Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 20

(Rega Damasatya-Sekarang)

•••

"Dua hari, Mas! Dua hari kamu tinggal satu atap sama perempuan lain!"

"Ini enggak seperti yang kamu bayangkan, Mar. Denger dulu penjelasanku."

Marwah menepis tanganku yang hendak meraih pundaknya. Menatap tajam. Tangisnya memang tidak bersuara. Tapi kedua pipi sudah basah air mata. "Jelasin apa?!"

"Aku sama Angelin ...."

"Ber-khalwat!" Dia menjerit tertahan. Isaknya pecah. Bibir bergetar. "Kamu sadar enggak si, sama apa yang kamu lakuin? Zina, Mas. Zina!"

Hatiku mencelus. Oksigen di sekitar seolah kian menipis. Dadaku naik turun dengan cepat, kesulitan mengatur napas. Bisa aku rasakan rahang yang mulai mengerat dan emosi yang hendak meledak. Marwah mungkin sedang sangat lelah hingga tidak bisa berpikir jernih. Sedang mengedepankan cemburu alih-alih logika. Namun, aku benar-benar tak menyangka kalau istriku sendiri akan memberi tuduhan sebejat itu. Dia adalah orang yang paling mengenal aku. Lebih dari kedua orangtuaku.

Angelin yang menyusul pulang ke rumah Josh dan meminta maaf terkait kejadian di rumah sakit, di luar kendaliku. Lalu dia yang secara tersirat memberitahu Marwah kalau kita tinggal bersama dengan mengambil barang-barang pribadi di kamarnya, juga tak kuasa aku cegah. Yang pasti, aku tidak memiliki niat sedikit pun menyembunyikannya dari Marwah. Aku hanya masih perlu waktu untuk memproses semuanya---istri yang tiba-tiba muncul di depan mata dan mendapat ciuman dari perempuan asing, siapa yang tidak syok? Itulah kenapa aku tak banyak bicara selama di mobil. Padahal ada selusin pertanyaan yang berjubelan di kepala. Bagaimana Marwah bisa menemukan rumah Josh? Bagaimana dia tahu aku ada di rumah sakit? Dan terpenting, apa yang dia pikirkan hingga nekat terbang ke sini, bermodal alamat singkat yang pernah aku beri? Sendirian, tanpa pemberitahuan sebelumnya pula. Bagaimana kalau selama perjalanan dia kenapa-napa? Atau bertemu orang jahat?

Baik Ibu atau pun Mama, mereka sama sekali tak mengabari. Terakhir aku menghubungi sekitar dua hari lalu, dan tidak ada obrolan yang janggal. Untuk Marwah juga demikian. Dia masih aktif mengirim pesan sampai malam tadi. Selain panggilan video dan suara yang aku lakukan sering ditolak belakangan ini, tidak ada hal mencurigakan. Meski perbedaan waktu yang lumayan jauh memungkinkan adanya benturan kesibukan antara aku dan Marwah, membuatnya menjadi lumrah.

Tapi tidak apa. Terkait masalah itu, bisa nanti aku pikirkan. Sekarang biar aku luruskan dulu pemahamannya.

"Apa yang kamu tahu tentang khalwat?" tanyaku, sengaja menatap lekat matanya. Kita lihat apa yang akan dia lakukan. Kadang, ego perempuan Marwah sangat dominan. Saat aku diam, dia jadi nyap-nyap tak keruan. Saat direspon dengan penyangkalan, amarahnya justru mendapat asupan untuk terus berkobar. "Laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berdua-duaan?"

Marwah memalingkan wajah. Aku tahu dia sudah merasa kalah. Dari apa yang aku katakan barusan, opininya terbukti salah. Faktanya aku tinggal di sini bersama Josh, pria yang selalu mengingatkanku pada papa dan ayah mertua. Lalu Angelin, cucu Josh, datang untuk merayakan ulang tahunnya.

"Mau dengerin aku apa enggak?"

"Duduk. Capek."

Aku menahan lengannya. "Mau dengerin aku apa enggak?"

Berdecak, Marwah memandangku jengkel. "Apa?"

"Sadar sama apa yang kamu bilang barusan? Ngawur kalau kamu menyamakan zina dengan khalwat yang jelas-jelas berbeda."

Intonasi suaraku rendah, tapi aku yakin dia cukup peka jika aku kecewa akan sikapnya.

"Untuk membuktikan zina atau enggaknya, dibutuhkan keterangan empat saksi. Atau adanya bukti konkret. Atau pengakuan si pelaku zina. Enggak bisa main hakim sendiri. Dan khalwat, konotasinya enggak selalu negatif."

Bibirnya merapat.

"Khalwat berasal dari bahasa Arab. Khalaa-yakhluu-khalwatan, artinya menyepi atau menyendiri. Duduk sendirian di kamar sambil berdzikir, juga termasuk ber-khalwat. Atau okelah misal kamu mau menggunakan konotasi negatifnya. Tapi ada yang perlu kamu garis bawahi. Yaitu pada niat dan pemilihan tempat yang digunakan untuk ber-khalwat. Niat yang bagaimana? Niat untuk memadu kasih, apel bahasa kekiniannya. Lalu tempat yang seperti apa? Tempat yang enggak bisa diakses orang lain tanpa seizin si pelaku, atau tempat yang memang enggak dilewati orang. Kayak pabrik terbengkalai. Di tengah hutan. Kosan. Dan sejenisnya. Sementara, alasanku tetap tinggal itu murni karena Josh sedang sakit. Aku khawatir terjadi apa-apa pada beliau malam-malam. Semenit pun, demi Tuhan, aku enggak pernah berduaan dengan Angelin. Aku menyibukkan diri di restoran hampir seharian. Jarang sekali ada kesempatan bertemu dia di rumah. Dan andai Josh enggak collapse subuh tadi, pagi ini dia berniat pulang ke asramanya. Satu lagi. Kamarku ada di lantai atas, terpisah dua ruang dengan kamar Angelin di lantai bawah paling belakang."

Marwah tahu itu. Dia sempat duduk di kamarku sebelum aku ajak ke dapur untuk membuatkannya coklat panas. Kemudian Angelin datang. Singkatnya, Marwah langsung meminta pindah begitu Angelin pamit lagi ke rumah sakit. Di sinilah kita sekarang. Home stay terdekat yang bisa aku temukan.

"Sekarang, setelah semua hal tersebut, apa aku benar-benar ber-khalwat dengan Angelin? Apa seorang asisten rumah tangga boleh dianggap ber-khalwat jika bosnya laki-laki, sedangkan di rumah itu terdapat keluarga lain?"

Aku menjeda hanya untuk mendapati Marwah kembali memalingkan wajah. Air matanya jatuh lagi. Dia buru-buru mengusap pipi.

"Mar, kalau kamu bukan istriku, aku akan memilih menerima tuduhan kamu dan menerima konsekuensinya. Aku ngerti perbuatanku salah. Enggak layak ada pembenaran. Gimana pun aku punya opsi lain meski situasinya enggak memungkinkan. Tapi, misal aku membiarkan kamu salah paham, itu sama saja aku membiarkan kamu menyimpan bom waktu."

Dia terisak, lagi. Ekspresinya ... Antara takut, malu dan menyesal.

"Enggak. Aku enggak sedang menyalahkan kamu. Maklum kalau kamu cemburu. Aku yakin semua istri pasti bakal gitu. Aku cuma mau kamu paham. Dan lain kali, izinkan aku menjelaskan dulu. Jangan langsung berspekulasi yang enggak-enggak."

***

"Dari sore. Aku kira cuma efek cuaca. Tapi makin ke sini malah tambah kerasa berat ... Enggak. Ini udah mendingan."

Suara Marwah terdengar sayup-sayup.

"Masalah itu, aku belum nemu momen yang tepat buat ngomong ke Mas Rega."

Aku membuka mata, menoleh ke arah pintu yang ternyata tak tertutup sempurna. Lampu ruangan masih redup. Tapi aku bisa melihat Marwah duduk di sofa. Punggungnya bersandar. Satu tangan menempelkan gawai ke telinga.

Menyibak selimut, aku mengangkat badan. Terdiam sebentar, mengumpulkan kesadaran. Pantulan di cermin seberang memperlihatkan raut lesu dan sisa-sisa kantuk yang menggantung di wajah.

"Iya, aku tahu. Aku juga pengennya gitu."

Aku beranjak turun, melangkah malas menghampiri Marwah. Dia melihatku dan lekas mengakhiri panggilan.

"Siapa?"

"Dokter. Habis minta tips biar enggak beser."

"Oh."

"Kamu kebangun gara-gara aku, ya?"

Menggeleng sekadarnya, aku menghempaskan diri di sebelah Marwah. Kepala bersandar di bagian atas sofa.

"Mas."

"Ehm?"

"Kamu enggak mau tanya alasan aku nyusul kamu?"

"Aku ngarepnya kamu sendiri yang ngasih tahu aku." Aku melirik Marwah. Tatapan kita bertemu. "Dan seperti kata kamu, aku paling enggak tahan dibuat nebak-nebak. Bawaannya resah."

Mulutnya terbuka, hendak berbicara. Namun tiba-tiba pundaknya menjengkit sambil memekik. Otomatis, aku menegakan badan. "Kenapa?"

Marwah mengulum senyum. Membawa tanganku ke perutnya. Aku sedikit terkejut saat merasakan tendangan cukup kencang dari dalam sana. Sekali, dua kali ... Senyumku mengembang. Saat aku tinggal, usianya baru 4 bulan. Pergerakan mereka masih samar-sama dan belum ada perubahan signifikan pada fisik Marwah. Dia masih kurus. Baju yang dikenakan selalu terlihat longgar, tak kentara jika dia sedang berbadan dua. Sekarang ... Lupakan. Aku tidak mau berkomentar apa-apa. Di mataku, Marwah tetap perempuan paling cantik di dunia. Bagaimana pun keadaanya.

"Mas."

"Ehm?"

"Dulu sahabat Ali pernah ngambek sama sayidah Fatimah."

Aku mengalihkan perhatian pada Marwah.

"Kamu pasti udah tahu ceritanya. Kan?" Marwah menarik napas. Diembuskan dengan lesu. Dia meraih tanganku. "Kalau sayidah Fatimah aja, yang kesalahannya cuma karena enggak sengaja ngucapin sesuatu yang bikin sahabat Ali tersinggung pas bercanda, harus ngelakuin banyak cara, sampai 22 kali, kalau enggak salah, buat ngebujuk sahabat Ali biar mau mesem lagi. Kira-kira di kasusku ini, aku kudu ngelakuin apa, dan seberapa banyak biar pantes dapat maaf kamu?"

Di sebuah kitab---aku lupa namanya---dijelaskan, di antara 10 hal yang menyebabkan Allah menolak ibadah seseorang, itu berupa marahnya suami terhadap istri. Lalu nabi Muhammad juga pernah berkata pada putrinya, sayidah Fatimah, jika beliau tidak akan memberi syafaat pada seorang perempuan selagi suaminya belum memberi maaf.

Aku tidak ingat pernah membahas hal tersebut di depan Marwah. Namun tidak mengherankan kalau istriku bisa tahu.

"Kamu mau minta maafku?"

Kepalanya mengangguk penuh harap.

"Yakin kamu bisa sabar membujuk sebanyak yang aku mau?"

Bibir Marwah terbuka. Tak lama kembali terkatup. Dia menunduk. Memainkan jari-jariku.

"Aku memang tersinggung. Harga diriku terluka atas tuduhan kamu. Tapi kamu bukan sayidah Fatimah dan aku bukan manusia mulia seperti sahabat Ali."

Aku menyingkirkan rambut yang jatuh di depan wajah Marwah.

"Apa yang terjadi hari ini, enggak menutup kemungkinan bakal terulang lagi. Kita masih sama-sama belajar memahami satu sama lain. Enggak perlu terlalu didramatisir, cukup jadikan pelajaran dan bahan intropeksi masing-masing. Pokoknya, selagi kamu enggak selingkuh, baik dari aku ataupun Rabb-mu, sebisa mungkin akan aku maafkan semua kesalahan kamu. Toh, kamu itu separuh aku. Imanmu adalah bagaimana imanku. Langkah kamu mengikuti langkahku. Masa iya aku tega biarin kamu dapat jengkelnya Allah gara-gara aku."

Senyum Marwah terukir tipis.

"Seriusan lho, ya. Bukan gombal."

"Padahal aku diam."

"Siapa tahu. Soalnya, kalau gombal tuh gini, Yang." Aku mengangkat dagunya. Long distance relationship banyak memaksaku menahan rindu. Efeknya aku jadi semakin lihai dalam merayu. Jangan salah. Membuat istri tersipu juga terhitung ibadah. "Ck ck ck." Aku menggeleng, gesture takjub. "Kok bisa si orang yang belum mandi sejak pagi bisa secantik ini? Kamu sebenernya manusia apa bidadari?"

Tawanya meledak. Dia memukul main-main tanganku. "Ampun, ih."

Aku mengulum senyum. "Tapi kalau kamu pengen ngelakuin sesuatu buat nebus rasa bersalah kamu, aku punya satu permintaan."

"Apa?"

"Kamu tahu itu."

Pipinya bersemu.

Tbc ...

Punten update-nya lama. Aku lagi ngalami banyak kendala. Bukan cuma writers block. Tapi imajinasiku beneran buntu. (Bagian ini aja sebenernya draf lama yang direvisi. Dulu yang baca prolog pasti ngeh) Terutama buat bikin interaksi manis Marwah Rega. Serius, aku kudu bongkar pasang berkali-kali biar kesannya natural. Dan di cerita ini aku memang fokus ngebangun chemistry dua tokohnya. Itulah kenapa aku milih pakai POV 1, dan memusatkan jalan cerita ke mereka. Karena hal itu yang bakal ngasih kesan nantinya.

Btw, yang mau ngasih krisan, boleh banget lho, di kolom komentar. Atau kalau segan, bisa DM langsung profilku. InsyaAllah, kalau lagi buka WP, pasti aku respon.

Tbc ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro