erat. Mama menepuk punggungku pelan. "Kamu kurusan."
"Diet, Ma."
"Ck. Badan udah bagus gini masih aja pakai diet dietan segala."
Tersenyum kecil, aku melepaskan diri. Malu kadang. Umur sudah setua ini tapi masih sering membuat orang tua khawatir.
"Ya sudah, yuk. Keburu macet," ajak Mama.
Aku mengangguk, membiarkan Mama dan Marwah melangkah lebih dulu sampai ke mobil. Dua koper besar yang tadi aku tarik, aku masukkan ke dalam bagasi. Lalu menempati kursi kemudi.
"Ma, Papa berangkat dari kapan ke Bogor-nya?" tanyaku, menutup pintu. Marwah memilih duduk di belakang, bertukar posisi dengan Mama yang kini duduk di depan.
"Kemarin siang. Karena yang pesan material temen lama, jadi ikut juga ke sana."
"Mau silaturahmi kali, Ma."
"He'em."
Aku memutar kunci. Mesin pun menyala. Menit selanjutnya mobil Mama sudah bergerak bersama kendaraan lain di jalan raya.
Selama perjalanan, Marwah tak mengeluarkan suara. Betah menatap keluar jendela. Wajahnya masih belum seceria biasa. Sementara, aku terus mengobrol dengan Mama dan sesekali melirik spion depan, memastikan keadaannya. Entah apa yang sudah terjadi pada Marwah saat aku tinggal ke restoran hari itu.
"Ga, nanti Mama langsung pulang aja, ya, biar kalian juga bisa langsung istirahat. Enggak usah diantar."
"Enggak apa-apa, Ma?"
"Eh, jangan Mas. Mama udah jemput, masa dibiarin pulang sendiri," kata Marwah, menyambung cepat. Mama belum sempat menjawab. Aku kembali melirik spion. Marwah sudah beralih pada Mama. "Ma, Mama jangan pulang sendiri, ya? Biarin Mas Rega yang antar. Soalnya aku mau sekalian minta Mas Rega buat beliin bubur ayam deket kompleks rumah Mama. Ya, Ma?"
"Ooo." Mama tertawa. Lantas setuju.
Sejurus kemudian, kita sampai di rumah. Semua barang di bagasi aku keluarkan sebelum dimasukan satu persatu ke kamar. Di ruang tamu, Mama duduk ditemani Marwah. Begitu selesai, aku mengajak Mama pulang sebab beliau yang katanya akan menghadiri arisan.
"Ma, kalau perempuan tiba-tiba jadi diam, itu biasanya kenapa, ya?" tanyaku. Mobil baru saja keluar gerbang perumahan.
"Diamnya ke kamu aja, atau gimana? Beda lho, ini. Kalau cuma ke kamu, itu artinya kamu punya salah. Kalau diamnya murung, ngelamun gitu, berarti ada sesuatu."
"Dua-duanya, Ma. Tapi saat saya tanya, Marwah jawabnya enggak apa-apa."
"Timingnya kurang tepat mungkin. Coba ajak bicaranya pas mood dia udah bagus. Bisa pas makan. Atau sebelum tidur. Dan ingat, jangan sekali-kali kamu menghakimi jawabannya. Dengarkan dia sampai tuntas. Sesudahnya peluk, minta maaf seandainya Marwah ngerasa kamu udah berbuat salah. Sebab, banyak sekali perempuan yang akhirnya memilih diam karena capek selalu diminta mengerti dan dianggap berlebihan. Tapi misal Marwah tetap diam, berarti dia masih butuh waktu. Biarin. Atau tetap bilang enggak apa-apa, ya udah, jangan dipaksa. Bisa jadi dia hanya terluka oleh perasaanya sendiri."
"Perasaanya sendiri?" Alisku bertaut. Menoleh sekilas pada Mama.
Mama mengangguk. "Iya. Perasaan perempuan itu halus, Ga. Lihat wajah suami yang lagi tidur aja udah bikin kita terenyuh."
"Berarti nangisnya perempuan itu enggak selalu ada sebabnya, dalam tanda kutip?"
"Ya, bisa dibilang gitu. Cuma bukan berarti juga kamu boleh cuekin dia."
Aku terdiam sebentar. "Seandainya Marwah nangis karena denger omongan enggak baik dari orang lain, saya harus gimana, Ma?"
"Enggak baiknya karena apa dan seperti apa dulu? Kalau Marwah-nya yang salah, terus omongan tadi dimaksudkan untuk mengkritik agar Marwah berubah jadi lebih baik, kamu sebagai suami justru berkewajiban membantu Marwah intropeksi. Jangan gara-gara terlalu bucin, kamu malah apatis. Sepintar apa pun perempuan, dia tetaplah tulang rusuk---bengkok---yang mana harus diluruskan."
Selagi tangan sibuk mengendalikan setir, aku mendengarkan. Kendaraan roda empat menyemut di sepanjang jalan. Sementara para pengendara motor menyelinap di celah antar mobil.
"Al-Qamah dulunya ahli ibadah dan anak yang berbakti pada orang tua. Akhlaknya pun mulia. Tapi setelah menikah, dia berubah. Mulanya ya karena itu, terlalu cinta pada istrinya sampai-sampai enggak berani menasehati. Bahkan membiarkan dia berbuat semena-mena pada orangtuanya sendiri." Lanjut Mama. "Kamu Ga, Mama yakin udah khatam ngaji soal beginian. Marwah juga insyaAllah bukan tipe istri yang begitu. Cuma, siapa tahu. Makanya Mama tadi bilang, omongan enggak baiknya yang seperti apa dan sebabnya apa."
"Itu ... Lebih ke semacam beban ekspektasi orang-orang terhadap status istri, Ma."
"Oh." Mama mengangguk-angguk. "Paham paham. Dulu pas awalan nikah Mama ngerasain hal serupa. Overthinking sama kata orang. Bahkan, Mama sempet stres cuma gara-gara Mama belum bisa masak saat itu. Seiring berjalannya waktu, Mama sadar kalau fokus Mama adalah Papa. Selagi Papa enggak keberatan sama Mama yang ini, Mama enggak perlu jadi kayak yang orang bilang. Percaya aja, lama kelamaan Marwah juga pasti bakal gitu. Dan apa yang perlu kamu lakuin ya cukup dengerin dan beri pengertian dengan sabar dan telaten. Jangan terlalu terbawa perasaan."
Lagi lagi aku terdiam. Mendadak teringat caraku menyikapi perlakuan Mbak Susan terhadap Marwah. Meminta Mas Pras untuk menasehati istrinya, bahkan sampai berusaha menjauhkan Marwah dari mereka, mungkinkah berlebihan?
"Ma?"
"Iya, Ga."
"Kalau saya memproteksi istri saya dari orang-orang itu, menurut Mama gimana? Seperti melarang Marwah terlalu sering bergaul bersama mereka."
"Enggak apa-apa. Asal kayak yang Mama bilang barusan, kamunya jangan terlalu terbawa perasaan. Niatkan usaha proteksimu buat menjaga perasaan Marwah, bukan sebab kamu membenci mereka."
Tepat setelah Mama merampungkan kalimat, denting ponsel berbunyi. Lewat ekor mata aku bisa melihat Mama membuka tas, mengeluarkan ponsel.
"Ga, Marwah wa Mama, katanya mau nambah titipan. Kamu diminta buka hp."
Satu tanganku merogoh saku celana. Ternyata hpku kehabisan daya. "Mati, Ma. Belum dicas."
"Oh. Ya sudah, biar Mama yang tanya aja dia mau nitip apa."
"Iya, Ma."
Untuk sebentar, Mama sibuk sendiri.
"Marwah pengen bakso di persimpangan pasar, Ga." Mama mengalihkan fokus padaku. "Ini bukanya agak siang. Enggak apa-apa kamu nunggu? Atau, Mama aja yang beliin terus dianter pakai ojol?"
Aku tersenyum. "Enggak perlu, Ma. Makasih. Biar Rega saja yang beli."
"Marwah buburnya gimana?"
"Marwah sebenarnya sudah sarapan di pesawat, Ma. Saya juga."
***
Aku pulang menggunakan ojek online dan turun di depan gerbang. Mengejutkannya, kata salah satu satpam, istriku baru saja masuk ke dalam. Dari mana dia, aku tidak tahu. Yang jelas, saat aku membuka pintu kamar, Marwah sedang membuka jilbab dan sepertinya akan berganti pakaian---ada daster bebal yang tersampir di salah satu pundaknya. Keadaan ruang masih berantakan.
"Assalamualaikum."
Marwah menjengkit kaget. Padahal ucapan salamku relatif pelan. Dia menoleh.
"Eng ... Mas." Dia tersenyum. Ada gugup yang berusaha dinetralkan. "Waalaikum salam."
Aku mendorong daun pintu makin lebar, meletakan bawaan ke meja. Lantas menghampiri Marwah yang berdiri di depan meja rias. Dia meraih tanganku, dicium takzim.
"Kamu habis ke mana?" tanyaku, ringan. "Rapi banget penampilannya."
"Keluar sebentar. Tadi aku udah minta izin ke Mas, kok, lewat wa."
"Oh." Mengangguk sekadarnya, aku melanjutkan kegiatan Marwah membuka jilbab. Tak lupa menggerai rambutnya yang diikat asal-asalan. "Tapi tumben enggak nunggu aku? Atau gara-gara hpku mati dan enggak bisa dihubungi, makanya kamu pergi sendiri?"
"Ya ... Gitu," sahutnya, mengambang.
"Ada keperluan apa kamu keluar?" Sengaja aku menatap matanya. "Apa mendesak banget?"
"Eng ... Itu, apa ya ...." Marwah nampak kebingungan mencari jawaban. "Habis ... Ke agen pulsa." Jarinya menjentik. Tersenyum lebar. "Iya, ke agen pulsa buat ngisi token listrik. Udah bunyi, Mas. Takutnya mati pas lagi tanggung."
"Tumben. Biasanya kalau beli lewat aplikasi." Aku tentu meragukan pengakuannya. Dan agaknya Marwah sadar. Terbukti senyumnya kini memudar. Sorot mata Marwah perlahan meredup. Lalu sedikit dipalingkan.
"Ada apa?" Suaraku lembut. Tidak mau terkesan memaksa. "Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari aku?"
Bibirnya merapat.
"Alasan kamu nyusul ke Amerika, belum terjawab. Alasan kamu nangis dan tiba-tiba minta pulang juga sama. Sekarang ...." Meraih kedua tangannya, aku membujuk. "Ada apa? Cerita ke aku."
"Aku laper." Marwah menarik tangan, tanpa pamit melipir keluar kamar.
Aku menghela napas dalam, memperhatikan punggung istriku menghilang di balik pintu. Kata Mama jangan dipaksa. Jadi baiklah. Aku akan membiarkannya dan menunggu lagi. Yang sayangnya tidak tahu sampai kapan. Sebab malam ini saja dia memilih tidur memunggungi setelah sejak siang sengaja menyibukkan diri untuk menghindariku. Namun tak apa. Demi Tuhan, tidak sedikitpun aku merasa kesal padanya. Pun, aku tidak punya hak memprotes selagi Marwah tetap melakukan tugas sebagai istri.
"Mas," panggilnya, pelan.
Aku menurunkan salah satu lengan dari atas dahi sambil membuka mata. Kemudian menoleh ke samping.
"Ehm. Kenapa?"
Marwah terlihat ragu-ragu. Caranya menatapku seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun akhirnya dia menggeleng. "Bukan apa-apa."
Mengangguk, aku memberinya senyum tipis. Begitu Marwah mendekat, aku berubah posisi tidur menjadi miring.
"Mas."
"Iya."
Tangan Marwah menyentuh hidungku. "Kamu cinta aku enggak?"
Bukan sekali dua kali Marwah bertanya hal hal semacam itu. Tidak ada penyebab pasti.
"Menurut kamu?"
"Ehm ...." Marwah seolah perlu berpikir. "Enggak tahu."
"Ya, kok gitu?" Aku pura-pura kecewa.
"Hati orang enggak ada yang tahu. Makanya baginda Nabi marah pada Usamah karena membunuh musuh yang udah mengucapkan syahadat. Kata Usamah, musuh tadi bersyahadat cuma biar enggak dibunuh. Dan Nabi dengan tegas menjawab, 'belahlah dadanya!'."
"Kamu tahu maksud dari 'belahlah dadanya?"
Marwah mengangguk.
Aku tersenyum simpul. "Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair. Begitu sabda Nabi."
"He'em. Tapi orang-orang sekarang modelannya pada suka sok nebak isi hati orang, Mas. Atau enggak malah maunya bisa ditebak isi hatinya. Kayak aku."
Alisku bertaut. "Maunya ditebak isi hatinya kayak kamu?"
"Iya. Perempuan kan kalau lagi ngambek sukanya gitu."
"Oh." Aku manggut-manggut. Urung menduga-duga. Awalnya aku pikir kalimat terakhirnya adalah kode agar aku benar-benar mencari tahu sendiri jawaban atas pertanyaan siang tadi.
"Mas, ngantuk." Marwah menguap. "Tidur, ya?"
Setelah aku mengiyakan, Marwah memindahkan kepalanya ke lengan atasku sebelum memejamkan mata. Aku tersenyum. Pipinya yang cubby membuat wajah istriku terlihat lucu. Aku mengecup singkat pelipisnya. Lalu ikut terpejam dan terlelap tak lama kemudian.
Di pukul 03.00 paginya, aku terjaga. Mendapati Marwah sudah tidak ada. Aku beranjak mencarinya di dapur, tak sedikit pun menyangka jika Marwah tertidur di sana.
"Yang," panggilku, pelan. Mengusap lembut kepalanya yang ditelungkupkan di balik lipatan tangan di atas meja. Sejak kejadian terpeleset dulu, aku mengganti kursi tinggi dengan kursi kayu yang memiliki sandaran dan lebih kokoh. Tak heran di posisi kurang nyaman begini Marwah masih tetap aman. "Ke kamar, yuk."
Marwah tak terusik---bukan fakta baru. Aku pun sedikit menunduk, menyingkirkan rambut di wajahnya. "Yang."
Tetap tak terusik. Di detik ini aku mulai merasa heran. Namun terus berusaha membangunkan. Hingga di percobaan ke sekian, aku memutuskan untuk mengangkat kepalanya. Seketika jantungku berdetak cepat. Dengan panik aku menepuk pipi Marwah. "Mar. Hei."
Tak ada sahutan. Marwah bukan tidur. Tapi pingsan.
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro