Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 25

(Rega Damastya–Sekarang)

•••

"Mas!"

Aku menurunkan ponsel dari telinga, menoleh ke sumber suara. Istriku tergesa menuruni beberapa undakan semen di teras rumah.

"Mar, pelan-pelan." Peringatku, mengantongi ponsel. Dia menyengir, melambatkan langkah secara signifikan. Namun begitu menginjak tanah halaman, gerak kakinya kembali cepat. Aku menghela napas. Meski khawatir dia akan tersandung ujung gamis, aku menahan diri tetap di tempat.

"Kenapa?" tanyaku begitu Marwah berdiri di hadapan. Tadi saat aku berpamitan untuk menunggu taxi di luar, dia sedang di kamar mandi.

"Ada yang ketinggalan."

Aku meraba saku mantel. "Enggak. Dompet sudah aku bawa. Hp juga."

"Ih, bukan barang Mas."

"Terus?"

Setelah celingukan ke sekitar, Marwah tersenyum nakal padaku. "Rendahin badan, dong."

"Buat?"

"Sesuatu. Ayo, ih, buruan. Nanti keburu ada orang."

Aku melakukannya. Tanpa aba-aba, Marwah mengecup singkat kedua pipiku. Kemudian menangkupnya. Ujung hidung kita hampir bertemu. "Inget, ya, Mas. Mas enggak boleh deket-deket Angelin."

Tersenyum, aku mengangguk patuh.

"Sama ... Enggak usah buru-buru pulang. Kelarin dulu urusannya sampai tuntas. Oke?"

"Iya."

***

Catatan pemesanan yang salah satu karyawan tunjukan dianggap tidak bisa dijadikan bukti. Katanya, bisa saja isinya dibuat baru-baru ini. Akibatnya adu mulut sempat berlangsung pelik. Lalu sekarang, saat aku menunjukan CCTV yang memperlihatkan bagaimana aku menulis di buku itu pada hari dia memesan meja, dia justru menuduhku sudah merekayasa jam dan tanggal dalam rekaman agar sama dengan riwayat panggilan yang kita lakukan, padahal aslinya aku sedang mendata pesanan orang lain.

Glen di sebelahku semakin berdecak kesal. Bahkan sempat mengumpat pelan, yang untungnya tidak didengar dua orang di seberang meja. Sementara, aku diam sambil berusaha mencari jalan keluar. Jangan sampai masalah ini melebar hingga ke meja persidangan. Lalu aku teringat jika sebelum menerima panggilan pria ini, aku tengah mengobrol dengan Papa, yang mana selalu aku rekam. Meski nomor yang digunakan berbeda, tapi aku yakin betul jika aku belum sempat mematikan perekam sebab sambungan dengan Papa hanya dijeda. Buru-buru aku mengeluarkan gawai dari saku mantel, mencari rekaman percakapan kita.

Aku mengklik salah satunya. Melompati beberapa menit, kemudian mengeraskan volume di bagian aku dan sang klien bicara. Semua orang senyap.

"Aku ingin memesan satu meja untuk lima orang di tanggal 17. Kalau bisa lokasinya di dekat jendela. Dan pastikan menu yang dihidangkan adalah menu terbaik kalian."

"Baik." Suaraku merespon. "Akan saya ...." Bunyi tut, panggilan terputus sepihak.

"Setidaknya, kami sudah menunjukan tiga barang bukti untuk membantah tuntutan Anda," kataku. Wajah pria itu merah. Entah menahan malu atau amarah. "Sedangkan, Anda tidak memiliki satu pun bukti atas tuduhan yang Anda lakukan terhadap kami."

Begitu saja, dia bangkit dan keluar tanpa permisi. Si pengacara pun mewakilinya meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi. Aku anggap masalahnya selesai sampai di sini. Begitu mereka pergi, aku segera pamit pulang.

"Apa kau tidak mau minum kopi dulu sebentar?" tanya Glen.

"Mungkin lain kali. Istriku sudah menungguku di rumah."

"Kalau gitu, biar aku antar."

"Tidak perlu repot, Glen. Terima kasih. Lagipula aku akan mampir dulu ke toserba membeli sesuatu."

"Tidak apa-apa. Kebetulan ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Glen beranjak mengambil kunci mobil di meja. "Ayo."

Tak mau mengulur waktu lebih lama, aku memilih mengiyakan saja ajakannya. Sejurus kemudian, mobil yang dikemudikan Glen sudah bergabung di jalan raya. Aku menghubungi Marwah, bermaksud menanyakan hal apa lagi yang dia butuhkan. Sayangnya, nomornya sedang terhubung ke panggilan lain.

"Agaknya aku harus berguru denganmu terkait cara mengendalikan emosi, Damas."

Aku menoleh pada Glen. Dia masih fokus ke depan.

"Aku heran. Bagaimana bisa kau setenang tadi menghadapi orang semacam itu? Kalau aku di posisimu, sudah pasti akan aku libas semua makiannya."

"Sejujurnya, aku kurang familiar dengan aksen british. Apa yang dia katakan terdengar seperti orang yang sedang kumur-kumur di telingaku."

Glen tergelak. "Yah, anggap saja aku percaya."

Denting notifikasi berbunyi. Aku cepat memeriksanya, mengira pesan dari Marwah, yang ternyata pemberitahuan aplikasi M-banking berisi bukti transferan uang dari ustaz Ihsan. Setelah mengikuti saran Marwah, angka penjualan memang mengalami kenaikan. Meski tidak besar, tapi cukup konstan setiap bulan.

"Tiga hari lagi putriku ulangtahun. Aku berencana mengundangmu dan Marwah untuk ikut merayakan. Apa kalian bisa datang?"

"Putri keduamu?" tanyaku, tak terlalu acuh. Sibuk sendiri mengirim pesan pada Marwah.

"Iya ... Oh, Josh belum memberitahumu?"

"Ehm. Dia hanya bilang kalau kau mengundangnya ke rumah."

"Ya, itu maksudku. Aku tidak yakin bisa mengatasi situasi canggung antara aku dan Ayahku. Jika kau ikut serta, Ayahku juga pasti akan senang."

Aku mengantongi gawai.

"Ternyata kau benar." Sambung Glen. "Kemarahanku pada Josh memang hanya ego. Jauh di dalam hati, aku sangat merindukan dia. Lalu karena hal itu tidak mendapat balasan, aku jadi membencinya." Glen memutar setir ke kanan. Mobil bergeser ke bahu jalan. "Menerima Josh bukan perkara mudah. Namun setelah aku mencobanya, tidurku terasa lebih nyaman."

"Ya, kau ibarat ponsel yang kembali mendapat signal," kelakarku.

Glen tertawa. Dan dia benar-benar tak keberatan menungguku berbelanja di toserba sebelum mengantarkan ke rumah.

"Kau tidak mau mampir dulu?" tanyaku, di luar mobil. Kaca pintu kursi samping kemudi terbuka lebar.

"Kau serius mengajakku mampir?" Kedua alis Glen terangkat. Bibirnya menyeringai. "Bukannya kau buru-buru pulang sebab ingin mencari kehangatan di tengah udara dingin?"

Aku berdecak sambil tersenyum miring. "Brengsek."

Glen tergelak. Lantas melajukan mobil. Aku berbalik badan, melewati halaman depan, naik ke undakan teras. Begitu pintu utama terbuka, sayup-sayup terdengar suara murotal. Semakin dekat dengan kamar, aku sadar jika itu adalah rekaman suaraku yang Marwah simpan. Aku mendorong pintu makin lebar, mendapati Marwah meringkuk di pinggir dipan. Rambut panjangnya terurai dan selimut menutupi sampai pinggang.

Pelan-pelan, aku meletakan ransel dan paper bag ke sofa. Lalu duduk di sampingnya. Tanganku terulur menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah Marwah. Aku terlambat menyadari mata sembabnya karena dia lebih dulu terjaga dan langsung mejerit sambil menerjang leherku. Dipeluk erat.

"Eh, kenapa?" tanyaku kaget sekaligus bingung

"Pulang," katanya, terisak. "Mau pulang."

"Mar." Marwah mengeratkan lilitan tangan saat aku berusaha melepaskan. Wajahnya disembunyikan di ceruk leher, menggeleng. Aku tak memaksa, membiarkan dia tetap begini. Kemudian mengusap punggungnya yang terguncang. "Ada apa?" tanyaku, lembut.

"Aku mau pulang sekarang."

Tbc ...

Tengkyu yang masih bertahan si cerita ini meski updatenya lama banget. So, feel free and enjoy.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro