part 21
Bacanya pelan-pelan, ya, biar enggak salah tangkap.
(Rega Damasatya–Sekarang)
•••
Aku mengelap tangan menggunakan serbet yang menggantung di dekat wastafel. Lantas beranjak keluar dapur, mencari Marwah. Dia aku temukan di kamar.
"Yang."
Kursi putar yang diduduki sedikit bergeser saat Marwah menoleh.
"Ngapain?" tanyaku, mendekat. "Pamitnya ngambil tisu, tahunya malah anteng di sini."
Marwah menggeleng. Pipinya merona. Senyum ditahan malu-malu. Dia bangkit. Dompetku yang semula dipegang diletakan ke meja kerja. Tanpa permisi, Marwah melipir pergi.
Alisku mengernyit kecil. Apa ada sesuatu? Aku meraih dompet. Tidak ada hal aneh. Kecuali urutan beberapa foto Marwah yang aku simpan di bagian depan dompet yang berubah. Aku tersenyum. Pantas ekspresinya begitu.
Entahlah. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele dan tidak diniatkan untuk merayu justru sukses membuatnya tersipu. Selama kita menikah, ini kali pertama Marwah membuka dompetku. Katanya, dia tidak mau jadi maruk jika melihat semua isinya. Mungkin karena sekarang aku pengangguran, dia berani mengintip.
Aku menyusul Marwah setelah mengantongi dompet dan hp ke saku celana khaki. Istriku sudah siap di meja makan. Saat aku baru saja mendaratkan badan di kursi seberang, dia berujar, "Mas, tiba-tiba pengen makan nasi goreng buatan kamu masa."
"Nasi goreng? Sop tomat sama ikan gorengnya enggak jadi?"
"Jadi. Makannya nanti tuh pakai nasi goreng, sop sama ikan."
"Oh." Aku mengangguk sambil berdiri. "Oke."
"Ikhlas, kan?"
Tersenyum, aku meraih mangkuk nasi. "Pertanyaan paling aneh."
Marwah menyengir lebar. "Makasih."
Aku berbalik badan, bergerak ke pantri. Meletakan wajan ke kompor listrik sebelum menyingsing langan sweater yang aku kenakan. Lalu mulai menyiapkan bahan. Dapur minimalis ini menyatu dengan ruang makan. Di depan wastafel ada jendela lebar yang mengarah ke halaman belakang. Pagar kawat tinggi mengelilingi, menjadi sekat antar rumah. Kawasannya sepi, hampir seperti tak berpenghuni. Nyaman untukku. Tapi tidak dengan Marwah.
"Mas." Marwah memanggil saat aku sedang memotong bawang.
"Ehm."
"Hukum salju dan tanah itu sama enggak, si? Maksudnya, gamis yang menyapu tanah kan sah tuh buat salat. Sebab, misal di jengkal tanah pertama ada najis, jengkal tanah selanjutnya bersifat suci. Asal, keadaan tanahnya kering hingga bentuk najisnya enggak keliatan jelas melekat secara fisik. Sementara, kalau najisnya basah, entah karena jalanan becek atau kecipratan pipis, cara ngebersihinnya harus dibilas pakai air. Dan kalau najisnya sesuatu yang punya wujud, kayak kotoran ayam, bagian yang kena wajib dicuci sampai bekas, warna dan baunya hilang. Nah, salju nih gimana? Wujud padat tapi sifatnya basah."
"Salju asalnya dari apa?"
"Air yang mengalami pembekuan dan pengkristalan."
Aku beralih memotong sosis. "Air hujan itu suci atau najis?"
"Suci."
"Kalau jatuhnya ke comberan?"
"Jadi najis."
"Sama. Salju pun gitu. Tergantung jatuhnya di mana. Masalah gamis menyapu tanah, ada pendapat lain ... Kamu tahu Buya Yahya?"
"Tahu."
"Beliau berkata, gamis yang menyapu tanah, baik basah atau kering, selagi si pemakai enggak lihat secara langsung adanya najis di sana, hukumnya suci. Enggak perlu was was."
"Oooo, gitu ya."
Meraih mangkuk kecil di keranjang piring, aku memindahkan irisan bawang dan sosis ke dalamnya.
"Ini nasi gorengnya mau pedes apa enggak, Yang?"
"Pedes. Sama pakai lada, Mas."
Aku mengacungkan jempol. Untuk sejenak bunyi pisau mengetuk talenan mengisi lengang. Biasanya aku akan menggunakan putren jagung yang lebih dulu direbus sebentar sebagai tambahan. Kali ini wortel yang dirawis-rawis bersama daun bawang.
"Mas."
"Ehm."
"Isbal tuh ... Sebenernya gimana, si? Bukannya sunah ya menjulurkan pakaian sampai tanah?"
"Sunah bagi perempuan. Dilarang bagi laki-laki. Tapi makna isbal sendiri enggak mengerucut pada menjulurkan pakaian sampai tanah. Pengertian dasarnya, isbal adalah perasaan sombong seseorang atas pakaian yang dikenakan. Misal, saat kamu pakai gamis dan merasa kalau kamu lebih mulia dari mereka yang pakai jeans. Atau, aku yang pakai sarung pas salat dan merasa lebih alim dari mereka yang pakai celana."
"Berarti selagi enggak ada perasaan sombong, laki-laki boleh dong pakai sarung atau celana yang panjangnya ngelewatin mata kaki?"
"Ya enggak gitu, Yang. Semua hal yang berlebihan itu enggak boleh. Toh, memanjangkan pakaian tujuannya untuk menutup aurat. Aurat laki-laki cuma dari pusar sampai dengkul. Berbeda sama perempuan."
"Hem." Dari caranya bergumam, di bayanganku, Marwah sedang menyangga dagu sambil mengetukkan telunjuk ke permukaan meja. Sayang aku tidak bisa melihat ekspresinya. Posisiku memunggungi dia. "Ini kalau dimaknai pakai kacamata dunia, emang terkesan kek islam tuh agama patriarki, ya."
"Lebih tepatnya kacamata islamophobia. Kalau sebatas kacamata dunia, mereka enggak akan fokus menyasar ke islam. Di agama lain, berhijab juga sebenarnya diwajibkan. Lagipula, dunia diukur dengan materi. Kan katanya, kamu kaya kamu menang. Sedangkan para oknum tersebut banyak yang datang dari kalangan orang yang enggak dapet apa-apa dengan mengumbar badan, cuma berlandaskan dalih ingin mengekspresikan diri. Dan kalangan orang yang menganggap perempuan sebagai objek."
Menuangkan sedikit minyak ke wajan, aku menyalakan kompor. Detik berikutnya memasukan bumbu, sayur dan sosis secara bertahap. Aku mengaduknya dengan sutil. Desis minyak terdengar pelan. Membumbungnya asap tipis menguarkan aroma gurih. Nasi lantas ikut aku masukan.
"Mas, menurut kamu penyebab islamophobia tuh apa?"
"Kebodohan."
"Bukan karena orang-orang yang fanatik agama? Mengutip cerita yang dimuat di sebuah majalah Barat, dulu ada sekelompok muslim yang membakar rumah seseorang karena suatu alasan sambil bertakbir. Lalu seorang anak kecil bertanya, 'kenapa mereka menyebut nama Tuhan saat melakukan kejahatan? Apa Tuhan mereka yang memerintahkan?'. Dari sini udah keliatan banget kalau tindakan tersebut menciptakan misconseption terhadap islam bagi mereka yang awam."
Aku tersenyum selagi mengaduk wajan. Sudah aku bilang jika perempuan cerdas berkali-kali lipat lebih menarik, bukan? Dan definisi cerdas yang sesungguhnya adalah keinginan untuk terus belajar. Ketika Marwah bertanya dan aku bisa memberikannya jawaban, aku akan merasakan semacam kepuasan—bukan rahasia umum bila laki-laki ingin memiliki istri yang bisa dimimbing. Ketika aku tidak tahu dengan satu hal, lalu aku bertanya pada Marwah dan mendapat jawaban, aku akan merasa beruntung karena memiliki partner untuk bertukar pikiran. Kata pepatah Jawa, aku dan Marwah bagai sumbul bertemu tutup.
"Justru itu contoh nyata dari kebodohan, Yang. Sama kayak beberapa oknum yang mengebom tempat ibadah agama lain dengan alasan jihad. Kalau mereka cerdas, mereka pasti paham betul kalau dalam al-qur'an enggak ada satupun pembenaran untuk kekerasan. Wong saat perang saja nabi melarang pasukannya menyerang lansia, perempuan dan anak kecil. Tanda bahwa islam adalah agama kasih sayang."
"Tapi faktanya mereka itu orang-orang yang berilmu lho, Mas."
"Iya, berilmu. Tapi cuma sampai batang tenggorokan. Enggak masuk ke hati dan pikiran. Pun, mereka yang terkena islamophobia nyatanya enggak pernah mau benar-benar mengenal islam. Keenggaktahuan atau kebodohannya tentang islam yang membuat pikirannya kosong hingga gampang termakan berita yang beredar."
Nasi goreng sudah matang. Aku memindahkannya ke piring. Berbalik badan, kembali ke meja makan.
"Silakan," kataku, menyajikannya di depan Marwah.
"Wih!" Dia menyusut ludah di mulut. Lalu mengangkat sendok. "Em." Kepalanya mengangguk-angguk.
"Enak?"
"Ewnak." Mulutnya penuh.
Tepat saat aku membalik piring, bel pintu berbunyi.
"Biar aku saja." Aku bangkit. Melipir keluar. Glen aku dapati berdiri di depan.
***
Hampir satu jam aku dan Glen berbincang. Begitu dia pulang, aku masuk lagi ke dalam. Marwah sudah tidak ada. Nasi goreng di piring bahkan belum habis sepertiganya.
"Mar?"
"Sini." Suaranya lemah.
Aku mengedarkan pandang. Mendapati Marwah yang duduk di lantai, bersandar di tembok dekat wastafel.
"Lho, kenapa?" Dengan panik, aku menghampiri. Berjongkok di sampingnya. Bisa aku dengar jelas embusan napasnya yang berat. "Kamu sakit?"
Hanya gelengan yang dia berikan. Wajahnya pucat. Mata sayu, kelelahan.
"Ayo ayo, ke kamar." Aku membantu Marwah berdiri. Memapahnya. Tak lupa menata bantal sebelum merebahkan dia ke dipan. Setelahnya duduk di pinggir ranjang.
"Kek habis lari marathoon," katanya lirih, tapi dipaksakan agar terkesan tidak apa-apa. "Enggak usah khawatir. Cuma morning sickness, kok."
"Setiap hari kamu gini?"
"Enggak."
Mengangguk, aku mengusap area mulutnya yang basah. Mempercayai Marwah adalah alasan kenapa aku akhirnya bersedia meninggalkan dia. Toh, Marwah sudah berjanji akan selalu jujur padaku, terutama tentang keadaanya dan bayi kita.
"Btw, ada perlu apa Glen ke sini?"
"Ngomongin rencana kerjasama bareng gria teduh. Dia buka cabang restoran lagi. Kali ini untuk makanan khas Indonesia, katanya."
"Padahal besok kamu ke restoran." Dia bergumam.
"Sarapannya aku bawa ke sini, ya? Atau mau makan yang lain?"
"Enggak, ah. Gampang nanti. Mas aja gih, sana, sarapan."
Aku memang lapar. Jadi tanpa mengulur waktu, aku pun beranjak keluar. Ketika kembali ke kamar bersama piring di tangan, posisi tidur Marwah sudah miring ke kanan. Matanya terpejam. Pelan-pelan, aku memindahkan kursi putar meja kerja ke dekat ranjang sesudah meletakan piring ke nakas. Namun, Marwah terusik oleh decit kursi karena aku duduki.
"Makan di sini?"
"Ehm."
Dia menyeringai. "Bucin ya, kamu."
Mengedikkan bahu, aku mulai menyuap. Marwah memperhatikan dari seberang. Beberapa menit kemudian, dia mengangkat badan.
"Mau ke mana?" tanyaku, heran.
"Ambilin kamu minum."
"Enggak perlu. Aku bisa ambil sendiri."
"Sekalian. Aku juga mau minum ...."
"Biar aku yang ambil." Aku bangkit. Kaki Marwah urung menapak ubin. Dia menoleh, menatapku tidak setuju. Lalu saat bibirnya terbuka hendak protes, aku buru-buru menambahi, "enggak sedikit pun berkurang pahalamu dengan duduk diam di situ."
Marwah mengeluarkan debas napas. Aku bergerak ke arah pintu.
"Kamu enggak ngerti rasanya jadi pihak yang enggak punya kontribusi. Pihak yang dijaga kayak kaca. Dan pihak yang tinggal terima beres."
Seketika langkahku berhenti. Dalam hati merutuk. Naluri sebagai laki-laki yang ingin melindungi selalu lebih cepat dibanding otak. Aku balik haluan.
"Kayaknya lebih oke kalau kita ambil minumannya bareng-bareng." Tanganku terulur. Marwah mendongak. "Aku lupa, bumil yang satu ini bisa ngebolang ke Amerika sendirian."
"Dih." Tersenyum, Marwah menyambut tanganku.
Sampai di dapur, denting notifikasi gawai berbunyi. Aku membiarkan Marwah bergeser ke rak piring. Kemudian merogoh saku.
Glen
Terima kasih sekali lagi.
Anda
Tidak perlu sungkan. Ngomong-ngomong, ruang rawat Josh ada di sebelah barat, nomor 29. Datanglah.
Tanda terbaca tertera. Glen tak membalas. Tapi aku tahu dia sedang mempertimbangkannya.
***
"Iya, Papa juga sehat-sehat di rumah ...." Aku terkekeh pelan. "Siap. InsyaAllah, menantu dan calon cucu Papa enggak akan kenapa-napa .... Iya. Ya sudah, saya tutup dulu ya, Pa. Nitip salam buat Mama. Assalamualaikum."
Sambungan terputus. Aku menurunkan gawai, mematikan tombol rekam. Lantas mencari kontak Ayah Lukman. Panggilan yang aku lakukan langsung mendapat jawaban. Kita bertukar salam dan kabar. Begitu saja, obrolan mengalir panjang.
"Mas, ayamnya aku habisin boleh enggak?!" Marwah berteriak dari dapur. Sementara aku duduk di sofa ruang tamu, masih mengenakan sarung selepas salat isya.
"Boleh!" sahutku, sedikit menjauhkan gawai.
"Marwah?" tanya Ayah di seberang.
Aku menempelkan gawai ke telinga. "Iya, Yah."
"Lagi apa dia, Ga?"
"Makan. Ayah mau bicara sama Marwah?"
"Enggak usah. Biarin aja dia makan."
"Sekarang makannya banyak, Yah." Aku bergurau. "Sisa di piring saya saja suka dihabisin dia."
Ayah tertawa.
"Tapi rasanya bahagia banget saya, Yah, lihat Marwah gemukan. Meski kalau ngebayangin gimana dia naik-turun pesawat sendirian, saya jadi uring-uringan. Oh, ya. Marwah pernah bilang sesuatu sama Ayah enggak sebelum nyusul saya?"
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro